Part 22

You say good morning when it's midnight

Going out of my head, alone in this bed

I wake up to your sunset

(Simple Plan - Jet Lag)

Arya terus menyanyikan bagian itu berulang-ulang sejak keluar dari rumahku sampai memarkirkan motornya di garasi rumah Lalisa. Meski saat berkendara dia memakai helm, aku yakin sekali dia masih menyanyikan lirik itu. Setelah Arya mengungkapkan perasaan anehnya itu aku segera menyadarkannya dalam keheningan panjang. Aku pamitan mengambil tas dan handphone di kamar.

Begitu kembali pada Arya, cowok itu seperti ingin mengatakan sesuatu lagi –pasti akan membahas mengenai perasaanku padanya seperti apa. Ini tidak bisa dibiarkan, sudah di luar batasku. Aku tidak bisa menerima risiko kami akan sama-sama jatuh ke lubang yang lebih dalam. Aku dan dia sama-sama tahu bahwa seharusnya kami menjaga jarak. Arya jangan sampai tahu kalau aku tahu aturan yang om Gio buat untuk dirinya. Itu lebih baik. Agar bisa menjaga hatiku dan hati Arya. Aku tidak tahu dengan baik tentang perasaanku padanya. Tapi ini terlalu cepat. Bukannya terlalu cepat, apa ya ... aduh, aku masa menelan sendiri semua sumpah yang sudah pernah kulontarkan? Aku anti Arya, masa aku menyukainya? Tidak mungkin. Tidak boleh.

"Gue bikin lo jadi bete ya gara-gara pernyataan perasaan tadi? Jangan diambil pusing. Lo pasti kaget dan butuh waktu buat menerimanya, semoga nggak mengecewakan gue." Arya hendak mengetuk pintu rumah Lalisa lalu tertahan lagi, dia kembali menoleh padaku. "Kalo jadi kaku gini aneh ya, jangan diam aja dong, Sas! Gue lebih kerasa kalo lo bentak atau sinisin gue."

"Bawel banget!" seruku sambil menarik ujung hidungnya yang besar dan mancung. Sialnya, pintu rumah terbuka. Di sana muncul wajah om Ervan.

Jeng...

Jeng...

"Ya ampun, ada tamu!" serunya dengan nada tetap datar.

Aku menarik tangan yang masih menempel di ujung hidungnya Arya dengan gerakan kikuk, lalu aku melempar senyuman lebar. "Sore, Om. Lalisa ada?" Aku menarik paksa tangan Om Ervan menyalami tangannya, lalu Arya mengikutiku.

"Ada. Ada apa nih rame-rame, minta sumbangan?" tanya Om Ervan.

Kami berdua berhenti pasang senyum palsu kompak menatap wajah Om Ervan yang masih menampilkan ekspresi masamnya.

"Bercanda kok!" Tangan besar Om Ervan menepuk-nepuk bahuku dan Arya dengan gaya kebapakan. Kami berdua kontan nyengir lagi. "Udah lama nggak pada ke sini, Om jadi pangling. Arya, kayaknya berat kamu nambah. Sashi, rambut kamu kayaknya nambah beberapa senti. Udah lama nggak ke sini, tau-tau kalian jadi pacaran? Wah!!" Tatapan Om Ervan penuh selidik.

Eh apaan nih? Aku dan Arya menoleh bersamaan dengan ekspresi horor.

"Terakhir ketemu lebaran, Om. Kemarin kurus karena puasanya puolll!" sahut Arya pongah.

"Aku ke sini terakhir beberapa minggu setelah tahun ajaran baru, masa lupa Om?" tanyaku balik.

"Dulu kamu sering ke sini. jadinya berasa udah lama nggak ketemu kalo kamu nggak main, main dong! Temenin Om main catur sama liat koleksi buku Om. Lalisa cerita nggak ada perpustakaan sekarang di rumah? Kalo nyari buku ke sini aja," kata Om Ervan.

Aku tahu bukunya pasti tidak akan jauh dari buku Kimia, atom, partikel dan nuklir yang biasa aku liat dipegang oleh anaknya. Anak gadisnya. "Aku anak IPS, Om."

"Oh." Om Ervan membeku lalu menatap Arya. "Kamu?"

"Sama. Sekelas." Arya merangkul bahuku dengan senyum semringah. Aku menepis tangannya yang nemplok di bahuku, gayanya seperti anak bocah SD.

"Halo!!! Eh, ya ampun!! Ada Arya!!! Sashi!!!!"

Tante Elyn menerobos keluar setelah berhasil menyingkirkan tangan Om Ervan. Tante Elyn lalu memelukku dan memberi kecupan di pipi kanan dan kiri. Beliau melakukan hal yang sama pada Arya. Arya tidak bisa menghindar malah memejamkan mata saat Tante itu mengecup pipi kanan, kiri, dan bonus di kening Arya, lalu tertawa cekikikan bahagia. Arya seperti menikmatinya.

Aku dan Om Ervan melihat adegan barusan dengan rahang melorot. Wajah Arya sudah memerah bahkan sampai ke telinganya. Dia meringis kecil padaku.

"Ma...," Om Ervan berubah semakin kecut. Aku meneguk ludah.

Ow...ow...

"Eh, masuk yuk masuk! Tante bikinin minum. Kalian barengan ya sekarang apa kebetulan?" Tante Elyn mengamit tanganku dan Arya menarik kami masuk ke dalam rumahnya. Om Ervan terpaksa minggir dari pintu karena istrinya itu memaksa masuk sambil menarik kami berdua. "Papa nggak sopan nih, ada tamu diinterogasi dulu kayak satpam bandara! Lalisa!!!! Gibran!!!!!!"

Aku dan Arya duduk di sofa ruang tamu, sementara orang tuanya si kembar cetar itu duduk bersama kami. Duh, aku tuh kikuk kalau dibiarkan bersama orang tua. Apalagi kalau mereka tahu sekarang aku nongkrong di IPS 5. Malu.

"Mereka pasti lagi asyik main scrabble. Kalian tunggu sebentar ya, ngobrol sama kita aja dulu. Tante kangen sama Arya dan Sashi. Kok kalian bisa barengan? Arya kamu pindah ke Esa Unggul? Ngapain pindah? Mending di Semar aja, jadi satu almamater sama tante dan om. Ayah kamu lulusan Semar loh padahal. Gio kabarnya gimana?" cerocos Tante Elyn membuat kami pusing.

"Satu-satu, Ma. Tuh liat mereka pusing tujuh keliling," kata Om Ervan menengahi.

"Aku sama Sashi sekarang sekelas, Tan." Omongan Arya membuat Tante Elyn menganga takjub. "Kelas 11 IPS."

"IPS berapa? Gibran di IPS 4. Nggak sekelas ya, dia nggak pernah cerita."

Aku dan Arya saling melirik kikuk. Masih jadi misteri mengapa Gibran yang kelihatannya tidak lebih pintar dariku malah masuk IPS 4 sementara aku terdampar di IPS 5. Om Ervan pasti menyadarinya.

"Kami IPS 5," ucapku lugas.

"Oh, IPS 5. Kelas terakhir itu kan ya?" respons Om Ervan, lebih baik dari yang aku bayangkan. Aku kira dia akan bergidik jijik atau menjerit heboh. Om Ervan salah satu donatur sekolah pasti tahu betul reputasi kelas tersebut.

Ehem....

"Wah!" Tante Elyn tersenyum semringah. "Sekolah sekarang kelasnya banyak ya, Pa."

"Iya, Tan. Kelas terakhir tapi nggak seperti yang dibayangkan kok," jawab Arya percaya diri.

Asisten rumah tangga datang mengantarkan minuman, Arya langsung menyeruput mug putih yang berisi teh manis hangat tersebut tanpa babibu. Aku juga melakukan hal yang sama. Anggap saja rumah sendiri.

"Ya udah sih nggak pa-pa masuk kelas terakhir. Dulu orang tua kamu juga masuk kelas terakhir." Lanjut Om Ervan.

Akibat dari minum saat orang tua sedang berbicara kami tersedak berjamaah. Aku batuk-batuk hebat. Sepertinya aku tidak salah dengar, jadi orang tua Arya sekelas dulunya? Masuk kelas terakhir juga? Jadi menurun ke Arya? Aku ingin tertawa saat ini juga. Tidak tahan lagi aku malah tertawa sambil batuk-batuk. Pemandangan yang begitu menggelikan. Kakiku di bawah meja ditendang oleh Arya. Cowok itu melotot lalu berdeham kecil.

"Kayaknya emang tradisi yayasan sekolah gitu ya, Om? Pake kasta kelas." Aku tersenyum kecut.

Om Ervan mengangguk. Tante Elyn tersenyum lebar. "Iya, dulu kelas Tante—"

"Kelas mereka kayak kelasmu dulu, Ma. Banyak biru-nya," ledek Om Ervan dengan sinis.

Biru adalah biang rusuh.

"Tapi bakalan seru dan berkesan, jangan masuk kelas yang isinya predator nilai doang! Nggak seru, jadi tertekan, kurang bahagia dan menyesal di hari tua karena masa sekolahnya menyedihkan! Pokoknya kalian seru-seruan aja di kelas itu, oke?" Tante Elyn mengajak kami ber-high five. Ternyata kami sejenis, satu kaum. Aku jadi senang, entah mengapa ternyata bukan hanya aku saja yang pernah mengalami mimpi buruk.

"Iya, Tan! Arya ketua kelasnya! Serahkan sama Arya! Kami pasti bakal berjuang!" Arya menepuk dadanya angkuh.

"Ehem. What do you mean, Baby?" tegur Om Ervan membuat kami berhenti teriak-teriak. Tante Elyn menoleh lalu cengengesan penuh arti. "Ya, masa sekolah itu nanti bakalan menjadi kenangan saat tua nanti. Makanya, banyak belajar dan jangan main mulu. Oh ya, kalian emang nggak ada rencana mau jadi dokter juga?"

Emang kami ada tampang calon dokter di masa depan, Pak?

💙💙💙

"Jadi gimana?" Lalisa menatapku dan Arya.

"Baru tiga puluh. Anak kelas gue, kalian, dan Novan." Arya mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasnya.

Aku melirik Gibran yang asyik nonton bola sambil ngemil kentang goreng. Abaikan saja kudanil terdampar itu. Aku ada urusan sama Lalisa dan Arya, jadi lebih baik memanfaatkan waktu biar urusan petisi sore ini cepat kelar. Dan aku bisa secepatnya pulang, buat jalan sama Arya.

Eh, apaan sih kok aku jadi ngaco! Nggak—nggak. Aku nggak ngarep jalan sama Arya kok. Aku ngomong apa sih kok jadi ngaco!

"Duh, nyari siapa lagi ya? Anak-anak kelas gue tuh, nggak bisa diarepin. Ketua kelasnya Ramon nggak bisa diarepin. Kalian pasti tau tu cowok sengak banget! Tapi gue bakal usahain deh pake cara gue."

Pake cara gue. Kalimat tersebut membuat aku dan Arya tersentak kaget.

"Lis, jangan menekan atau memaksa anak murid. Nanti kalo ada yang ngadu dan dipermasalahin ke rapat komite lebih kacau lagi!" oceh Arya.

"Pake cara gue sebagai ketua OSIS. Diplomatis. Nanti gue usahain nyebar ke anak OSIS dan MPK. Gue minta 30-an deh. Sisanya urusan kalian," kata Lalisa. Jalur diplomatis ala Lalisa itu yang gimana ya?

"Dikit banget 30. Lo 50 dong, Lis. Lo kan terkenal, cantik, baik, lucu, gemesin, banyak yang naksir, ditakut—" Arya baru berhenti ngoceh saat aku mencubit pinggangnya.

Lalisa sudah melotot di depanku hendak protes. "Oke bagi rata. 35. Kalian juga usaha dong, itu kan urusan kelas kalian! Kalo nggak mau ya udah, kalian pulang sana!!" serunya ketus.

Gibran tertawa dengan pandangan masih menatap layar TV, apaan sih nonton aja pake nguping segala!

"Tiga puluh lima ya. Gimana, Sas?" Arya menoleh padaku.

"Gimana lagi. Nanti gue juga bantu nyebar kok, tenang aja!" Aku mengelus pundak Arya memberi keyakinan, cowok itu memandangi tanganku yang nemplok di bahunya. Aku tersadar segera menarik tanganku dari bahunya.

Pertama, jangan baper.

Kedua, jangan bersentuhan.

Arya tersenyum. "Ya udah. Tapi, Lis, lo yakin nih bakalan semua tanda tangan? Emangnya mereka nggak menganggap kelas kita lebay?"

"Namanya juga usaha! Hm, emang sih pasti rada susah. Mereka paling anti kalo berurusan sama kelas IPS 5. Emang perlu dirukiyah anak-anak itu. Mereka cuma terpengaruh sama sistem. Buktiin sama Bu Ari, kalo kita bisa. Ya nggak, Sas?" Lalisa memandangiku dengan alis menukik.

Aku tersadar dari lamunan anehku. "Ah, iya, bener." Aku tersenyum, palsu.

"Besok jadwal senam anak kelas 10-7. Sashi bisa nyebarin ke kelas itu. Lo pernah MOS mereka pasti gampang! Inget jangan sampe bikin masalah," ujar Lalisa tegas.

"Ada Novan juga. Sekiranya 20 anak dapatlah, gimana, Sas?" tanya Arya menyenggol lenganku.

Lagi-lagi kepergok melamun. "Iya—iya. Duh bangun pagi deh!"

"Gue jemput dan temanin. Eh—tapi pasti Novan minta anterin sama gue, gimana janjian di sekolah aja?" Tawar Arya, dan aku mengangguk.

"Oke. Selamat berjuang! Kita bakal perjuangin hak kalian ini!" seru Lalisa antusias.

"Eh, apa sih motivasi kalian perjuangin kelas 11 IPS 5?" Gibran tiba-tiba bersuara, kami menoleh bersamaan ke arahnya.

"Masa IPS 5 bengong aja selama dua minggu?" sahut Arya membuat alis sebelahku terangkat. Ya, mungkin itu hanya alasan yang bisa mewakilinya. Orang-orang mungkin tidak akan memahami bagaimana rasanya melihat sesuatu yang tidak adil berada di depan mata. Tapi aku menyadarinya.

Dan, aku ingin mengubahnya.

💙💙💙

13 Sept 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top