Part 3

Aku menutup sebuah buku diari yang keberadaannya nyaris tak tersentuh di kardus paling bawah ditimpa beberapa figura foto dan boneka beruang. Boneka beruang lucu dengan kalung di lehernya berhiaskan batu-batu kecil bentuk dadu hurufnya membentuk nama Kiranatan.

"Kirana Natan?" Aku membacanya dengan terpisah. "Bagaimana lo di sana, Kak Kirana dan Kak Natan?"

Aku tertawa kecil, padahal rongga dadaku sesak. Aku tidak pernah bisa melupakan hari itu, hari di mana mama membawaku ke rumah duka seorang cowok bernama Nataniel. Mama bilang bahwa hidup yang aku miliki patut disyukuri karena tidak semua orang beruntung memiliki umur panjang.

Waktu. Ada apa sih dengan waktu?

"Sashi!" Seseorang menginterupsi memanggil namaku, mama muncul di pintu kamar.

"Ayo buruan turun sudah ditunggu papa."

Hal yang paling aku takuti jika aku ketahuan masuk ke kelas 11 IPS 5 adalah papaku. Papaku orangnya pintar dan rajin. Beliau adalah seorang dokter, aku berubah menjadi anak ayam yang manis jika berhadapan dengannya.

Aku lebih dekat dengan mama karena dari kecil aku biasa bergantung pada mama. Papaku sangat dekat dengan kakak karena ya sepertinya anak pertama lebih berkesan, apalagi kakakku katanya mirip sekali dengan papa dalam hal sosialisasi.

Papa dan kakakku baik sekali memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap lingkungan sekitar. Mereka sangat cocok bukan? Makanya saat ada acara di rumah sakit tempat papaku kerja kakakku yang selalu dibawa.

Meski sesekali aku ingin ikut serta aku juga takut jika harus berhadapan dengan pasien rumah sakit. Bukannya membantu mereka aku malah asyik sendiri mengorek tanah atau sampah untuk membuat pupuk kompos.

"Kalo belajar lebih rajin lagi harusnya bisa masuk kelas IPA." Papa masih tipe orang yang memberikan fasilitas terbaik pada keluarganya. Beliau ingin aku masuk IPA. "Tapi, IPS juga nggak pa-pa, oh ya...anak teman Papa banyak yang sekolah di sana ternyata, kamu pasti bisa berteman baik dengannya atau mau Papa bantu kenalin?"

Aku keselek jeruk. Mama mengusap bahuku pelan, "hati-hati sayang kalo makan." Lalu perhatian mama kembali pada papa.

Astaga!

Bagaimana bisa anak kenalan papa banyak di sekolah, argh ... aku takut jadinya jika ingin buat ulah. Bukan buat ulah sih, aku takut saja ketahuan diriku masih suka bereksperimen.

Aku masih melotot membuat papa menatapku dengan sorot matanya yang khas, tajam. Sebenarnya papaku bukan pria yang galak atau penindas, tetapi beliau ada sisi di mana sorot matanya tiba-tiba berubah tajam dan itu membuatku lemah di hadapannya. Iya-iya aku takut banget sama papa, selain hubungan kami tidak begitu dekat, itu yang membuat kami sering kaku.

"Aduh, jadi di sana banyak temannya Sashi, ya? Mama kangen Lalisa deh." Mama tersenyum bahagia.

Mama temenan juga sama Lalisa dan sering menanyakan tentangku pada cewek itu. Pokoknya mama menitipkan aku pada Lalisa, dia percaya sekali pada cewek itu. Hello, siapa yang tidak percaya dengan si perfeksionis macam Lalisa?

Aku jadi tidak tega melihat raut wajah bahagia mama dan papa. Ini tahun kedua aku belajar di sekolah umum setelah sepuluh tahun di sekolah anak berkebutuhan khusus. Dari TK sampai SMP aku di sekolah alam karena pas anak seusiaku harusnya sudah berada di TK nol kecil aku sudah pandai membaca dan menulis.

Di saat teman sekelasku menyanyi dan bermain, aku sering izin ke toilet padahal melipir melihat Pak Darma menanam cabai di kebun belakang bangunan.

Pokoknya aku tidak suka di kelas untuk bernyanyi dan bermain games yang bosenin itu. Aku dikeluarkan dari TK secara hormat karena sekolah itu tidak bisa memenuhi kebutuhanku yang lebih suka bermain dengan alam.

Nggak-nggak, aku bukan seperti yang kalian bayangkan. Aku berkebutuhan khusus karena kemampuanku yang lebih, aku tidak suka belajar berpaku pada teori. Aku lebih suka praktek langsung makanya kedua orang tuaku menyekolahkan diriku di yayasan Sekolah Alam Permata Hijau, jauh di luar kota Jakarta.

"Seperti biasa pesan Papa, di Jakarta nggak ada sawah, kebun, atau tempat yang biasa kamu sambangi dulu pas di SAPH. Kamu jangan macam-macam ya!"

Belum apa-apa papa sudah mengancam diriku. Mama melirik papa sambil melotot, mereka berdua saling adu pelototan tajam.

Aku suka petualang, eksperimen dan main-main. Sebagai dokter yang pintar papa pasti sudah tahu kelakuanku itu, dan kayaknya setiap aku memasuki dunia baru papa akan berpesan 'jangan macam-macam ya!' seolah hidupku hanya untuk mengacau. Aku hanya seorang anak dengan rasa penasaran tinggi.

"Iya, Pa."

"Bagus. Yuk Papa duluan," ucap papa sambil mengesap kopi terakhir, bangkit dari duduknya lalu mengacak puncak kepalaku.

Seperti biasa papa akan mencium pipi dan kening mama sebelum pergi pamitan untuk kerja. Papa berlalu meninggalkan kami berdua di ruang makan.

Mama melihat wajahku yang sepertinya berekspresi aneh, "kenapa? Masih mau bilang papa nggak peduli sama kamu?"

"Papa udah baik-baik aja, Ma?" tanyaku perhatian. Aku menyelundupkan beberapa buah apel ke dalam tas buat bekal nanti.

"Udah, kamu tenang aja. Perlahan dia pasti akan memahami keadaan ini, Sayang."

Aku mengangguk pelan dengan senyuman tipis. Mau tahu kenapa papa terlihat tidak begitu akrab denganku tetapi perhatian dalam diamnya?

Papa masih dalam tahap move on dari kakakku yang meninggal beberapa bulan lalu karena sakit lupus. Kakakku bernama Sasa Kirana, dan perkenalkan aku Sashi Kirana.

Kami Kirana bersaudara.

💙💙💙

Aku berjalan memasuki pagar santai karena jam masih menunjukkan pukul 6 kurang 10 menit. Rekor yang luar biasa karena setelah MOS nanti aku bakalan sampai di sekolah jam 6 lewat 15. Mataku menyapu bangunan megah gedung sekolah yang bercat putih. Sudah ramai dipenuhi para peserta MOS tahun ajaran baru.

Di kanan-kiri murid baru beratribut aneh seliweran membuat tawaku nyaris menyembur apalagi nametag-nya yang dibuat jadi absurd luar biasa. Aku cekikikan melihat ideku membuat mereka jadi lucu setengah mampus.

Sarah Bakar, Olivia Rica-Rica, Intan Balado, Cintia Sambel Kentang Goreng, Bella Cingur, Rahma Semur, Fianita Rendang, Judika Goreng, Heni Kroket Kentang, Kamila Tuna dan Yovanda Guling.

Ada yang pake guling, aku ngakak sendirian di koridor. Tabokan panas terasa di punggungku, saat menoleh Lalisa si cewek cantik cetar membahana sudah berdiri dengan ekspresi bengis.

"Lo ngapain malah cengengesan di sini? Buruan ke kelas lo dulu, cari teman sebangku abis itu ke ruang OSIS, cepetan! Gue tunggu!" bentaknya keras. "Penting!"

Lalisa emang suka begitu, nggak peduli mau teman dekat kalau salah pasti diomelin. Aku lupa kalau di sekolah aku merupakan bawahannya jadi harus nurut. Lalisa yang seperti ini merupakan anugerah sekaligus musibah bagi anak OSIS.

Aku bahas sisi negatifnya dulu. Lalisa yang galak, jutek, judes dan pintar nggak bisa ditipu atau dibantah. Anggota OSIS yang seangkatan denganku pada takut sama dia, jika mereka ada salah langsung melimpahkannya padaku dengan harapan aku bisa mempermudah mereka. Lalisa yang tahu akal-akalan mereka langsung memanggil oknum yang suka menyeretku dalam masalah, abis itu mereka diomelin sama Lalisa. Mereka trauma berat bikin masalah sama ketua OSIS itu.

Sisi positifnya, angkatan OSIS yang ada Lalisanya berjalan dengan lancar dan tepat. Pas aku baru masuk cewek itu sudah menjadi anak OSIS dan saat pemilihan angket anggota OSIS ter-cantik dan ter-jutek, Lalisa meraih semua gelar itu mengalahkan Voni, anak kelas dua belas yang katanya cantik sekali. Aku pikir Lalisa masih lebih cantik, aura cewek itu begitu kuat. Aura cewek penindas tetapi cerdas.

"Males naik ke lantai dua terus turun lagi, langsung ke ruang OSIS deh." Aku memutar tubuh meninggalkannya sendirian di koridor.

"Sashi, anak kelas lo kan begajulan, kalo pemilihan struktur kelas nggak ada lo gawat!"

Aku tidak mengira bahwa ucapan Lalisa itu peringatan keras. Tidak ada feeling sama sekali aku segera menuju ruang OSIS tidak peduli dengan ucapan cewek itu.

Harusnya dari awal aku ke kelas dulu.

💙💙💙

Barusan bu Halimah menutup upacara dan segera turun ke koridor belakang podium, aku mendesah lega.

"Udah siap?" tanya Lalisa berbisik padaku.

Siap dalam arti apa nih? Aku sih sudah siap menyiksa anak murid itu. Eh, tapi aku tidak sejahat itu kok.

"Siap!" jawab si Gibran kelewat ceria dan Lalisa menoleh sambil menyipitkan mata.

Bubaran upacara aku, Gibran dan Alva segera menggiring anak kelas 10-7 kembali ke kelas yang berada di lantai dua. Sistem perkelasan di sini anak kelas satu di lantai bawah, anak kelas dua di lantai dua dan anak kelas tiga di lantai paling atas.

"Sashi! Lo ke kelas dulu kek buat pemilihan struktur kelas," tiba-tiba seorang cewek bernama Nirmala datang menghampiriku, "kelas tuh nggak ada yang benar. Kayaknya lo doang yang rada benar."

Aku melotot, di belakang Gibran dan Alva tertawa geli. Maksudnya apa tertawa begitu?

"Benar gimana maksudnya nih? Emang anak cowok atau cewek nggak ada yang pintar? Yang udah berpengalaman aja, Mal."

Aku pernah satu ekskul sama Mala di Paskibra. Aku keluar sebelum berperang karena aku tidak suka diatur. Lagian sekolah ini tuh memilih anak ekskul Paskibra suka-suka.

Mereka menilai dari yang memiliki postur, gesture dan berbakat dalam baris. Anehnya aku terpilih jadi anak paskibra. Ya, besok anak-anak baru itu akan melakukan seleksi rahasia ekskul Paskibra yang dilakukan oleh anak OSIS yang merangkap anak Paskibra.

Mungkin arti dalam kata 'benar' itu aku pernah masuk ekskul yang seleksinya dilakukan rahasia tersebut.

"Itu dia. Anak kelas kita itu isinya Akbar, Okto, Jerry, Kemal, Dhika, Rando, sama Brian. Paling benar paling si Wira tapi lo tau kan dia jutek banget," kata Mala cemas.

BUSET.

Benar-benar kelas buangan, aku tahu nama yang tadi disebutkan oleh Mala, itu segenap nama anak-anak bandel yang hobinya bukan belajar. Apa aja asal bukan belajar, ngerusuh salah satunya.

Brian cowok mengerikan yang pernah aku temui di sekolah, dia misterius dingin bersorot mata tajam dan mirip psikopat.

"Ceweknya?"

"Lo, gue, Putri, Sera, Kiyna sama Wendy. Cewek cuma 6 orang. Lo duduk sama Putri karena dia nggak mau sama Sera, sedangkan Kiyna udah pasti sama Wendy."

Ya, Gusti Allah...

Gini deh akibat aku tidak ke kelas dahulu tadi pagi, kemarin aku hanya mencari namaku di kertas yang tertempel di kaca jendela tanpa melihat dulu siapa teman sekelasku. Darurat kemarin Lalisa keburu menyuruhku masuk kelas 10 karena seharusnya pengenalan sudah dimulai. Oke, aku terlalu santai ngobrol sama Dara jadi lupa waktu.

Teman sekelasku horor semua -yang cewek, dan yang cowok tidak kalah horornya. Mala tidak terlalu aneh hanya saja rambutnya mengembang kayak sarang tawon, dia baik dan bisa diandalkan.

Putri, cewek berambut panjang yang sok imut dan manja, suka teriak genit kalau digodain orang.

Sera, cewek itu pendiam luar biasa.

Kiyna dan Wendy sepasang murid cewek yang lumayan cantik , aku heran mengapa mereka bisa terdampar di kelas IPS 5.

Aku juga heran mengapa aku di sana, jadi hanya ada satu jawaban yang mewakili yaitu nasib.

***

"Lo pasti bisa jadi ketua kelas, Mal. Lo kan anak paskibra," ucapku meyakinkan Mala bahwa dia harus memegang kendali kelas selama aku menjalankan tugas negara dulu. Tatapan Mala berubah makin cemas.

"Di kelas juga ada anak baru, astaga lo harus lihat deh!" Mala menarik napas. "Gue kira dia bisa diandalkan, tadi pas upacara kelas kita diomelin karena anaknya pada telat ngumpul. Pas ditanya siapa penanggung jawabnya si anak baru langsung tunjuk tangan."

Aku terkesima. Sama sekali tidak ada firasat buruk. "Bagus dong udah ada calon ketua kelas. Sip."

"Gue belum selesai," katanya lagi.

Aku melirik Gibran dan Alva yang masih menunggu diriku, Gibran membuka mulut ingin komentar tetapi diselak lagi oleh Mala. Sepertinya Mala lagi panik sekali, ngomong tidak ada berhentinya.

Apa kau pernah mengalami suatu kejadian dan saat bertemu orang lain, kau akan menceritakannya tanpa henti? Mala sedang seperti itu, dia sedang butuh orang yang bisa mendengarkannya. Mala tengah berharap orang itu adalah aku.

"Anaknya rada stres dan absurd banget, Sas. Gue rasa dia rada gila."

Tiba-tiba Gibran tertawa pelan. Aku menoleh dia langsung sok sibuk, Alva menatap kami bergantian bingung.

"Emang dia gimana?" tanyaku penasaran.

"Cengengesan, hiperaktif, lari dan locat sana-sini. Ketawa nggak jelas. Aneh deh, tuh anaknya!" Tangan Mala terulur menunjuk kelas 10-7.

Seorang cowok tinggi separuh badannya masuk ke dalam jendela sehingga hanya menampakkan bagian punggung sampai kakinya.

Astaga! Itu cowok ngapain?

"Gue masuk kelas dulu ya, bentar lagi Pak Komar pasti masuk kelas." Mala pergi meninggalkanku.

Aku menoleh pada Gibran dan Alva, saat melihat kembali ke jendela di mana cowok tadi berada dia sudah tidak ada. Aku jadi penasaran siapa anak baru di kelasku.

💙💙💙

Jangan lupa klik vote sebelum ke part selanjutnya :*

5 Agustus 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top