7 || Di Tengah Penitipan
| 7 |
DI TENGAH PENITIPAN
SALAH SATU PRIA yang Edreya tangkap terbangun dalam perjalanan. Dia adalah pria yang merupakan petembak pertama.
"Lama juga kalian tidur," ujar Edreya dari jok pengemudi. Beberapa jam lalu, dia baru selesai mengambil uang di bank dan berganti menyetir dengan Yayok. Kini Yayok baru bangun setelah tidur satu jam, sedangkan Darius sedang menatap ke jendela. "Ada kali sekitar enam jam kalian tidur."
Pria yang tertangkap itu terlihat ingin bicara, tapi tertahan oleh lakban di mulutnya.
"Ngomongnya nanti aja ya, kalau udah sampai di lokasi selanjutnya," ujar Edreya. "Mungkin pas malam kita baru sampai di sana."
Yayok bertanya, "Emang ... kita mau ke mana, Mbak?"
"Ke klinik." Edreya tersenyum. "Buat nge-drop mereka, abis itu kita lanjut ke Jakarta."
"Di... drop gitu aja?"
Edreya manggut-manggut.
Darius hanya mengamati dan sedikit bertanya-tanya kenapa dua penguntit mereka akan ditinggal begitu saja di sebuah klinik. Namun setelah melihat sendiri Edreya yang berhasil mengalahkan para penguntit itu, Darius memiliki kepercayaan bahwa Edreya akan membereskan masalah dengan lancar.
Mereka sama sekali tak berhenti hingga malam. Yayok kembali tertidur, sedangkan Darius tetap terjaga untuk mengawasi dua pria yang duduk di sebelahnya. Petembak kedua terbangun tak lama kemudian. Edreya hanya menyapa singkat dan terus menyetir hingga dia tiba di sebuah kota kecil yang cukup padat, tapi tanpa gedung-gedung tinggi.
Setelah melewati beberapa gang, Edreya menepi ke depan sebuah rumah dengan gerbang tinggi yang terbuka. Ada papan bertuliskan "Klinik 24 Jam" di sana. Tempatnya tidak terlalu luas. Bangunannya terlihat sudah dimakan usia. Beberapa lumut dan jamur menghias bawah tembok. Dari teras rumah yang terbuka, tak terlihat ada pasien atau tamu di kursi tunggu yang tersedia.
Edreya memasukkan mobil ke garasi yang terbuka. Saat mobil berhenti, Edreya berkata, "Yayok, Darius, kalian turun dulu dan tutup pintu garasinya dari luar, baru nanti kalian tunggu saya di teras depan. Di sini kalian bisa mandi. Ntar saya bicara dulu ke yang punya klinik sekalian ngurus dua orang itu." Dia mengedik ke arah dua pria dengan mulut terlakban.
Yayok dan Darius mengikuti perintah Edreya, sedangkan Edreya masuk ke jok belakang, mengeluarkan dua pria itu dan menyeret mereka melewati pintu belakang.
Di dalam klinik, Edreya berhenti di koridor kosong. Area itu terpisah dengan teras dan ruang resepsionis oleh pintu kaca buram. Dia menyeret dua pria itu menuju sebuah ruangan. Kemudian sebuah suara memanggilnya.
Edreya menoleh, menangkap sosok pria berjas putih yang terlihat kurang tidur. "Eh, Dokter Bimo," sapa Edreya. "Saya tadi ngecek hape. Jadinya butuh tiga, ya?"
"Iya. Lo cuma bawa dua?"
"Iya. Satu lagi menyusul, ya."
"Ya udah, apa boleh buat." Dokter Bimo melihat dua pria yang diseret Edreya, lalu menghela napas. "Lo emang nggak pernah kayak penjual lainnya. Semua barang lo selalu aja utuh. Ini mereka bukan orang penting, kan?"
"Bukan."
"Beneran?"
"Di mata saya, mereka nggak penting sih."
Dokter Bimo terdiam. "Kalau mereka itu intel, gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Emang harusnya gimana?"
Menarik napas panjang, Dokter Bimo mendesah keras dan menggerutu, "Gue tuh nggak paham deh sama lo. Elo tuh nggak pernah mikir panjang, tapi selalu selamat. Nggak pernah ketangkep silop. Yang lain kalau bawa barang itu selalu ada cacatnya, sengaja karena yang begitu gampang diangkut, dan kalau ngelawan nggak akan nyusahin. Kalau utuh kayak yang selalu lo bawa itu malah ngerepotin."
"Ngerepotin gimana? Kan tinggal dibius, disayat, dipetik, dibungkus sisanya, lalu buang sampah pada tempatnya. Apa perlu saya bantu biusin?"
"Udahlah." Dokter Bimo mengibas tangannya. "Bawa aja mereka ke ruang biasa. Lo mau tinggal di sini atau mau langsung pergi?"
"Mau pergi Tapi, saya sama dua orang yang lainnya mau numpang mandi dulu."
Mata Dokter Bimo mengawasi dua sosok tamu di teras depan. Sosok itu tak terlihat jelas dari pintu kaca buram yang yang memisahkan area mereka. "Nggak ada yang ngelihat lo bawa barang ke sini, kan? Selain mereka?"
"Iya, cuma mereka aja."
"Lo bisa percaya sama mereka?"
"Eh? Emang saya harus percaya sama mereka? Kalau mereka beberin kan, saya tinggal bawa mereka ke sini lagi."
Lagi, Dokter Bimo terdiam. Jika ini pertama kalinya dia bertemu Edreya, dia pasti akan memarahi perempuan itu. Namun, ini sudah bertahun-tahun lamanya sejak mereka saling kenal dan bekerja sama. Dan selama itu, entah bagaimana caranya, Bimo mendapati Edreya selalu berhasil membereskan semua masalah—terutama pengkhianatan. Kemudahannya memberikan kepercayaan kepada orang lain bukan karena naif, melainkan karena dia sadar dia sekuat itu untuk membereskan para pengkhianat dengan cepat.
Bimo tak pernah paham bagaimana caranya. Tapi, tahun demi tahun membuktikan bahwa mereka tak pernah tertangkap, dan itu sudah cukup baginya untuk membiarkan Edreya berbuat semaunya.
"Ntar gue bayar paling telat ntar malam," ujar Bimo. "Sekarang lo angkutin ke ruang bedah gue."
Beberapa menit kemudian, Edreya sudah selesai dengan urusannya dan mendatangi teras depan. Darius dan Yayok menghabiskan waktu untuk mandi.
Ketika Edreya ingin mengecek mobil, Darius dan Yayok diminta keluar duluan untuk makan. Mereka langsung makan di warung makan yang hanya beberapa blok dari klinik.
Di meja makan, Darius mengamati Yayok yang sedang memainkan ponselnya. Seperti sibuk sendiri. Darius sebenarnya tak mau ikut campur. Tapi dia merasa tak ada salahnya bertanya, "Lo nggak telepon keluarga lo?"
Yayok terdiam, menurunkan ponselnya dan menghela napas. "Udah, tapi nggak diangkat juga. Makanya saya mau langsung datengin mereka aja."
Kenapa nggak ke kantor polisi? Darius ingin bertanya. Kenapa dia terus nempel ke Kak Edreya?
Namun sebelum dia mengutarakan, sosok Edreya muncul dari belakang Yayok. Rambutnya terlihat agak basah dan pakaiannya sudah berganti. Pesanan Yayok dan Darius pun tiba di meja. Edreya menduduki kursi di sebelah Yayok dan bertanya, "Pesan apa kalian? Soto?"
"Iya," jawab Darius. "Lo mau pesan apa?"
"Belom tahu. Sotonya enak?"
"Lumayan, Mbak," jawab Yayok yang sudah menyeruput kuah sotonya. "Mau coba dulu?"
"Boleh." Edreya langsung mengambil sendok baru dan mengambil kuah dari mangkuk soto Yayok. Matanya menyipit sambil mencecap rasa di lidahnya. "Hmm, kuahnya kurang sedap," Edreya berkomentar. "Ntar kalau sampai Jakarta, saya tunjukin deh warung makan langganan saya yang sotonya enak."
"Di mana itu, Mbak?"
"Di dekat perbatasan kota. Biasanya yang ke sana sopir-sopir truk atau kenek. Tempatnya dekat pom bensin." Edreya membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu lewat peta web. "Ini nama warungnya. Buka dia sampai subuh. Dia bukan cuma jualan soto, tapi saya paling suka menu sotonya."
"Warung Uyung Barokah?" ucap Darius, membaca nama warung di peta itu. "Apa nanti kita bakal ke sana?"
"Iya, nanti kita makan malam aja di situ." Edreya mengantongi ponselnya lagi. "Yayok, katamu, Daryono punya markas di Jakarta Barat, kan?"
"Iya, dia pernah bilang kalau dia punya rumah di sekitar Cengkareng," balas Yayok. "Tapi, saya nggak tahu persis lokasinya di mana. Belum pernah dibawa ke sana."
"Gue tahu lokasinya," balas Darius. "Gue pernah dibawa ke sana. Itu tempat tinggal pacarnya."
"Kamu pernah dibawa ke sana?" tanya Edreya. "Tahu persis lokasinya?"
Darius mengangguk. "Kalau udah lewat tol, gue hafal jalannya."
"Sip." Edreya memesan makanan, lalu mereka menghabiskan waktu sejenak untuk makan sebelum berangkat lagi.
Setelah makanan mereka habis, mereka beranjak dan Edreya mendekati pemilik warung, menunggu si pemilik selesai bertransaksi dengan pelanggan yang lain. Di kesempatan itu, Yayok bertanya, "Itu ... dua orang tadi udah selesai diurus, Mbak?"
"Udah. Tenang aja, mereka nggak akan gangguin kita lagi kok." Edreya melirik Yayok di sampingnya. "Abis ini, saya bakal antar kamu ke kantor polisi."
"Ke ... kantor polisi?" tanya Yayok. "Buat apa, Mbak?"
"Buat pulangin kamu. Kan, kamu sendiri yang bilang kalau kamu mau balik ke keluargamu." Edreya mendekati pemilik warung untuk membayar pesanan mereka dengan uang pas. Mereka lalu berjalan keluar warung. "Bentar lagi sampai di Jakarta, jadi saya bisa bawa mobil sendiri. Darius tahu muka Daryono dan Bahar Karim, dia juga tahu alamat kemungkinan Daryono tinggal, soalnya dia lebih lama stay sama Daryono CS. Jadi, kamu udah nggak diperlukan lagi." Edreya tersenyum, lalu menyibak tirai tenda untuk keluar dari warung makan. "Senyum, dong. Kan itu artinya kamu udah bisa balik ke keluargamu. Saya bakal kasih kamu duit kok buat jaga-jaga."
"I-iya, Mbak. Makasih banyak. Tapi ... Darius gimana?" tanya Yayok, berusaha menyamai langkah Edreya yang bertubuh lebih tinggi darinya. "Dia kan masih anak-anak."
Edreya berhenti melangkah dan menatapnya heran. "Dia memang masih anak-anak. Terus, masalahnya di mana?"
"M-maaf, Mbak. Saya bukannya mau lancang, tapi ... dari kemarin perjalanan kita selalu berbahaya. Saya takutnya Darius kenapa-kenapa."
"Darius udah menjalani hidup berbahaya sejak dia harus ikut sama Daryono CS," balas Edreya. "Lagian, saya juga nggak akan minta dia ngelakuin sesuatu yang berat kecuali terpaksa."
Yayok terdiam, terlihat tegang, tapi kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. "Siap, Mbak. Terima kasih banyak."
"Sekarang, kita balik dulu ke klinik buat ambil mobil, terus saya bakal nge-drop kamu di kapolsek terdekat. Oke?"
Yayok hanya tersenyum dan mengangguk, sedangkan Darius hanya diam dan mengikuti. Mereka lalu tiba di klinik dan Edreya bertanya, "Kalau kalian butuh ke kamar mandi dulu, silakan. Saya ada perlu sebentar sama orang di sini. Yayok, kamu ke mobil dan bawain tas yang ada barang-barang si dua cowok tadi. Saya tunggu kamu di dalam."
Yayok mengangguk dan mengikuti ucapan Edreya. Sedangkan Darius menatap kursi teras dan duduk di sana sambil melihat-lihat majalah di meja. Menunggu dua orang dewasa dalam rombongannya menyelesaikan urusan entah apa.
Tanpa terasa, Darius menghabiskan waktu lima belas menit dengan membaca-baca majalah dengan sampul tokoh anime. Dia sudah membaca konten-konten yang menarik perhatiannya. Tapi, Edreya dan Yayok masih belum kembali. Darius pun lanjut membaca konten lain. Dan di saat itulah Edreya keluar dari pintu kaca buram di dalam klinik.
Darius melongok ke belakang Edreya, tak melihat tanda-tanda pria yang menyusul. "Om Yayok masih belum selesai juga?"
"Om?" Edreya mengernyit. "Dia lebih muda lho dari saya."
"Oh, iya. Tapi, dari awal refleks aja gue manggil 'Om'." Darius beranjak berdiri. "Gue cek aja deh orangnya di kamar mandi."
Tangan Edreya menahannya. Darius menoleh dan melihat mata Edreya yang tak terbaca. "Kamu nggak perlu ngecekin dia," ujar perempuan itu. "Dia bakal stay di klinik ini. Dia nggak akan ikut kita lagi. Jadi, nanti kita bakal pergi berdua aja."
Darius mengernyit. "Nggak jadi anterin dia ke kapolsek dulu?"
Edreya menggeleng. "Dia lebih cocok di sini."
Meski masih bingung, Darius hanya melirik ke arah pintu kaca buram dan mengangguk ke Edreya. "Ya udah. Semua udah beres, kan?"
"Iya." Edreya mengelus kepala Darius. "Ayo, masuk mobil."
Darius masih merasa ganjil atas ketidakhadiran Yayok. Mereka memang belum kenal lama. Tapi, mereka sudah melewati mara bahaya bersama beberapa kali.
"Darius," panggil Edreya. Perempuan itu sudah menyalakan mobil dari kemudi. Tak ada keraguan untuk langsung pergi. Matanya penuh sorot yakin yang santai. Seperti sudah biasa melakukan ini berkali-kali. "Waktu itu, pas kamu mau kabur dari gudang, apa kamu emang dijagain sama Yayok?"
Darius mengernyit. "Enggak. Gue malah baru lihat dia setelah balik ke gudang sama lo." Dia memasang sabuk pengaman. "Kenapa emangnya?"
"Jadi, kamu emang nggak pernah ketemu dia sebelum di gudang itu, ya?" Edreya membawa mobil keluar dari klinik. "He's pretty good."
"Maksudnya?" Darius bertanya, tapi Edreya hanya membalas dengan lirikan dan senyum tak terbaca. Mereka melewati jalanan untuk keluar dari kota itu, dan Darius menangkap sebuah bangunan berpagar tinggi dengan plang penanda. Sebuah kantor polisi. "Eh, itu kantor polisinya deket banget ternyata! Kalau gitu kan Yayok bisa dateng ke sini dari tadi."
"Iya. Kita juga ngelewatin kantor polisi ini pas tadi mau ke klinik. Mungkin kamu nggak ngeuh."
Alis Darius menyatu. "Tapi, kenapa Yayok tetep stay sama kita, ya? Padahal, dia bisa aja langsung datengin kapolsek begitu sampai di klinik tadi."
Edreya bergumam panjang. "Betul. Padahal, bisa aja kalau dia jalan ke kapolsek langsung. Dia juga nggak menghubungi keluarganya. Gerakan dia mencurigakan, ya?" Edreya tersenyum. "Makanya saya tinggalin dia di klinik."
Darius bertanya, "Apa ... cuma itu aja yang sampai bikin Yayok ditinggalin di klinik?"
Edreya memiringkan kepala dan mengerutkan bibir. "Bekas-bekas luka dia mencurigakan."
"Bekas luka yang mana?"
"Bekas lebam di mukanya pas saya pertama kali ngelihat dia. Itu bukan luka bekas dipukulin orang. Lukanya lebih kelihatan kayak luka karena ngebenturin kepala dan tangan ke benda keras."
Darius terperangah. "Tapi, kan bisa aja Daryono CS pakai alat pemukul buat mukulin Yayok."
"Hasil lukanya tetap bakal beda. Kalau Yayok emang dipukulin karena dia lalai jagain kamu, pukulannya pasti banyak karena dia dihukum Daryono. Yayok juga bakal dibuat babak belur sampai pingsan supaya gampang ditinggalin dalam gudang. Tapi, bekas luka Yayok semua terlalu ringan. Kayak dibuat seperlunya sampai agak berdarah atau udah kelihatan lebam. Itu bukan luka bekas dipukulin berkali-kali." Edreya meliriknya. "Saat itu, celana, baju, dan kukunya kotor oleh tanah. Kemungkinan, dia habis menggali di dekat situ. Menurutmu, gimana?"
Darius terdiam, dan dia sadar bahwa Edreya sangat observatif. "Jadi ... kenapa Yayok ikut kita?"
"Entahlah."
"Lo nggak mau nyari tahu dulu?"
"Kalau ini keadaan normal, mungkin saya masih berniat mencari tahu. Tapi, saya dikejar waktu. Kita nggak tahu kan, kapan si Bahar Karim bakal dibunuh Daryono? Prioritas saya udah jelas."
Lagi, Darius terdiam. Nuansa mobil kini terasa menaikkan bulu kuduk. Darius memang tak bertanya kenapa dua pria yang mengincar mereka tadi siang dibawa Edreya ke klinik. Tapi, dia sudah ada praduga. Dan meski dia tidak melihat langsung kejadiannya, perasaannya berkata bahwa praduganya adalah kenyataan. Mungkin itu jugalah alasan kenapa Edreya seperti tak takut apa pun. Sebab besar kemungkinan semua jejak dari dua pria itu—dan Yayok—akan hilang. Dia sudah pernah mendengar tentang penjagal dan human-trafficker. Tapi, tak pernah sekali pun dia melihat para pelaku secara langsung.
Mendadak, Darius menggigil.
Mobil terus berjalan hingga matahari tenggelam di horizon. Di tengah jalan, Edreya memutar balik kemudi ketika bertemu pom bensin. Bahan bakarnya memang masih belum habis. Tapi, dia merasa lebih baik dipenuhkan saja. Matanya melirik sekitar sebelum turun. Sekilas mengingat mobil-mobil yang juga berhenti di pom bensin. Ada beberapa orang yang keluar untuk merokok. Ada juga yang hanya parkir. Edreya membayar tagihan, lalu kembali menyetir.
Saat dalam perjalanan, ponsel Edreya berdering. Dokter Bimo memanggil. Dia menyalakan pelantang suara dan menjawab panggilan itu. "Apa, Bim?"
"Lo kan kasih gue tiga stok ya." Ada sebuah jeda. "Uh, tapi yang satu hilang."
"Apa? Ada yang kabur?"
"Iya, yang namanya Yayok itu. Gue juga nggak nyangka dia bisa kabur."
Edreya terheran. "Dia berhasil kabur? Tapi, harusnya dia pingsan."
"Mungkin dia pura-pura pingsan? Tebak dokter Bimo. "Gue sih, nggak masalah stoknya kurang satu. Tapi, apa lo sempat ngecek tubuh dia sebelum diserahkan ke gue?"
"Belum. Kan biasanya kamu sendiri yang cek. Apa dia sakit?"
"Bukan. Maksud gue cek lengannya. Sebelum dia kabur, gue sempat ngecek tubuh dia tadi, dan dia ternyata punya tato mafia."
Edreya mengganti mematikan mode pelantang suara dan langsung membawa ponsel ke telinga. Darius tak sepatutnya mengetahui kekerasan lebih dari yang sudah dia ketahui. "Tato apa?"
"Tato mafia Fahrenheit. Tatonya berupa huruf F dengan simbol derajat dan api di belakangnya. Lo ingat cerita gue tentang Fahrenheit?"
"Yang kamu bilang suka kerja sama pengusaha gitu? Yang jadi kaki-tangan para pengusaha buat urusan kotor?"
"Iya. Apa si Yayok ini sebenarnya sekelompok dengan Daryono?"
"Dia mengaku bahwa dia cuma bawahan Daryono. Kalau dia memang cuma bawahan, harusnya kita nggak perlu khawatir. Apa kamu berpikir bahwa dia akan bawa anggotanya untuk mengungkap klinik kamu?"
"Enggak. Sebenarnya gue lebih mengkhawatirkan lo. Karena lo bawa anak dalam perjalanan. Anak itu belum cukup kuat untuk melindungi diri sendiri, jadi suatu saat dia cuma akan jadi beban."
"I think I can handle it well." Edreya tak merasa perlu melanjutkan perbincangan ini. "Kalau nggak ada lagi yang mau disampaikan, saya tutup ya."
Dokter Bimo mengiyakan, lalu menutup sambungan.
Malam turun dan kondisi jalanan yang dia lewati sepi. Hanya ada kebun pisang dan sawah. Mungkin satu jam lagi dia baru bisa sampai di jalan raya yang menghubungkan tol menuju Jakarta.
Edreya menatap mobil di belakangnya menyusul lewat spion. Ada tiga mobil yang dia lihat. Mungkin masih ada lagi di belakangnya. Dia menyadari mobil ketiga sama seperti mobil yang dia lihat di pom bensin. Dia meninggikan kecepatan dan mobil-mobil di belakangnya menyusul. Semua mobil melaju dengan terorganisir. Edreya menyipit. Ini bukan mobil biasa yang kebetulan melaju di jalan yang sama dengannya.
"Darius," panggil Edreya. "Kamu bisa nyetir mobil kan? Saya bakal pindah ke jok belakang, dan kamu ambil alih buat nyetir mobil ini."
"Oh ... mau berhenti dulu?"
"Enggak." Edreya meninggikan kecepatan. Jalanan ini satu arah dan lurus saja. "Kamu cepat lompat ke jok ini. Sekarang."
Darius tak begitu tahu apa yang terjadi, tapi dia tetap mengikuti perintah Edreya dan memosisikan kakinya dengan benar agar laju mobil stabil. Kemudian Edreya melompat ke jok belakang. Darius menelan kepanikan. Mobil sempat oleng sedikit sebelum dikendalikan oleh Darius. "Kak, ini kenapa tiba-tiba?"
"Kamu inget Warung Uyung Barokah yang saya kasih tahu pas kita makan siang bareng Yayok?" tanya Edreya sembari memasukkan kotak senjata ke dalam tas bahu. Matanya mengawasi mobil-mobil di belakang lewat kaca spion. Beberapa jendela mobil tersebut terbuka. Dia melihat mulut pistol keluar dari sana. "Kamu bisa cari sendiri rutenya dari maps di hape saya. Nanti kita ketemu lagi di sana."
"Bentar, bentar, lo mau ke mana?"
"Orang-orang yang ngincer saya kayaknya bawa rombongan banyak." Edreya meletakkan ponselnya di wadah gelas dekat rem tangan. "Saya harus beresin mereka biar kamu bisa kabur. Tapi, kamu harus ikutin aba-aba saya. Kamu pelanin mobil supaya jarak mobil kita ke mobil di belakang lebih dekat. Setelah saya lompat ke mobil belakang, baru kamu gas untuk keluar dari sini."
Darius menelan ludah. Tak pernah terpikirkan dia akan melakukan hal semacam ini. "Kak ... lo yakin? Lo yakin nggak bakal kenapa-kenapa?"
"Iya." Tangan Edreya sudah di pegangan pintu. Mereka bertatapan lewat kaca spion. Edreya tersenyum. "Sampai jumpa lagi, Darius. Kamu harus kabur dengan selamat. Bayaranmu kan masih belum saya kasih."
Pintu mobil dibuka. Perempuan itu keluar dan memanjat ke atap mobil, menenteng tas senjata di bahu. Darius menutup pintu lewat celah jendela yang terbuka. Sementara Edreya berdiri menghadap lima mobil yang mengikutinya.
"Pelanin mobilnya!" Edreya berteriak ke Darius. "Sedikit lagi!"
Darius melihat beberapa moncong senjata keluar dari jendela mobil yang mengikuti mereka. Dia menggertakkan gigi dengan jantung berpacu. Telapak kakinya mengendurkan gas secara perlahan. Mobilnya makin dekat dengan mobil di belakang. Sedikit lagi, tapi itu masih dalam jarak sulit dijangkau untuk melompat. Darius memejamkan mata dan berdoa. Kepalanya spontan menunduk untuk menghindari tembakan yang mungkin akan meluncur.
"Gas sekarang!"
Suara tubrukan di atap mobil muncul seiringan dengan suara tembakan. Peluru meluncur memecahkan kaca belakang mobil dan bersarang di pintu, tapi tak menggoresi seinci pun tubuh Darius. Dia tetap selamat, tangannya bergetar. Kepalanya menunduk dan kakinya menancap gas lebih dalam. Keringatnya bercucuran kendati cuaca malam yang dingin. Dia rasanya ingin menangis. Tapi ketika dia melihat spion, sosok Edreya sudah berada di atas mobil yang menyusul mereka.
Edreya bergerak lihai dan gesit, mengeluarkan sopir mobil ke jalanan, menghindari peluru dan membenturkan kepala orang-orang. Semua mobil yang mengikuti itu memelan untuk mengadang Edreya, dan Darius berhasil menjauh dari semua kawanan itu. Dia melihat banyak orang mengepung sang perempuan dan menutupi pandangan Darius. Dia tak bisa lagi melihat keadaan Edreya sekarang. Suara peluru terdengar beruntun seperti petasan. Hatinya mencelos. Sekarang dia benar-benar menangis. Dia ingin keluar dari sini tanpa perlu membunuh orang. Dia tak yakin Edreya akan selamat. Perempuan itu tak membawa senapan api sama sekali sebagai senjata.
Darius tak mungkin bisa berbalik dan menolong. Yang ada, dia justru jadi beban ketika Edreya bertarung. Darius hanya bisa mengikuti perintah Edreya. Jadi dia menelan rasa takut dan meraih ponsel di wadah gelas, kemudian membuka peta web untuk mencari rute warung makan yang Edreya jelaskan. Edreya mungkin tak akan menemuinya lagi. Tapi, Darius setidaknya butuh tempat untuk berlindung malam ini.
[ ].
3k words
24/09/2021
edited: 7/4/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top