Part 20
Saat aku dan Arya masih asyik menonton video dance dan rap yang berputar di layar ponsel Arya, kami dikejutkan oleh kemunculan anak kelasku dari pintu kelas yang datang berbondong-bondong.
Kami menoleh bersamaan ke pintu yang terbanting keras. Ada apa ini? Aku memandangi raut wajah mereka yang kusut, bete, tak berenergi dan ditekuk menunduk.
Aku mengamati sosok cowok yang memakai earphone melewatiku dengan tatapan dingin. Brian melewatiku untuk pergi ke kursinya. Kemarin cowok itu sempat agak ramah membalas tatapanku, tidak tersenyum dan hanya menatapku. Tapi aku bisa menganggap itu sebagai prestasi baru. Sebelumnya cowok itu langsung buang muka, fokus membaca buku pembunuhannya itu seakan aku tidak penting untuk diajak berteman.
Putri duduk di kursiku sambil menundukkan kepala lesu. Kelasku sudah terisi penuh sekarang. Arya mengerutkan dahi saat Wira menatapnya dengan sorot aneh. Dia mengangkat dagunya meminta penjelasan.
"Sashi! Arya! Udah lihat mading?" tanya Indra. Aku jadi membalikkan tubuh menoleh ke belakang.
"Kenapa?"
"Kelas IPS 5 didiskualifikasi dari Porseni. Gara-gara—"
"Gara-gara?" beoku bingung.
Indra mendesis, lalu menatap Arya dengan sorot aneh. Dia kembali ke kursinya tanpa memberi penjelasan apapun. Aku hendak bangkit untuk mengejar Indra tapi Putri menahanku dengan menarik tanganku.
"Kelas kita didiskualifikasi gara-gara ada yang kena kasus pengeroyokan anak SMA Darmawan. Lo pasti tau berita itu kan?" ucap Putri dengan penegasan. Suaranya dingin membuatku langsung kikuk.
"Hey! Itu kan salah mereka! Arya! Apa ada sesuatu yang nggak gue tau?!" Aku bangkit dari posisi duduk berderap mendekati Arya yang sudah kembali ke kursinya. Dia sedang berbicara serius pada Wira.
Setahuku Akbar dikeroyok oleh sekumpulan anak SMA Darmawan, lalu Arya dan Astar datang membantu mereka. Menurut cerita Arya tadi, lima orang di antaranya masuk rumah sakit. Helo! Itu seharusnya kesalahan anak SMA Darmawan yang mengeroyok Akbar. Aku juga tidak tahu sih apa sebabnya, tapi komposisi pelaku kejadian tersebut kan seperti 10:1. Ditambah Arya dan Astar juga komposisinya masih banyakan murid SMA Darmawan tiga kali lipat. Sebenarnya apa yang terjadi?
Aku berdiri di depan meja Arya, saat ingin menyemprot cowok itu lagi, di pintu muncul wajah Akbar –khas preman dan menyeramkannya itu. Arya menatap aku dan Akbar bergantian.
"Sashi, maaf." Arya berujar dengan suara lirih.
"Gue butuh penjelasan!!" pekikku keras pada Arya lalu tatapanku tertuju pada Akbar yang masih bergeming dengan sorot tak terbacanya. "Kalo kita didiskualifikasi gara-gara kalian bikin masalah gebukin anak SMA Darmawan, harusnya kelas Astar juga!"
"Nggak! Kelas Astar tetap ikut. Karena—"
"Jelasin sama gue cepetan!!!" bentakku keras sampai keheningan terasa di belakang punggungku. Aku tidak mau menoleh ke belakang. Tidak berani menatap wajah anak kelasku yang sudah mengubah pandangannya padaku. Bodo amat! Aku kalau kesal emang seperti ini.
"Sini!" kata Akbar menarik tanganku keluar dari kelas.
Aku melihat Arya berdiri ingin mengikutiku tetapi Akbar menyuruhnya agar tetap di kelas saja membuka pelajaran pertama. Ya, Arya lebih baik di kelas saja. Apalagi hari Jum'at Pak Komar bakalan cuap-cuap tentang kelas kami. Bila ketua kelasnya kabur entah mengapa, pas balik kami bertiga bakal dijadikan dendeng tuna.
Akbar membawaku ke pojok koridor, tepat di depan gudang kursi. Dia menyuruhku duduk di salah satu meja yang ada di depan gudang tersebut. Dia tidak langsung bercerita malah menyandarkan punggung di tembok dan melipat tangan depan dada. Gaya yang menyebalkan.
"Lo mau nanya apa? Gue jawab." Suara bass Akbar terdengar.
"Jelasin buru!"
"Males. Lo kira lagi interview kerja. Udah lo nanya aja, nanti gue jawab," katanya.
"What the hell!" umpatku kesal sambil memutar kedua bola mata. "Kenapa lo berantem sama anak Darma?"
"Hm. Pengen aja sih. Nggak ada kerjaan," jawabnya menyebalkan. Aku menghentakkan kaki kesal. cowok ini berhasil membuat emosiku makin berkobar.
"Serius!"
"Gue ada urusan sama satu orang doang, musuh dari SMP. Ck. Mereka emang sialan—"
"Pst! Jangan mengumpat! Terus abis kejadian itu gimana? Kalian ketangkep polisi nggak?" tanyaku.
Akbar mendecak kesal. "Nggaklah. Kabur ke rumah Astar. Ternyata tuh anak Darma lukanya parah juga sampe masuk rumah sakit. Ah, udahlah, Sas. Gue malas ngomongin lagi."
Aku masih tidak puas. Aku harus tahu masalahnya sampai sejelas-jelasnya. Masalah mereka masih abu-abu, kenapa bisa mereka kena skors padahal mereka berhasil kabur! Apa ada pengadu, seseorang yang melapor ke sekolah ini? Terus sampe kelasku didiskualifikasi sebelum acara porseni itu benar-benar mengesalkan!
"Kalo malas ngomongin lagi, kenapa tadi ngajak gue keluar seakan mau menjelaskan? Nggak jelas banget lo! terus sekarang gimana?"
"Gue cuma pengen lama-lama berdua sama lo, Sas. Ehem, nggak tau dah! Nunggu keputusan Arya aja," ucapnya santai membuat mataku melotot sempurna. Aku mencerna ucapan aneh Akbar dan bingung. Cowok itu menoyor dahiku pelan. "Pantas aja nggak jadi-jadi. Jadi cewek peka dikit kek!"
Ish. Aku mengusap keningku yang tadi didorong pelan oleh Akbar. Aku melotot ke arahnya siap marah. Dia mendesis. "Balik sono ke kelas. Gue udah malas mau cabut! Izinin gue ya!"
"Ih, enak aja, masuk kelas!! Abis bikin kelas kena diskualifikasi, lo mau cabut??! Hebat!!!" seruku keras.
Aku maksudnya kami kembali ke kelas, aku berhasil mendorong paksa Akbar agar masuk ke dalam kelas. meski cowok itu merengek malas masuk kelas, kami berdua disambut oleh Pak Komar dengan hangat. Pak Komar sedang panas-panasnya. Bukan hangat lagi, tetapi panas.
💙💙💙
"Bakso enak nih!" Kiyna berseru sambil melirik padaku.
Cewek itu dan Wendy mulai ramah padaku sejak aku membeli risoles buatannya. Aku tidak paham maksud ucpaannya saat mengatakan kata tersebut. Dia sedang membereskan kotak bekas usaha risolesnya yang sudah kosong. Wendy menghitung lima ribuan yang terkumpul dalam genggamannya.
Entah mengapa anak cowok kelasku ketagihan makan risoles mahakarya mereka. Mengingat anak cowok jarang nongkrong di kantin –semua anak di kelasku memang jarang suka nongkrong di kantin. Kami mengalami diskriminasi yang cukup parah. Saat kami duduk di kantin pasti mendapat lirikan tajam dari anak kelas elite. Aku dan Arya hanya sekali makan di kantin, itu saja ditemani Lalisa dan Gibran. Kalau tidak ada mereka, mungkin kami bakal dicibir dan diketawain dari jauh.
Setelah Lalisa dan Gibran pergi adalah akar dari gosip Arya dan Sashi. Aku baru menyadarinya bahwa kantin merupakan tempat yang menyeramkan, sumber gosip. Anak cowok kelasku tidak ada yang duduk di kantin, mereka lebih suka beli lalu makan di kelas. alhasil usaha risoles Kiyna dan Wendy laku pasaran di kelasku. Daripada kelaparan.
"Wendy jajanin kita napa!" seru Mumud dari belakang.
Aku mengunyah potongan otak-otak bekalku dengan susah payah, kalau cowok itu ngomong aku tidak bisa menahan agar tidak tertawa.
"Bosen jajan gitu mulu. Mau mie ayam, tapi mager! Kantin udah kayak markas mafia!" celetuk Malik menimpali.
"Risoles emang kurang? Besok gue bikin porsinya dua kali lipat!" seru Wendy sambil mengipaskan uangnya. "Biar kalian pada kenyang!"
"Bosen risoles mulu!" sahut Altaf sambil mengunyah sesuatu –risoles pastinya.
"Bosen-bosen abis juga!" Pandu menoyor kepalanya.
"Kenapa sih? Jajan aja di kantin, kan kita anak SMA EU juga!" teriakku sambil memutar tubuh. Ucapanku menarik perhatian Mumud, Malik, Altaf dan Pandu. Mereka langsung berkerubung, sepertinya mereka baru menyadari ada sesuatu yang baru di sini. Bekalku. Astaga! Bentar lagi pasti mereka bakal merampas otak-otak kesukaanku.
"Anak sini yang pernah makan sambil ketawa-ketiwi di kantin cuma lo sama Arya, Neng!" cetus Malik.
Kenapa tidak bisa lepas sedikit saja dari Arya? Cowok itu sedang pergi keluar kelas bersama Wira. Dia tidak banyak bicara setelah aku kembali ke kelas tadi. Bahkan tidak biasanya dia langsung pergi sama Wira tanpa menyapaku dulu.
"Kok lo tau, Mud?" tanya Wendy mewakili.
Ah, aku sekarang jadi pusat perhatian mereka! Mereka menatapku dengan tatapan usil dan bibir tersenyum penuh makna.
"Taulah! Gue lagi lewat koridor eh lihat mereka berdua jalan masuk kantin. Ya awalnya sama si Lalisa dan Gibran. Duo cetar yang terkenal di sini!" Mumud tertawa ngakak.
Aku jadi menarik ujung bibirku sampai membentuk lengkungan. Duo cetar, aku jadi ingin tertawa.
"Lo sama mereka temenan ya? Emang mereka gimana si aslinya?" Kiyna menarik kursi ngajak bergosip. Wendy jadi ikut-ikutan menopang tangannya di bahu Kiyna.
"Baiklah. Mereka nggak kayak anak populer lainnya! Mungkin karena mereka udah kenal sama gue dari dulu kali," jawabku.
"Sas, Alva jomblo tulen kan ya? Kenalin dong. Ganteng ada manis-manisnya gitu, low profil juga! Uhh," ucap Wendy berbinar.
"Gue mau dong sama Denis. Dia ganteng banget duh alisnya pengen banget anak gue nanti kayak gitu!"
Sisa jam istirahat pertama kami habiskan untuk ngobrol, mereka penasaran dan selalu bertanya tentang teman-teman dekatku yang masuk dalam jejeran anak populer. Mereka bertanya mengapa aku jarang nongkrong sama mereka seperti jam istirahat seperti ini. Aku malas terlalu sering bersama mereka. Habis bahasannya pasti tentang anak-anak yang berada di kelas elite tersebut. Ternyata aku rada minder juga sekarang ya?
"Woi, Sashi! Arya, Akbar sama Astar bikin ribut di ruang OSIS!" Kemal –cowok kurus, putih dan jangkung itu muncul di pintu dengan napas terengah-engah.
"Anjir! Kok manggil Sashi?! Dia cewek woi!" sela Dhika, di sebelahnya ada Rando. Mereka bertiga menatapku seperti minta bantuan. Aku segera keluar kelas melalui mereka bertiga, mereka mengikutiku dari belakang dengan wajah cemas.
"Wira mana?" tanyaku saat tiba di lantai bawah. Mataku melotot di depan ruang OSIS sudah dipenuhi oleh cowok maupun cewek yang sama sekali tidak bisa membantu –hanya menonton dan bergosip.
"Wira bingung mereka ngomong semua. Anjir, Lalisa jago banget debat sama empat orang!" Rando takjub.
"Lalisa?" Mampus, aku bakalan ribut sama sobatku sendiri?
"Mending kalian ketemu sama wakepsek bidang kesiswaan, Bu Ari. Gue sama sekali nggak tau soal ini! Kalian pikir ini sekolah punya gue, jadi bisa gue atur seenak jidat? Sumpah bukan gue yang memasang kertas itu juga. Jadi—" Suara Lalisa terpotong saat melihatku muncul dari ketek salah seorang cowok yang sama sekali tidak mau minggir padahal aku sudah berusaha menerobos dirinya.
Cowok itu menoleh lalu terpekik kaget. "Anjir cewek anak IPS 5. Jijik iyuhh!!" serunya keras.
"Minggir makanya! Awas lo nggak guna!" Aku mendorong lengan cowok itu, sehingga tubuhnya menubruk beberapa murid yang berada di dekatnya.
"Sashi!" Cewek putih berkacamata itu menarik tanganku agar mendekat kepadanya. Aku memandangi Astar yang berdiri paling depan dengan wajah masam, di kanan kirinya ada Akbar dan Arya --yang langsung buang muka saat melihatku.
"Ada apa sih? Kalian ngapain di sini?" tanyaku.
"Gue mau protes, kenapa IPS 5 didiskualifikasi dari Porseni? Sas, kita udah tanggung jawab ke orang tua yang anaknya masuk RS, kita udah minta maaf sama keluarga dan sekolahnya. Mereka juga sudah oke, karena mereka sadar betul anak mereka yang salah di sini! Nah, sekolah kita ini yang tengil. Maksudnya apa coba? Nggak cukup skors satu hari?" Astar ngoceh. "Nggak adil, masa IPS 5 doang. Kelas gue nggak didiskualifikasi padahal gue ikutan! Nggak adil 'kan?"
"Woi, Astar! Lo jangan ngomong gitu dong. Nanti kelas kita kena diskualifikasi gimana?" tanya salah seorang cowok berambut mowhak rada kebulean.
"Mending lo ke Bu Ari!" Suara Lalisa kembali merendah. Astar menatap cewek itu dan diriku bergantian.
"Males banget ke guru perawan tua itu!"
Aku menoleh ke belakang dan melihat Akbar misuh-misuh, Arya menonjok lengan Akbar yang berbicara tidak sopan. Bu Ari adalah guru yang sudah kepala 4, tetapi masih perawan ting-ting, wajahnya masih mulus, cantik, dan tubuhnya seksi. Beliau menjabat sebagai wakepsek bid. kesiswaan sejak tahun lalu. Guru itu tidak pernah mengajar di kelasku, dia seperti guru kebanyakan yang sok elit. Maunya mengajar di kelas elit juga.
"AKBAR!" seru Lalisa dengan mata melotot.
Arya menahan tawa, Astar dan diriku juga tidak bisa menahan diri jadinya menarik ujung bibir.
Tatapan Lalisa menyapu sekitar depan ruang OSIS lalu pasang wajah ketus. "Yang tidak berkepentingan balik ke kelas sebentar lagi bel masuk! Ngapain malah di sini? Emangnya ini acara lawak! Bubar sana!"
Aku tidak tahu pengaruh cewek dengan tinggi 162 cm dan berat 45 kg itu ternyata cukup besar. Anak murid yang mayoritasnya anak kelas angkatanku itu bubar setelah diteriaki oleh Lalisa. Pantas saja Lalisa jarang didekati cowok, mereka pasti mikir kalau jadi pacarnya Lalisa bakal jadi sorotan publik. Tiga tahun Lalisa sekolah di sini dia juga tidak pernah pacaran. Eh, tapi kayaknya temanku yang lain seperti Gibran, Dara, Alva, Denis, dan Hanif juga tidak pernah pacaran.
Setelah kerumunan itu bubar memastikan tidak ada telinga tembok, Lalisa kembali fokus pada kami.
"Gue bakal bantuin biar IPS 5 ikutan Porseni lagi. Gue juga pengen kelas itu ikutan!" ucap Lalisa simpati.
"Satu-satunya cara ya ngomong sama Bu Ari. Siapa yang mau ke beliau? Gue malas," kata Akbar memulai diskusi terbuka kami.
"Lo aja, Ar! Lo kan paling manis kalo ngomong. Kalo gue sama Akbar nanti jadi emosi tarik urat di dalam," sahut Astar menepuk bahu Arya. Cowok itu menoleh dengan kening berkerut.
"Lo mau bantuin IPS 5 ikhlas atau ada maksud?" tanya Arya tertuju pada Lalisa, dia tersenyum aneh. "Atau karena ada sepupu dan sobat tercinta lo ini?"
"Jangan banyak tanya!" sergah Lalisa dengan mata menyipit. "Gue ikhlas sebagai ketua OSIS. Lagian kalian bisa kan nggak bikin masalah di dekat acara penting kayak gini? Porseni itu penting, yang menang bisa jadi rekomendasi buat Porseni antar sekolah."
"Mana tau kalo bisa bikin tuh PT ngambek jadi cabut hak kita!" sela Akbar cepat.
Lalisa melotot. "Jangan manggil gitu, nanti orangnya tau lo malah di-blacklist selamanya! Mau nggak ikut UN gara-gara kena blacklist?"
"Wah, hebat amat ni sekolah ya!!" seru Astar menyindir. Gantian Lalisa melotot padanya.
"Rekomendasi ya? Maksudnya?" Arya kembali fokus pada Porseni.
"Iya Porseni yang ikut utama kan anak ekskul, nanti yang menang tiap kelas jadi pemain tambahan." Jelas Lalisa.
"Emang bisa gitu?" Aku heran.
"Bisalah, Sas. Cabut hak kita aja bisa, apalagi bikin formasi buat lomba—" kata Astar sinis dan Lalisa kembali melotot padanya.
"Mana mungkin anak kelas kita dilirik!" Akbar mencibir. Aku tidak tahu kenapa cowok itu mendadak jadi bawel doyan menggerutu.
"Mungkin aja lagi, makanya kita harus menang." Arya mengangguk.
"Kalian ngapain masih di sini? Bukannya barusan sudah bel? Ayo kembali ke kelas masing-masing!!"
Kami semua terperanjat kaget saat mendengar kemunculan Bu Ari tiba-tiba, guru cantik itu lebih tinggi dari Lalisa. Karena memakai sepatu hak tinggi, tubuhnya semakin menjulang dan tampak anggun. Tubuhnya langsing dengan bagian dada dan bokong padat membuat dirinya menjadi digilai banyak guru bujang –yang beneran bujang sampai bujang lapuk, dan para guru yang sudah beranak-istri. Aku tidak mengerti mengapa guru secantik dan seksi seperti Bu Ari memilih menjadi perawan tua, mungkin dia pernah patah hati atau semacamnya.
Ah, bukan urusanku juga! Dadanya besar seperti batok kelapa, dan bokongnya tinggi dan padat. Pokoknya membuat cowok manapun ngiler, pantas saja Akbar ogah menemui guru ini. Aku curiga Akbar itu mesum, namanya juga anak nakal. Dia pasti takut sama Bu Ari yang seksi banget itu.
Niatnya mau protes malah tidak bisa mengeluarkan kata-kata lantaran deg-degan gemetar. Kami menyalami tangan mulus Bu Ari untuk menutupi kegugupan. Dan menambah nilai plus bahwa anak kelas IPS 5 juga sopan santun.
"Ibu, saya Arya ketua kelas 11 IPS 5." Tidak kusangka cowok itu segera memulai dengan cepat. Bu Ari menatap Arya penuh selidik dengan tatapan tajam, bibir mungilnya bergerak-gerak seirama dengan helaan napasnya.
"Ya, kenapa?"
"Saya mau—"
"Ayo ikut ke ruangan saya! Arya saja." Dia mengucapkannya setelah menyadari kami ingin mengekor Arya. Bu Ari yang berjalan duluan menuju ruangannya beserta Arya mengekor di belakang beliau membuat kami terpaksa berdiam saja. Aku berdoa dalam hati agar cowok itu bisa negoisasi sama guru perawan tua yang biasanya kolot dan egois.
"Bro, mangat ya!"
"Ar, gue tunggu kabar baiknya!"
"Jangan pake emosi!"
Aku mendengar tiga makhluk di sekitarku memberi dukungan pada Arya, cowok itu menoleh sambil mengacungkan ibu jarinya. Arya tersenyum padaku, untuk pertama kalinya setelah sikapnya yang aneh tadi akhirnya dia tersenyum.
Aku percaya sama kamu, Arya.
💙💙💙
A/N:
11 Sept 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top