Part 17
Non Sashi nanti pulang mampir beliin Mbak bubur kacang ya. Kalo non mau juga bli aja, nanti mbak bayarin. Mbak lagi mual pengen makan yg manis.
Aku berhenti di depan kios bubur depan kompleks rumahku. Tadi saat masih di sekolah, aku menerima sms dari Mbak Surti yang minta dibelikan bubur kacang. Aku sering disuruh membeli ini-itu juga oleh ART-ku, sebagai timbal balik aku yang sering juga menyuruhnya melakukan pekerjaan yang seharusnya bisa kukerjakan sendiri. Seperti misalnya, merapikan tempat tidur.
Aku juga butuh yang manis-manis, karena hari ini begitu hambar dan aku kekurangan energi. Tidak tahu mengapa aku begitu suntuk hari ini. Jadi, sepertinya aku butuh asupan gula yang banyak.
Sebenarnya aku paling malas pergi ke tukang bubur, isinya banyak pria tua maupun muda yang genit dan suka menggoda. Belum lagi mereka suka merokok, sehingga udara yang aku hirup sudah terkontaminasi. Tidak bersih lagi.
Mataku menangkap bayangan sosok cowok yang begitu familiar, aku mengenal sosok tersebut dari bentuk tubuh, wajah, gesture sampai tatapan matanya. Ada dua orang yang memiliki wajah seperti itu. Aku harap dia bukan yang aku maksud, tapi aku juga tidak bisa membayangkan jika cowok itu adalah yang satunya. Aku berharap dia bukan keduanya juga. Tapi, wajahnya pasti pemilik salah satu dari mereka.
Dia masih memakai seragam sekolah, duduk di meja paling pojok dekat tembok sambil sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam. Sesekali cowok itu mengusap wajahnya dan menunduk menghindari tatapan pengunjung lain.
"Novan?" gumamku saat tiba di depannya.
Cowok yang kupanggil Novan itu terbatuk-batuk, matanya melotot mengerjap kaget saat melihatku. Dia meletakkan batang rokok yang sudah setengah itu ke asbak meja depannya.
"Sashi?" Novan menjadi kikuk dia menyesap kopi hitam di mejanya, tidak membalas tatapanku.
"Arya tau lo—"
"Tau kok," potong Novan cepat. "Ah, selain dia kenapa harus lo yang tau juga!?"
Ini pertama kalinya aku berbicara empat mata dengan Novan. Aku baru tahu bahwa dia tidak memanggilku dengan kakak, dan berbicara pakai lo-gue. Mungkin darah misterius yang ada pada Arya menurun pada adiknya ini, unpredictable banget.
Aku kira, Novan memiliki pribadi yang sopan, kalem, dan tipikal cowok baik-baik. Ternyata, cowok itu perokok. Oke, tidak ada yang salah banyak cowok yang merokok. Tapi, bukannya ayah mereka adalah psikiater?
Arya tidak pernah merokok di depanku. Bukan berarti aku tidak tahu, di depan maupun di belakangku cowok itu tidak pernah menyentuh rokok sekali pun.
"Sori, lo kenapa merokok?"
"Pengen aja."
Aku duduk di depannya melupakan tujuanku yang ingin membeli bubur kacang. Novan menatapku penuh selidik, sepertinya dia tidak suka pada pilihanku yang tetap berada di depannya. Aku tahu dia masih ingin merokok lagi, apa daya kehadiranku membuat dirinya menghentikan sementara aktivitasnya tersebut.
"Kalo mau lanjutin nggak pa-pa," ucapku hati-hati.
"Emang lo nggak pa-pa kalo gue merokok depan lo? Arya nggak pernah merokok depan lo, kan?" Novan kembali mengambil batang rokoknya. Lalu menghisapnya pelan-pelan.
"Ya, nggak pa-pa. Arya bukan perokok kan?"
Novan mengangguk pelan. "Dia nggak pernah merokok."
"Arya bilang pergi ke mana hari ini?" tanyaku. Saat ibu penjual bubur lewat aku mencegatnya. "Bu, saya pesan bubur kacang ijo dua. Dibungkus ya!"
Ibu penjual itu mengangguk lalu pergi ke dapurnya. Aku kembali menatap Novan yang sedang menatapku tanpa minat. Dia menatapku dengan sorot curiga.
Astaga, aku keceplosan! Mana bisa aku berkata seperti itu padahal jelas-jelas sesuatu yang aku ketahui harusnya cuma Arya diskors.
"Arya nggak mau bikin mereka kecewa lagi. Dia berangkat sama gue tadi pagi, cuma minta diturunin dekat terminal. Nggak tau ke mana. Nggak ada kabar lagi, paling bentar lagi minta jemput di suatu tempat. Jangan khawatir, dia emang suka gitu!"
"Lo selalu bantuin dia kayak begini? Nyembunyiin dia saat babak belur kemarin, dia diskors karena ketahuan sekolah, dan biarin dia pergi keluyuran seakan pergi sekolah padahal lagi diskors?!" Aku menatapnya intens.
"Iya. Dia juga bantuin gue nyembunyiin kelakukan gue setahunan ini. Dia tau gue merokok, harusnya dia bisa ngadu ke ortu biar gue diomelin. Tapi, dia terus berbuat baik nyembunyiinnya. Semakin membuat gue utang budi, mau nggak mau, kalo dia ada masalah gue harus bantuin."
Asap yang keluar dari mulut Novan mengepul di sekeliling wajahku.
"Kenapa mereka nggak ada curiga sama lo? Mereka bukan orang bodoh yang bisa lo bohongin!" cetusku. "Arya selalu ketahuan. Lo—"
"Karena mereka memang lebih perhatiin Arya. Mereka taunya gue tuh anak baik-baik, penurut, sopan, penyayang dan polos." Novan tersenyum sinis.
Ya—ya aku akan mencoba memahami mereka mulai saat ini. Mereka mengalami sesuatu yang dulunya pernah aku alami sendiri. Papaku lebih fokus pada Kak Sasa yang sakit, karena dia lebih membutuhkan sesuatu yang lebih. Perhatian lebih dan kasih sayang lebih. Makanya aku diabaikan –bahkan sampai sekarang. Novan berada di posisiku, bedanya dia dipercaya oleh kedua orang tuanya.
Arya butuh pengertian, sementara Novan butuh perhatian. Arya memang nakal, gampang terseret dalam masalah, tetapi bukankah itu lumrah? Dia masih dalam masa pencarian jati diri. Sementara Novan terlalu dipercaya, saat dia berbuat nakal juga tidak ada yang percaya dia telah melakukannya.
"Lo menyalahgunakan kepercayaan mereka!" ucapku menatap tajam Novan tepat di manik matanya
"Biarin aja. Gue juga punya pengen kehidupan sendiri."
💙💙💙
Arya tidak masuk sekolah lagi hari ini. Aku tidak tahu alasan ketidakhadirannya, tidak ada kabar, segala pesan yang aku kirim tidak ada yang dibaca. Jangankan dibaca, terkirim saja tidak.
Tadi malam aku dan dirinya masih mengirim pesan sampai jam 10. Aku sama sekali tidak ada feeling bahwa dia bakalan tidak masuk lagi. Kenapa dia tidak masuk?
"Arya kena skorsnya berapa hari sih? Kelas ini bukunya numpuk di kantor guru!" omel Bu Imel sinis, dua orang murid datang membawa dua tumpuk LKS kelasku.
Aku mengedarkan pandangan, anak kelasku kembali sibuk masing-masing. Bermain ponsel, main kartu, ngobrol, baca novel, dan segala kegiatan individunya.
"Maaf, Bu. Hari ini Arya memang tidak masuk lagi," ucapku tergopoh menghampiri Bu Imel.
"Duh, diskors malah ketagihan! Oh ya, kelas kalian jadi ikutan Porseni kan? Buruan daftarin peserta yang ikutan ke penanggung jawab. Kapan lagi kelas ini ikutan Porseni sekolah!"
Aku meneguk ludah lagi-lagi mendengar ucapan sinis dari seorang guru tentang kelasku.
"Iya, Bu. Kami akan segera membentuk anggota buat lomba."
Jam istirahat kedua aku menuruni tangga menuju deretan kelas 10. Kakiku berhenti di depan pintu kelasnya Novan. Cowok itu asyik tiduran menelungkupkan wajahnya dalam lipatan tangan, menghadap ke tembok.
"Eh, ada Kak Sashi!" Salah seorang cewek tersenyum padaku. Aku lupa namanya siapa, tetapi wajahnya lumayan familier.
"Panggilin Novan dong."
"Eng...," Cewek itu menatapku ragu. Aku mengernyitkan dahi bingung. "Kakak panggil sendiri deh. Aku nggak berani, Kak. Takut."
"Hah? Takut?"
Cewek itu mengangguk pelan. "Novan tuh dingin, dan jarang ngomong, Kak. Di kelas nggak ada yang berani ngajak ngomong, apalagi deketin dia. Kecuali, dia yang mulai duluan," bisiknya membuat diriku dipenuhi hawa dingin.
"Ya, makanya ajak ngomong biar akrab! Gue nyamperin sendiri deh," ujarku lalu masuk ke dalam kelas. Membuat kelas yang tadinya berisik mendadak jadi sepi. mereka menatapku ingin tahu. Ada apa gerangan seorang Sashi Kirana turun ke kelas tersebut.
Aku melangkah menuju meja Novan, kucolek bahu cowok itu dengan ujung telunjukku. Cowok itu mengangkat kepalanya dengan ekspresi wajah terganggu, matanya mengerjap kaget, telinganya tersumpal handsfree hitam.
"Kenapa?" tanya Novan.
"Ngomong yuk. Di luar. Nanti ada yang dengar," ajakku.
Novan bangkit dari duduknya, dia mencabut handsfree dan memasukkan ponsel ke sakunya. Dia berjalan malas-malasan keluar dari kursinya, dia melaluiku berjalan duluan.
Kedua tangannya dimasukan dalam saku celana seragamnya. Meski Novan umurnya lebih muda dariku, dia terlihat seperti lebih tua dariku. Maklum cowok tinggi memang seperti itu.
Aku melirik para cewek yang sibuk mengekori kami dengan tatapannya –tepatnya memandangi Novan yang berjalan di depanku. Cewek-cewek itu memandang Novan dengan sorot terpesona dan tak berkedip sama sekali.
Ternyata Novan adalah cowok idola di kelasnya. Sayang, dia tidak tahu bahwa dia sekeren itu.
"Ada apa sih? Nanyain Arya lagi deh!" Novan sandaran di pilar depan kelas 10-8. Dia mengalihkan pandangan, seharusnya sudah biasa karena dari dulu Novan juga tidak pernah mau beramah-tamah padaku. Padahal aku ini baik dan manis loh. Aku sudah semanis itu pada Novan.
"Arya ke mana nggak masuk?"
"Emang nggak tau? Dia nggak bilang?" tanyanya balik. "Kan dekat." Dia menekan kata itu.
"Kalo tau kenapa gue harus nanya sama lo!" semprotku.
Novan mendecih. "Dia ketahuan bohong soal skors. Dihukum sama Ayah bersihin kliniknya hari ini. Besok juga paling masuk."
"Serius lo? Kliniknya di mana?"
"Emang mau ke klinik? Yakin?" Novan menatapku sangsi. Dia menelengkan kepalanya ke arahku.
"I—iya."
"Kliniknya di rumah."
Uh-oh ... aku menatap Novan dengan wajah pucat pasi. Dia menyipitkan matanya sampai kedua bulu matanya nyaris sejajar dengan garis matanya. Aku menjilati bibir, keraguan datang lagi padaku.
Aku ingin bertemu dengan Arya, tetapi kalau harus ke rumahnya aku ragu. Penyebab Arya dihukum adalah aku. Kali aja nanti di rumahnya, kedua orang tuanya sudah menyiapkan rencana untuk melenyapkanku. Ah, tidak!
"Di rumah?"
"Ya. Depan rumah. Kalo mau ke sana datang aja, nanti gue menahan Ibu di rumah biar nggak ke klinik. Lo diapain sih sama Arya sampe peduli banget?" Suara Novan menjadi sinis.
"Ibu lo galak?" Aku berdeham salah tingkah. "Gara-gara Arya nggak masuk, guru jadi pada ngomelin gue. Buku nggak diambil menuhin meja guru," sahutku menjawab pertanyaan Novan.
Novan tampak tidak puas tetapi dia hanya mengangguk saja. "Mungkin kedengarannya ortu kita otoriter, dan galak. Nggak gitu kok. Mereka didik kita biar disiplin."
"Gue merasa ini nggak adil. Arya selalu ketahuan kalo abis buat masalah. Sementara lo, jago banget menyembunyikannya." Karena ucapan jujurku, adiknya Arya itu menoleh dengan sorot tajam –persis seperti tatapan Arya saat serius.
"Dia nggak bisa menyembunyikan luka di wajahnya."
"Iya dah, terserah lo. Gue pengen ketemu Arya, nanti pulang gue ikut lo ya?"
💙💙💙
Novan menghentikan motornya di depanku setelah melihat aku dan motorku di depan pagar sekolahan.
Kami memang sengaja bertemu di luar gerbang sekolah agar tidak digosipi banyak murid. Mungkin kali saja besok gosipnya akan semakin parah dengan bumbu Sashi dekat dengan adiknya Arya, terbukti mereka memang ada hubungan khusus.
Cowok itu memakai helm full face putih menoleh menyuruhku agar aku jalan duluan, ketika ingin menjalankan motorku. Ponsel di saku kemeja seragamku bergetar panjang. Karena letaknya di area yang sensitif, getaran itu jika dibiarkan malah akan membuat area sensitifku makin geli.
Sebuah nomor baru muncul meneleponku. Di depan Novan meng-klakson agar diriku segera melajukan motor. Aku menggeser gagang telepon yang warna hijau menerima panggilan tersebut. Barangkali penting...
"Halo?"
"Halo selamat sore, Sashi."
Deg.
Aku tertegun, dengan jantung berdegub kencang dengan irama tak terkendali. Hanya satu kalimat, suaranya lumayan aku hapal, dan nadanya yang begitu tajam mampu membuatku langsung lemas seketika.
"Iya. Selamat sore."
"Saya ayahnya Arya. Bisa bertemu di suatu tempat? Kamu lagi di mana? Tempat terdekat posisimu sekarang aja, biar nanti saya yang ke sana."
Eng ... eng...
Aku menatap sang anak bontotnya yang terus memelototiku di depan sana, berkali-kali Novan memberi kode agar aku segera melaju. Dasar tidak sabaran. Aku mengendikkan dagu agar dia sedikit sabar.
"Saya masih di sekolah, Om."
"Oh. Kita ketemu di Batagor Ujang ya? Itu dekat sekolah kamu, bukan? Saya perlu bicara. Arya jangan sampai tau."
"Baik, Om. Saya akan segera ke sana! Arya tidak masuk hari ini, jadi saya pulang sendiri."
Semoga Novan tidak mendengar percakapan kami. Semoga.
Setelah menutup telepon, aku menjalankan motor mendekati Novan yang wajahnya sudah semakin masam, jutek, dan ditekuk. Aku semakin tidak enak hati. "Maaf. Gue nggak jadi, harus segera pulang. Mungkin lain kali gue ke rumah lo."
"Bilang kek daritadi! Buang waktu gue aja!" sahut Novan jutek. Dia mendecakan lidah kesal.
"Maaf, ya?"
Novan pulang ke rumahnya sendirian setelah menggumam 'hm' menjawab permintaan maafku tadi. Dia langsung melaju motornya meninggalkanku yang meratapi jalanan di depan dengan tatapan kosong. Aku takut bertemu dengan ayahnya Arya. Tapi aku akan menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada Arya adalah kesalahanku.
Aku yang sudah menyuruh Arya menolong Akbar dan terseret dalam kejadian perkelahian itu. Bukan hanya mereka, Astar juga terlibat.
Jadi menurutku ini sudah cukup parah. Anak SMA Esa Unggul jarang terlibat dalam keributan karena isinya anak-anak orang kaya, latar belakang baik, dan lebih memilih ikut bimbel daripada berantem karena hal sepele. Ya begitulah...
💙💙💙
A/N:
Jeng...jeng...apa yang bakal ayahnya Arya bilang ke Sashi? .-.
4 September 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top