Part 31
Akhirnya tiba juga di hari Jumat.
Hari ini sudah aku perkirakan akan menjadi hari terberat. Bagaimana tidak, tugas Sosiologi, Ekonomi, dan ulangan harian Matematika menjadi beban di hari akhir sebelum memasuki minggu Porseni.
Aku menguap lebar beberapa detik setelah bel berbunyi panjang. Putri mencolek bahuku, aku menoleh melihat dirinya dengan Mala sudah berdiri.
"Ikut kantin nggak?" tanya Mala. Aku menggeleng lesu.
"Kapan-kapan kita makan bareng yuk!" ucap Putri.
"Iya nanti aja ya pas Porseni! Gue lagi nggak mood, enek banget abis ngerjain MTK. Bisa-bisa—"
"Stop!" potong Mala cepat. "Jangan bilang nanti napsu makan gue hilang."
Putri tertawa dan aku juga. Mala langsung menarik Putri keluar dari kelas takutnya kantin keburu penuh. Aku tersentak begitu melihat sosok cowok tinggi menjulang berdiri di depanku, dia melihat ke arah pintu di mana Mala dan Putri menghilang.
Arya duduk di tempat Putri sambil membawa kotak makan berwarna hijau dengan tutup bentuk kodok imut keropi, aku mengerjapkan mata melihat benda tersebut.
Arya nyengir sambil membuka kotaknya. "Ibu bawain sesuatu buat Sashi katanya, gue juga nggak tahu isinya apa. Yuk, makan bareng—" Mata Arya melotot melihat isi tempat makan tersebut, ternyata isinya bulatan hijau berbungkus daun pisang. Arya mengambil isinya satu lalu membukanya.
"Kue apaan ini ya? Lo tau nggak kue yang isinya pisang begini? Kue pisang?" tanyanya bingung. Tapi mulutnya tetap asyik mengunyah kue. Aku mengambil satu buah dan memakannya.
"Nagasari. Dulu gue sering buat ini di sekolah. Pelajaran Tata Boga," kataku senyum.
"Kapan-kapan mau makan yang buatan lo yak? Tau nih ibu gue dapat dari mana ngasih bekal sebanyak ini."
Belum sempat kujawab tatapan Arya tertuju pada seorang cewek dengan wajah kalem lewat di depan kami, dia menatap kami –tepatnya Arya lalu melempar senyuman tipis. Semula Arya hanya menatap balik cewek itu tanpa ekspresi, tapi akhirnya dia melempar senyuman kikuk lalu menawarkan bekalnya pada Sera.
"Mau?"
Malu-malu Sera menggelengkan kepala, kemudian dia berjalan setelah sempat mengucap. "Keluar duluan ya." Itu pertama kalinya aku mendengar cewek itu berbicara.
Aku mengamati punggung cewek itu, sebenarnya dia tidak jelek. Hanya misterius sekali. Karena tidak jelek aku jadi takut Arya berpaling. Kok aku jadi posesif dan cemburuan sekali, huh...
"Lo dekat sama dia sekarang?" tanyaku tanpa melihat wajah Arya, aku memakan sisa potongan Nagasari. Mendadak jadi tidak enak rasanya.
"Ya harus dong, gue kan ketua kelas."
"Jangan terlalu baik sama dia," ucapku. Arya menoleh dengan kening berkerut.
"Kenapa? Gue cuma penasaran sama dia, kok bisa ya anti sosial banget!" serunya penuh kagum.
"Hhhh, dulu lo juga bilang penasaran sama gue. Hm, dari penasaran itu nanti terlalu merhatiin, jadinya suka, naksir, terus sayang," kataku menjelaskan. Ya, dapat dengan mudah siklusnya pasti akan seperti itu, aku sedih karena gara-gara status backstreet ini membuat orang lain berharap.
Siapa saja memang berhak menyukai, tetapi jangan pernah suka sama orang yang sudah punya pacar apalagi sampai sayang. Menyakitkan. Bisa menimbulkan keinginan untuk menghancurkan hubungan orang tersebut pula.
Arya cekikikan. "Nggak bakal, sayangnya sama Sashi aja cukup!" Aku membekap mulutnya agar tidak ngoceh yang bukan-bukan lagi. Dia mengerjapkan mata kaget, aku melepaskan bekapanku. Meski sudah sering tidak sengaja bersentuhan, tetap saja kikuk jika terlalu dekat dengannya.
"Lo jangan kenceng-kenceng," bisikku.
"Iya, nggak bakal kenceng-kenceng! Udah pelan kok—arghhhh!" Aku mencubit lengan cowok itu saat dia malah berbicara dengan suara lantang.
Anak cowok di kelasku sangat usil. Kalau mendengar ucapan Arya yang ambigu bakalan jadi riuh. Aku melotot padanya, dia mesem-mesem tidak jelas.
"Lo suka banget menyiksa fisik gue sekarang. Dulu batin gue yang disiksa, jatuh cinta sama lo bikin gue nggak bisa tidur, Sas," katanya.
Aku buang muka sambil mencibir, ucapannya terdengar menggelikan, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan panas ini. Aduh...
"Ih, apaan si!"
"Apalagi rindu. Jangan rindu, ini berat. Kau tak kan sanggup, biar aku saja," kata Arya mengutip kata-kata si Dilan. Aku gemas memijat pelipisku yang berdenyut, di sebelah Arya masih tersenyum usil. Aku deg-degan ucapannya semakin maut, mematikan dan baper.
"Siapa juga yang rindu sama lo? Uh," sungutku sok kesal, padahal aku lagi menahan cengiran agar tidak membentuk lengkungan.
Arya menyadari aku sedang menahan senyum, pasti ekspresiku jelek banget seperti nahan boker. Arya mengulurkan tangannya menarik masing-masing pipiku—dan bibirku agar membentuk sebuah senyuman.
"Kamu sinar bulan favoritku, Sashi. Jadi harus senyum dan bahagia terus," katanya. Mau tidak mau aku tertawa lebar.
"Receh! Sekarang siapa? Khalil Gibran? Dilan?"
Arya tertawa sambil menggeleng. "Bukan. Arya dong. Nararya Kuntjoro, yang mencintaimu. Asyiiik!" Aku semakin tertawa keras. Dia mengambil Nagasari dan menyumpal mulutku. Aku gelagapan dikerjai seperti itu. Arya tertawa sampai memegangi perutnya, aku mengambil kue yang masih terbungkus itu dari mulutku dengan mata melotot.
"Sumpah lo jahat banget!" pekikku bengis, mengusap bibirku yang terkena daun pisang. Kali saja bungkusnya kotor.
"Maaf, abis lo ketawa lebar banget. Gue gemas!" Bahunya terguncang naik turun.
Aku mengendalikan diri tidak tertawa cekikikan seperti hantu lagi, lalu fokus pada Arya. "Ar, besok gue mau rapat OSIS. Kalo balas chat lo lama berarti Lalisa lagi melototin gue, hehe."
Lalisa tahu siapa saja yang tidak memperhatikan dirinya saat rapat berlangsung. Dia sangat tidak suka jika diabaikan, acap kali dia menegur para junior yang melanggar aturan bermain ponsel saat rapat OSIS.
"Oh yowes, hm, apa rapat OSIS? Berangkat sama siapa? Jangan bawa motor sendiri, gue antar ya? Gue besok juga ada latihan band. Pulangnya lo jam berapa? Gue jemput."
Tidak enak hati lantaran terus membuatnya repot aku menggeleng. "Gue mau bawa motor sendiri. Cie, gimana band kalian? Lancar kan? Vokal grup dance gimana?"
Arya tampak ragu memikirkan sesuatu. "Jangan bawa motor, plis. Band sih lancar, lagu udah fix bawain dua. Lagu luar sama Indonesia. Vokal grup belum tau lagunya mau diapain. Tapi gue lagi usahain seseorang bantu, dia bisa bikin remix lagu lewat software komputer," katanya.
Wah, lagi-lagi aku dibuat kagum oleh cowok ini. Dia ternyata banyak membantuku, padahal awalnya aku sudah menuduhnya akan mengacau segala rencana SK Project-ku.
"Kenapa nggak boleh? Lo kabarin kek, gue juga mau bantu selagi bisa," ucapanku diangguki olehnya. Bel masuk berbunyi, aku mengerang karena habis ini mata pelajaran Pak Badrun. Guru itu suka sekali mendongeng mata pelajaran Seni Rupa, kalau memberi tugas juga aneh-aneh.
"Pokoknya jangan bawa. Nanti gue jemput ke rumah lo aja. Eh, gue balik ke kursi ya!"
💙💙💙
Tin...tin...
Aku mengintip lewat jendela, sosok cowok berdiri memakai helm depan pagar rumahku. Aku mengambil tas berlari keluar rumah agar segera berangkat, aku tersentak melihat mamaku yang berdiri di depan Arya.
Cowok itu menyalami tangan mamaku sambil tersenyum sumringah. Aku mengira mama tidak ada di rumah lantaran sudah sibuk dengan hajatan ternyata dia hanya pergi sebentar untuk membeli sayur.
Aku mendekati mereka sambil tersenyum. "Ma, Sashi, berangkat rapat dulu ya?" kataku.
"Rapat atau rapat," sahut mama sambil menyeringai. Aku menyalami tangannya malu-malu.
"Rapat, Ma."
Arya tertawa geli. "Rapat kok, Tante."
"Arya, sekali-kali ajak Sashi pergi kek. Kuper dia jarang main," ucap mama membuatku tersentak. Aku diam-diam menoleh pada Arya yang sedang menatapku dengan kening berkerut.
"Boleh Arya ajak main, Tan?" tanyanya seperti modus. Dia sangat semangat, aku jadi curiga.
"Boleh ... boleh." Mama tersenyum ramah. Mama melambaikan tangan. "Masuk dulu ya, buruan kalian sana jalan, nanti kesiangan loh diomelin sama Lalisa."
Aku tertawa sumbang, Arya cuma nyengir. Begitu mama masuk ke rumah, Arya memakaikan helm. "Mama lo ngasih lampu hijau tuh. Nggak boleh pacaran dari mananya!?"
Eng..., aku membisu sebentar. "Papa. Lo belum ketemu papa gue. Dia dingin dan nyeremin, Ar. Gue takut sama dia." Arya seperti memaklumi papaku dengan senyuman misteriusnya, apa memang semua ayah seperti itu? Apa memang harus seperti itu?
"Udah pernah gue bilang kan lo lebih dari itu, Sashi. Nanti kalo gue ketemu sama beliau, gue bakalan bilang makasih banget. Udah bikin anak secantik lo, hehe." Oke, Arya memang ngaco. Bikin anak. Aku jadi ingin ketawa mendengar kata tersebut yang langsung terngiang dalam benak.
"Jangan bilang bikin anak, ih, Ar! Malu! Terus nggak sopan." Aku memprotes.
Dia menoleh dan tertawa. "Apaan dong? Duh, salah ngomong lagi. Udah ngebuat? Oke ralat, udah membuat bibit unggul yang melahirkan anak secantik lo! Jangan protes omongan ngaco gue, gue tau gue gila. Tapi, pokoknya lo the best."
"Ih, pantesan aja masuk IPS 5. Pasti Biologi-nya jeblok. Yang melahirkan itu mama bukan papa."
Arya mendecak, seakan gemas dengan ucapannya yang selalu aku sahuti. Aku memang tidak akan pernah mengalah dalam berdebat jika ada argumen yang tidak bisa kutahan.
"Bibit unggulnya kan dari papa lo, Sas. Udah cukup, jangan jawab lagi. Mau kita telat berjamaah?" kata Arya mengendikkan dagunya agar aku cepat nangkring ke belakangnya.
Bibit unggul.
Aku baru menyadarinya. Sial! Aku memang polos, tapi kenapa lemot juga. Aku nangkring duduk di belakang Arya siap menerjang jalanan pagi secerah ini.
💙💙💙
Rapat hari ini berjalan dengan lancar, semua anggota OSIS sudah kebagian tugas, setelah rapat kami menjalani tugas memasangkan bendera dan spanduk. Tugasku dalam lomba nanti mengawasi jalannya perlombaan puzzle. Lomba tersebut tidak terlalu seru, dan cenderung membosankan.
Kita tidak bisa ikut meneriakkan semangat atau berteriak kala mencetak poin, ya silahkan berteriak jika siap dilempar potongan puzzle oleh peserta lomba lantaran merusak konsentrasi mereka.
Aku lebih suka lomba yang seru, aku sudah tidak sabar melihat anak kelasku beraksi di lomba basket dan futsal. Aku baru saja teringat kalau Brian si cowok misterius itu lomba puzzle, berarti aku akan bertemu dirinya di ruangan 200. Ruang kelas yang dibuat menjadi lomba puzzle yang tertutup dari anak murid. Hanya panitia yang boleh melihatnya.
"Hujan!" Aku menggumam sendiri memperhatikan bendera yang terpasang pada bambu di pohon palm yang bertebaran di pinggir lapangan sekolah. Dua jam yang lalu bendera tersebut masih kering dan berkibar. Hujan yang sudah turun sejak sejam yang lalu itu mulai mereda, hanya sisa gerimis kecil-kecil.
Aku melirik jam yang menunjukkan pukul dua siang. Sedari tadi aku gelisah memperhatikan gerbang dalam sekolah. Aku mengambil ponsel dari saku celana jeans-ku. Ternyata ada banyak pesan dari Arya, Lalisa, Dara dan Gibran. Aku segera membuka pesan dari pemilik nama Arya.
D sana hjan jg? Gue udh kelar dr td, ini mau jmpt lo msh deras.
Otw, tnggu, jgn nebeng org.
Aku membalasnya hanya satu kata saja. OKE
"Woi, dicariin ternyata di sini!" Lalisa datang menghampiri dan duduk di sebelahku, aku mengernyit curiga dengan kehadiran Dara dan juga Gibran.
"Ngapain nyariin gue?"
"Sok penting!" dengus Gibran. "Tuh ajak aja, kali mau, udah lama kan Sashi nggak ikut."
Aku melotot padanya. "Apaan? Apaan?"
"Tar malam main ke rumah gue dong nginep kayak dulu! Somse nih jarang main sekarang!" seru Lalisa dengan wajah ketusnya. "Tar Gibran yang jemput lo ke rumah langsung, mau jam berapa?"
Aku nginyem, sibuk memutar otak. Aku orang yang paling tidak enakan jika sama teman terdekatku.
"Ikut dong!! Bosen gue sama Lalisa terus!" bisik Dara takut-takut, Lalisa mendengarnya langsung memberi pelototan tajam.
"Gue dengar!!" serunya. Dara tertawa cekikikan, dia menggoyangkan tubuhku.
"Ayolah! Ikut dong! Apa perlu kita ajak juga si Arya biar Sashi ikut! Eh, Lis, Gib, ajak Arya coba kali aja Sashi mau ikut ada cemceman-nya!"
Aku melotot, panik dan deg-degan. Dara untungnya masih sibuk tertawa tidak menyadari raut wajahku. Aku tidak bisa berbohong, sumpah demi apa pun. Aku celingukan, Gibran sedang menatapku seakan meneliti. Lalisa tersenyum miring.
"Wah, kalo Arya ikut lo beneran mau ikut juga, Sas?!" Cewek itu jadi ikutan menggodaku.
"Eh—nggak. Iya, gue bakal ikutan. Kalian apaan sih kok jadi iseng!?" Aku gelagapan panik. "Gue baru bisa keluar rumah jam 5. Ntar Maghrib di rumah Lalisa aja. Kalian rese deh!" Aku membuang muka saat Lalisa dan Dara tertawa menggoda, wajahku pasti merah.
"Ternyata lo masih anti sama cowok itu ya, kirain udah jadi suka gara-gara menempel mulu. Muka lo panik banget tadi!" seru Lalisa geli.
Ternyata mereka salah paham.
"Biasa aja kali, Sas. Nanti lo malah jadi naksir loh, padahal kalian unyu. Kayak tom and jerry," timpal Dara seakan menuang bensin.
Aku melirik sosok cowok yang sedari tadi diam saja, Gibran tidak juga berbicara. Apa dia kesal padaku karena aku rese saat acara menonton dua hari yang lalu?
Selama aku mengenal cowok itu, belum pernah dia menatapku seperti saat ini. Tatapannya begitu dalam dan membuat cewek mana pun meleleh. Aku membuang muka, takut masuk dalam sihir pesona cowok tersebut. Kenapa sih cowok itu mendadak aneh? Tatapannya juga jadi berbeda.
Jangan-jangan dia dendam perihal resenya aku yang ngebet minta pulang. Sebaiknya aku meminta maaf, nanti sore saja deh saat dia menjemputku. Tapi, perasaanku tidak enak gara-gara diperhatikan seperti itu.
Ponselku berdering. Ada yang menelepon, nama Arya muncul di layarnya. Aku tersenyum kaku pada mereka sambil beranjak. "Oke, gue harus segera ke depan. Udah dijemput. Duluan ya! Sampai jumpa nanti sore!"
"Pulang dijemput siapa hayo??" Teriak Dara, aku tidak menjawab.
"Parah main kabur aja!" seru Lalisa juga berdecak. Aku melambaikan tangan pada mereka, tanganku yang lain menjawab panggilan dari Arya.
"Sori, lama ya? Ada Lalisa, Dara sama Gibran."
"Angkat ajalah! Kirain kenapa lama banget!"
"Ya, masa gue ngangkat telepon terus bilang dari lo yang mau jemput? Logikanya mana mungkin lo repot jemput ke sekolah di tengah hawa dingin begini. Mencurigakan," ucapku berbisik-bisik.
"Jangankan hawa dingin habis hujan, hujan badai salju aja abang rela jemput eneng!"
"Gue kira lo serius kesalnya. Udah gue tutup nih, bentar lagi keluar gerbang!"
Aku celingukan mendapati Arya duduk di atas motornya tidak jauh dari gerbang utama sekolah, cowok itu memakai jaket denim, helm hitam dan dari belakang saja sudah kelihatan kerennya deh! Tas hitam dengan gantungan kunci bentuk gitar adalah khasnya.
"Ngebut ya? Perasaan menit lo ngetik OTW sama nelepon gue cuma selisih 8 menit!" seruku curiga. Dia menoleh lalu nyengir.
"Cie, perhatian banget. Iya, kalo nggak ngebut takut lo digondol orang. Yuk buruan cabs, takut mereka muncul! Eh, mampir dulu yak? Gue laper lagi."
Aku segera lompat ke belakangnya, memakai helm menyusul saja, bisa sambil motor berjalan. Jujur aku juga takut kalau kami kepergok oleh anak-anak teman ayahnya Arya tersebut.
Aku memakai helm tanpa menguncinya, susah. "Iya siap! Buruan jalan!" Aku mendorong-dorong bahunya.
"Sabar atuh! Ini udah mau jalan, pegangan kenceng!" katanya mengingatkan.
"Bawel. Jangan ngebut jalanan licin, nanti kenapa-napa gawat!"
Wusshhhhhh!!
💙💙💙
1 Okt 2016
Jangan lupa voment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top