Oneshoot version (All parts)
--- Sari Surti Mukti ---
.
.
.
Lembaran foto hitam putih
Aku coba ingat lagi warna bajumu kala itu
Kali pertama di hidupku
Manusia lain memelukku
***
Di ujung sana tampak seorang pemuda melantunkan lagu yang indah. Sepertinya ini lagu kekinian. Walau belum pernah kudengar sebelumnya, makna dari bait demi bait serasa tidak asing. Tanpa kusadari angan ini tengah terseret ke masa lalu.
Di saat yang sama, tak henti kedua ujung garis bibirku tergantung di pipi ketika kupandangi gambar ini. Sepotong foto kecil yang terselip di dalam dompet usang sering kali kupandangi kala rindu--lebih seringnya di kala senggang. Berbagai macam emosi kerap muncul tanpa aku jadwalkan. Kadang sebahagia menang undian mobil, kadang sejengkel ketika buru-buru tapi lampu merahnya seabad dan kadang juga sesedih ketika mi instan tumpah padahal lagi lapar-laparnya.
Di balik plastik transparan itu, ada foto kita. Foto hitam putih yang sudah kecokelatan. Bergaris-garis kilat khas foto jadul. Begitulah kira-kira jika dilihat dari sudut pandang orang lain. Namun tidak demikian bagiku. Ini adalah potret penuh warna dan cerita. Tak perlu lagi kuingat-ingat karena sampai kapan pun aku tak akan pernah lupa. Saat itu kau mengenakan rok warna merah serta kaos warna pink. Tapi entah, baju warna apa yang kupakai saat itu. mungkin putih. Tapi kok dekil? Mungkin biru muda. Ah, masa bodoh. Bukan kebetulan, aku benar-benar bisa mengingatnya karena memang pakaian itu menyimpan kenangan terindah.
Untuk membeli hadiah saja sangatlah susah bagiku kala itu. Jujur aku orang yang tidak kaya. Butuh perjuangan luar biasa agar pundi-pundi tersebut bisa terkumpul. Hingga segala persiapan hampir beres, langsung saja kutukarkan uang itu dengan setelan manis.
Aku masih ingat betul seperti apa ekspresimu saat kusodorkan hadiah itu. Tanganmu tampak gemetar saat mendengar permintaan yang kuajukan. Surti... jika kau menerima cintaku, maka pakailah baju ini besok ketika kita bertemu lagi. Jika kau tidak menerima cintaku, kau bisa pakai baju apa pun. Jadi kita tak perlu canggung. Anggap saja kau tak pernah mendengar apa yang kukatakan tadi.
Dan lihat, ternyata kau membalas rasaku! hatiku rasanya seperti ribuan kuncup bunga yang meletup-letup bersamaan. Seolah hamburan confetti tak henti membanjiriku. Bersamamu, memang, adalah saat-saat yang paling membahagiakan karena kau orang pertama yang pernah singgah dihatiku.
Meskipun kau termasuk tipe orang yang tak banyak bicara, tapi aku bisa merasakan betapa dalamnya cinta yang kau rasakan padaku. Aku juga masih ingat saat pertama kali kita kencan. Kita cuma bisa berjalan kaki berdua menyusuri trotoar sepulang kuliah. Untungnya kontrakanku tidak terlalu jauh dari rumahmu. Lebih untungnya lagi, aku bisa melihatmu sampai kau menghilang di balik pintu rumah. Sebelum memberiku kiss-bye tentunya.
***
Lembaran foto hitam putih
Aku coba ingat lagi wangi rumah di sore itu
Kue cokelat balon warna-warni
Pesta hari ulang tahunku
***
Hari itu aku pulang lebih awal. Tepatnya sekitar jam empat sore. Memang sejak masih di dalam kelas tadi sudah ada niatan ingin cepat pulang. Entah, tiba-tiba seperti merasa lelah sekali. Tak sanggup jika harus duduk demi satu mata kuliah lagi setelah magrib. Gelundungan di ranjang kayaknya lebih seru. Gelundungan di kelas? yang benar saja! Mending gulung tuh layar LCD yang sudah berjam-jam cuma gonta-ganti slide.
Setelah kubuka pintu kamarku, ada yang aneh di sana. Seisi ruangan begitu rapi dan bersih. Tak hanya itu, aku juga mengendus aroma makanan. Padahal sebelum berangkat tadi pagi aku tidak membeli apa pun. Seingatku kulkas juga kosong--maklum tanggal tua. Uniknya, di sekeliling kuliat banyak balon bergantungan, menggelayut, juga ada yang menyundul langit-langit kamar. Mendadak kamarku seperti di acara perayaan khitanan bocah, dinding penuh rumbai-rumbai.
Sebenarnya lucu sekali. Aku serasa kembali ke usia anak-anak. Meskipun dalam sejarah hidupku, tak pernah sekali pun ada yang namanya pesta, perayaan ulang tahun, atau apalah itu. Padahal bukan rahasia. Tapi tak seorang pun ingat dengan hari pertama aku menghirup hamburan oksigen di bumi ini. Sejak masa sekolah hingga nyemil bangku kuliah pun, teman-teman juga masih saja tak ada yang tahu kapan aku lahir. Memang tidak penting sih.
Saat ada yang berjalan mendekat, aku (pura-pura) terkejut! Di ruang kecil ini, sesosok wanita cantik menyambutku hangat. Diatas tanganmu ada kue bertuliskan nama Mukti. Lengkap dengan barisan lilin juga. Dibalik pendar api-api kecil simbol usiaku yang ke 21 ini, senyummu menyala-nyala sembari berbisik merapal lagu happy birthday. Sorot matamu tak kalah panas. Mata nakal dan manja sekaligus. Sebenarnya antara kaget, terharu, atau malah nge-blank. Entah seperti apa perasaanku waktu itu. Momen tersebut benar-benar sangat unforgetable karena secara tiba-tiba hari itu serasa sangat spesial. Aku merasa seperti seorang yang sangat berarti bagi orang lain.
Kau sodorkan kue itu lalu kutiup. Sesaat setelahnya buru-buru kau amankan jauh-jauh. Jadi tidak ada momen potong kuenya? pikirku tanpa kusuarakan. Kau memberiku ucapan selamat sambil memelukku erat. Wow! Untuk pertama kalinya aku merasa menjadi sosok manusia yang dianggap penting. Terlebih olehmu, Sari. Seorang wanita ahli membuatku gila. Aku merasa sangat spesial ketika berada di sampingmu. Dan tentu, pada hari itu tidak hanya kejutan. Tapi juga kau memberiku hadiah pembuka, sebuah kecupan.
***
Aku sadar betul bahwa apatis adalah identitasmu yang sudah mendarah daging. Kata orang sih golongan cuek-cuek club. Semacam enggan memperhatikan hal-hal kecil yang tidak penting. Terlepas dari kecuaianmu itu, kadang aku juga kesal semisal kau--entah memang benar-benar--tidak peka atau sebenarnya sadar cuman malas karena kau anggap hal-hal tersebut hanya persoalan sepele. Akibatnya, kau jarang sekali memberikan asupan sederhana seperti perhatian kecil, kehadiran dan hal-hal teknis lainnya dalam dunia perpacaran. Jujur, aku tidak meminta semua itu. Aku pun sama cueknya. Namun entahlah, dibilang jenuh juga aku masih cinta. Dibilang kurang bersyukur? Mungkin iya. Entahlah, akhir-akhir ini aku suka membandingkan.
Pagi itu, ketika berangkat kuliah bersama, kau diam saja. Kita berjalan berdua seperti biasa. Dan kita cuma ngobrol kecil. Tak ada topik khusus saat itu. Semuanya berlalu biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.
Aku terus menunggu. Mungkin kau menyiapkan sesuatu untukku. Mungkin juga kau menyiapkan sebuah kejutan. Walaupun di tahun-tahun sebelumnya kita sempat membahas alasan kenapa kau lupa. Please... ini sudah tahun ketiga kita bersama. Kuharap tahun ini kau tidak lupa lagi. Atau bahkan bersikap santai tanpa rasa bersalah.
Memang benar, kita tidak bertengkar gara-gara ini. Cuman aku sadar betul bahwa saat ini kaulah pasanganku. Sekali saja dalam seumur hidup, aku ingin bahagia seperti orang-orang lain. Pasangan lain saja selalu romantis dan saling kasih kejutan. Di hari ulang tahunnya selalu ada orang yang memberi selamat. Minimal temannya, atau keluarganya, atau justru pacarnya kalau memang ada. Kayaknya bahagia, ya? Kok aku terdengar seperti iri gini, ya. Aku jadi seperti orang bodoh jika mengharapkan yang seperti itu darimu. Iya, bodoh. Kekanakan. Dan.. alay.
Dan memang karena aku sudah terbiasa di hari spesial ini berlalu begitu saja. Jadi aku tidak terlalu ambil pusing. Entah kenapa di tahun ini, pertanyaan yang telah lama terpendam dalam hati semakin menjadi-jadi. Sebernarnya.. bagimu aku ini apa sih? Aku juga tidak bisa berekspektasi terlalu tinggi pada siapa pun. Padahal aku tipe orang yang selalu heboh ini-itu. Mempersiapkan kejutan ini dan itu. Atau membuat kado spesial yang sebisa mungkin mengesankan di hari bahagia orang lain terutama ulang tahunmu.
Dengan senang hati kulakukan semua itu. Tapi apa sekarang? Sungguh, aku tidak mengharapkan kau balas sama persis. Jangankan cuma mengucapkan selamat, kau ingat saja mungkin aku sudah langsung melejit, nge-fly menembus plafon, genteng, awan, dan seterusnya. Jauh di dalam hati kecilku--benar--aku masih berharap. Meskipun tak kuungkapkan. Meski kecewa ini tak pernah kuperlihatkan. Dan yang ingin sekali kutanyakan, kenapa sikapmu tidak seperti wanita-wanita lain?
***
Lembaran foto hitam putih
Kembali teringat malam kuhitung-hitung bintang
Saat mataku sulit tidur
Suaramu buatku lelap
***
Lirih suara parau membingkai ruang sempit ini. Sambil kembali mengatur napas, kita saling melempar senyum bangga. Meski mata sudah mulai redup dan memaksa untuk segera tertutup, tapi bibir ini masih ingin memuntahkan gunungan gundah dari dalam hati. Di atas ranjang sempit ini, ada kau yang sedang terselip nyaman di lenganku. Rambutmu harum, pujiku sekenanya setelah agak lama kita terdiam. Gerakan kepalamu membuat leherku geli. Sepertinya kau malu. Dalam tempo yang santai, cerita-cerita absurd kita pun terus berlanjut. Tanpa beban. Tanpa intervensi peliknya pikiran.
Karenamu, berkali-kali aku jatuh. Lagi-lagi karena tersihir oleh sikapmu. Aku lemah dengan caramu memperhatikanku. Kau sangat pandai dalam membuatku merasa hidup. Padahal aku tak lebih dari mahluk mati yang bernyawa. Kau hidupkan bibirku yang selalu layu dan tersumbat. Kau gerakkan tanganku untuk meraba kelembutan hati seorang wanita. Bahkan kau menjadikanku seorang lelaki seutuhnya, padahal keberadaanku saja tak satu pun orang meminati. Hebat sekali kau.
Ratusan menit berlalu, begitulah kita tersesat bersama dalam dunia yang ganjil. Entah karena kita memang sepemikiran, atau kau cuma menyesuaikan kakimu dengan cara berdiri di beberapa pijakan batu yang ada di taman gagasanku. Ah, itu tak lagi penting bagiku. Yang jelas, aku nyaman. Aku suka sekali kapan pun ada di dekatmu, Sari.
Di balik selimut tipis ini, kita akhiri perbincangan panjang dengan saling memandang. Kukecup keningmu setelah di area punggungku kurasakan hangat telapak tanganmu ada di sana. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
Saat aku ditampar oleh sinar matahari keesokan harinya, kau tak ada lagi di sana. Sebenarnya malam-malam itu terasa seperti mimpi. Walaupun tidak sering. Walaupun sampai berbulan-bulan aku harus menunggu demi menyenangkan rasa candu yang konyol ini. Tapi aku terus sabar. Dan entah kenapa aku terus menantimu meski ini salah. Tak apa, salah bagi dunia. Tapi ini benar, minimal bagiku. Dan tentunya bagimu. Hanya bagi kita.
***
Di mana pun kalian berada
Kukirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku dan banyak
kenangan indah
Kau melukis aku
***
Terlepas dari segala kediamanmu, tapi aku suka. Aku suka caramu ketika ada cewek lain mendekatiku. Kau mendada galak. Kau menjadi sangat possesive dan juga liar. Kau labrak cewek itu. Sebenarnya hal ini cukup membuatku malu tapi juga bangga. Sebab itu adalah tanda bahwa kau hanya ingin aku menjadi milikmu saja. Itu juga pertanda bahwa kesetiaanmu memang sangat besar.
Aku lihat sendiri, dengan siapa pun kamu sangat jahat. Sangat cuek. Walaupun denganku juga cuek, tapi dengan laki-laki lain malah lebih parah lagi. Kau terlihat seperti monster. Padahal kau cantik. Ya... monster yang cantik sih. Eh gimana tuh maksudnya. Intinya kau cantik. Titik. Dan kau milikku. Titik.
Memilikimu tak lantas membuatku menguasaimu. Ada dinding yang begitu tinggi di antara dua kata tersebut. Kapan pun ada konflik atau salah paham, entah kenapa aku sangat susah mencari kesalahanmu. Selalu saja aku yang salah. Dan memang selalu aku yang mengalah. Kalau pun kau salah, keadaanlah yang akan memojokkanku hingga pada akhirnya aku setuju bahwa aku juga tidak benar. Entah hubungan macam apa ini.
Satu hal yang paling kusuka, kau punya visi membina hubungan serius. Sebenarnya aku juga ingin. Namun, apakah keterlaluan jika aku masih merasa ragu? Benarkah status suami dari seorang Surti--sang mahasiswa terbaik di kalangan universitas--pantas disematkan untukku?
Dan satu lagi alasan yang paling keliru, kapl ini masih goyah memilih pulau mana untuk berlabuh. Sebenarnya siapa yang benar-benar aku suka. Sebenarnya apakah kau mau denganku yang serba kurang ini? Apakah aku pantas menjadi milikmu? Dengan segala macam kekuranganku yang bahkan kau pun tidak tau apa yang selama ini kulakukan. Dan entah kau bisa menerima atau sebaliknya jika kau mengetahui semua yang telah terjadi. Tapi aku memilihmu, Surti. Tapi aku juga tidak bisa lepas dari dia. Aku harus apa?
***
Begitu pun denganmu. Kau tidak pernah mencoba untuk berhenti mendekatiku. Padahal kau tahu betul bahwa apa yang kau lakukan itu salah. Sebenarnya--entah bagaimana awalnya--memang ada sebuah keterkaitan antara kita. Masih ada ikatan takdir yang sengaja mempertemukan kita di tempat-tempat tertentu tanpa rencana sebelumnya.
Mau bagaimana lagi. Di depan semua orang tentunya harus jaga sikap. Sekedar kenal, istilahnya. Apa jadinya jika orang-orang mengendus aroma lain selain status tersebut. Semua harus rapi. Semua harus diperhitungkan secara teliti.
Ketika di depan orang bisa jadi sangat santun. Tapi jika berdua saja, hmmm.. begitulah. Dari caramu menggodaku, mungkin semua laki-laki tidak akan bisa menolak. Sorot mata lembut itu terasa seperti jaring laba-laba. Sekali sasarannya terperangkap, dia tak akan tertolong.
Tapi kali ini bukan hanya serangga yang terperangkap, laba-labanya juga. Lucu memang, si pembuat jaring terlilit oleh jerat ciptaannya sendiri. Lebih lucu lagi, si serangga dn laba-laba semakin menggulung diri dalam perangkap. Semakin rumit. Semakin dilematis.
Tapi aku yakin, jauh di dalam lubuk hatimu, kau tak ingin melakukan semua ini. Cuman kita memiliki kesamaan. Kita sama-sama tidak ingin membohongi diri kita sendiri bahwa memang kita butuh. Bahwa memang kita memiliki kesamaan hasrat untuk merengkuh kebahagiaan. Walau tak sepatutnya. Sesalah apa pun, itu adalah sebuah kebenaran bagi kita. Meskipun kau sangat sadar, melukai hatinya sama saja dengan menghancurkan dirimu sendiri. Percayalah, tak ada satu pun dari kita punya niatan untuk saling menyakiti. Tapi apa yang akan terjadi jika semua ini terbongkar. Tidakkah kau pikirkan bahwa kebahagiaan kita saat ini adalah kebahagiaan yang semu? Aku mencintaimu tapi aku menyayangi dia yang sudah dari awal bersamaku. Aku menyayangi dia tapi aku tidak bisa mendapatkan kebahagiaan seperti ketika aku bersamamu. Jadi, siapa yang harus mengalah di sini? Atau memang betul akulah orang yang paling bodoh. Yang paling salah.
***
Dan pada akhirnya Tuhan pun memberikan keputusan melalui takdir yang entah aku harus bahagia atau aku malah harus kecewa dengan garis ini. Sebuah kejadian yang dari awal sudah sangat aku takutkan akan terjadi. Kabar baiknya, Tuhan tetap melindungi kita. Kebobrokan ini tetap terbungkus dengan rapi.
Gema gong pembukaan lembar hidup yang baru ternyata datang bukan darimu atau pun dari dia. Melainkan orangtuamulah yang memutuskan bahwa kau harus dijodohkan dengan pilihan mereka. Bukankah itu artinya sudah tak ada harapan bagi kita? Dan yang membuatku getir, kau menerima keputusan tersebut. Tanpa protes. Tanpa merasa bersalah padaku.
Kejadian tersebut menggantungkan berbagai pertanyaan di langit-langit nalarku. Jadi selama ini, kau benar-benar cinta sama aku nggak sih? Oh, berarti semua kecuekanmu itu bisa jadi adalah sebuah benteng diri. Oh, berarti selama ini tindakan posesifmu hanya sekedar rasa kepemilikan belaka. Setipe dengan rasa memiliki mainan saat kecil. Mainan lama kau sayang-sayang. Lalu ketika kau diberi mainan baru oleh orangtuamu, yang lama tak lagi menarik. Mungkin terdengar terlalu berlebihan. Tapi apakah ada permisalan lain yang lebih pas?
Dan aku bisa apa? Aku tidak mungkin menahan orang yang memang dengan sangat tenang memilih jalan hidupnya sendiri--sesuai maunya. Jadi, ya.. aku cuma bisa menghormati keputusanmu. Apalagi yang bisa kulakukan selain ikhlas. Baiklah. Mungkin ini jalan hidup terbaik. Baik di kamu. Baik di keluargamu. Baik untukku--semoga, dan mungkin baik untuk Sari juga.
Walaupun Surti sudah dijodohkan, lalu, apakah aku bisa berakhir bahagia bersama Sari?
Mungkinkah?
Ah.. hayalan bodoh.
***
Sepertinya sekali lagi aku harus menertawakan hidupku ini. Bagaimana tidak. Baru saja aku ditinggalkan oleh pacarku sendiri yang sudah bertahun-tahun bersama, tapi dia lebih memilih orang yang sama sekali tidak dia kenal untuk menjadi suaminya. Patah hati? Tentu. Cuman aku masih memiliki harapan. Kalaupun aku tidak bisa mendapatkan Surti, aku masi memiliki dirimu, Sari.
Sudah terjatuh, ditimpa tangga pula. Kau pun memberi kabar yang sangat membuatku terpukul. Kau bilang kau menyayangiku. Kau bilang aku segalanya bagimu. Kau juga bilang, semua kenangan kita, setiap detik waktu yang kita habiskan bersama adalah masa-masa paling bahagia dan juga akan selalu menjadi lembar-lembar terindah. Tapi apa nyatanya? Kau malah memutuskan untuk rujuk dengan suamimu.
Aku tahu, kalian belum bercerai. Aku juga sadar, tak pernah muncul inisiatif darimu untuk memilihku dibanding dia. Kau rela meninggalkanku karena memang suamimu telah bulat keputusannya untuk membawamu tinggal bersama di luar negeri. Tak ada kata tapi. Tak ada kata tidak. Tentu itu yang terbaik bagimu sebagai istri yang sudah bertahun-tahun hidup di benua yang berbeda dari suami.
Mungkin... mungkin inilah solusi terbaik dari-Nya. Semua kembali ketempatnya masing-masing. Sebuah posisi di mana seharusnya kita berada. Aku pun kembali ke asal. Tidak memiliki siapa pun. Hidup sendiri. Tanpa belahan hati. Bukan, dua belah hatiku telah kalian hancurkan sekaligus secara bersamaan. Hati yang dulu telah kubagi dua kini lebih menyedihkan dari hanya sekedar puing-puing harapan yang berserakan. Aku tak punya apa-apa sekarang. Mungkin inilah definisi miskin dalam arti sebenarnya.
***
Dan di sinilah aku. Memandangi foto hitam putih. Potret yang di sana ada kita bertiga. Di sebelah Kanan ada aku. Di tengah ada kau, gadis yang memakai rok merah dan baju pink pemberianku. Lalu yang paling kiri, tepat di sampingmu ada dia, Sari. Kakak perempuanmu satu-satunya. Seorang perempuan manis berambut pendek sedang menggendong balita, putranya.
Sungguh, sangat tak disangka-sangka, takdir bisa mempermainkan hidup kita semua seperti ini. Dan di sinilah aku, yang telah berpuluh-puluh tahun berpisah dengan kalian, dipertemukan kembali di ballroom yang megah ini. Mengantongi status yang berbeda, dengan peran yang sangat dinanti oleh manusia di usia kita.
Di sinilah, kita sebagai orang tua mempelai. Mana pernah aku membayangkan hari besar ini. Putriku satu-satunya kini duduk di pelaminan bersama putra sulungmu. Jangan tanya bagaimana aku bisa punya putri. Bahkan tahun ketiga pun aku sudah tak sanggup mempertahankan rumah tangga bagai neraka itu. Hanya ada kau, Surti, tak ada lagi siapa pun yang mampu menggesermu. Bahkan sampai detik ini.
Entah bagaimana semua itu masih tertutup rapi sampai sekarang. Tak ada huru-hara apa pun. Kalau pun kau tahu kisahku dengan Sari, mungkinkah sikapmu masih bisa setenang ini? Ah.. sudahlah. Itu cuma masa lalu. Yang penting sampai sekarang kau bahagia dengan suamimu. Dan mulai sekarang putriku akan terus berbahagia menjalani rumah tangga bersama putramu. Terima kasih. Terima kasih banyak untuk semuanya.
***
Di mana pun kalian berada
Kukirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku dan banyak
kenangan indah
Kau melukis aku
Kita tak pernah tahu berapa lama kita
Diberi waktu
Jika aku pergi lebih dulu jangan lupakan aku
Ini lagu untukmu
Ungkapan terima kasihku
Lembar monokrom hitam putih
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan kumengenal cinta
Bila bukan karena hati baikmu
***
**
*
End
*
**
***
Author note:
Alhamdulillah :') akhirnya bisa nulis panjang juga setelah berabad-abad vakum dalam dunia per-fiksi-an jurusan kehaluan hqq.
Special thanks to:
rujakteplak selaku tim hura-hura yg tanpa lelah turut meramaikan dunia persilatan.
Tim GhibahWriters selaku penyelenggara yg sabarnya warbyasahh 🎉🎉🎉 keep it up! U guys did a very good job, chukahaeyo!
Bu purwaniken selaku rektor Universitas Kehidupan, terimakasih tak terhingga atas ilmu2 dn motivasinya yang tanpa batas bak samoedra. 🎉
Juga cha2_riyadi atas.. Hmm.. apa ya? Yg penting nimbrung aja deh di ucapan terimakasih🐣
Buat yg udin mampir dimari entah itu komen, vote, baca, atau cuma lewat scroll2 pokoknya matur nuwun pol 🎉
여러분.. 감사합니다 🎉
Ardanwangjanim
Feb 19th 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top