Part 33

"Assalam mu alaikum!"

Kami semua menoleh serempak ke arah datangnya suara, Arya baru menginjak lantai atas. Saat dia melihat ke arahku sempat saja mengedipkan sebelah matanya, aku mendengus sebal. Tindakannya bisa membuat yang lain curiga.

Dia menyatu dengan gerombolan cowok, saling bertos ria dan suasana menjadi riuh. Malam ini Arya masih seperti biasa, tampilannya kasual dengan kaus tipis dibalut jaket hitam. Tas jeleknya masih setia dibawa-bawa.

"Bro, ke sini bawa apaan lo?" tanya Denis menarik isi tas Arya. Arya menepis tangan tersebut.

"Sabar elah, tar dulu." Dia membuka isi tasnya pelan-pelan dan mengambil sesuatu dari sana.

Dia membawa satu bar yakult. Astaga, cowok itu memang aneh. Seketika yakult tersebut menjadi bahan rebutan. Tidak lupa dia mengeluarkan wafer dan pocky.

"Gue bawa yang ada di rumah doang. Ngebut ke sininya kagak mampir."

Hanif menyela. "Jangankan mampir, gue yakin lo kagak ngerem motor."

Arya tergelak, "mati gue nanti, bloon!"

"Bagi kali!" teriak Dara memecahkan keheningan di kelompok para cewek. Alva langsung melempari kami dengan yakult, untung saja tidak ada yang mengenai jidatku.

Di tengah kericuhan tatapanku tertuju pada Gibran yang diam saja, bahkan dia bisa dikatakan agak malas menatap Arya. Pandangannya masih lurus fokus memegang ponsel.

"Eh, parah nih sepupu lo yang ganteng dicuekin aja!" seru Arya menggoyangkan tubuh Gibran. Gibran menoleh lalu menepis tangan Arya.

"Ganggu aja si!" serunya ketus.

"Huuu, gaya mainan mulu!" cibir Arya. Gibran tadi memang lagi menunggu giliran Alva dan Denis selesai dengan bermain game di ponselnya.

Dara memengaruhi agar kembali nonton film Kungfu Panda yang sempat terabaikan. Aku menusuk yakult pemberian Arya dan menyedotnya, ponselku yang tergeletak sembarangan menyala.

Aku segera mengambilnya takut dibaca oleh Lalisa. Dia kan mampu mendeteksi kalimat dari jarak jauh, matanya mengerikan.

Arya: Gak bsa denger suara lo lwt telepon kl nyamperin lgsung lbih enak kan? :))

Sashi: gila. nyeremin bgt si lo, gmn bs keluar rumah?

Arya: Izin dong.

Sashi: gue mau ngomong tp gmn?

Arya: Balkon yuk, lo duluan ntr gue nyusul.

Sashi: nnti mreka curiga

Arya: Gak bakalan. Mereka nggak bakal bisa menduga kita pacaran, sayang.

Sial. Aku baper, dan senyum-senyum sendirian membaca pesannya.

Sashi: oke, jangan ketawa y, gue mau akting.

Arya: Iya, buruan gih, udh g tahan.

Sashi: ARGHHHHHH!

Arya: Hahaha

Sambil memegang ponsel aku bangun dari duduk, dan berderap pergi menuju pintu balkon.

"Mau ke mana?" tanya Dara curiga.

"Balkon. Nyokap gue nanyain apa gitu, bentar ya di dalam rame banget sih." Tanpa menaruh rasa curiga mereka fokus menonton lagi.

Aku pergi menuju balkon yang letaknya paling pojok jauh dari pintu. Dengan berdiri seperti ini aku bisa melihat langit malam yang indah.

Dingin. Sweater-ku tidak mampu menahan angin malam agar tidak menerobos memasuki tulangku. Sehingga aku bergidik ngilu. Tidak berapa lama Arya muncul sambil memasang wajah semringah.

Dia mendorongku agar duduk di pojokan, dia sama sekali tidak memberi ruangan yang agak besar karena diriku dipaksa mojok sekali. Aku mengerang kesempitan, dia tertawa senang puas membuatku tersiksa.

"Lo kenapa?" Dia menatapku serius.

Aku mengulum senyuman kikuk, meski tadi sudah mengatakan ingin cerita sesuatu, sepertinya aku tak sekuat itu untuk berani jujur. Aku terdiam, Arya menghapus senyum di bibirnya. Dia mengambil sesuatu dari balik jaket hitamnya, mataku mendadak berbinar saat melihat sebatang cokelat yang dia berikan.

"Buat lo nih."

Aku menyambarnya semangat, hampir saja aku menjerit saking senangnya.

"Makasih ya," bisikku pelan.

Tangan Arya mengacak rambutku. "Iya, sambil makan lo bisa cerita dengan santai."

Aku membuka bungkusan coklat pelan-pelan, takut suaranya terdengar sampai ke dalam. Sambil makan cokelat aku akan mencoba bercerita pada Arya.

"Ar, Gibran bilang suka sama gue." Pelan-pelan aku mengutarakannya, Arya yang memandangi langit langsung menoleh secepat kilat. Semoga lehernya tidak sakit karena gerakan refleks tersebut.

Arya mendesis kesal, tatapan matanya menyiaratkan kejengkelan. "Lo sih! Dari awal udah gue peringatkan jaga jarak, Sas," katanya agak ketus.

"Gue emang salah." Aku menunduk takut. Lengan Arya melewati bahuku dan mengelusnya lembut.

"Tenang aja, asal lo nggak main gila sama dia nanti. Gue nggak bakal rela lo berpaling ke Gibran, serius." Arya tersenyum lembut. "Terus, dia bilang apalagi?"

Aku berdeham salah tingkah. "Dia bilang bakalan deketin gue, biar gue bisa suka sama dia, gimana dong?" Aku menyenggol lengannya panik.

"Nggak bakal gue biarin. Semuanya ada di lo, kalo lo gampang tergoda dan niat selingkuh pasti mudah buat jatuh ke pelukan dia. Gue takut lo berpaling." Aku bisa melihat matanya yang jernih begitu terlihat ketakutan. Aku menggenggam tangannya dan menggeleng.

"Gue cuma sayang sama lo kok beneran. Gue juga takut banget," ujarku jujur.

"Iya, please, jaga jarak, bukan cuma demi perasaan gue dan lo. Perasaan Gibran yang utama karena dia nggak tau apa-apa. Kalo dari awal lo menolak dan menghindar, dia pasti bakalan mundur. Tapi, dari cerita ortu gue. Gibran pasti bukan tipe yang gampang menyerah, persis kayak bapaknya," Arya berbisik-bisik mencurigakan.

"Hah?"

"Om Ervan dulu naksir emak gue, Sas."

Lagi-lagi aku hanya bisa menggumamkan kata 'hah?'.

"Masa? Te-terus?"

"Tapi emak gue tetap milih sama ayah meski hubungannya tuh rumit dan aneh. Emak gue jaga hatinya karena ayah maunya taarufan. Makanya, lo harus setia biar kita bertahan terus. Selamanya," ucapnya sambil senyum malu-malu.

Aku merinding, kututupi rasa saltingku dengan makan cokelat. Aku baru tahu bahwa om Ervan yang kutubuku itu naksir sama tante Aika yang kalem dan lembut.

Tante Aika dan Tante Elyn berada dalam kategori yang berbeda.
Dan om Gio seberuntung itu mendapatkan wanita yang keibuan.

"Apa kita bakalan selamanya, Ar?" tanyaku pesimis. Senyum di bibir Arya lenyap, berganti dengan urat di wajahnya yang mengeras.

"Nggak tau, tapi gue berharap kita bakal sama-sama terus. Meski masih terlalu muda ya? Dan juga, gue takut ayah tau," ucapnya. "Lo ragu sama gue?"

Aku mengelus bahunya memberi semangat. "Nggak, Eh, jangan pikirin itu dulu deh. Kita nikmatin yang ada sekarang dulu. Meski kita udah tahu akhir kisah ini gimana, gue masih berharap bisa manis."

Aku dan Arya sama-sama tahu, menjalin hubungan seperti ini hanya akan membuat kami sakit hati, jika suatu hari nanti kami dipaksa untuk putus. Bahuku terasa berat karena Arya menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Sas, gue bosen begini terus. Pengen ketemu sama teman lama gue. Gue kesepian. Cuma sama lo gue jadi terasa hidup. Gue nggak suka hidup begini," katanya dengan suara rendah. Aku tidak tahu mesti mendukung om Gio yang kontra dengan geng tersebut atau harus pro karena Arya merindukan temannya.

"Jangan gitu deh! Mereka nggak baik. Gue kalo jadi ayah lo juga bakal lakuin hal yang sama. Takut lo kenapa-napa. Meski lo katanya cuma ikut-ikutan siapa tahu aja nanti malah menjerumuskan lo. Gue nggak mau ya lo masuk geng itu lagi!" Oke, ternyata aku pro om Gio.

"Makasih lo perhatian dan khawatirin gue. Kalo nggak ada lo, mungkin gue udah gila."

Aku tersenyum getir. Jika seorang Arya yang notabene supel, berisik dan mudah beradaptasi mengatakan hampir gila karena hidupnya yang sekarang, ternyata beban hidupnya lebih berat dari yang aku kira.

Sekali lagi aku berusaha meyakinkan diri bahwa om Gio bukan jahat, dia hanya ingin membuat Arya menjadi pribadi yang baik. Aku mendukung usaha om Gio.

"Lo punya kita. Mereka bisa menjadi pengganti geng itu, mereka anak baik-baik, dan bersih." Aku mengendikkan dagu ke belakang. Maksudnya ke dalam ruangan itu.

"Beda. Mereka munafik, sementara gue liar. Haruskah gue jadi anak manis terus, dan palsu?" Senyumnya begitu menyedihkan. "Duh, kenapa jadi gue yang ngoceh. Sori, gue jadi curhat. Cuma capek."

"Bagus lo mau cerita. Jangan fake smile terus depan gue, Ar. Ya, emang lo bilang topeng sifat konyol lo itu cuma di depan gue. Tapi, jangan terus bohongi gue dengan topeng itu. Mending dari sekarang, terserah lo mau gimana! Lo jadi Arya si serius dan badboy juga nggak apa-apa."

"Ah beneran nih?" Arya tertawa geli. "Lo tuh kocak dulu, Sas. Makanya gue senang godain lo sampe emosi, gue senang lihat lo marah dan kesal. Makanya gue pura-pura bloon, eh kebawa beneran ya sampe lupa pura-pura!" Dia makin cekikikan geli.

Aku mengelus kepalanya pelan. "Nyebelin banget! Muka lo mendukung jadi bloon! Sampe gue percaya lo emang codot dan otaknya ketinggalan di rumah!"

Kepala Arya masih berada di pundakku, dia merapatkan posisi duduknya keenakan usai aku elus. Bahunya terguncang gara-gara tertawa, ucapanku padahal sadis sekali loh. Anehnya dia tertawa. Menyeramkan, jangan-jangan dia emang sudah bloon beneran.

"Yang penting bisa bikin lo jatuh hati. Eyaaak!"

"Jijay lo, ih! Gue kayaknya mimpi buruk deh bisa pacaran sama lo," bisikku kejam.

"Terserah. Tapi lo mimpi terindah gue."

Seketika aku melayang ingin salto di udara dan terbang ke langit malam yang bertabur bintang seperti roket. Norak ya? Tapi, siapa yang tahan saat ada cowok yang jujur mengatakan seperti itu.

Tangan Arya terasa melingkar di pinggangku, matanya terpejam dengan kepala terkulai lemas di bahuku. Tidak bisa kutahan lagi, air mata turun menetes. Rasanya seperti aku tidak ingin melepasnya.

"Sashi, gue mau terus bersama lo sampe kapanpun," kata Arya. Matanya yang jernih terlihat berbinar dalam suasana remang ini.

Aku melotot tak percaya, heh? Aku ingin sekali mengorek telinga. Apa tadi aku salah mendengar? Anehnya aku mengguman pelan sambil tersenyum malu-malu. "Gue juga mau."

Malam ini aku ingin bahagia, karena bersama Arya kami merangkai masa depan. Sama sekali tidak ada firasat bahwa ucapan itu jauh dari kenyataan yang harus kami hadapi.

Perpisahan.

💙💙💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top