Part 19
Aku menatap lampu sorot yang berputar di meja belajarku, suasana pemandangan bawah laut yang menjadi motif di lampu tersebut berputar dengan indahnya. Tetapi pikiranku tidak berada di situ. Entah kenapa setelah disadarkan oleh sebuah fakta itu, aku rasanya seperti ditampar dan dilempar. Sakit sekali.
Seharusnya aku tidak memiliki rasa kecewa dan sakit hati seperti ini. Aku harusnya sadar bahwa aku dan Arya memang hanya berteman. Berkali-kali aku meyakinkan diri dan bertanya dalam hati mengapa aku harus sedih dan uring-uringan sejak tadi sore, aku tidak bisa mengenyahkan mood burukku ini. Dan hatiku sangat sesak.
Kita ini cuma berteman kan? Aku kembali memutar otak. Bahkan hubunganku dengan Arya jauh dari bisa disebut sebagai teman, aku selalu jijik, sinis dan ketus padanya. Apa itu disebut sebagai teman? Sepertinya bukan. Lalu kenapa aku harus kecewa setelah mendengar dari Om Gio bahwa Arya tidak boleh pacaran dulu.
Siapa juga yang mau jadi pacar Arya?
Siapa juga yang mau pacaran sama Arya?
Kenapa aku sedih?
Arya kan bukan tipeku. Arya nyebelin, alay, konyol, dan aneh. Apa bagusnya si Arya? Aku nggak suka sama dia. Nggak mungkin suka. Aku ... aku ... nggak su-ka.
Ting ... ting ... sebuah pesan masuk ke nomor Whatsapp-ku. Ketika aku membaca isi pesannya, hatiku kembali merasakan sakit lagi. Kenapa aku jadi sesak dan emosional begini?
Arya: Kangen :'(
Sashi: Apaan dah!
Arya: Gak kangen emang?-_- jutek banget
Sashi: Gak. Apaan sih, tidur sono besok sekolah.
Arya: Marah ya? Marah, hm? *toelin pipina*
Sashi: Marah knp?
Arya: Capek, butuh kmu, sayang. Semangatin aku dong!
Sashi: *semangatin*
Arya: Anjir kok jutek banget sih? Salah Arya apa?
Sashi: Banyak nyebelin.
Arya: Mau aku ceritain? Kepo pasti makanya ngambek.
Sashi: Hm
Arya: Telepon yak?
Aku gelagapan. Saat ini dia adalah makhluk yang sangat ingin aku hindari, untuk membalas chat-nya saja rasanya masih kesal. Belum sempat aku mengetikan balasan tidak mau ditelepon, layar ponselku sudah kedip-kedip dengan nama Arya muncul.
Terpaksa aku menerimanya. Ya, aku terpaksa.
"Hm?"
"Halo, malam juga, Sayang."
"Arya! Berhenti manggil gue pake kata itu," cegahku memohon.
"Kenapa si? Lagi M ya, kayaknya judes banget. Emang kenapa gue nggak boleh manggil pake Sayang. Lo kan belum ada yang punya," jawabnya santai sekali.
"Tau ah, kepo! Ya, tapi kan nggak seharusnya lo manggil pake Sayang."
"Baper ya, Sas? Cie elah, jadi lo baper nih! Biarin aja lo baper, kali aja nanti lo akhirnya bisa menerima gue jadi pacar lo. Hehe."
Apa? Pacar? Apa Arya sama sekali tidak ingat bahwa ayahnya melarang pacaran. Arya bicara seperti tidak tahu tempatnya.
"Katanya mau cerita!" selaku cepat biar Arya tidak lagi membahas masalah pacar-pacaran itu.
"Oh iya! Gue pamit ke sekolah pas diskors, Novan nurunin gue di terminal. Gue main aja ke rumah bedeng markas sohib lama gue. Gue pulang sore tanpa menaruh rasa curiga sama Novan juga.
"Hm, ternyata malamnya ayah tau gue kena skors. Dari bokapnya Astar. Dia polos apa begok ngaku diskors, dan tidur seharian di rumah. Gue lupa kerjasamanya dia. Ya tapi nggak bisa bohong juga. Kalo Astar kena skors, gue juga pasti kena. Dia mah emang dasarnya badung, dikasih skors malah senang tidur di rumah!"
"Terus?" Aku menahan hawa panas yang merayap di wajahku. Mendengar suara Arya yang begitu ceria dan tawanya yang khas, membuatku semakin sesak.
"Hari ini gue kena tambahan libur. Bersihin ruang praktek Ayah. Badan sakit semua, Sas, tapi besok gue bakalan masuk kok. Kangen sama yayang. Oh ya, soal Porseni gimana? Jum'at depan udah harus ngirim format ke penanggung jawab, kan?"
Aku berdeham menutupi kegugupanku. "Ah, porseni ya! Besok bahas di kelas lagi aja."
"Tumben."
"Apa?" Keningku berkerut.
"Biasanya kalo gue abis kena musibah, lo bakal ketawa atau menyumpahi gue biar dapat yang lebih parah lagi. Lo kenapa? Akbar bilang sesuatu lagi yang ganggu pikiran lo?" Suara Arya menajam, seakan dia bisa membaca isi pikiranku lewat sambungan telepon seperti ini. Aku membeku pada posisiku.
"Nggak kok. Akbar nggak bilang apa-apa," jawabku berusaha tidak mencurigakan.
"Sashi, lo kenapa? Marah karena nggak mau gue panggil sayang?"
Aku tidak marah, aku hanya bingung. Bingung mengapa aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan selama mengenal Arya. Aneh. Oke, otak dan hatiku tidak sinkron.
"Nggak gitu. Cuma lo nggak bisa manggil cewek pake panggilan sayang kalo nggak ada hubungan apa-apa," kataku pada akhirnya. "Apalagi lo nggak serius."
"Oh," Arya menghela napas sebentar. "Gue emang keliatannya nggak serius, ya? Mau gue seriusin?"
"Tau ah, lo ngeselin! Lo ngomong apa sih??" jawabku menutupi kegugupanku.
"Tuhkan. Kalo salting pasti cuma bilang 'tau ah'. Terus kalo diajak ngomong serius jawabnya begitu," Arya mencibir di ujung telepon sana. "Bisa nggak kalo diajak ngomong serius, jawabnya yang benar. Jangan muter-muter! Gue serius, Sas, kalo gue-"
"ARYA, jemput-"
Tut ... tut... tut....
Telepon Arya terputus tanpa aku mendengar kelanjutannya lagi. Dadaku jadi semakin sesak, padahal aku tadi sudah memasang telinga untuk mendengarkan sesuatu yang ingin diucapkannya.
Suara wanita dan lembut itu adalah suara ibunya Arya. Mengingat cowok itu tidak boleh pacaran jadi sepertinya wajar tadi dia segera menutup teleponnya sebelum mengatakan kata-kata dengan jelas.
Arya: Maaf ketutup. Gue mau pergi dulu dan lama, pulangnya mungkin malam. Sori nanti balasnya lama. Gue bakal usahain balas kok. Met tidur, cantik :*
Sashi: Ya. Mau ke mana? Gak dibalas juga gpp. Jgn rese deh.
Arya: Mau ke hatimu. Jgn marah karena gue belum selesai ngomong yang tadi. Lebih gentle ngomong langsung kayaknya. Sabar ya :* Jgn rese = jgn bkin baper, ya?
APAAN SIH? SIAPA JUGA YANG MARAH? AKU TIDAK MARAH!
Sashi: gak lucu. Emng mau ngomong apa sih tadi? Udah sana katanya mau pergi!
Arya: Sapa yang nglucu?-_- Tuhkan kmu kepo nanti aja dh rahasia. Aku pergi dulu ya. Muah :*
💙💙💙
Aku keluar dari tempat parkiran motor berderap memasuki koridor sekolahan. Tidak sengaja aku melihat bayangan sosok Novan berdiri sandaran pada tiang depan kelasnya, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Cowok itu menatapku begitu tajam, dingin, dan intens. Bukannya aku geer, meski di sekelilingku banyak anak murid yang lewat. Aku yakin sekali fokus pandangan sepasang manik tajam itu tengah terarah padaku.
Aku membalas tatapan Novan -yang bodohnya aku seperti tersihir dan lemah sekali dengan tatapan tersebut. Aku tidak mampu melangkahkan kaki, bahkan kepalaku masih terus menoleh ke koridor depan kelas anak bocah itu.
Argh! Dia cuma bocah ingusan, kenapa menyeramkan begitu? Setelah berhasil mengumpulkan energi untuk bergerak, aku kembali memalingkan wajah ke depan dan melangkahkan kaki.
Bugh....
Keningku menabrak dada bidang dan keras milik seseorang, begitu aku mendongakkan wajahku bertemu dengan kepala berbibir nyengir lebar, itu adalah Arya.
Tidak cukup apa jantungku disiksa seperti ini? Aku belum bisa meredakan degub jantung akibat diperhatikan oleh Novan, sekarang harus berhadapan sama sosok cowok dengan cengiran konyol. Yang entah mengapa degup jantungku makin keras sekali bunyinya. Aku mengalihkan pandangan ke depan kelasnya Novan, cowok itu sudah tidak ada di sana.
"Pagi! Duh, saking kangennya ya main nubruk gue? Mau peluk?" Dia menyeringai melebarkan kedua tangannya padaku.
"Ehm," aku berdeham gelagapan kembali menatapnya. Ingat ucapan ayahnya Arya bahwa aku harus menjaga jarak. Aku mendorong tubuh Arya agar dia tidak menghalangi jalanku, "Minggir!!"
"Sas!"
Kenapa aku merasakan sesak napas lagi saat berhasil melalui cowok itu, dan berderap mendekati tangga. Panggilan namaku yang berasal dari bibir Arya semakin membuatku sedih. Belum terlambat untuk menjaga jarak, meski aku tidak paham betul tentang perasaan aneh ini. Kita ini cuma berteman, bahkan jauh dari kata teman. Aku benci Arya, aku anti Arya, aku tidak mungkin menyukainya, kan?
Cowok itu juga tidak tahu aturan yang dibuat ayahnya malah semakin menggodaku dengan kata-kata yang membuatku lemah. Sial, apaan sih yang sedang aku pikirkan! Gibran dulu sering menggodaku, tapi efeknya tidak seperti ini. Bahkan sepertinya dia lebih parah. Jadi aku kenapa? Sejak ada cowok itu aku jadi pusing!
"Gue ditinggal!" Arya sudah menyejajarkan langkahnya di sampingku, kami sudah berada di lantai satu.
"Tumben udah datang! Biasanya ngaret!!" cetusku berusaha tetap sinis.
"Lagi pengen aja. Pengen menyambut Sashi di pagi hari secerah ini!" serunya dengan kekehan kecil.
"Nggak usah disambut sih, emang gue tamu RT!" jawabku saat memasuki kelas aku tercengang.
Kelas kosong cuma ada tas Arya di mejanya. Seharusnya aku tidak terkejut, ini sudah biasa. Aku selalu memasuki kelas yang masih kosong melompong.
"Lucu deh!" sahutnya merespons ucapan asalku tadi, dia berdiri di sisiku. Mengamati isi kelas yang kosong melompong. "Dasar susah dibilangin, masih aja suka telat."
Aku menoleh dengan alis bertautan. "Apaan?"
"Eh-nggak. Kemarin gue denger dari Wira lo traktir anak kelas ya? Traktir gue kapan?" Arya duduk di mejaku. Aku melepaskan tas menatapnya dengan helaan napas pelan.
"Iya. Sekali-kali. Lo mau gue traktir juga, nanti ya bakwan sama tempe!" Aku mengulum senyuman tipis.
"Nggak adil. Gue mau yang spesial, penyambutan kedatangan gue ke sekolah lagi. Ayolah, Sas!" bujuk Arya sambil mengedipkan sebelah matanya genit.
"Apaan sih! Pikirin aja tuh Porseni dulu! Itu kapan-kapan aja, hari ini kita udah harus ngirim format. Gue pusing kita harus mengirim sebanyak-banyaknya cabang, gue sama anak cewek lainnya ikut estafet. Kalian ini bingung mau gimana!"
"Udah bikin strategi atau pembagian team? Gue rasa lo udah memikirkan dari jauh hari, gue liat sini!"
Shit.
Dia tau?? Aku menahan diri agar tidak meliriknya sinis, aku ambil buku dari tas dan membuka coret-coretan pembagian lomba buatanku. Dia membaca catatan yang kubuat, matanya terus bergerak, dan bibirnya tersenyum penuh makna.
"Futsal delapan orang ya, kayak boyben jadinya!" celetuk Arya masam.
"Ya gue nggak tau biasanya berapa!"
"Boleh juga nih. Akbar, Okto, Dhika, Malik, Mumud, Tio, Indra, sama Altaf. Btw, lo milih random? Soalnya seinget gue, mereka ini yang paling jago main di kelas. Gue juga jago si, tapi-"
"Lo sering nggak jelas makanya udah gue coret duluan. Gue pengamatan pas pelajaran olahraga. Gue nggak ngerti sih, tapi mereka kombinasi yang pas untuk kerjasama."
Arya menatapku sinis lalu mengangguk. "Betul. Oke, gue setuju. Terus ini basket, lo masukin tiang-tiang kelas kita? Buset. Wira, Kemal, Rando, Nicky, Pandu ... dan gue? Lo pengen liat gue pake baju pamer ketek ya? Uhuk!"
"Apaan sih! Jangan geer deh. Gue nggak tau lo bisa olahraga apa, di bio nulisnya godain Sash-"
"Bio? Bener nih kertasnya lo simpen sendiri! Wah, hebat Sashi! Saya kagum pada idemu! Tingkatkan, Nak!" ucapnya menyindir.
"Lo bisa main basket nggak? Gue ragu. Lo bisanya apa sih, Ar?" tanyaku gemas dan kesal.
Cowok itu memutar kedua bola matanya sambil pasang senyum kecut. "Mencintaimu, sayang. Eh, gue bisa kok main basket, teman gue dulu anak basket jadi sering main. Oh ya, buat cabang seni bakalan ngirim buat band dan vocal grup dance. Soal Jerry, dia bisa ikut band. Brian katanya ikutan di Puzzle. Gimana?" Aku membatu dengan ucapan Arya. Ternyata dia juga mengatur strategi lain untuk turnamen ini. Hebat. "Sashi?" Ulangnya saat tidak mendapat respons dariku.
"Oh? Band? Siapa aja tuh? Vocal grup dance itu kayak boyben, kan? Lo gila apa anak kelas kita disuruh joget sambil nyanyi??? Lo-"
Cowok itu menepuk dadanya angkuh. "Gue gitaris. Pokoknya soal band aman. Ada Jerry, Tio, Kemal, Altaf."
"Oke soal band gue yakin. Mereka emang suka nge-band. Tapi boyben, lo bercanda aja!! Itu kan cabang paling diminatin cewek satu sekolah karena isinya cowok-cowok keren yang cover lagu sambil dance. Ya, semacam boyben kan jatohnya. Lo-lo-"
Aku ragu. Cowok keren sejenis Gibran, Alva, Denis, dan Hanif saja sepertinya akan mikir puluhan kali untuk ikutan sebagai grup dance. Setahuku juga mereka tidak bisa dance, dan nge-rap. Mereka memang cuma menang tampang keren dan gaul aja.
Arya memotong ucapanku dengan mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu padaku. Aku tercengang melihat video yang sedang berputar di layar ponsel Arya. Video yang menampilkan Dhika, Rando sama Mumud sedang melakukan free-style dance membuatku takjub. Sumpah keren sekali. Tubuh mereka juga sangat lincah dan lentur meliuk-liuk seperti tubuh yang tidak bertulang. Keren!!
"Gue baru tau Dhika bisa dance! Sumpah ini keren!" Aku masih berseru semangat. "Lo dapat darimana?"
"Ya, dari pas main sama mereka. Gue juga baru tau detik itu juga-"
Aku memekik saat melihat mereka bertiga melakukan headstand dengan kaki terangkat ke atas lurus sempurna. Lehernya tidak sakit apa? Astaga ini keren!!
"Vokal grup dance nggak cuma joget loh!" selaku tiba-tiba, membuat Arya menyeringai aneh.
"Indra bisa nyanyi, Kemal juga. Tapi Kemal pemalu, dia mending nyanyi di band aja. Indra jadi penyanyi utama, Akbar sama Jerry bagian nge-rap, dan lainnya bisa jadi backing."
Sejujurnya aku ragu anak-anak itu mau dibujuk untuk ikut partisipasi dalam acara ini, tunggu ... Akbar bisa nge-rap? Aku kira dia cuma bisa berantem. Ckck...sesekali aku pernah mendengar Jerry ngoceh pake Bahasa Inggris karena aku duduk tepat di depannya.
Aku tidak menyangka bahwa cowok-cowok di kelasku yang terlihat berantakan, hobinya main kuda reot, wajah celemotan tepung dan tukang pukul sekolahan ternyata memiliki bakat menjadi anggota boyben.
"Jerry nggak pa-pa ambil dua posisi?"
"Nggak pa-pa. Mereka ini udah punya skill, jadi kita tinggal nyari lagu yang pas dan latihan buat lagunya. Seminggu kayaknya cukup buat latihan. Jadi lo tenang aja, babe!" seru Arya membuat hatiku tenang. Aku tersenyum lebar merasa sangat antusias dalam porseni ini.
"Oke. Nanti kita minta persetujuan mereka. Futsal, basket, estafet, band, puzzle dan vokal grup dance. Lo udah pernah coba bahas porseni sama anak cowok?"
Arya mengangguk. "Mereka awalnya nggak antusias. Tapi, pas kelas IPS 5 ternyata diikutsertakan, mereka jadi bahas. Katanya biar cepat punya cewek harus populer dulu. Para lelaki jones emang kayak begitu, apapun tujuannya yang penting kompak kan?"
"Akbar beneran mau ikut?" tanyaku. Arya menatapku curiga, dia mendecakkan lidah lalu mengangguk. Ada apa gerangan mengapa sama Arya cowok itu langsung menurut, sementara sama aku dia malah mencaci maki usaha dan misiku? Apa yang sudah Arya lakukan padanya?
"Enak aja nggak nurut sama gue, dia ada utang nyawa sama gue sama Astar. Kalo dia berani melawan lo, nanti gue yang gebukin!"
"Masa? Lo emang kuat hajar dia?"
"Kuatlah. Kalo nggak kenapa dia jadi takut sama gue!"
Deg.
Aku bergidik takut, sementara Arya masih cengengesan. Akbar takut sama Arya? Wah, apa Arya lebih menyeramkan dan sangar dari cowok yang pernah gebukin tiga preman itu? Aku tahu betul imej Akbar yang suka senggol bacok. Dia sering berantem dengan berbagai kalangan. Menurut gosip Akbar sama Astar itu 11:12, bedanya Astar jarang berantem.
"Lima orang masuk rumah sakit, makanya kita kena skors."
HAH?
Sekalinya Astar berantem bikin anak sekolah tetangga menginap di rumah sakit. Dan Arya, sebenarnya dia siapa sih? Aku pikir sudah mengenalnya dengan baik. Apa benar sisi kocak dan tulalit sok polosnya itu hanya di depanku saja?
💙💙💙
A/N:
Dibaperin Arya, rasakan itu Sas!!! HAHAHAHA Arya juga rese dah :vv Tapi Arya serius apa kagak ya? kasian sashiku :c
9.9.2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top