Part 14

Tidak biasanya jam istirahat pertama kelas kosong melompong.

Aku berkacak pinggang menatap ruangan kelasku, lalu mendorong tempat sampah plastik berwarna pink menuju deretan meja sebelah koridor.

Aku sangat mencintai kebersihan jadi aku akan memeriksa kolong mereka.

Kalau ada nyamuk bersarang di kolong kan membahayakan bagi kami. Semoga aja tidak ada sampah basah di kolong meja mereka.

Dimulai dari meja Arya dan Wira, tidak terlalu banyak sampah. Banyakan sampah kertas coret-coretan bermain S.O.S. Astaga, mereka sering asyik bermain di tengah pelajaran. Dasar duo absurd. Aku membuang kertas yang mengisi di kolong mereka ke tempat sampah.

Meja kedua adalah milik pasangan Dhika dan Rando. Tidak terlalu banyak sampahnya, mereka memang murid yang agak baik. Keanehan mereka adalah lengket banget mirip sepasang kembar siam. Tepatnya sepasang homo. Becanda ding!

Aku pindah ke meja deretan kedua, meja milik Kiyna dan Wendy. Sampah mereka tidak terlalu banyak. Maklum cewek pesolek pasti jijik harus menimbun sampah di kolong. Di kolong meja mereka juga ada beberapa majalah cewek.

Suara petikan gitar nan lembut terdengar diiringi suara jernih milik seseorang menyanyikan sebuah lagu.

I got all I need when I got you and I

I look around me, and see sweet life

I'm stuck in the dark but you're my flashlight

Aku mengangkat kepala dan mendapati seorang cowok bermain gitar duduk di meja milik Arya, saat aku menyadari sosok itu adalah Arya yang lagi nyanyi-nyanyi sambil main gitar membuatku sedikit terhibur.

"Maaf, Mas, nggak ada receh!" seruku membuatnya berhenti bernyanyi.

Arya menatapku geli. "Nggak butuh receh, Mbak. Butuhnya cinta Mbak aja cukup. Aw."

Sialan, cowok itu kembali menjadi Arya si cowok receh jadi sekali aku goda dia malah membuatku semakin geli.

Aku fokus kembali mengurusi kolong meja Malik dan Mumud. Belakangnya meja Kemal dan Indra. Duo misterius yang jarang berisik, tapi suka ngacak-ngacak kelas dengan bedak yang membuat lantai belakang licin.

Aku berjalan ke barisan meja ketiga, meja milikku dan Putri. Mejaku bersih, untungnya Putri cuma menyimpan sampah bungkus chiki.

Di belakang mejaku adalah meja Okto dan Jerry. Di kolong meja mereka banyak sampah permen dan choki-choki. Astaga jangan bilang mereka suka ngemil pas pelajaran.

Di meja belakang tempatnya Altaf dan Pandu. Sampah mereka di kolong banyak sekali, saat aku mengeluarkan botol minuman keluar nyamuk berterbangan menerpa wajahku. Jijik banget!

Aku beralih ke meja belakang paling pojok, meja milik Akbar dan Brian. Duo paling menyeramkan dan mengerikan. Aku takut sama dua-duanya.

Di kolong meja Brian ada berbagai macam jenis novel thriller pembunuhan, di kolong meja Akbar banyak sampah kertas.

Saat aku membukanya, ternyata dia menggambar cewek-cewek cantik ala grafiti. Kertas yang diremas itu mungkin sekilas hanyak terlihat seperti sampah. Tetapi, saat aku lihat isinya begitu menakjubkan. Selain jago nonjok tangannya bisa buat gambar juga toh. Keren keren!

Aku menyimpan kertas dengan gambar seorang cewek bersayap yang super cantik ke saku rokku.

Setelah menyelesaikan mengorek sampah di kolong Nicky-Tio dan Sera-Mala, aku keluar kelas membuang ke tempat sampah besar yang ada di depan kelas 11 IPS 4. Aku menerima tatapan aneh dari cewek-cewek yang ngerumpi di depan kelas tersebut.

Aku tak mengacuhkannya lalu kembali ke kelas membawa tempat sampah pink tadi. Meletakannya di pojok kelas lagi. Arya masih duduk di mejanya sambil memetik gitar.

"Lo abis ngorekin sampah nggak cuci tangan?" Tegur Arya sandaran di tembok.

Aku menyodorkan tangaku depan mukanya. "Nih mau cuci tangan! Dasar bawel!"Aku lari keluar dari kelas takut dihajar Arya karena bertingkah jorok.

Kelasku bersebelahan dengan toilet, aku cuci tangan sebentar lalu kembali ke kelas.

Arya masih genjreng-genjreng gitar, sekarang sudah masuk genre Rock karena dia nyanyi dengan lirik tidak jelas. Meraung-raung dengan suara seperti monster. Aku mengerjapkan mata melihat aksinya.

"Gue pernah jadi gitaris band dulu di sekolah lama. Jadi pengen nge-band lagi," ucap Arya cengengesan.

"Ini gitar siapa?"

"Oh. Punya anak kelasnya Astar. Eh, gue belum ngenalin lo ke Astar ya? Nanti gue kenalin deh. Dia sohib gue dari kecil. Orang tuanya teman sekolah ortu gue, jadi dari kecil udah dikenalin gitu." Kedua alis Arya menaut. "Tapi lo jangan naksir Astar ya!"

"Lo yang anak baru kok malah lo yang ngenalin dia ke gue?" tanyaku heran.

"Lagian lo kuper. Nggak punya teman kan? Teman lo cuma Sherly sama Lalisa?" ucapannya begitu menyebalkan.

"Teman sebangku gue dulu masuk IPS 2. Masa dia udah nggak kenal sama gue, malu kali ya punya teman kayak gue?"

Cowok itu tertawa kecil. "Teman sebangku bukan berarti sahabat kan, Sas? Apalagi dia lupa sama lo."

"Iya, bodo amat deh!"

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang cewek berpenampilan heboh. Menurutku sih heboh karena rambutnya yang panjang dan lurus sepundak itu dihias dengan bando pita bermotif polkadot.

Bando yang lagi terkenal karena mirip telinga kelinci. Aku tidak menyukai cewek ini, selain sering sinis dan tatapannya begitu merendahkan diriku. Dia menyebalkan.

Veronica masuk ke dalam kelasku menyapu pandangan. "Anak kelas lo pada ke mana?"

"Pergi keluar dan entah ke mana." Aku menjawab dingin.

"Owh, ehem, Sashi, lo udah tau kan kalo kelas IPS 5 nggak bakal diikutsertakan dalam porseni sekolah?" tanya Veronica memancing, dia mengatakannya seolah tahu segala hal, ya lumrah karena dia anaknya pemilik sekolah.

Cucu dari pemilik yayasan Esa Sebelas group.

"Masa nggak diikutsertakan lagi? Tahun ini gue pastiin ikut. Kita bakal ikut," ucapku tegas.

Dia tertawa mirip mak lampir. Lalu berdeham salah tingkah dan melempar senyum ter-anggunnya. "Duh, nggak ada sejarahnya tau IPS 5 ikut porseni. Percuma aja pada nggak jelas, males dan didiskualifikasi duluan! Udah deh nggak usah repot, mending lo nanti sibukin diri jadi panitianya aja."

"Enak aja! Gue mau mereka ikut!"

Arya meletakkan gitarnya di meja. Dia menatap Veronica tajam. "Ver...,"

Cewek itu melempar senyuman menggoda pada Arya dan mengibaskan tangannya. "Oke, selamat berjuang buat kalian. Semoga berhasil membawa IPS 5 ke Porseni. Kalo bisa ikut ya, kalo nggak sih mending kalian di kelas aja guling-guling nggak jelas."

Sambil tertawa dia pergi meninggalkan kami.

Asli cewek itu menyebalkan, omongannya sinis dan sangat merendahkan kami.

"Itu anaknya Pak Esa yang katanya derma dan ramah? Buset, gue rasa pas emaknya hamil, si Bu Alya kebanyakan nonton sinetron. Nyebelin banget!!!" Aku menggeram kesal. Bagus deh makhluk nyinyir itu sudah pergi.

Arya tertawa pelan di atas meja, matanya masih menatap koridor di mana Veronica menghilang.

"Kok lo ketawa?" Aku bertanya kesal.

"Lo baru hadepin mulut dia aja udah emosi. Ini permainan kuat-kuatan mental, Sas. Lo harus bisa melawan orang-orang nyinyir di sekitar lo biar bisa maju!" ucap Arya bak motivator.

"Rasanya gue mau menyerah sebelum berjuang."

💙💙💙

Bakat psikiater ayahnya Arya sangat menurun ke anaknya, terbukti ucapan Arya menggoyahkan keinginanku yang lagi labil. Aku masih bingung harus bagaimana, terus melangkah atau berhenti sekarang juga.

Berbagai pikiran berkecambuk dalam kepalaku. Ucapan Akbar dan Arya saling bersahutan berusaha minta dimenangkan.

Di depan mading sungguh ramai dipadati anak murid SMA Esa Unggul. Aku mampir melihat pengumuman apa yang tertempel di sana, ternyata sebuah kertas pengumuman Porseni yang akan dilakukan dua minggu berturut-turut beberapa minggu lagi.

Tanpa sadar mulutku mendesis. Kelasku pasti sudah di-blacklist tidak diikutsertakan karena pengalaman sebelumnya kelas IPS 5 memang tidak pernah dilibatkan dalam acara tersebut. Ini diskriminasi.

Kelas 10-1 sampai 10-5 hubungi ke Ramon Vinora

Kelas 10-6 sampai 10-9 hubungi ke Hesti Annida

Kelas 11 IPA hubungi ke Adara Trisiana

Kelas 11 IPS hubungi ke Lalisa Evelyn

Kelas 12 IPA hubungi ke Karla Lasmita

Kelas 12 IPS hubungi ke Alvaro Winata

"HAH?"

Mataku melotot melihat di papan pengumuman tersebut. 11 IPS semuanya berpartisipasi, perasaanku senang luar biasa karena tahun ini IPS 5 bisa ikutan Porseni.

Tanpa sadar aku bersorak riang dan memeluk leher seseorang yang berdiri di sebelahku.

Cowok itu tersentak kaget dengan matanya yang membulat menatap balik tepat di mataku.

Aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh lenganku, ternyata cowok yang sedang kupeluk ini memelukku balik.

Arya?

Aku merasa waktu berhenti di detik ini juga.

"Eh, bocah gila main India-an di sekolah!" celetuk Hanif sambil berkacak pinggang. Di kanan-kirinya ada centeng bertubuh besar, Denis dan Gibran. Alva yang paling kecil menggelengkan kepala.

"Astaghfirullah, wahai anak muda. Pacaran nggak liat tempat!" seru Alva.

Siapa yang pacaran lagi? Aku tersentak menyadari tanganku masih melingkar di leher Arya. Aku segera menariknya menahan hawa panas di wajah dan tatapan genit dari para cowok sohibku itu.

"Enak banget kayaknya bisa peluk-peluk, umhh," ucap si Denis dengan tatapan mesum. "Mau gue peluk nggak? Bahu gue lebar nih enak buat backhug. Lo pasti anget, Sas!"

Wajahku memerah karena ucapan Denis. Bahunya memang menggoda para cewek untuk dijadikan bahan sandaran.

"Sashi!" pekikan dari Gibran membuat kami serempak menoleh ke arahnya. "Jadi gitu udah nggak peluk aku, peluknya sama Arya?"

Eh apaan ini? Nggak gitu.

Aku menggelengkan kepala sambil melotot pada Gibran mirip medusa agar cowok itu tidak berbicara macam-macam. Aku nggak pernah peluk Gibran. Sial banget ini bocah-bocah.

Nggak gitu...
Nggak...
Jangan percaya...

"Kalian ganggu terus! Minggir sana pergi ... pergi!" seru Arya sambil mendorong punggung ke-empat cowok terganteng itu kayak menggiring bebek ke sawah. "Ganggu lo pada, jir. Udah tau lagi mesraan, awas aja muncul lagi!"

Meski ganteng-ganteng mereka rese pantes aja dikutuk jadi jones. Apa karena mereka jones ya jadinya rese? Ah, udahlah bukan urusanku!

"Sashi."

Aku tersentak melihat Arya berdiri di depanku lagi, sementara Gibran dkk berjalan mundur sambil sesekali masih menggoda kami berdua.

Suara siul-siulan bersautan dari mulut usil mereka diiringi suara tawa berat mereka.

Aku melayangkan tangan yang mengepal kepada mereka.

"Ayo, lagi terusin," kata Arya dengan muka mesum.

Aku melotot dan menjitak kepalanya. "Ogah!! Gue tadi nggak sengaja tau. udah ke-gap kenapa masih mau nerusin? Dasar peak!"

Arya meringis mengusap puncak kepalanya mengaduh kesakitan. "Kamu udah berani kasar sama aku, ya? Jadi kita main kasar nih?" tanyanya serius sambil mencengkeram tanganku.

Aku meneguk ludah memandangi Arya yang sudah berubah wujud jadi Arya yang serius.

Astaga, apa salahku perasaan cuma menjitak kepalanya. Untungnya kami masih di sekolah, kalau Arya melakukan hal yang mengancam jiwaku, akan ada banyak saksi mata dan aku bisa menjerit minta pertolongan.

Cengkeraman Arya di pergelangan tanganku semakin keras.

"Ar, sakit!" Usahaku menarik tangan dari Arya sia-sia.

Aku menunduk ketakutan tidak berani memandang wajahnya yang lagi menyeramkan. Tanganku dilepas, lalu dia memegang tanganku dengan kedua tangannya. Dia mengelus tanganku lembut.

"Baru dipegang udah banyak bercak merahnya, maaf ya."

Dipegang? Tadi kamu megang kecang banget tau sampe rasanya tanganku kayak diperas. Dia masih sibuk mengelus tanganku. Sebuah hentakan keras terasa dia melepaskan tanganku dan merengkuh bahuku berjalan.

"Balik yuk!"

"I-iya." Aku kikuk menghindari matanya, dia menyadari keanehanku dan mengusap puncak kepalaku lembut.

"Kenapa lo? Ketakutan?" Dia tertawa geli.

"Lo aneh banget, Ar. Tadi sumpah tangan gue rasanya kayak darahnya berhenti mengalir gara-gara lo pegang."

"Iya maaf, gue gemas banget sama lo. Gue pengen ngabisin lo tau kalo dekat-dekat, abis lo tuh kombinasi yang mematikan."

Aku melotot. "Kombinasi apaan? Emang gue roti?"

Sepertinya ini bakal jadi pembelajaran baru, Arya kalau gemas bisa menyeramkan. Tanganku sudah menjadi korbannya. Aku bergidik ngeri. Dia seperti kotak yang memiliki banyak sisi, luar dan dalam.

💙💙💙

Dalam perjalanan pulang cowok itu sering melepas helmnya sehingga membuat angin menerpa wajah dan rambutnya yang tebal jadi acak-acakan.

Meski sedang berkendara, Arya masih suka ngoceh menceritakan segala hal, aku sih jika mendengar dengan jelas akan kutanggapi.

Jika suaranya menyatu dengan deru angin hingga tak bisa mencapai telingaku aku hanya menyahut 'ya ya' saja.

Aku menggeser kepalaku dari punggung Arya saat cowok itu memelankan motornya dan terdengar suara keributan disertai teriakan dengan kata-kata kasar.

"Wuih!" seru Arya dari depan seakan terkesima dengan pemandangan di depan kami.

Tidak jauh dari kami, ada sekumpulan anak sekolah berseragam putih abu-abu berkelahi saling menyerang satu sama lain tanpa ampun.

Tetapi fokusku pada satu cowok yang berdiri di tengah sendiri. Akbar.

Akbar sedang dikeroyok. Bagaimana ini?

💙💙💙

1 September 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top