8 || Di Tengah Pertemuan

| 8 |

DI TENGAH PERTEMUAN



JAM TANGANNYA RETAK lagi. Dia hampir menyerah untuk membeli jam tangan baru terus-terusan.

Kobaran api masih menyala di tengah jalanan. Mobil-mobil menumpuk jadi satu. Bahan bakarnya bercucuran membuat kobaran api makin menyala. Harusnya tak ada yang selamat. Tapi, Edreya tak ada waktu untuk memastikan lagi. Dia sudah menginterogasi salah seorang penguntitnya yang masih hidup, dan dia menjawab bahwa bosnya sudah mati di dalam kobaran api. Hanya bosnya yang tahu siapa klien yang menyuruh membunuh Edreya.

Jilatan api masih mengganas. Edreya tak mungkin masuk ke dalam hanya untuk mengambil ponsel milik pemimpin kelompok ini. Dia juga sudah telat untuk tiba di Jakarta. Jadi dia pun memilih untuk mengambil satu mobil yang sengaja dia sisihkan untuk perjalanan ke Ibu Kota.

Edreya menyeret kakinya yang terluka. Ada tusukan di paha dan darahnya terus merembes. Dia sudah mengikat pahanya dengan kain untuk menekan darah—hasil merobek kaus seorang musuhnya tadi dan menggunakan itu untuk pembebat sementara. Namun, dia tetap harus diobati. Rumah sakit bukanlah pilihan. Jejaknya bisa mudah terlacak. Dia hanya perlu perban dan obat-obatan. Serta yang terpenting: uang. Dia meninggalkan itu di mobil bersama Darius.

Edreya melempar pria yang masih hidup itu ke kobaran api. Kemudian menaiki mobil dan menahan ringisan dari pahanya yang terluka. Tentu ada kemungkinan bahwa mobil ini disadap atau ditempeli GPS, tapi Edreya tak terlalu peduli. Dia bisa berhenti di suatu titik, kemudian pergi menemui Darius dengan kendaraan lain.

Bensin di mobil yang dia kendarai tidaklah banyak. Mungkin banyak yang keluar saat pertarungan tadi. Edreya takkan bisa mencapai warung tempat janjiannya dengan Darius. Jadi dia memang harus mencari tempat terdekat yang menjual obat—sekaligus didatangi orang-orang kaya—dan meninggalkan mobil ini di sana. Sebab dompet dan ponselnya dia tinggalkan dalam Jeep-nya.

Edreya berkendara hingga dia melewati tol dan membuatnya tiba di perbatasan Ibu Kota. Gedung-gedung pencakar langit sudah terlihat lebih banyak. Kepadatan merayap dan lanskap kotanya familier. Edreya mengamati bahu jalan yang terdapat berbagai macam bangunan, dari toko kue, tempat les, restoran, spa, salon. Dia familier dengan distrik ini. Dia cukup tahu tempat ini. Dan dia juga tahu bahwa di sini terdapat supermarket besar yang menjual bahan premium, pengunjungnya rata-rata adalah penduduk Jakarta dengan ekonomi menengah ke atas, termasuk selebriti. Kini dia menemukan targetnya.

Edreya menghentikan mobil di depan rumah orang. Dia sudah mengecek lokasi kamera depan rumah, dan memarkirkan mobil di titik buta kamera itu.

Sejenak, dia menatap kaca spion. Refleksinya di kaca terlihat kurang layak dilihat—rambut berantakan, ada bekas darah dan beberapa luka, tersebar noda-noda di badan dan wajah. Dia mencari sesuatu dari mobil. Menemukan segelas air mineral kemasan dan membukanya, lalu mencuci muka dengan air itu. Jemarinya menyisir rambut untuk membuatnya serapi mungkin. Dan dia menarik ritsleting jaket kulitnya hingga leher, supaya menutupi kausnya yang kotor. Celana dan jaketnya berwarna gelap, jadi bisa menyamarkan noda dan bekas darah.

Sebelum keluar mobil, dia menciumi bau tubuhnya. Aromanya seperti darah dan kulit terbakar. Bukan aroma yang menyenangkan. Tapi, dia tak bisa memanipulasi aroma ini. Tak ada pewangi atau parfum yang bisa digunakan, serta terlebih, dia sudah kehabisan waktu. Dia tak boleh membuat Darius menunggu terlalu lama.

Perjalanan ke supermarket tujuannya memakan waktu lima menit jalan kaki. Paha kanannya yang terluka berdenyut tanpa henti. Dia menahan rasa sakit dan mempercepat jalannya.

Deretan mobil mewah berjajar di lapangan parkir hipermarket itu. Ada pula yang memarkirkan Banyak Mini Cooper terparkir, bahkan ada Lambhorgini dua pintu—walau mobil itu tidak cocok untuk menyimpan kantung belanja bulanan.

Petugas mewajibkan Edreya menitipkan barang bawaan di loker, dan Edreya menuruti. Dia tak membawa senjata api. Jika mereka bertanya tentang tonfa baja yang dia bawa, dia tinggal berkilah bahwa itu untuk latihan bela diri. Edreya masuk membawa keranjang belanja. Dari awal sudah mengawasi target-target empuk yang dompetnya bisa dia curi. Dia juga perlu mencuri ponsel untuk menelepon Darius, lalu mengembalikannya ke sang pemilik dengan dalih bahwa ponselnya tertinggal.

Langkahnya langsung menuju bagian obat-obatan. Dia menaruh perban dan obat ke keranjang belanja, lalu berjalan mencari orang-orang yang terlihat sibuk dengan tas terbuka. Dia melihat seorang wanita tinggi dengan rambut digelung rapi. Pakaiannya terlihat sederhana dan berpotongan simpel, tapi sekali melihat pun Edreya tahu bahwa seleranya berkelas. Dia tahu orang-orang seperti ini. Mereka bukan tipe OKB yang hobi memamerkan kekayaan dengan cara norak. Mereka orang-orang yang memang sungguhan kaya dari penghasilan, selera dan mentalitas.

Edreya mengikuti wanita itu. Mata masih awas dengan pergerakan orang-orang lain. Beberapa blok rak produk dia lewati, dan dia menyadari bahwa ada yang janggal.

Wanita itu diikuti.

Edreya mengambil salah satu barang yang ada di rak produk. Dia tak butuh pengharum ruangan, tapi dia butuh kamuflase agar terlihat normal. Langkahnya berjalan untuk melihat-lihat barang, mata masih mengamati wanita itu serta tiga pria yang mengikutinya. Dia mengambil waktu lebih lama untuk mengamati. Tapi para pria itu tak pernah mendekati sang wanita. Selalu berada dalam jarak aman. Apa mereka cuma menguntit? Bukan mau mencopet? pikir Edreya.

Ketika Edreya berjalan keluar dari satu koridor rak produk, seluruh indranya merasakan bahwa ada yang akan menghantamnya dari samping. Dia hendak menghindar. Tapi luka di paha membuatnya lebih lambat bergerak. Tubrukan itu membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh juga ke lantai.

Orang yang menabraknya adalah seorang anak kecil yang mengenakan sepatu roda. Dan bunyi tabrakan mereka mencuri perhatian orang-orang sekeliling—termasuk wanita anggun tadi. Dia orang berjarak paling dekat dibanding yang lain.

Edreya tak mengharapkan wanita itu mendatanginya, sebab biasanya orang-orang akan mengabaikan hal ini karena cuma jatuh biasa. Namun, wanita itu segera mendekati si anak bersepatu roda, menolongnya dan memintanya berhati-hati. Kemudian dia mengulurkan tangan ke Edreya. "Bisa berdiri?"

Edreya meraih uluran tangan itu. Dia mengernyit ketika merasakan pahanya makin sakit. Sepertinya tangan anak tadi tak sengaja menubruk pahanya yang terluka. Edreya mendesis dan memegangi pahanya, lalu berbalik untuk mengambil keranjang. Barang-barangnya berceceran di lantai. Rencananya gagal. Dia takkan bisa mencopet jika targetnya justru melihat profil dirinya.

Wanita di belakangnya menyadari keganjilan dari pergerakan Edreya, pahanya yang diikat kain, serta gulungan perban dan obat-obat luka di lantai. Cepat, dia mengambil kesimpulan, "Kamu terluka? Lagi sakit?" Dia turut memasukkan barang-barang Edreya ke keranjang belanja dan membantunya berdiri. "Perlu saya bawa ke dokter?"

"Eng-enggak. Saya...." Edreya termenung sejenak. Wanita di depannya cantik sekali. "Saya boleh pinjam hape ibu? Kalau masih ada pulsa, saya mau minta pulsa buat telepon adik saya."

Wanita itu mengangguk. "Adik kamu ada di mana?"

"Di tempat lain, di warung makan."

"Warung makannya deket dari sini?"

"Enggak ... tempatnya agak jauh. Saya cuma mau pastiin dia aman." Edreya menerima ponsel dari wanita itu dan berterima kasih. "Nama Ibu siapa, ya?"

"Nama saya Rania. Nama kamu siapa?"

"Saya Edreya." Edreya menunduk. "Makasih banyak, Bu."

"Kamu yakin nggak mau dibawa ke dokter?" Rania terlihat ngeri sendiri melihat kain yang membebat paha Edreya, basah darah terlihat sudah merembes banyak, dan juga membasahi sebagian celana Edreya. "Kamu kenapa bisa terluka kayak gini?"

Edreya menimang. Dia melihat ke arah lelaki bertopi yang sedari tadi melihat-lihat berbagai makanan ringan tanpa membelinya.

Mungkin ada sesuatu yang bisa dia manfaatkan.

"Saya ... abis kabur dari penculikan," ujar Edreya. "Saya mau ke dokter, tapi saya nggak tahu lokasinya di mana. Dan saya juga nggak bawa dompet sama hape saya, soalnya ada di mobil, dan mobilnya dibawa adik saya. Saya mau nyusul dia. Tapi, saya harus ngobatin luka saya dulu."

Rania terlihat terperangah dengan penjelasan Edreya. Seperti sulit dipercaya. Namun, Edreya tidak berbohong kecuali untuk beberapa hal—bahwa Darius bukan adiknya dan dia kabur dari percobaan pembunuhan, bukan penculikan.

Wanita itu terlihat prihatin "Kamu mau ketemu adikmu naik apa?"

"Niatnya pakai taksi. Biar sekalian saya ngobatin luka saya dalam perjalanan."

"Astaga." Rania menggelengkan kepala, terlihat pusing. "Udah, gini aja. Kamu ikut saya, dan saya bakal anterin kamu ke adikmu. Tapi sebelum itu, kamu harus ke dokter dulu."

Edreya menggeleng. "Jangan. Itu kelamaan. Adik saya sendirian nungguin saya. Tolong, antar aja saya langsung ke dia. Saya bisa ngobatin luka saya sendiri."

Rania terlihat pelik. Tapi dia tak lama mengambil keputusan, "Ya udah, saya antar ke adikmu. Ayo kita ke kasir. Kamu masih bisa jalan, kan, Edreya?"

Rasanya asing mendengar wanita itu mengucap namanya. Harusnya wanita ini dia copet. Namun, mungkin dia bisa mencapai tujuannya dengan cara lain. "Iya, bisa. Makasih banyak, Bu Rania."

Mereka pun berjalan menuju kasir. Tak lupa mengambil tas Edreya yang dititipkan di loker. Rania memapah bahu Edreya untuk berjalan bersama. Dan, bahkan setelah Rania selesai membayar hingga mereka masuk mobil, Edreya menangkap para pria tadi masih menguntit Rania.

"Saya udah beliin barang-barang di keranjang belanja kamu," ujar Rania di dalam mobil, lalu dia mengernyit. "Kamu kenapa beli pengharum ruangan?"

Edreya terlupa dengan barang asal yang dia masukkan. "Itu ... saya bau."

"Kenapa nggak beli parfum?"

"Saya ... maaf, pikiran saya masih kacau dari tadi."

Rania menghela napas dan tersenyum. "Ya udah, istirahat aja dulu. Biar saya yang obatin kamu."

"Eh, nggak usah, Bu. Saya bisa sendiri kok." Edreya segera mengambil perban, kapas, air, dan alkohol dari kantung belanja. Tangannya cepat melepas kain yang membebat paha. Darah masih mengucur, karena dia dari tadi malah bergerak alih-alih mendiamkan kaki. Namun, itu tak masalah. Kemampuan tubuh Edreya dalam menyembuhkan luka itu lebih cepat daripada kebanyakan orang yang dia kenal—daripada semua orang yang dia tahu. Dia pasti akan sembuh besok dan bisa berjalan seperti biasa, selama dia diobati dan beristirahat dengan benar.

Rania menahan ringisan melihat bekas luka tusukan di paha Edreya. Tanpa diminta, tangannya segera mengambil kapas dan air, lalu menyuruh Edreya untuk meluruskan kaki. "Kamu diam aja. Biar saya yang obati."

Edreya tak merasa harus melawan walau dia merasa tidak enak. Rania pun lihai membersihkan darah dan memberi alkohol, berhati-hati tapi juga tidak terlalu lambat. Ketenangan Rania dalam mengobatinya memberi rasa familier. Sebuah kesimpulan muncul di benak Edreya. "Ibu udah biasa ngobatin luka kayak gini, ya."

Itu bahkan bukan pertanyaan. Rania tak beralih dari pekerjaannya ketika menjawab, "Kamu juga udah biasa terluka begini, ya. Dari tadi sama sekali nggak meringis atau ngeluh. Padahal ini bukan cuma luka baret." Dia membuang kapas kotor ke kantung plastik. Lalu lanjut menuangkan obat ke kapas baru. "Anak saya yang sulung dari dulu suka berantem. Jadi kalau luka, biasanya saya yang obatin. Dia itu kayak kamu. Kalau diobatin nggak pernah meringis seberat apa pun lukanya."

Edreya hanya terdiam melihat Rania yang membalut luka. Sorot ketidaksetujuan terlihat dari mata dan kernyitan Rania. Tak lama, Rania selesai mengikat perbannya dan membereskan sampah. "Kamu tetap harus ke dokter. Luka ini harus dijahit."

"Iya." Edreya tak melawan, meski dia yakin sekali bahwa lukanya akan sembuh besok tanpa perlu dijahit. Rania takkan percaya ucapannya. Tak akan ada yang percaya kecuali mereka melihat sendiri. Tubuh Edreya berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Rania duduk lebih santai, bersandar pada punggung jok sambil menghela napas. "Habis ketemu adikmu, kalian ada tujuan?" tanyanya sambil memejamkan mata. "Rumah kalian di mana?"

"Saya punya tempat yang bisa dituju. Cuma ... lokasinya jauh dari sini, jauh juga dari lokasi adik saya sekarang. Jadi, paling kami istirahat dulu di mobil kami."

"Di mobil?" Wajah Rania menyiratkan ketidaksetujuan. "Kamu—kamu udah nggak ada keluarga?"

"Udah meninggal."

Antara tak tega dan merasa bertanggung jawab, Rania akhirnya memutuskan, "Kamu sama adikmu untuk sementara tinggal aja di rumah keluarga saya. Ada kamar kosong kok buat kalian tidur. Kamu juga bisa pinjam baju anak saya yang perempuan, dia tingginya nggak jauh beda dari kamu. Pasti ada juga baju yang cukup untuk adikmu."

"Terima kasih banyak, Bu. Tapi ... apa keluarga Bu Rania nggak masalah? Saya sama adik saya kan orang asing."

"Iya, kamu emang orang asing. Tapi, saya rasa kamu nggak berbohong tentang masalah kamu." Rania terdiam. "Kamu malah kelihatan kayak orang yang biasa kena masalah."

Edreya hampir tertawa. "Itu nggak salah."

"Kamu tenang aja. Yang penting kamu ada tempat untuk tidur dulu malam ini." Rania tersenyum. "Ah, kamu jadi mau pinjam hape saya?"

"Oh, iya jadi." Edreya menerima ponsel Rania. Dia menelepon nomor ponselnya yang dibawa oleh Darius. Namun, nomor yang tertuju sedang tidak aktif. Kemungkinan baterainya habis. Meski sedikit resah, dia mengirim SMS ke nomor itu, agar dibaca Darius, untuk memberi info bahwa nomor ini adalah nomor asing yang aman.

"Kenapa?" tanya Rania saat Edreya mengembalikan ponselnya. "Nggak bisa dihubungi?"

"Iya, kemungkinan baterainya habis. Tapi harusnya sekarang dia udah di lokasi janjian kami."

"Dia pasti baik-baik aja," Rania meyakinkan. "Kamu percaya sama dia kan?"

Edreya mengangguk. Tahu bahwa itu hanya kata pemanis yang biasa dibutuhkan orang. Dia tak biasa mendapatkannya, tapi tahu harus menghargainya. "Iya, Tante. Terima kasih."

Mereka tiba di depan Warung Uyung Barokah tanpa kendala. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Edreya lari memasuki warung yang masih ramai itu. Mata senantiasa awas mengamati orang. Waspada jika ada penguntit lain.

Darius terlihat begitu terkejut saat mendapatinya datang. Sebuah mangkuk kosong dan buku TTS setengah terisi berada di atas mejanya. Mata anak itu terlihat berkaca, dan dia segera mengucek matanya dengan lengan baju. "Kak," panggilnya dengan agak gemetar, tapi suaranya kemudian terdengar mantap. "Kak Edreya baik-baik aja?"

Edreya mengangguk penuh percaya diri. "Cuma luka di paha. Besok juga sembuh."

Darius manggut-manggut. Dia berdiri dan bertanya, "Kakak udah makan?"

"Udah, tadi dikasih roti sama—ah, nanti aku kenalin. Hapeku mati ya?"

"Iya, lagi aku charge hapenya di ibu yang punya warung. Aku ambilin dulu."

"Nggak usah, aku aja yang ambil. Kamu bisa ambil barang-barangku dulu? Dompet, tas isi baju, segala macam masih ada di mobil."

Darius melirik ke tas yang dia bawa. "Aku udah bawa barang-barang Kak Edreya di sini."

Edreya mengecek semua barang di dalam tas. Baru beberapa menit kemudian menyadari Darius sudah tak lagi menggunakan panggilan 'gue-elo' kepadanya. Mungkin anak itu jadi terbawa caranya bicara. Edreya lalu mengelus kepala Darius dan memeluknya. "Malam ini, kamu bisa tidur selonjoran di sofa—atau mungkin di kasur." Dia lalu mengajak Darius keluar warung. "Eh, makananmu udah dibayar? Kamu masih lapar, nggak?"

"Udah. Aku udah kenyang. Kakak masih mau makan?"

"Nggak usah." Edreya membawa tas berisi barang-barangnya. Lalu dia mengambil ponsel yang sedang diisi baterainya, sekaligus menitipkan Jeep di pekarangan kepada pemilik warung. Kunci mobil tetap dia bawa. "Yuk, pergi."

Dia kembali ke mobil Rania bersama Darius. Matanya menangkap sebuah motor di kejauhan yang terparkir di depan rumah orang. Dua orang terlihat sedang merokok sambil bersandar di motor. Salah satunya mengenakan tas pinggang yang sama seperti penguntit Rania di supermarket tadi. Sejauh ini, sepertinya mereka tak berniat menyakiti Rania.

Darius disambut dengan sangat baik oleh Rania, ditawari bolu dan roti yang sempat dia beli tadi di supermarket, lalu membawa Edreya ke rumah sakit untuk dijahit lukanya.

Setelah dari rumah sakit, mereka pun menuju kediaman Rania sambil berbicara ringan. Rania bercerita tentang putri bungsunya yang masih sekolah, tentang kesukaannya pada kue—blueberry cheesecake—serta tentang kedua putranya yang sudah bekerja dan tak lagi tinggal di rumah, tapi masih sering mengunjungi di akhir pekan. Mobil melaju dengan lancar. Hanya terkena macet yang tidak lama. Sesekali, Edreya melihat ke kaca belakang dan melihat motor tadi mengikuti dari belakang, hanya tersalip beberapa kendaraan di jalan.

Mereka memasuki suatu kompleks perumahan mewah, yang harganya pasti miliaran. Semua rumah terlihat luas dengan fasad yang mewah. Hanya beberapa yang terlihat sedang dalam pembangunan. Mobil melewati beberapa blok hingga tiba di sebuah rumah paling besar di kompleks itu.

Darius terlihat takjub. Edreya memahami. Mungkin ini kali pertamanya melihat rumah mewah di hadapannya langsung. Mendadak, Darius jadi lebih pendiam dan sungkan.

Tiga penguntit Rania sudah tak ada saat mereka sampai di rumah wanita itu.

Sang tuan rumah membawa dia dan Darius ke kamar yang bisa ditempati. Mereka juga diperkenalkan dengan anak bungsu Rania yang masih SMA, Fatma. Suami Rania sedang di ruang kerja, tapi Rania sudah memberi kabar bahwa akan ada dua tamu yang menginap dan suaminya mengizinkan. Kemudian, Edreya dan Darius dipinjamkan baju. Lalu saat Darius mandi duluan, Edreya keluar kamar untuk menemui Rania.

Rania berada di lantai bawah, terlihat sedang menonton TV dan membuka ponsel. Karena hanya berdua, Edreya duduk dan memberikan beberapa lembar uang ke Rania, "Ibu, maaf saya ngerepotin. Ini uang buat gantinya." Dan sebelum ini pun, Edreya tahu dia akan ditolak. Dia mengenal sebagian orang superkaya di kota ini. Mereka tipe yang menganggap uang kecil untuk membayar obat dan air tak harus diganti. Karena toh, mereka tak membutuhkan uang kecil itu. Edreya sepenuhnya paham. Tapi, ini adalah sesuatu yang diajarkan ayahnya—bahwa perasaan ingin membalas budi dan tidak berwelas asih bisa hidup beriringan. Bahwa dia bisa menjadi kejam kepada musuhnya, sekaligus menjadi tahu diri dengan membayar utang budi kepada orang lain.

Rania memejamkan mata dan tersenyum. "Udah, kamu simpan aja uangnya. Kalau mau membalas saya, kapan-kapan kalau kakimu udah sembuh, kamu ke sini aja masak bareng saya. Toh siapa tahu, saya butuh bantuan kamu suatu saat nanti." Dia terkekeh.

Edreya berusaha tersenyum. Justru inilah yang tak diinginkannya. Utang budi wujudnya tidak jelas. Dan dia tak bisa benar-benar menebak apa yang diinginkan orang dari utang budi itu. Jadi, Edreya segera menyelipkan lembaran uang di bawah gelas dan menunduk. "Tolong terima, Bu. Maaf merepotkan. Terima kasih banyak untuk bantuannya. Saya bakal bantuin Bu Rania masak besok pagi." Dan dia langsung berbalik untuk pergi ke lantai dua. Tak mau mendengar sanggahan. Dalam pengalaman hidupnya, utang budi adalah sesuatu yang lebih rumit dibayar daripada utang uang.

Darius belum selesai mandi saat Edreya datang. Jadi Edreya menunggu sambil melihat-lihat kamar. Katanya, ini kamar milik anak kedua Rania yang sudah tinggal sendiri di apartemen. Barang-barang di sini hanya sedikit. Tak ada yang benar-benar penting. Ruangannya luas dan bersih. Nyaman ditempati.

Edreya mandi setelah Darius. Begitu dia keluar kamar mandi, anak itu sudah pulas tertidur di kasur. Pasti karena kelelahan. Edreya pun juga begitu. Mungkin dia harus istirahat sekarang.

Dia mengatur alarm di ponselnya untuk bangun pagi. Sekarang sudah pukul setengah sebelas. Hanya empat jam dari kali terakhir orang-orang berusaha membunuhnya. Rasanya waktu lama sekali berlalu.

Edreya meletakkan ponsel di nakas, bersiap tidur di sebelah Darius pada king size bed di kamar itu. Namun, sebuah suara mencuri perhatiannya. Suara knalpot kendaraan, disusul dengan gerbang terbuka. Edreya mengintip lewat tirai jendela, melihat sebuah motor hitam masuk ke garasi dalam rumah. Gerbang pun ditutup oleh satpam. Dan Edreya menangkap hal lain—pergerakan dan suara lain—dari sekelebat bayangan yang lari melewati atap dan dinding, begitu cepat seolah hanya ilusi.

Ada penguntit lain untuk keluarga ini.

Edreya mengambil gelas kosongnya dan berjalan keluar kamar.


***


Begitu tiba di rumah orangtuanya, Danes langsung mencari sang ayah yang menunggunya di ruang kerja lantai dua. Jayhadi Tanureja sedang membaca sesuatu di ponselnya dengan kacamata saat Danes masuk.

"Kamu sudah dihubungi sama Pak Broto?" tanya sang ayah.

"Udah." Danes juga sudah mengirim daftar tamu yang hadir bersama Nicholas di resort-nya kepada Tama. Sekarang tinggal menunggu Tama menerima tawarannya untuk menjadi pengacara keluarga Tanureja. "Papi bakal kerja dari rumah sampai kapan?"

"Sampai situasi lebih aman," jawab Jayhadi. "Papi tidak ke kantor dulu atas permintaan dari dewan direksi, bukan keinginan sendiri. Awalnya Papi menentang hal ini, karena bekerja dari rumah justru mengesankan bahwa Papi yang bersalah. Tapi, Dewan Komisaris tetap meminta Papi untuk bekerja dari rumah karena mereka sudah lihat bukti yang cukup kuat. Mereka pasti tidak mau suatu saat Papi ditangkap saat sedang di kantor. Menghindari pencorengan nama baik Griya Teduh."

"Kalau Papi ditangkap di rumah pun, nama Griya Teduh juga akan tetap terangkat dan tercoreng," balas Danes sesuai fakta.

"Betul, tapi setidaknya jika Papi ditangkap, kalau ada reporter atau kamera, mereka tidak langsung menyorot ke kantor kita. Mungkin begitu yang dipertimbangkan."

"Berapa kali Papi ketemu Bahar Karim setelah dia resign?"

"Dua kali," ayahnya menjawab dengan yakin. "Pertama, beberapa hari setelah dia resign, kami sempat makan bersama sekaligus pamitan. Kedua, saat nggak sengaja ketemu di sebuah hotel, di dalam kamar mandi pria. Tapi kayak yang udah Papi bilang, Papi cuma bertanya kabar dan keluarga masing-masing. Standar ajalah pertanyaannya."

"Apa menurut Papi, Bahar adalah tipe orang yang akan berbohong seperti ini?"

Ayahnya menggeleng. "Nggak, Papi nggak berpikir begitu. Makanya Papi curiga bahwa ada orang yang sedang memeras Bahar Karim untuk berbohong."

Danes bergumam. Siapa yang paling diuntungkan jika ayahnya terpaksa turun dari jabatan direktur utama? Danes tak menginginkan jabatan ini, Farel mengalami kebutaan temporer, dan ayah Farel juga sudah tak bisa membantu mereka.

Danes membeliak.

Bagaimana bisa dia tak sadar?

Seseorang sengaja membuat dirinya naik mengggantikan posisi sang ayah, sebab Danes memiliki aib yang bisa membuatnya segera dipecat sebagai CEO. Mulai dari berita tentang anak yang dia dorong dari gedung sekolah hingga meninggal, hingga para perisak mantan kekasihnya yang dia pukuli dan telanjangi. Hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuatnya dikeluarkan dari perusahaan keluarganya sendiri. Dan takkan ada orang lain yang bisa membelanya jika hanya tersisa dia dan Remi dalam Griya Teduh. Danes belum punya kuasa tinggi untuk mengubah keputusan Dewan Direksi dan Komisaris

"Aku udah kontak pengacara yang lebih unggul daripada pengacara lama kita. Papi inget-inget aja pertemuan Papi sama Bahar dengan detail, dan bikin alibi bahwa Papi bukan pelakunya."

"Itu nggak sulit, Papi memang bukan pelakunya."

Danes tak membalas sesaat. "Iya, aku tahu."

Jayhadi memberi tahu bahwa ada dua tamu Rania yang menginap di kamar Remi. Katanya itu adalah seseorang yang butuh bantuan.

Kemudian ayahnya kembali ke kamar, sedangkan Danes mengecek kabar dari Balwana soal tamu-tamu ini. Anggota Balwana yang bertugas untuk menjaga ibunya pun sudah memberi informasi lewat pesan. Ada dua tamu asing yang dibolehkan menginap, seorang wanita dan seorang anak lelaki yang baru beranjak remaja.

Danes turun untuk mendatangi dapur. Seluk-beluk rumah ini sudah dia hafal selama dua puluh tahun lebih. Lampu dapur bahkan tak perlu dia nyalakan untuk mengambil barang-barang yang dia butuh. Pencahayaan dari taman yang merambat ke dapur sudah cukup untuknya. Dia mengambil teko bersaring dan kotak daun teh, menyeduh dengan air panas, kemudian mengambil cangkir, tatakan, dan sendok. Dia menunggu tehnya tersebar sempurna dalam air sambil memijat leher. Latihannya dengan Linggar terasa intens. Kemajuannya tak terlalu besar, tapi setidaknya dia sudah jarang merasakan bagian tubuh sakit hingga tak bisa bergerak karena terkena serangan Linggar. Sampai sekarang dia masih belum menguasai serangan yang diajarkan pemuda itu.

Beberapa menit menunggu, Danes akhirnya menuangkan tehnya. Ruangan sunyi. Danes pasti akan mendengar jika ada pergerakan sekecil apa pun.

Suara mesin dispenser tiba-tiba terdengar. Danes sontak menoleh karena suara itu biasanya muncul saat seseorang habis mengambil air. Saat dia berbalik, napasnya tertahan saat dia melihat sosok wanita di depan sana—terlihat dari siluet rambut panjang ikal dan lekukan tubuhnya. Genggaman Danes ke cangkir pun jadi kurang stabil dan membuat cangkir tergelincir.

Sepasang tangan lain sigap menangkap cangkir itu. Langkahnya tanpa suara. Namun dari semua kekagetan itu, yang mencuri perhatian Danes adalah aroma parfum yang menyerbak hidungnya. Dia hafal aroma buah kesukaannya saat masih kecil. Apel hijau yang juga terkandung dalam varian parfum familier yang sangat dia suka. Parfum Zest Grenade varian Night Vision.

Danes sudah menyukai semua varian parfum Zest Grenade sejak varian pertama diluncurkan. Zest Grenade adalah lini parfum yang menggunakan berbagai varian rempah hingga aroma parfumnya segar, agak aromatik. Namun, Zest Grenade varian Night Vision adalah varian yang oleh penggemarnya dianggap 'gagal' dalam lini Zest Grenade, di mana elemen utamanya adalah 'ledakan rempah'. Night Vision memiliki nada apel hijau yang begitu dominan, hingga aroma rempahnya hanya tercium samar. Namun terlepas dari 'kegagalannya', Danes masih menyukai aroma Zest Grenade: Night Vision—asalkan bukan dari kulitnya sendiri.

Dia hanya menyukai parfum itu jika aromanya menempel di kulit orang lain. Nada apel hijau dalam varian parfum tersebut terlalu kencang, manisnya tidak cocok untuk citra yang ingin dia impresikan ke orang-orang. Dia justru lebih bisa membayangkan aroma parfum ini dipakai oleh sosok wanita yang misterius dan tangguh.

"Hati-hati," ujar wanita itu, tepat saat Danes hampir memejam lebih lama dari seharusnya untuk menikmati semerbak apel hijau dan hangat kapulaga dari parfum yang dia hirup. Wanita itu melangkah mendekat untuk meletakkan cangkir ke meja dapur. Tinggi wanita ini di atas rata-rata. Bahkan tanpa sepatu berhak lima senti, ujung kepalanya mencapai bibir Danes. Ada bekas luka bakar di dahi kirinya. Sorot matanya terlihat seperti angin musim gugur; terasa dingin dengen sisi santai yang tak peduli setan. Wanita itu juga tak terlihat ragu untuk berkontak mata dengan Danes.

"Kamu siapa?" tanya Danes, meraih lengan wanita itu agar tidak kabur. "Ngapain kamu di sini?"

"Saya Edreya," jawab sang lawan bicara. "Ibu Rania yang menawarkan saya dan adik saya untuk menginap di sini. Saya ke dapur buat ambil minum." Edreya mengamati wajah Danes yang penuh kecurigaan. "Lepasin tangan saya."

Danes melepasnya. Dia ingat ucapan sang ayah soal tamu yang menginap. Tapi, dia kira wanita yang menjadi tamu ibunya adalah teman sebaya sang ibu, bukan wanita sebaya Danes.

Danes memperingati, "Lain kali jangan menyelinap kayak gitu."

"Saya nggak menyelinap. Mungkin kamu terlalu fokus bikin teh dan nggak sadar saya ada di sini dari tadi."

Danes memicing. Dia sebenarnya curiga karena wanita ini tak mengeluarkan suara sedikit pun meski dari tadi sudah di dapur. Namun, dia akan melepaskan kecurigaan ini untuk sementara.

"Kamu anaknya Bu Rania?" tanya Edreya, mengambil gelas airnya untuk diminum. Bahkan di tengah cahaya temaram dari lampu-lampu taman, Danes bisa melihat kaus Edreya yang mengetat di bagian dada.

"Iya." Danes memandanginya untuk beberapa saat. "Lain kali kalau masuk dapur, nyalain aja lampunya."

"Kenapa kamu tadi nggak nyalain lampunya?"

"Udah biasa gelap-gelap begini." Danes membuang ampas daun teh dan mengambil baki, meletakkan teko dan cangkir di sana sebelum pergi dari dapur.

Dia hanya masuk ke kamarnya sebentar untuk meletakkan teh, lalu melangkah menuju kamar Fatma. Yakin bahwa adik bungsunya pasti masih belum tidur, cukup terlihat dari celah ventilasi kamar yang memperlihatkan warna kuning temaram. Sepertinya dia sedang menonton. Danes mengetuk pintu dan menunggu sang adik membukanya. Saat melihat pintu dibuka, Danes masuk dan menutup pintu. Perintahnya kemudian sangat jelas, "Fatma, kunci pintu kamarmu."

"Eh? Kenapa?" Fatma mendongak dari tontonan di ponsel, terlihat terkejut. "Apa karena ada orang baru nginep di sini?"

"Itu kamu tahu. Mereka orang asing. Kita nggak tahu mereka aslinya kayak gimana."

"Eh, Kak Edreya sama Darius, maksud Abang? Mereka baik, kok. Malah kasihan, abis ditimpa kemalangan gitu."

"Kemalangan?" mata Danes menyipit. "Kemalangan apa?"

"Mereka abis kabur dari percobaan penculikan. Kak Edreya bahkan abis kena luka tusukan di paha."

Justru itu alasan tambahan kenapa orang asing di rumah mereka berbahaya.

Lagi pula, Edreya mendapat luka tusukan di paha? Lantas bagaimana perempuan itu bisa melangkah tanpa suara? Hal seperti itu hanya bisa dilakukan profesional. Dan Edreya melakukannya bukan hanya seperti profesional, melainkan juga seperti sudah kebiasaan.

Hanya pembunuh ulung terlatih yang bisa seperti itu.

"Ikutin aja apa kata gue," ujar Danes, kemudian dia memerhatikan kaus yang Fatma pakai dan teringat sesuatu. "Siapa sih yang kasih baju buat dia? Kekecilan itu bajunya."

"Mami yang kasih." Fatma mengernyit bingung. "Itu baju aku, Mami minta aku pinjemin ke Kak Edreya. Tapi, Kak Edreya bilang bajunya pas-pas aja kok. Kekecilan gimana?"

"Sempit di bagian dada."

Fatma terdiam, lalu berkacak pinggang dengan tampang serius. "Abang, mending Abang balik ke kamar terus tidur, deh. Nggak baik merhatiin dada cewek malam-malam. Yuk, yuk, langsung tidur sana." Dia mendorong kakaknya keluar kamar.

Danes tak melawan, dia pun kembali ke kamarnya dan mandi air panas. Usai mandi dia langsung membuka laptop, memasukkan USB dan mengirimi beberapa dokumen untuk Rendra. Dia juga mengakses CCTV rumah, mengambil rekaman Edreya dan adiknya, lalu meminta Balwana untuk mencari tahu siapa dua orang asing ini.

Danes berbaring di kasur dan melihat langit-langit. Tehnya sudah habis. Kepalanya terasa lebih ringan. Lusa, dia harus bersiap-siap untuk menghadiri pernikahan salah satu keturunan Cakrawangsa di Bali. Ini undangan dari Wangsa Satu, jadi sudah pasti penting. Dan meski keluarganya bermasalah dengan Janggala, hubungan kerja dengan Cakrawangsa harus tetap dijalankan, profesionalitas harus tetap terlihat di mata publik.

Danes pun memejamkan mata dengan napas teratur. Lalu terlelap dalam tidur dengan mimpi indah yang jarang dia dapatkan.

[ ].

4,5k words
posted: 5/11/2021
edited: 7/4/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top