Part 13
"Lo bisa biasa aja nggak sih senyumnya," ujarku tidak suka. Aku masih suka ngeri melihat Arya tersenyum seperti itu. Benar, hari ini dia rada aneh. Jadi kalem, dingin, cuek dan senyumnya tidak sampai ke mata. Mirip psikopat.
Berbeda sama Arya yang biasanya konyol, cengengesan, dan saat tersenyum matanya menyipit. Setelah mendengar cerita dari Lalisa tentang kehidupan Arya sebelum pindah ke sini, aku jadi sering melamun memikirkan bagaimana kehidupan masa sekolah Arya dulu.
Apa dia pernah pacaran? Pernah suka sama cewek? Atau mungkin bikini party itu membuat dirinya kehilangan keperjakaan. Bagaimana jika sebenarnya dia sungguhan sudah pernah sex? Kalau dia memiliki lingkaran pertemanan seperti itu pasti alkohol dan rokok bukan sesuatu yang asing lagi.
"Ini biasa kok. Kenapa? Bukannya lo yang minta gue berubah?"
Oh my god. Lo malah jadi creepy, Arya!
Kini kami berdua sedang di parkiran motornya, aku sudah biasa menjadi bahan tontonan karena sekarang gosip Arya-Sashi sudah merebak. Melihatku berduaan sama Arya bukan sesuatu yang asing, aku tidak bisa menghindari Arya karena motorku di rumah. Aku berangkat dan pulang bersama Arya sesuai ucapannya yang mau menjadi supirku. Jadi menjauhi Arya sekarang membuatku tidak bisa pulang.
Apa aku perlu menghindarinya untuk mengenyahkan gosip itu? Aku bilang sekarang bahwa besok akan berangkat sendiri naik motor. Jujur saja aku lebih suka bawa motor sendiri, biar bebas mau ke mana saja. Apalagi jika ada berita darurat aku bisa langsung pulang.
"Jadi sisi lain yang lo bilang itu yang mana?" tanyaku pada intinya. Aku jadi pusing dengan perubahan tingkah drastisnya.
"Lo pasti udah tau dari Lalisa. Kalian pasti sering bergosip, dan ngomongin gue, kan? Nggak usah melotot kaget karena gue benar gitu dong!" kata Arya membuat jantungku berdegub kencang.
Mataku pasti sudah melebar nyaris keluar dari tempatnya, sial. Dia punya indra ke-enam atau pembaca pikiran orang?
"Nggak. Gue nggak punya indra ke-enam, tapi wajarlah cewek suka ngomongin cowok ganteng." Omongannya sudah mulai ngaco, itu dia sudah kembali menjadi Arya.
"Apaan deh!" tukasku cepat. "Arya yang nggak diketahuin orang tua lo yang mana?"
Arya menghentikan aktivitasnya mengecek kondisi motor, lalu menatapku serius. "Lo mau tau yang mana?" Aku mengangguk kuat-kuat, dilihat dari kaca spion motornya aku tengah tersenyum lebar penuh rasa penasaran.
"Selain suka kepoin binatang, lo udah mulai tertarik sama gue juga rupanya," katanya usil.
Sial. Ternyata aku gampang dipancing dengan sesuatu yang menarik bagiku. Aku kena jebakannya. Senyumku memudar berganti ekspresi mirip angry bird merah, Arya tertawa geli dan memakai helm hitam di kepalanya. Dia mengambil helm Hello Kitty merah memakaikannya padaku.
"Gue dari tadi pengen nanya. Ini helm punya siapa? Keluarga lo kan nggak ada yang cewek, eh, nyokap lo ya cewek. Tapi ini helm anak remaja," kataku penasaran. Aku emang suka kepo sih.
"Beli dong. Kan buat Sashi harus spesial. Oh ya, abis ini jalan dulu. Ini bukan tawaran atau pertanyaan tapi perintah! Gue nggak suka ditolak, jadi jangan bilang nggak mau." Seperti bos memerintah anak buah dia nyerocos, belum sempat aku menyela dia sudah mengendikkan dagu nyuruh aku buruan naik ke belakang motornya.
Aku salah mengira. Aku kira Arya cowok yang aneh dan tulalit. Ternyata dia seperti koin, bukan koin lagi dia seperti kotak. Memiliki banyak sisi yang menjadi rahasia. Di dalamnya masih ada sisi yang tidak bisa dilihat, kecuali kita membuka salah satu sisinya.
"Mau ke mana sih?" Aku meneriakan kuat-kuat takut kalah sama suara knalpot motornya.
"Mau dengerin cerita versi gue?" ucapnya nyaru dalam helm.
💙💙💙
Aku tidak pernah memesan minuman yang warnanya belang-belang seperti ini. Selain aku meragukan rasanya, aku juga takut tenggorokanku langsung terbakar batuk-batuk. Minuman dengan warna oranye ngejreng itu tampak menyegarkan, dan bagian bawahnya berwarna merah. Warnanya pekat sekali dan juga kental. Aku takut minuman itu malah menyiksa tenggorokanku yang sensitif.
Suara musik dari home theater di sudut kafe memperdengarkan lagu Ratusan Purnama dari Melly Goeslaw dan rekan duetnya. Lagunya yang rada mellow itu semakin membuat suasana jadi romantis. Aku melihat kanan kiri banyak pasangan yang pacaran.
Arya duduk di depanku dengan wajah letih, punggungnya sandaran di sofa. Matanya terpejam lalu dia menyugar rambutnya ke belakang dan mengembuskan napas kuat-kuat. Minuman Arya lebih aneh lagi, empat warna. Merah, putih, biru dan hijau. Entah apa rasanya, melihat minumanku saja sudah membuat tenggorokan sakit.
Tadi aku asal saja menyebut mau Happy Orange. Entah nama makanan zaman sekarang semakin aneh. Ya akal-akalan kafe ini aja biar laku keras, aku mengakui idenya lumayan keren. Minuman seperti terlihat antik dan lucu. Soalnya aku kalo nongkrong sama gengnya Lalisa selalu pesan coffee, jasmine tea atau lemon tea.
"Lo ngajak gue ke sini bukan tanpa tujuan, kan?" tanyaku membuat dia segera menegakkan punggung.
"Oh iya, lupa." Dia tersenyum geli. "Sori, lo nggak minum?" Arya heran dia sendiri sudah menyeruput minumannya dan tidak mati keracunan, habis minumannya mirip zat kimia.
"Iya, ini mau minum," jawabku mengambil gelas dan menyeruputnya. Arya tersenyum memandangiku.
"Lucu minumnya." Arya menggumam.
Uhuk, plis kenapa suasana jadi awkward lagi? Ya Tuhan, balikin Arya yang dulu, yang masih kayak cowok abnormal!
Cowok itu melepas jaketnya masih belum mengatakan hal yang tadi diucapkan di parkiran. Aku menunggu saja sampai dia sadar sendiri mau membuka salah satu sisi balok persegi itu.
"Dulu gue sama teman-teman nongkrongnya di sana, yang mejanya gede!" seru Arya menunjuk sebuah meja yang paling besar bisa untuk 10 orang. "Tapi sekarang udah bubar, tau deh kayaknya mereka nggak kapok masih suka nongkrong. Tapi gue nggak ikut."
Mereka siapa? Si para pelaku pesta kolam renang itu?
"Teman lo banyak ya di sekolah lama," sahutku membuatnya menoleh ke padaku lagi.
"Iya teman gue. Mereka tuh rusuh, ancur, dan gesrek semua. Mereka hiburan gue, anaknya kocak-kocak sumpah. Gue jadi kangen," katanya dengan mata berbinar. Aku tersenyum memandangi meja yang tadi ditunjuk oleh Arya. Mungkin beberapa tahun lagi aku yang bakal bilang begitu, merindukan kerusuhan aku dan lainnya jika lagi nongkrong.
"Terus? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Pancingku biar dia segera menceritakan masalahnya.
"Iya. Kami goblok banget. Idenya si Januar sih bikin pesta kolam renang. Gila itu bocah maklum anaknya bebas, ortunya jarang di rumah. Gue dipaksa datang. Di sana gue juga cuma numpang tidur di kamarnya."
Tidur. Kata itu membuat tubuhku seketika menegang. Apa Arya akan menceritakan yang sebenarnya padaku?
"Pas gue bangun cuma ada Tora di ruang TV lagi nonton sambil ngemil. Pas gue tidur ternyata teman gue yang lain udah sama pacarnya ke kamar. Gue sempat ngomelin Tora karena dia nggak nahan yang lain. Tapi, kata Tora nggak ada yang bisa ngalahin napsu tuh para bocah tengik," lanjut Arya dengan bibir tersenyum lelah, "dan di kelas 11 IPS 5 gue berakhir. Gue dipindahin sama bokap."
"Tapi lo nggak ikutan sex sama mereka kan?"
"Nggak, lo percaya sama gue? Yang sex dikeluarin, gue cuma dikasih SP. Tapi bokap gue tetap mindahin ke EU. Kenalan bokap gue, sohib deng."
"Iya gue percaya sama lo. Masa? Lo kenal anaknya pasti, si Veronica Ariya itu. Cocok tuh sama lo, namanya sama!" Aku nyengir.
Veronica anaknya sang pemilik sekolah –pak Mahesa Arya kerap disapa Pak Esa. Sebenarnya Pak Esa orangnya dermawan dan ramah, tetapi anaknya sombongnya selangit. Dia anak kelas 12 IPS 1. Pentolan IPS, karena pentolan di IPA adalah Lalisa. Aku yakin jika mereka berdua ribut bakalan jadi duel maut mengalahkan depe-jupe.
"Cocok sama gue? Lo nggak bakal cemburu? Ogah gue sama dia, sinis banget. Padahal ortunya kenal ama gue. Tapi dia rada sengak gitu," ucap Arya geli. "Pak Esa inspirasi bokap gue namanin Arya juga. Biar ketularan tajir."
Aku tertawa lebar mendengar ceritanya. Ada gitu ya? Ah, mungkin juga mengingat orang tua kadang suka aneh sekali. Mama memberiku nama Sashi Kirana karena sangat suka dengan bulan yang terang benderang.
"Bagus. Idenya cemerlang. Semoga lo sukses juga kayak Pak Esa. Gue dengar beritanya beliau punya banyak anak perusahaan dan sekolah kita itu cabang ke-tiganya loh!" seruku berusaha pamer pengetahuan.
"Iya. Nyokap gue kan SMP-nya di sekolah rintisan kakeknya Vero. Terus SMA-nya ortu gue di SMA Sebelas Maret alias Semar. Sekolah lama gue. Terus pindah ke sini, hidup keluarga kita tuh kayak di lingkaran ini doang tahu nggak?" celetuk Arya sambil tertawa dan menggeleng. "Orang tua gengnya Lalisa kenal sama ortu gue semua."
Aku menganga mendengarkan ceritanya. SMA Sebelas Maret merupakan sekolah induk dari sekolah kami.
"Ortu lo satu sekolah sama ortunya Lalisa? Buset, soalnya Lalisa pernah cerita tentang SMA Semar gitu."
"Yup." Angguk cowok itu. "Mereka udah kenal dari masa remaja, ortu gue adik kelasnya ortunya Lalisa. Eh, gue mulu yang cerita tentang keluarga gue. Lo dong! Beneran lo sekolah 10 tahun di Sukabumi, sekolah alam itu? Di sana gimana? Gue sih pasti nggak betah," kata Arya.
"Keluarga gue, gue bingung gimana mau ceritanya. Nyokap gue itu punya katering, bokap gue dokter bedah. Jadi jarang di rumah banget. Gue bukan anak tunggal—" Aku menggigit bibir menahan rasa nyeri di hatiku mengingat perginya Kak Sasa.
"Nah iya! Gue nggak pernah tau tentang kakak atau adik lo," potong Arya keningnya berkerut menyadari aku diam saja, "Sashi?" Dia menatapku karena aku masih bergeming.
"Kakak gue meninggal beberapa bulan yang lalu, sakit Lupus. Lo pasti tau tentang penyakit itu." Senyumku hambar. Ekspresi wajah Arya berubah jadi sendu, dia menepuk punggung tanganku lembut.
"Sori, gue baru tau. Gue ikut sedih ya, terus gimana yang lain?" Dia cengengesan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku senang dia melakukan hal itu. Aku jadi tidak perlu sedih terlalu lama karena mendadak teringat pada kakakku. "Udah gitu doang. Sekolah alam, gue sama Lalisa kenal dari TK. Kita partner in crime kalo main-main dan praktek. Kita pisah saat Lalisa masuk SMP di Jakarta. Gue nyari sosial media dia loh, pake lab komputer sekolah.
"Pas udah punya hape sendiri minta nomornya. Kita ngobrol banyak. Gue pindah ke Jakarta, dia yang pertama kali gue kasih tau. pas masih sekolah di sana Lalisa sama Gibran suka main ke Sukabumi sama Bonyok-nya, mereka dibebasin karena ortunya mau berduaan."
Wajah Arya tiba-tiba jadi kaku, senyumannya lenyap. "Udah kenal Gibran dari lama? Hm."
"Iya. Udah akrab karena suka chat sama dia pas masih SMP. Gue juga masuk satu angkatan sama dia, dia banyak bantuin gue dalam ngerjain tugas. Gila, di SMA tuh banyakan tugas di rumah ya? Gue lebih suka sekolah di alam, gue lemah dalam pelajaran yang kebanyakan nulis itu. Masa LKS harus diisi full. Gue pernah ngisi LKS ngasal semua katanya nggak dikoreksi, eh nilai gue 5 semua."
Aku berhenti ngoceh saat mendapati Arya menatapku dengan raut wajah seriusnya. "Lo ke-kenapa?"
"Nggak. Oh ya, kucing kapan mau diambil? Ibu udah rapihin kandang Nona," ucapnya. Entah sepertinya Arya lagi mengalihkan pembicaraan.
"Anu, nggak dibolehin sama Mama. Mama ada alergi sama bulu. Maaf, nggak jadi. Nggak pa-pa, kan?" Aku jadi tidak enak pada kebaikan hati keluarga Arya.
"Yah," ucapnya dengan kecewa. "Tapi, lo tetap main ke rumah gue ya?"
Tanpa ragu aku mengangguk semringah. Arya mengulum senyuman tipis. Arya mengajakku pulang, saat keluar dari kafe sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Dan aku ingin menyampaikannya sekarang.
"Arya...,"
Cowok itu tidak jadi memakai helmnya lalu menatapku dengan sorot bertanya.
"Sebenarnya Arya yang asli itu yang mana? Lo bilang semalam tentang sisi di mana hanya di depan gue. Lo yang nyeremin kayak gini? Sumpah gue jadi bingung."
"Bukan," tukas Arya cepat. "Gue yang selalu bikin lo gemas, sampe lo mau ngelempar gue pake benda. Gue yang selalu bikin lo garuk kepala dan bingung dengan ucapan ngaco gue. Itu sisi lain yang gue tunjukin cuma ke lo."
"Oh, gitu ya."
Arya mengangguk. "Yuk kita cus pulang!"
"Bisa nggak lo balik kayak kemarin?" Aku lebih suka Arya yang lucu, absurd, dan polos. Mukanya yang seperti hari ini begitu serius dan menyeramkan.
"Kenapa? Lo lebih suka yang kemarin?" tanya Arya usil menaikkan sebelah alisnya, "okelah kalo lo sukanya sama yang kayak begitu."
Skakmat. Dia pasti berbohong, katanya tidak bisa membaca isi pikiranku tetapi dia bisa tahu semua yang aku pikirkan seakan kepalaku ini batok yang transparan.
"Gue agak ngeri sama lo hari ini. Diem mulu kayak ngemut kamper," sahutku.
"Cie!" pekik Arya mencubit pipiku gemas. Aku menepis tangannya tidak suka dicubit.
"Besok gue mau berangkat sendiri naik motor, ya? Abis kalo pulang kayak gini gue nggak bisa sampe rumah cepat-cepat," aku menggerutu.
"Lah, ngapain sih sampe rumah cepat-cepat? Eh, bentar ada yang getar!" Dia merogoh hape di saku celana seragamnya.
"Halo, ya Bu? Emang sabun sirihnya udah abis? Iya, nanti dibeliin. Apa lagi? Nggak! Sama Sashi kok, Bu. Nih nggak percaya!"
Aku melotot saat hapenya Arya disodorkan padaku, Arya memberiku kode agar menjawab sebentar agar ibunya percaya. Entah tadi ibunya mengatakan apa pada Arya sampai dia menyuruhku berbicara pada ibunya. Duh, aku deg-degan.
"Halo, Tante, iya ini Sashi. Benar, Tante, Arya yang maksa mau nganter-jemput. Maaf, Tan, sekarang juga udah mau pulang. Oke!"
Arya menerima hapenya lagi dengan kening berkerut. "Halo, Bu? Iya tutup aja." Dia memasukan hapenya kembali. "Ibu bilang apaan?"
"Katanya dia bilang makasih udah bikin Arya berangkat pagi. Tadi dia cuma mastiin lo beneran berangkat sama gue atau kelayaban. Terus kayaknya dia nggak percaya lo lagi sama gue ya?"
"Iya." Angguk Arya. "Ortu gue masih suka curigaan, takut gue pesta bikini lagi. Padahal gue kan nggak ikutan."
"Makanya jangan nakal!" ucapku.
Dia mencibir. "Nggak ya! Eh, besok bangunin gue lagi. Gue tetap berangkat sama lo."
Aku merengut memanyunkan bibir kesal.
"Jangan manyun, jelek mirip Tata Dado!" seru Arya tertawa geli. Aku jadi ikutan tertawa keras sampai beberapa pasang mata menoleh dan aku menutup mulut salah tingkah.
"Dasar nyebelin! Hu, Arya, nyebelin!"
"Tapi ngangenin, kan? Ngaku aja deh," kata Arya tersenyum miring. Aku gelagapan lalu menggeleng kuat-kuat.
"Lo kali yang selalu kangen sama gue, buktinya sering chat. Kalo nggak dibales neror mulu. Ya kan?"
"Enak aja! Emangnya mama minta pulsa!"
Arya menyuruhku cepetan naik biar kami cepat pulang. Aku masih cekikikan di belakang mendengar ucapan terakhirnya. Dasar ngaco!
💙💙💙
30 Agustus 2016
Jangan lupa voment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top