Part 15
Ini bukan tawuran antar sekolah, melainkan sekelompok anak murid versus Akbar sendirian.
Cowok itu kalap membalas tonjokan lawannya bertubi-tubi, meski wajahnya sudah dipenuhi luka lebam Akbar masih mampu membalas pukulan demi pukulan.
Kejadian yang terjadi di pinggir jalan itu menyedot perhatian masyarakat setempat. Tidak ada yang berani melerai karena, para pelaku anak murid bertubuh besar yang pukulannya keras sekali.
Gedebak...
Gedebuk...
Aku menggigit bagian dalam bibirku ketakutan mencengkeram tas Arya. Kakiku lemas seketika.
"Kita motong jalan lewat sini ya?" Arya menoleh bertanya. "Sashi, lo oke di belakang?"
"Nggak sama sekali," jawabku dengan suara tercekat.
Berbeda dengan ucapanku yang mengatakan aku tidak oke, tapi aku berhasil turun dari boncengan motor Arya. Entah aku harus bagaimana, aku ingin menghentikan kejadian tersebut tetapi tidak tahu harus bagaimana.
Apa aku harus berlari ke mereka dan melerai sambil menjerit kesetanan? Aku turun lalu menjambaki rambut mereka seperti cewek kebanyakan?
"Arya, tolongin Akbar." Hanya itu yang bisa aku lakukan, aku memegang lengan Arya minta bantuan dengan tatapan memohon. "Itu Akbar kan, Ar? Lo liat dia kan?"
Arya tampak ragu memandangi keributan tersebut lalu ke aku. Aku tahu dia memiliki keraguan tersendiri, karena takut ketahuan ayahnya lagi terlibat dalam kejadian yang bisa mengancam masa sekolahnya lagi.
Arya sibuk dengan pikiran kebimbangan yang berkecambuk dalam kepalanya.
"Ya udah nggak usah, ayo kita pulang aja!" Aku kembali ke belakang Arya, saat hendak naik ke motor. Arya memarkirkan motornya dan turun sambil melepas ransel. Dia menggantung tasnya di spion motor.
"Sashi, gue bakal bantu Akbar, tapi plis lo pulang sekarang ya? Naik taksi atau ojek. Gue takutnya ini jadi panjang ke polisi, jadi saat gue nanti kabur—"
"Jangan deh. Nggak usah, kita pulang aja," duh mulai kelabilan diriku. Saat Arya bilang iya, aku bilang tidak.
"Udah lo pulang duluan aja, gue ke sana dulu bantuin Akbar," kata Arya sambil menepuk bahuku lembut lalu menyatu dengan gerombolan yang lagi baku hantam tersebut.
"ARYA!" Aku menggigiti bibir panik dan gelisah.
Gara-gara omonganku tadi Arya jadi beneran turun membantu Akbar dalam melawan keroyokan tersebut. Kalau sesuatu buruk terjadi pada Arya, aku yang akan menyesal seumur hidup.
Suara motor ninja berisik membuyarkan pikiranku, motor putih tersebut berhenti di sebelah motor Arya, di sana Astar berdiri menatapku dengan sorot tajamnya padahal matanya sipit. Dia melepas helm dan menaruh sembarangan di spion.
"Loh, Sashi ngapain masih di sini?" tanyanya sok polos.
Astaga, kenapa cowok ganteng di sekitarku bloon semua deh?
"Ngapain? Ya terus masa aku mesti ke sana bantuin Arya? Arya ikutan dipukulin itu," kataku menunjuk sosok Arya yang bergulat di tengah kerumunan murid tersebut. "Astar! Gimana?"
"Bukan, maksudnya ngapain masih di sini? Pergi buruan!!" katanya. Aku yang jadi malu gara-gara salah fokus. Dia kembali berujar, "Mampus deh. Kepepet tapi..., arghhh, gila itu bocah nyari masalah terus! Lo pulang, Sas, takutnya nggak lama ada polisi datang. Biar kita cepat kabur dan ngumpetnya."
Aku gagap panik. "Ta-tapi Arya nanti gimana? Ortunya bakalan...,"
"Biarin aja, dia pasti bisa ngadepin ortunya nanti. Gue ke sana ya bantuin mereka, lo buruan pulang sebelum makin parah dan kacau keadaannya!" suruh si Astar, cowok sipit itu pergi menyatu dengan peperangan khas remaja labil yang main adu jotos tanpa ampun.
Maaf, Arya ... gara-gara aku. Maaf...
💙💙💙
Aku cemas sudah 4 jam menunggu kabar dari Arya tetapi tidak ada respons.
Aku mengirim banyak sms dan chat. Di chat hanya terkirim tetapi tidak dibaca. Tadi aku pulang naik ojek sampai ke rumah. Sungguh, sejak tadi aku ketakutan dan khawatir menunggu berita Arya.
Sampai jam menunjukkan pukul 8 malam tidak ada tanda-tanda cowok itu menghubungi diriku. Mungkin sebaiknya aku mencoba menelepon Arya.
Tut...tut...
"Hmh, awha?" Suara aneh Arya menyambutku. "Eh, Sawi?"
"Sawi? Bukan, ini Sashi," balasku keras. Enak aja namaku diganti, maksudnya apa setelah aku cemas dari tadi pas ditelepon respons dari Arya aneh. Atau jangan-jangan dia amnesia?
"Kenawa? Sori, mulut gue zusah kebukana. Nggak jelas ngomongna, ya?"
Aku mendesis karena suaranya tidak jelas dan gagap. "Arya, gimana tadi? Sori, gara-gara gue lo jadi luka. Orang tua lo marah lihat lo bonyok? Ar, lo bikin gue cemas!"
"Owhh, tadi gue sama Akbar dan Astar berhasil kabur dari bapak-bapak berkumis pentolan kampung itu. Awh, kita ke rumah Akbar dulu bersihin luka. Gue pulang ngendap-ngendap, untung Ayah nggak ada di rumah. Ibu dialihkan sama Novan sementara. Dia tau gue abis ribut dan bisa diajak kerjasama, gue bisa ngumpet di kamar sampe besok pagi," kata Arya menceritakan kejadian tadi sore dengan suara anehnya.
"Syukurlah. Besok kalo paginya ketahuan gimana?"tanyaku cemas.
Arya terdiam kemudian menjawab sambil tertawa. "Nasib."
"Gue bisa jelasin ke ayah lo kalo itu gue yang minta, Ar. Itu semua gara-gara gue, gue yang meminta lo bantuin Akbar. Gue—"
"Nggak usah," potong Arya cepat, "gue tanggung jawab sama tindakan gue sendiri. Udah biasa kok. Pesan gue cuma satu, kalo besok gue nggak jemput lo, lo bisa berangkat sendiri kan? Sepertinya ada feeling motor gue bakal disita lagi."
"Iya, gue bisa berangkat sendiri. Lo besok masuk? Luka lo masih keliatan? Kalo ketauan pihak sekolah gimana?"
"Biarin. Itu tadi ribut masalah personal. Udah lo nggak usah panik, ini tuh biasa di kalangan anak cowok, udah biasa ribut, bonyok, dan kena skors." Aku yakin dia mengatakannya sambil tersenyum tipis. Tersenyum sombong maksudnya.
"Skors? Lo bakal kena skors?"
Arya tertawa. "Iyalah, kalo ketauan sekolah sih. Semoga aja nggak deh."
Aku menghela napas lega. Teman-teman cowokku tidak ada yang pernah terlibat berantem, seperti itu Gibran, Alva, Denis dan Hanif berasal dari keluarga yang baik-baik dan tidak ada musuh.
Lagian juga mau ribut ama siapa? Atau mau akunnya diretas sama Hanif lalu di-share konten yang menjijikan? Mereka juga jarang ribut, palingan ribut rebutan stick PS sama snack.
"Ahhhh! Semoga nggak ketahuan deh, lo nggak usah masuk aja besok, Ar." Usulku.
"Nggak. Cemen banget menghindar. Kadang gue bingung sama lo, Sas. Lo suka dorong gue dan narik lagi. Pas waktu kejadian buku Pak Badrun lo dorong gue buat hadapin beliau, tapi barusan lo nyuruh gue kabur dari masalah. Dan tadi sore, lo nyuruh gue bantuin Akbar. Pas gue bilang oke, lo malah narik gue lagi."
"Gue ragu-ragu?" gumamku pelan.
"No prob, tapi kasusnya berlaku di lo juga, Sas. Gue kagum sama ide lo tentang SK Project itu. Lo dorong diri lo sendiri buat bikin, tetapi lo narik ide itu lagi karena nggak yakin. Gue benar atau salah?" tanyanya.
"Benar. Gue ragu. Akbar—" Aku keceplosan ingin menceritakan tentang pertemuanku dengan Akbar. Sial, kenapa nama itu meluncur begitu saja.
"Kenapa dia? Lo emang ada sesuatu sama dia kan? Lo sering ngeliatin dia, perhatiin dia terus bahkan tadi lo minta bantuin dia. Lo suka sama dia?"
Suka? Emang hanya itu yang orang lain pikirkan saat aku sedang penasaran dengan orang lain? Beberapa detik tidak ada jawaban langsung dari bibirku, tentu sangat mencurigakan bukan.
"Kalo iya lo suka sama Akbar, aturan tadi gue biarin aja dia dikeroyok," tambah Arya lagi. Sadis.
"ARYA! Kok lo gitu? Gue nggak suka sama dia, cuma...,"
Haruskah aku bercerita tentang ucapan Akbar yang menyuruhku untuk berhenti mengurusi anak kelas karena mereka tidak suka diatur. Kalau Arya pernah menceritakan masa lalunya yang memalukan harusnya aku mulai mencoba menceritakan masalahku juga.
Tapi nanti terdengar mengadu ya? Aku takut Arya melakukan sesuatu pada Akbar.
"Akbar bilang gue harus berhenti buat ngatur anak kelas."
"Iya. Lo emang harus berhenti, Sas." Tidak kusangka Arya juga satu pikiran dengan Akbar. Aku jadi merutuki kebodohanku. Kenapa dia setuju sama ideku lalu setuju dengan Akbar juga. Maunya apa sih dia? Meski kepalaku mengangguk hatiku mengatakan tidak demikian. Aku masih ingin project kelasku terus berlanjut. "Karena gue ketua kelasnya. Gue yang harusnya mengatur kalian."
"Lo aja sama bengalnya kayak Akbar hobi nonjok orang mau bikin perubahan? Gue kecewa sama lo karena tadi lo nurutin ucapan gue. Aturan lo bisa menghindari pertengkaran tadi," dumelku kesal.
Nadanya pasti menjengkelkan, aku mudah ditebak karena kalau sedang kesal suara dan nadaku berubah super ketus.
"Gue cuma pengen bantu lo, Sas. Salah?"
"Nggak. Gue yang salah, gue bakal tanggung jawab," kataku diiringi helaan napas pelan.
"No. Nggak usah. Gue nggak pa-pa."
"Jangan berantem lagi. Sumpah gue menyesal banget tadi minta bantuan lo, sori. Salah gue."
Arya mendesis. "Jangan gitu. Bukan salah lo. Gue juga sebenarnya mau langsung bantuin sebelum lo bilang, tapi gue langsung ingat baru pindah masa udah bikin masalah."
Usai menutup telepon aku berbaring di kasur lalu meraih buku agendaku. Agenda yang aku beri nama SK Project. Lembar pertama diisi saat hari pertama aku sekolah biasa di kelas 11 IPS 5, tentang misiku berangkat pagi, menyapa teman sekelas dan meminta biodata mereka. Lembar kedua diisi oleh tulisan Arya tentang menjadi teman, sahabat dan pacarnya. Aku tertawa pelan. Dasar cowok aneh. Pacar ya hm...
Lembar selanjutnya adalah pembagian team untuk porseni.
💙💙💙
Aku menghirup udara segar pagi ini sebanyak-banyaknya, agar paru-paruku bersih sehingga udara yang aku hirup bisa masuk ke otak dengan bersih. Semoga pikiranku juga ikutan jernih untuk menyambut hari ini.
Seperti kembali ke pagi hari biasanya saat sebelum mengenal Arya, aku berangkat ke sekolah dengan motorku sendiri.
Tadi sebelum berangkat, Arya mengadu padaku bahwa motornya disita lagi. Dia ketahuan berantem, aku sudah bisa menebak luka-luka di wajah Arya pasti cukup parah. Luka di wajah itu kan sebagai bukti cowok itu terlibat dalam perkelahian.
Sebuah bunyi klakson dari mobil terdengar memasuki telingaku saat aku menghentikan laju motorku untuk mengecek ponsel yang berdering panjang. Pesan beruntun dari Arya dengan kata yang sama masuk dalam ponsel.
Buruan oi
Pandanganku bersibobok ada sesuatu di seberang jalan --ada mobil merah, kaca yang terbuka muncul wajah ayahnya Arya yang sudah kuingat meski baru sekali bertemu. Beliau melambaikan tangan singkat padaku. Mobilnya terparkir di lahan yang cukup aman sehingga tidak menimbulkan jalanan jadi macet atau bisa dikerek mobil satpol PP.
Aku menggigit bagian dalam mulutku takut. Helm yang menempel di kepala segera kubuka dan melempar senyuman tipis, aku mendorong ponselku ke dalam kantong rok.
"Pagi, Om!" sapaku ramah lalu menyalami tangannya.
Ayahnya Arya membalas senyumanku ramah. Aku hendak turun memarkirkan motor tetapi ditahan oleh beliau.
"Nggak usah, saya cuma sebentar. Kamu Sashi teman anak saya, kan?" tanya Om Gio seakan meneliti ekspresiku.
God. Dia kan psikiater, jangan-jangan jago meneliti bahasa tubuhku. Eh, aku jadi kikuk diperhatikan seperti itu.
"Iya. Arya teman sekelas saya, Om. Maaf, Arya—"
"Saya perlu bicara tentang kejadian kemarin. Kemarin kamu pulang sama dia, bukan? Apa benar dia berantem karena membantu temannya yang diserang sekelompok anak sekolah lain?" Om Gio menghela napas, mengelus dagunya pelan. "Tapi, sepertinya waktu sekarang kurang tepat. Saya boleh minta nomor kamu? Tolong jangan sampe Arya tau, oke? Maaf ya," kata Om Gio lalu mengeluarkan ponselnya dan memberinya padaku.
Aku mengetikkan nomorku di ponselnya lalu tersenyum tipis. "Baik, Om. Saya juga harus jujur, sebenarnya itu salah saya."
Ekspresi wajah pria itu berubah jadi tersentak kaget, mulutnya terbuka lalu menutup lagi. Aku menunduk takut. "Benar begitu?"
"I-iya. Saya yang memintanya untuk membantu Akbar. Saya yang salah." Aku mengakuinya di depan ayah Arya.
"Ah!!" Om Gio mendesis pelan dan menggelengkan kepala, "saya cuma minta satu. Jangan persulit kehidupan Arya di sekolah barunya. Saya berharap dia bisa menata hidup baru, yang lebih baik di sana. Boleh kan saya menanyakan tentang Arya lewat kamu? Arya sedang saya pantau. Kita bicarakan nanti lagi ya, saya harus pergi. Terima kasih, Sashi. Have a good day! Hati-hati di jalan."
💙💙💙
Jangan persulit kehidupan Arya di sekolah.
"Sashi lama banget!" seru Arya sudah menghadang di depan motorku. Dia berdiri memakai tas lengkap dengan hoodie hitamnya menyentuh lampu depan motorku.
Aku tidak bisa memandang Arya biasa saja lagi, permintaan dari ayahnya tadi begitu menohokku. Pengusiran halus. Ayahnya meminta agar aku tidak melakukan tindakan seperti kemarin yang mendorong Arya ke tengah perselisihan.
Aku hampir lupa dia sedang menata hidup barunya, apalagi dia anak dokter, ayahnya pasti terkenal banyak klien dan pasiennya. Makanya gerak-gerik Arya akan berpengaruh pada imej ayahnya. Ayahnya memperbaiki tingkah Arya dengan susah payah, sementara aku menghancurkannya hanya begitu saja. Aku sangat bodoh merusak Arya.
"Sori! Udah yuk naik, biar cepat sampe. Gue mau bersihin kelas," sahutku singkat.
"Yooo. Yuk berangkat."
Sesampainya di sekolah aku berusaha tidak berbuat tingkah yang mencurigakan bagi Arya, tetapi aku tidak bisa berbicara sambil melihat wajahnya. Jadi, saat dia ngoceh panjang lebar sambil mengikuti diriku yang membersihkan sekitar meja guru, aku sok menyibukkan diri. Usai merapikan meja guru aku kembali ke kursiku dan Arya duduk di mejaku.
Dia masih ngoceh tentang mainan yang baru di-download, aku mengamati luka-luka di wajahnya lalu menutup mulutku. Aku baru sadar bahwa luka di wajahnya masih terlihat baru, kening kanannya diplester, sudut bibirnya keunguan, di pipi kanannya lebam dan bengkak. Sumpah wajahnya jadi mengenaskan sekali.
"Arya, wajah lo ...,"
"Baru nyadar? Dari tadi ke mana aja, Neng!" sahutnya sewot.
Aku menyadari bahwa sedari tadi Arya ngoceh ngikutin aku itu minta diperhatikan, biar aku melihat wajahnya. Dari kemarin aku yang sewot, sok care sampe menelepon. Pasti membuat dia curiga, saat tadi pagi bukannya membahas luka di wajahnya aku langsung mengajaknya cepat sampai ke kelas untuk bersih-bersih.
"Sakit ya? Sakit?" tanyaku panik menyentuh lebam di pipinya sambil berdiri di mejaku, posisinya yang duduk di mejaku membuat tinggi kami jadi sama.
Arya mengerjapkan mata melihat perubahan drastis padaku. Dia membuka mulutnya lalu menutup lagi. "Ya, sakit. Aw, jangan dipencet! Aw, aw, mending dielus. Sshhh...."
"Apanya yang dielus?"
"Sashi, dielus aja jangan digencet!"
"Digencet apanya? Dipencet oi!!"
"Aw, dipencet. Keluar dong? Sashi jago ya!"
Bahasa-bahasa kurang ajar itu terus memasuki telingaku, sampai wajahku memerah menahan malu. Tanganku masih di pipi Arya, dia memanyunkan bibir sok imut, lalu pandangannya terarah ke belakang.
"Jangan kurang ajar weh, pernah makan gagang sapu nggak?!" pekiknya pada anak-anak cowok itu. "Mau gue jejelin sapu?"
"Lo kenapa sih? Kayak bukan Sashi kalo nggak bergairah gitu, ada yang ganggu lo?" Dia kembali menatapku perhatian.
Aku menggelengkan kepala. "Nggak pa-pa kok. Kalo sekolah liat gimana, Ar? Mereka pasti nanya itu luka dari mana asal—"
Ucapanku terhenti saat seorang murid cowok datang ke kelas kami lalu berteriak pada Arya. "Arya sama Akbar disuruh ke ruang BK."
Aku dan Arya saling bertatapan, cowok itu tersenyum lalu menepuk puncak kepalaku. Sebelum dia tersenyum tadi, aku bisa melihat dari matanya yang melebar.
Dugaanku dia sempat tersentak ketakutan, namun segera menutupinya dengan tersenyum dan mengalihkan perhatianku dengan mengelus kepalaku.
Arya, maaf....
💙💙💙
A/N:
Bapaknya galak duh :""v
2 Sept 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top