Part 29

Pulang sekolah, di tangga aku sudah dicegat oleh Gibran, Alva, Denis dan Hanif. Mereka berjejer mirip personel One Direction

Aku menatapnya satu per satu. "Ngapain kalian di sini? Mejeng? Mau godain cewek lewat?"

"Sas, ikut yuk!" kata Denis dengan ekspresi merujuk.

"Apaan? Mau ke mana?" tanyaku curiga. Memang sudah lama sekali aku tidak ngumpul dengan mereka, mungkin mereka merindukanku, ya mungkin...

"Sombong udah jadi wakil ketua kelas!" seru Hanif asal, aku mendelik melempar tatapan apa-hubungannya. Dia hanya nyengir.

"Nongkrong sama Lalisa dan Dara," kata Gibran menjelaskan tanpa diminta.

Aku hampir saja nyeplos main melulu, tetapi harus ditahan takut terdengar oleh Arya yang tadi masih berada di kelas. Tadi dia memintaku agar keluar kelas duluan, aku menoleh ke belakang saat ke-empat cowok di hadapanku itu serentak menatap arah belakangku. 

Di belakangku, ada Arya dan Sera sedang mengobrol. Yup, aku tidak mungkin salah lihat mereka mengobrol. Sera tersenyum pada Arya dan saling mendadahi, dia berjalan menuruni tangga tidak menyapaku. Padahal kami teman sekelas kan?

"Ayo Sas!" Alva memecahkan keheningan membuat fokusku kembali pada mereka.

"Ke mana dulu?" tanyaku.

"Biasa," Denis menjawab cepat.

"Bawa motor nggak? Kalo nggak nanti sama gue, Gibran sama Lalisa, dan Dara sama Alva," ujar Hanif aku pun mengangguk setuju. Aku menoleh ke belakang untuk mencari Arya, dia berjalan mendekat.

"Mau ke mana?" tanyanya penuh selidik.

"Gue nggak pulang sama lo ya, mau main," kataku takut-takut. Arya menatap kami bergantian dengan ekspresi tak terbacanya, aku menunggu apa respons yang keluar dari bibirnya.

Satu kata tetapi mampu membuat jantungku berdegub kencang. "Ikut."

"Weh, tumben, ada apaan nih? Lo dulu susah diajak main, bro!" seru Denis sumringah.

"Ya udah sekarang makin rame deh, yuk ah keburu sore!" Alva menginterupsi menggiring rekannya agar segera turun. Hanif, Gibran dan Denis mengikuti cowok itu, Arya berjalan di belakangku dalam diamnya.

Langkah kakiku yang kecil tidak bisa mengimbangi ke-empat cowok itu yang sudah jauh beberapa langkah, Arya tidak mengikutinya dan mengimbangi langkahku yang pelan-pelan menuruni tangga.

Tanganku digenggam oleh cowok itu, aku menoleh padanya dengan tatapan bertanya. Dia berbisik pelan. 

"Marah ya?"

"Nggak," jawabku cepat. Aku melirik ke punggung lainnya yang sudah belok ke koridor bawah, aku mendesis. Arya masih menatapku datar. "Kenapa harus marah emangnya?" lanjutku. Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.

"Kirain marah abis pas ngelihat gue sama Sera, tadi kayak bete gitu, beneran nggak marah?" Saat di koridor dia melepas tangannya, ada perasaan tak rela saat dia melepasnya. 

Eh, jadi mauku apaan sih, dipegang geli, dilepas kesal.

"Nggak."

"Ini mah marah beneran deh. Cuma ngomongin kerja kelompok," ucapnya meyakinkanku. "Sera bilang ngerjainnya besok di rumahnya."

"Oh, terus besok latihan bandnya gimana?" tanyaku penasaran. Di rumahnya. Berdua saja. 

Aku hanya tersenyum kecut. Kalau cewek itu bukan Sera --misalnya Mala-- aku tidak perlu kesal begini, apalagi aku sudah tahu cewek itu naksir Arya.

"Sore. Yang lain juga mau ngerjain tugas dulu, lo sama Akbar gimana? Kalo ada kesusahan kabarin nanti gue bantuin nyari," kata Arya menawarkan bantuan. Dia juga meragukan Akbar rupanya.

Tunggu, besok kan Gibran mengajakku pergi ke bioskop? Aku akan mengatur jadwalku lagi dengan Gibran, lalu kerja kelompok dengan Akbar agar bisa adil.

"Kok diem?" Arya menyenggol lenganku. Ternyata kami sudah berada di parkiran, berjalan sambil ngobrol ternyata tidak terasa. Di parkiran Lalisa dan Dara melambaikan tangan sambil memakai helm. Arya menyodorkan helm padaku. "Sas?"

"Oh, iya! Gue sama Akbar belum tahu nih, tuh bocah ngilang mulu. Nanti gue sms aja. Palingan besok siang, apa nggak via e-mail. Dia pasti susah disuruh kerja kelompok." Aku mendecak kesal.

Arya membantuku memakai helm, terlalu asyik dengan dunia sendiri, aku baru menyadari Denis sudah cekikikan menggoda. "Aliando Prilly mesra banget!" celetuknya.

Aku menoleh melempar tatapan buas ke arahnya. "Berisik!" Arya hanya tersenyum simpul, menahan tawa.

"Mau ke mana sih emang?" tanya Arya pada Denis.

"Parah. Lo main ikut aja nggak tahu mau ke mana, ke toko kuenya Hanif woi! Tahu nggak?" balas Denis sengit.

"Tahu kok, ya udah sampai ketemu di sana!" ucap Arya terasa asing bagiku, maksudnya apaan nih?

"Eh, awas lo ngebut bawa cewek tuh! Bawa motor kayak orang gila ngilang mulu," ucap Denis membuatku bingung. Arya tertawa pelan.

"Kalian aja yang pelan banget bawanya!" sahut Arya nge-sok. 

Selama aku diboncengi Arya sesekali dia memang ngebut banget, tapi kalau cowok macam Denis mengatakan Arya bawa motor kayak orang gila entah mengapa aku jadi curiga dan takut.

"Anjir! Kita ber-empat udah cepat ngebut banget tapi lo nggak ke-kejar. Untung kita tahu tempatnya, tck!" umpat Denis.

"Kalian pernah ke mana?" tanyaku.

Denis dan Arya hanya tertawa sumbang, aku semakin penasaran, tapi Denis keburu ngeloyor menuju motornya sambil melambaikan tangan. Aku kesal dia tidak mau menjawabnya, aku menoleh pada Arya yang masih cengengesan.

"Bener yang dibilang Denis? Jangan suka ngebut!" seruku tak suka.

"Gue nggak bakal begitu kalo sama lo. Kalo bawa sendiri sih bisa aja, soalnya lo berat." Dia tertawa menggodaku, gaya tawa yang begitu menyebalkan. Aku menonjok lengannya.

"Nyebelin! Gue nggak berat, cuma—cuma..., ih, gue nggak gendut!!" Aku memukuli tangan Arya bertubi-tubi.

"Iya—iya tapi berisi! Aw, jangan mukulin, sakit juga!" Arya menangkap kedua tanganku dan digenggam. "Hayo, udah nggak bisa mukul," katanya. 

Dan aku lagi-lagi membatu, kami bertatapan dengan situasi yang aneh. Oke, aku memakai helm dan dia juga. Kami jadi seperti capung pacaran.

"Buruan!!!" Kami dikejutkan oleh teriakan nyaring Lalisa, dia mengacungkan kepalan tangan pada kami sambil duduk di belakang Gibran. Ternyata kegiatan kami kepergok oleh mereka, Dara yang dibonceng oleh Alva tertawa usil.

"Yuk naik," kata Arya menarik tanganku, membimbingku agar segera naik ke belakangnya. Aku mengangguk mengikuti perintahnya. Dari ekor mataku mereka semua sudah pergi dari parkiran. Tangan Arya memaksa agar tanganku memeluk pinggangnya lagi.

Aku teringat sesuatu. "Ar, Novan pulangnya gimana?"

"Gampang. Dia lebih milih sama Astar daripada tawaran gue."

"Lo yakin dia bakalan langsung pulang? Kalo pulang sama lo, bisa lo awasin," ucapku.

"Astar bohong gue jotos. Kalo jam segini Novan belum pulang pasti ibu nelepon, tapi ini nggak. Jadi dia udah sampe rumah dengan selamat. Jadi, lo tenang aja, Sas. Lo kenapa sih malah khawatir sama dia?"

Aku meneguk ludah takut. Lagi-lagi aku mencurigakan. "Gue takutnya lo kena hukuman lagi karena main mulu."

"Selama nggak bikin gara-gara kayaknya aman! Cie, perhatian."

Sekali lagi aku menonjok punggungnya. "Geer!" Aku juga takut hubungan kami tercium oleh Novan, habis gelagat Arya yang tidak mau lepas dariku –eh kok kesannya aku sok cantik banget—bisa mencurigakan Novan.

Aku bisa menerima alasan Novan yang lebih memilih berangkat dengan ayahnya naik mobil, daripada ngaret bersama Arya. Tapi, saat cowok itu lebih memilih pulang bersama Astar daripada Arya membuatku mencium sesuatu. 

Apa Novan lagi kesal, mengira Arya yang membocorkan rahasianya itu pada sang ayah? Soalnya gelagat Novan kayak remaja labil yang lagi ngambek gitu. Sepertinya Novan memang lagi kesal dengan Arya.

💙💙💙

Bsok jdi gak? Gue ada tugas klompok bu Yuni.

Aku mengirim sms pada Gibran sambil menenggak segelas susu cokelat dan mengeringkan rambut habis mandi. Setelah itu jariku menekan aplikasi BBM, mencari nama Akbar.

Tugas ekonomi gimana?

Tidak berapa lama ada pesan masuk dari Akbar. Gibran sok sibuk sekali tidak langsung membalas, cowok itu jarang lepas dari ponselnya, baca webtoon atau main game. Berarti lagi fokus di antara dua itu.

Via email aja, gue plng sklh lngsung nyari d hp, gue gak bisa klo harus kerja klompok di rmh lo, soalnya sibuk mau latihan squad bwt lomba. Sori y.

Aku keselek susu cokelat yang sedang aku minum.

Sashi K: Ok lah, jgan ngaret. Lomba apaan dah? Gaya bgt

Akbar: Sip, lomba beatbox. Hehe

Sashi K: keren!!!! Mangats!!!

Akbar: skalian ltihan mulut buat porseni

Aku tidak membalas lagi pesan Akbar karena balasan dari Gibran muncul via Line. Aku tidak mengerti mengapa anak itu suka muncul di aplikasi yang tak terduga. Aku jarang memakai Line, di sana cuma ada grup anak OSIS.

Gibran Evans: Wess, jadi dong. Mulai jam 11. Jam 10 otw dr sklh ya

Sashi K: Hm, yowes. Ok

Gibran Evans: Gue mau nanya deh, lo ada apa si sama Arya?

Sashi K: Ada apa dengan Arya? Kayak judul film.

Mampus!!!! 

Kenapa Gibran bertanya sesuatu yang begitu aneh, dan tidak biasanya dia kepo. Memang sih salahku dan Arya yang suka tidak tahu tempat, risiko backstreet, dan kami suka bertingkah aneh yang mencurigakan.

Gibran Evans: Serius. Lo mulai suka sama dia?

Sashi K: Kok lo jadi kayak uya kuya interogasi gue

Gibran Evans: Soalnya lo kayak jaga jarak sama gue, bener gak? Lo berubah banget, gak kayak dulu yg suka ngajakin gue nyari kucing

Sashi K: Hm, skrg sibuk Gibs

Gibran Evans: Makanya gue pengen kayak dulu lagi

Sashi K: Sama Lalisa dan Dara masih baik-baik aja kan?

Gibran Evans: Masihlah. Sama lo yg gak baik-baik saja, sombong

Sashi K: Maap -_- kapan jdian sama Dara, nunggu peje nih.

Gibran Evans: Peje dr hongkong. Siapa jg yg mau jdian

Sashi K: Lo dong, kan lo suka sama Dara? Kalian kan dekat suka goda-godaan jg, pasti lo baper suka sama dia. ya kan? Udah Gibs tembak buruan, kalian bakal jd hot couple.

Gibran Evans: Apaan dah -_- org gue sukanya sama ... kepo kan lo?

💙💙💙

Sesuai rencana siang ini selepas kami dipulangkan pukul 10, aku dan Gibran akan ke mal setelah istirahat sebentar di pinggiran lapangan. Tadi Arya berpamitan padaku harus cepat-cepat pergi ke rumah Sera supaya tugasnya cepat diselesaikan, dan sore harinya diwanti-wanti oleh anak band kelas kami tidak datang terlambat.

Begitu suasana sudah sepi, Gibran baru mengajakku pergi menuju parkiran, lantas aku teringat sesuatu. 

"Lalisa mana? Kok nggak kelihatan?"

Gibran yang lagi menyalakan motornya menoleh. "Pergi kerja kelompok sama Ramon. Nyeremin ya mereka satu kelompok?" ucap Gibran bergidik, aku juga jadi ikutan bergidik.

Ramon adalah wakil ketua OSIS yang punya ambisi bersaing dengan Lalisa, sayangnya dia selalu kalah dengan Lalisa. Dia adalah rivalnya Lalisa dalam segala hal, Lalisa cuma pernah kalah dengannya di kategori ketua kelas. Yup, ketua kelas 12 IPA 1, kelas dengan kasta tertinggi itu dipimpin oleh Ramon Vinora.

"Anak kelas itu emang nyeremin semua kan," aku mendecak.

"Iya, eh, lo nggak jadi kerja kelompok?" tanya Gibran sambil memakai helm, dia menyerahkan helm milik Lalisa padaku. 

Aku memakainya dengan susah payah, aku memang tidak bisa mengunci helm. Tidak seperti Arya, Gibran tidak membantuku memakai helm. Hatiku tiba-tiba nyeri membayangkan Arya akan memasangkan helm pada Sera. Perhatian cowok itu tercurah pada cewek lain, aku sedih.

"Via email. Akbar sok sibuk." Aku menekan di akhir kalimat. Gibran menyeringai kecil. Dia juga mentertawai nasibku yang harus bekerja sama dengan si kebluk Akbar.

"Sabar ya!" Hanya itu yang keluar dari bibirnya, dan itu menyebalkan. Aku mendesis.

Perjalanan dari sekolah ke mal tidak terlalu lama hanya 30 menit, setibanya di bioskop Gibran langsung membelikan dua buah tiket. Pantas saja dia ngotot ingin menonton ternyata filmnya versi 3D. 

Aku tidak tahu ini film jenis apa, judulnya Fire. Sepertinya action, aku sudah membayangkan menonton film action seperti dikejar-kejar sungguhan pasti akan membuat andrenalin berpacu kencang.

"Ini film adaptasi dari novel, komik, dan anime, Sas. Makanya gue pengen nonton. Gue punya seri-nya," cerita Gibran sambil menunggu pintu bioskop terbuka.

"Gila! Ceritanya tentang apaan?" Kami berdua duduk di kursi yang bertebaran di sekitar bioskop.

"Ada deh, nanti lo nonton aja dijamin puas dan seru." Dia tersenyum miring, menambah kesan sok misterius.

"Apaan? Ngaku deh! Gue jadi curiga ni film horror dan nyeremin, thriller yak?"

"Bukaaan, rahasia dong. Udah nonton aja! Eh, udah kebuka tuh yuk masuk," kata Gibran menarik tanganku.

Dia menggenggam tanganku membawa ke kerumunan penonton yang memadati pintu bioskop nomor 2. Aku tersentak saat melihat tangannya yang besar menggenggam tanganku, kemudian aku segera menariknya. Dia terlihat bingung.

"Kenapa?"

"Tangan gue keringetan," kataku bohong lalu mengusap tangan di jaket. Gibran nyengir kecil.

"Dasar! Deg-degan ya dekat gue, asal jangan ngilang aja lo, jangan jauh-jauh dari gue!" Pesannya, aku mengangguk pelan.

Dia nggak boleh menyentuhku, ya dulu aku bisa saja membiarkan dirinya melakukan hal-hal yang manis padaku. Karena kami hanya berteman, tapi sekarang aku sudah memiliki pacar, meski dia tidak bisa melihatku sekarang, tetap perasaan bersalah pasti ada jika aku membiarkan Gibran melakukan hal tadi.

Sekarang aku baru tersadar, aku sedang jalan sama cowok lain yang bukan pacarku. Aku tidak izin pergi, dan mengatakan dengan siapa aku perginya. Ya, aku tahu hubunganku dengan Gibran hanya sebatas teman. Tapi tetap saja aku cewek, dan dia cowok.

Sebelum film berputar aku menyempatkan diri mengirim pesan pada Arya menanyakan dia sedang apa dan gimana tugasnya. 

Sebuah balasan datang dari Arya mengatakan dia sedang mengerjakan tugas materinya, yang ada di buku diketik semua, digabung pula dengan materi yang ada dari internet. Dia juga mengatakan sudah mencarikan materi tugasku dan mengirimnya lewat e-mail, masih acak-acakan dan bahan mentah. 

Aku mendesis, aku sudah membohongi cowok sebaik Arya.

💙💙💙

A/N:

Fire!!

Fire!!

Gimana chapter ini?

25 September 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top