Part 36
"Sini duduk!" Tubuh tingginya lompat naik menduduki sebuah meja yang penuh coretan tipe-x. Aku duduk di sebelahnya takut-takut, karena rok pendekku akan menaik ke atas jika aku duduk di meja.
"Ngapain di sini?" tanyaku curiga, pasalnya area depan gudang itu sedikit remang-remang, maklum tertutup dinding bangunan depannya.
Arya cengengesan. "Menepi, kelas berisik banget. Eh, besok kita masuk juga? Malas amat nggak ada lomba tapi masuk," ucapnya.
"Iya, emang. Masuklah, tetap diabsen. Masuk Arya! Awas nggak masuk!!!" seruku ganas.
"Iya, bawel!" balasnya sambil menjawil ujung hidungku. Kami berdua tertawa pelan. Aku teringat sesuatu, sudah lama tidak pergi bersama Arya. Aku ingin ke toko buku untuk membeli komik, tentu Arya bakalan senang aku ajak pergi. Meski kelihatannya dia tidak suka baca, asal bersamaku dia pasti mau kan pergi menemani ke toko buku?
"Ar, Sabtu sore anterin gue nyari komik yuk!" Aku menggoyangkan lengannya, ekspresi wajah Arya berubah jadi aneh dan tegang. Dia tampak berpikir, aku kira dia akan langsung menyambut ajakanku dengan suka cita. Mata Arya bergerak-gerak, aku mengernyitkan dahi menangkap sikap aneh Arya.
"Gue nggak bisa. Di rumah aja istirahat. Lo pasti capek 'kan?" jawabnya agak gelagapan.
Maka aku putuskan untuk pergi ke toko buku sendiri, tanpa Arya juga aku bisa pergi ke mal itu. Aku tertawa pelan. "Yeee, mager pasti nggak mau diganggu tidur sorenya. Dasar kebo!"
Arya mendengus. "Enak aja! Beneran Sas di rumah aja, istirahat kan enak."
Aku butuh hiburan dengan mambaca komik atau novel. Kalau diam saja bisa jadi rasa bosanku akan semakin meningkat. Akhir-akhir ini aku juga semakin suntuk butuh bacaan agar moodku membaik.
Tunggu, Sabtu bukannya aku disuruh untuk menemui Novan?
💙💙💙
Gawat! Jam tepat menunjukkan pukul 5 sore saat aku memarkirkan motor di depan kafe Blueberry. Aku memasuki kafe tersebut buru-buru, mataku menangkap bayangan seorang cowok yang duduk sendirian di dekat jendela.
Aku menganga tidak percaya dengan pandanganku sendiri, di sana Novan berada memakai kemeja panjang warna biru, tampak dewasa dan mempesona di mataku.
Novan menyadari kehadiranku, tidak seperti cowok kebanyakan dia tidak melambaikan tangan atau melempar senyum. Matanya hanya lurus menatapku dengan mulut sedikit terbuka, mungkin dia terkejut melihatku yang memakai pakaian sangat kasual, kaus hanya dibalut kemeja flanel kotak-kotak kebesaran.
"Hai," kataku kikuk. Tidak menyangka bahwa cowok itu terlihat formal sekali. Aku kira Novan bakal datang hanya dengan kaus dan jaket. Oke, dia bukan Arya.
"Duduk!" ucapnya.
Aku duduk di depannya menjilati bibirku panik. Sore ini aku pergi tanpa izin dengan Arya, ada ketakutan dalam hati jika ketahuan pergi bersama cowok lain lagi. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, supaya cepat pulang.
Meski cowok ini adiknya Arya aku tidak memiliki jawaban terbaik jika kepergok pergi bersama Novan. Apalagi menurut cerita Arya, sang adiknya itu tipe manusia yang unreachable. Sangat aneh bukan jika Novan mengajakku nongkrong di kafe.
"Kenapa nggak mau hari Sabtu? Ada janji sama Arya?" tembak Novan dengan ekspresi datarnya. Yup, aku meminta agar bertemu hari Jumat sore saja. Hari Sabtu yang seharusnya jatah aku pergi sama Arya, besok aku ingin ke toko buka tidak bisa diganggu gugat.
"Kenapa lo nyuruh gue ke sini?"
"Sori, ganggu sore hari lo yang indah. Gue mau ngomong, kayaknya sih nggak penting bagi lo. Tapi terpaksa gue harus menyelesaikan ini sekarang, biar tau langkah apa yang tepat untuk gue ambil." Novan memandang lurus wajahku.
"Penting bagi lo? Apa sesuatu yang sangat penting bagi lo itu?" Aku menatap manik mata milik Novan. Mata yang indah namun kesepian.
Novan tidak langsung respons, dia malah memanggil pelayan dan memesan dua jasmine tea. Aku menganga karena minuman yang dipesannya adalah kesukaanku, kami memang memiliki selera yang sama atau kebetulan?
Usai pelayan pergi, Novan kembali menatapku. "Pesan minum dulu, kenapa mukanya tegang banget?"
"Lo memesan jasmine tea? Suka juga?"
Novan mengangkat sebelah bibirnya. "Selain rokok dan kopi hitam, gue suka jasmine tea. Dan lo."
Lagu yang terdengar dari home theater kafe sangat tenang dan lembut, mendukung suasana saat Novan mengatakan hal itu. Aku tidak bisa berpura-pura untuk tidak mendengarnya. Sialnya, aku mendengar ucapan Novan sangat jelas dan malah memutar ulang di benakku. Aku tergagap.
Sepertinya tadi salah dengar. Bisa tidak bagian yang dan lo tadi diubah menjadi kayak lo.
"Maaf?" Aku menatapnya takut.
"Gue suka sama lo. Kurang jelas?" ucapnya dengan suara meninggi.
Hatiku terasa sakit seperti ditusuki oleh ribuan jarum, aku menatap Novan yang masih tetap tenang di hadapanku. Dia baru saja menyatakan cinta loh, masa ekspresi wajahnya masih tetap menyebalkan seperti itu?
Aku menggeleng pelan. "Jangan, lo nggak boleh, Nov—"
Belum selesai berkata, Novan sudah memotongnya, "Kenapa? Apa karena lo pacar kakak gue?" Suaranya parau dan sedih sekali, tidak aku sangka Novan menyukaiku.
Sumpah, aku tidak melakukan hal apapun pada cowok itu sampai membuatnya menyukaiku. Chat jarang, bertemu hanya melirik-lirik tajam super sinis, dan saat berbicara juga seadanya. Bagaimana bisa dia menyukaiku?
Dunia semakin gila, duniaku saja sih. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.
"Nov, gue—"
"Terlalu cepat? Tapi nyatanya gue emang suka sama lo. Gue mau memastikan, lo sama Arya beneran pacaran? Kalo nggak—lo bisa mulai melihat gue sebagai seorang cowok? Cowok yang dewasa, umur nggak masalah," kata Novan serius.
Aku terbelalak tak percaya. Hanya diam saja bukan tindakan yang baik, Novan semakin curiga. Kalau aku memang tidak ada hubungan dengan Arya harusnya secepat mungkin aku tepis sambil santainya tertawa dan menjawab gila aja gue pacaran sama cowok idiot itu!
"Sas jawab, jawaban lo yang bakal nentuin kelanjutan hubungan ini," lanjutnya.
"Lagian lo juga nggak boleh pacaran sama ayah, kan?" Tanganku menutup mulut, aku keceplosan mengutarakan peraturan yang berlaku di keluarganya tersebut.
Tatapan Novan semakin tajam, ekspresinya terluka. "Gue anggap itu jawaban kalo lo emang pacaran sama Arya. Gue fair kok, nggak bakal mengadu sama ayah."
"Maaf, Novan. Gue sayang kakak lo. Kita pacaran udah beberapa minggu. Gue tau ini salah," kataku dengan kepala tertunduk.
Daguku terasa disentuh oleh Novan, cowok itu mengangkat wajahku agar kembali menatap wajahnya.
Dia tersenyum pahit. "Udah gue duga dari lama. Gue pengen melihat lo bahagia. Silakan lanjutin hubungan kalian, gue bakal mundur. Sakit sih bakal lebih lama lagi melihat lo berdua sama dia. Gue nggak bakal laporin ke ayah, asal—"
Mataku pasti sudah berbinar-binar karena, Novan mengatakan tidak akan mengadu ke ayah, dengan sebuah syarat. "Apa?"
"Untuk pertama dan terakhir, gue pengen makan berdua dan jalan sama lo," katanya.
"Hah? Kalo Arya curiga gimana karena gue mendadak menghilang. Ini aja gue takut ketahuan, lo—lo--"
"Cuekin aja dulu, Arya nggak bakal curiga kalo pake alasan keluarga," sahut Novan sambil menyeruput gelas jasmine tea. "Gue nggak bawa motor, masih disita. Bayangin dong perjuangan gue bisa sampe ke sini dengan baik bus umum yang sesak!"
Cowok itu masih Novan yang tak suka berada dalam suasana sulit.
"Oke, nanti lo bisa bawa motor gue. Sekarang mau ngapain? Makan ap—" Aku berhenti ngoceh saat para pelayan datang membawa makanan. Mataku melotot saat melihat di balik tudung saji itu adalah makanan yang sangat menggiurkan.
Sialan, maksud Novan apaan sih ngajakin aku makan seperti ini? Aku semakin membisu saat pelayan berseragam itu menyalakan lilin-lilin dengan korek.
"Makan dulu! Ini kencan impian gue, meski bukan sama pacar. Tapi, lo cewek yang gue suka," kata Novan menjawab kebingunganku. "Melepas rasa sama lo. Anggap aja ini perpisahan."
Gila!!!
Ini benar-benar membuatku ingin menangis. Perpisahan katanya, dia memang tak punya perasaan atau sarkas demi menutupi perasaannya sendiri. Dua-duanya membuatku sedih.
Arya, adik lo sumpah senang banget menyiksa hati gue!
"Nggak mesti bagini, Nov. Ini bisa nyakitin hati lo," kataku lembut. Mataku dipenuhi cairan bening, api dari lilin-lilin itu membayang di mataku.
Novan mengulurkan tangan mengelus pipiku. Arghhhh, sudah sudah!!
Kenapa dia senang sekali menyakiti dirinya sendiri???
Bukan hanya aku yang sesak, dia pasti juga sedang kecewa, marah dan kesal. Kenapa malah bertingkah manis?
"Jangan nangis, lo terharu nggak pernah diajak Arya kayak gini? Norak!" Sama sekali tidak berperasaan atau hanya menutupi perasaan sakit hatinya cowok itu berkata sinis.
"Lo dapat duit dari mana coba? Ini nanti gue bayar sendiri kan?" tanyaku sambil memotong steak.
Novan menatapku masam. Memang ada yang salah dengan ucapanku?
"Kalo lo mau bayar sendiri, sana silakan!" ucapnya serius.
Aku melotot. "Ish, Novan! Lo tuh ...,"
Novan tidak se-romantis itu. Dia mengangkat sudut bibirnya, perlahan lengkungan di bibir Novan semakin dalam. Novan tersenyum lebar untuk yang pertama kalinya, tidak seperti Arya yang pasti memamerkan gigi. Tetapi senyuman milik Novan begitu manis, senyuman cowok malu-malu. Aku terpukau pertama kalinya melihat reaksi tersebut.
"Kenapa tersenyum? Ada yang lucu? Lo ngetawain betapa begoknya gue?" tanyaku kesal.
Novan menggeleng pelan sambil mengunyah makanan. "Nggak. Gue hanya senang. Senang banget malahan," jawabnya.
Ini menyakitkan, bukan aku yang sakit, meski aku sesak napas. Aku tidak se-sakit itu, Novan yang lebih menyedihkan. "Ini rencana lo?"
"Iya," angguknya pelan. "Gue sedikit berharap lo mau menerima gue, makan bareng pacar rencananya. Tapi ternyata, gue nembak pacar kakak gue sendiri. Tolol banget."
Kalau aku menjadi dirinya --ditolak cintanya-- aku akan membatalkan pesanan makanan, lari keluar dari kafe sambil berteriak heboh dan menangis. Hujan tiba-tiba turun menambah suasana dramatis. Sekumpulan orang akan datang menyeretku ke rumah sakit jiwa terdekat.
Mana ada cowok yang melanjutkan acara makan-makan yang dipersiapkan jika cintanya diterima, padahal kenyataannya dia ditolak mentah-mentah?
Aku rasa Novan sama gilanya dengan Arya.
"Jangan sok kuat. Balik aja yuk?" tawarku khawatir.
Aku tidak suka perpisahan seperti ini, Nov.
"Nggak mau! Abisin dulu abis itu kita nonton film," katanya seperti anak kecil. Ekspresi wajahnya yang jutek banget membuatku tidak bisa menolaknya. Aku menarik napas. "Baru pulang deh! Jangan takut bokek, kalo duit gue kurang baru boleh lo tambahin."
Cowok ini jujurnya kelewatan. Siapa pun yang menjadi pacar Novan, selamat kamu mendapatkan pacar yang sangat mengesankan.
"Oke gue turutin, tapi syaratnya lo jangan bilang sama ayah ya?"
"Iya sesuai kesepakatan, sayangku."
💙💙💙
Layaknya orang pacaran di dalam biskop kami menonton film horor. Cowok itu tidak banyak bicara selama menonton, sesekali saat aku ketakutan dia akan mengusap bahuku menenangkan.
Ini tidak bisa dibiarkan, pacarku itu Arya kenapa malah adiknya yang mengajakku melakukan hal-hal romantis semacam ini duluan. Setelah menonton aku kira penderitaan sudah berakhir, cowok itu memaksaku masuk ke Time Zone. Kami bermain dulu sekitar 45 menit di sana.
Habis itu pulang karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Novan yang mengendarai motorku, aku duduk manis di belakangnya.
Saat aku dan motorku sudah tiba di rumah cowok itu melempar senyuman lebarnya, terlihat dia bahagia sekali.
"Makasih ya." Novan tersenyum, hatiku langsung sakit.
Aku hendak memutar motorku agar kembali menghadap ke jalanan.
"Gue anter ya sampe depan kompleks," kataku.
Novan melotot sambil menyumpal telinganya dengan handsfree, "Nggak usah. Gue kan cowok, tugas nganter cewek ke rumahnya udah selesai. Masuk sana!" Tangannya menunjuk pintu. "Gue balik sendiri, jalan kaki juga enak."
"Ini udah malam, nanti lo pulangnya kemalaman," kataku sedih. "Kalo ayah lo curiga gimana?"
"Nggak. Gue izin kerja kelompok. Plis, jangan bikin gue semakin baper dengan perhatian lo itu," kata Novan memohon. "Masuk sana, gue pulang!" Dia membalikkan tubuhnya berjalan meninggalkanku sendirian di depan pagar bersama motor.
Aku memandangi punggung Novan kasihan. Anak yang malang.
Semoga lo cepat-cepat dapat penggantinya dan berbahagia.
Terkadang kita tidak tahu akan jatuh cinta kepada siapa. Berlaku untuk dia.
💙💙💙
Aku ke mal sendirian di Sabtu sore, yang seharusnya bisa aku rasakan jalan bersama kekasih. Aku punya pacar yang baik dan lucu, seharusnya jalan berdua di mal akan sangat mengasyikkan. Di sekitarku banyak pasangan muda-mudi yang berjalan bergandeng tangan penuh mesra.
Aku jadi iri.
Setelah keluar dari toko buku aku menyempatkan diri mampir untuk beli minuman. Tiba-tiba aku kepikiran dengan Arya, cowok itu sedang apa ya?
Aku membuka ponsel sambil duduk di foodcourt membuka botol teh rasa madu. Hapeku bergetar panjang begitu internet dinyalakan, pesan beruntun dari Arya dan grup teman-teman dekatku.
Bosan.
Andai Arya ada di sini, pesan terakhir dari Arya dia menyuruhku agar mandi. Aneh, cowok itu jarang menyuruhku mandi. Tidak biasanya dia menyuruhku mandi. Aku ingin membalas pesan dari Arya, last seen yang tertera sudah 45 menit yang lalu. Mungkin dia sedang tidur, jadi aku urungkan niat membalas pesannya.
Novel yang tadi aku beli segera dibuka untuk mengintip isinya, aku mulai penasaran dengan novel keluaran baru ini karena di bagian covernya ada logo dibaca sudah jutaan kali di aplikasi bernama Wattpad. Aku penasaran apa yang membuat novel ini banyak dibaca, bahkan dicetak oleh penerbit.
Aku mulai hanyut dalam lembaran demi lembaran novel tersebut, ceritanya lumayan menarik dan bahasanya asyik untuk mudah ditangkap oleh pembaca.
Takut terlanjur membaca di sini sampai bukunya habis dan mal tutup, aku segera menghentikan bacaku. Aku menjejalkan novel tersebut ke dalam plastik putih.
Aku berhenti bernapas saat melihat sosok cowok yang aku kenal tengah berdiri di depan pintu bioskop. Dia bersama seorang cewek manis yang memakai short dress berwarna biru laut.
Mereka tampak bingung, si cewek memutar kepalanya seperti mencari sesorang. Si cowok juga ikut mengedarkan pandangannya, dan pandangan kami bertemu. Cowok itu melihatku duduk di salah satu meja foodcourt ini sendirian.
Cewek yang berada di sebelahnya juga melihat diriku, beberapa detik aku bisa melihat bibir cewek itu tersenyum. Bukan senyuman yang tulus, mengingat cewek itu tidak pernah membalas senyuman yang aku berikan.
Hatiku panas. Mataku juga sudah berair. Aku tidak mungkin salah melihat Arya dan Sera jalan berdua di mal. Saat aku tahu betul Arya menolak ajakan dariku beberapa hari lalu.
Oh, jadi dia tidak mau pergi denganku karena pergi dengan cewek itu?
Dia lebih memilih bersamanya, sebenarnya aku ini apa?
Kenapa mereka bisa pergi bersama?
💙💙💙
A/n:
How's this chapter?
6 Okt 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top