6 || Di Tengah Persiapan

| 6 |

DI TENGAH PERSIAPAN


Rabu, beberapa hari setelahnya...



SIALNYA, HARI INI masih hari kerja, jadi Danes tak bisa menemui Tama yang alamatnya di luar kota. Paling tidak, dia baru bisa menemuinya saat malam hari. Itu pun jika Tama masih mau menerimanya sebagai tamu.

"Gue udah bilang, Danes," ujar Snow yang ditelepon Danes saat Danes sudah sampai di kantor. "Tama itu jabatannya setara sama gue. Gue nggak bisa memerintah dia untuk menyetujui kontrak lo. Lagian, lo ngapain sampai dia nolak kontrak itu?" Snow tak diberi jawaban untuk sesaat, kemudian dia melanjutkan dengan nada curiga, "Lo ... nggak ngapa-ngapain istrinya, kan?"

Danes yang tadinya berjalan mondar-mandir jadi berhenti. Sepertinya dia memang berbuat kesalahan yang sangat fatal di mata Tama. "Apa lo tahu gimana cara supaya Tama mau terima gue jadi klien dia?"

Snow bergumam panjang. "Jangan macem-macem sama istri atau anak-anak buahnya. Tapi, gue asumsikan lo udah ngelakuin itu. Makanya Tama sampai nolak lo."

"Selain itu?"

"Hm, nggak ada." Snow berucap sambil lalu. "Gue juga nggak terlalu yakin Rendra punya informasi buat ngebujuk Tama."

Danes mendecak. "Bilang ke Rendra untuk temui gue di rumah jam delapan malam."

Kemudian, dia memutus sambungan sebelum pergi ke ruang kerja sang ayah. Dia ingin membicarakan soal Bahar Karim. Tapi begitu tiba di sana, Danes tak menemukan sang ayah di kantor. Seorang sekretaris yang dia tanyai menjawab bahwa Jayhadi Tanureja diperintahkan untuk bekerja dari rumah. Danes bisa menebak. Ini pasti karena ayahnya sudah diduga menjadi tersangka di balik pembunuhan berencana Janggala Cakrawangsa.

Sambil berjalan balik ke ruang kerjanya, Danes menelepon sang ayah dan bertanya, "Papi disuruh nggak ngantor?"

"Selamat pagi, Danes," sapa ayahnya. "Iya, Papi diminta oleh dewan direksi untuk bekerja di rumah. Ada bukti kuat yang mengarah bahwa Papi adalah dalang dari kekerasan yg dialami Janggala di selnya. Hence, they want me to keep a low profile."

Ini justru memberi alasan lebih untuk mengambil Tama sebagai pengacaranya.

"Papi beneran ketemu Bahar Karim sebelum ada kejadian ini?"

"Iya, tapi kami hanya saling tanya kabar dan kesibukan. Nggak ada pembicaraan tentang Janggala, bahkan."

Danes menarik napas. Dia yakin ayahnya memang tak bersalah. "Polisi bakal mengusut kasus ini Apa ada lagi info yang harus aku ketahui?"

"Nggak ada. Tapi, Papi harap kamu berhati-hati dan jaga kesehatanmu. Kamu kelihatan kurang sehat belakangan ini."

Danes hanya bergumam, lalu berbasa-basi sejenak sebelum menutup panggilan. Kesehatannya belum bisa diutamakan ketika masih ada banyak hal yang harus dia urus.


***


Selepas jam pulang kantor, Danes menyempatkan diri untuk menjenguk Farel. Dia sudah masuk lift kantor ketika pintu yang hendak tertutup jadi terbuka lagi, dan sosok adiknya muncul di sana. Dia masuk dan menutup lift. Mereka hanya berdua dalam kotak besi itu.

"Lo mau jenguk Farel?" tanya Remi. Danes hanya mengangguk. "Perlu gue temenin?" lanjutnya, dan kakaknya hanya menggeleng.

Danes melirik ke samping. Wajah Remi terlihat kalut. Danes tahu Remi ingin membicarakan sesuatu.

"Spit it out," ujar Danes, menggerutu. "Lo mungkin abis dengar sesuatu tentang gue dari Papi. What is it?"

Setelah beberapa saat, Remi akhirnya bersuara, "Papi sebenernya cuma bilang bahwa apa pun yang terjadi, gue nggak perlu khawatir, karena lo akan membereskan masalah ini."

"Pede sekali ya bapak satu itu."

"Dia bilang lo akan membereskannya, sebagaimana lo juga pernah membereskan masalah adik-adik lo, masalah gue dan Fatma." Remi terlihat ingin menggeleng, tapi dia urungkan, kemudian dia berani menatap Danes.

"It was you, wasn't it?" tanya Remi. Beberapa detik, dia termenung dengan gurat gelisah dan akhirnya memejamkan mata. "Itu elo, kan?" tanyanya, seperti sesuatu yang retoris. "Penjaga kita waktu dulu... wanita yang jadi tetangga pas kita masih remaja.... Dia udah nggak pernah muncul lagi. It was you, isn't it? Lo yang bikin dia nggak bisa muncul lagi?"

Pintu lift berdenting. Mereka tiba di rubanah tempat kendaraan Danes terparkir. "Remi," panggil Danes. "Setelah dia pergi, apa lo bisa tidur nyenyak di malam hari?"

Remi menatap dan terdiam sejenak. Kemudian, dia mengangguk.

"Good." Danes segera keluar. "Gue cabut dulu ke rumah Farel. Gue bakal kasih salam lo ke dia."

Karena menggunakan motor, tak butuh waktu lama hingga Danes tiba di kediaman keluarga Prawespati. Di depan rumah tersebut, ibu Farel menyambutnya. Danes menyapa dan berbasa-basi sebelum diizinkan masuk.

Saat melewati koridor dengan jendela Prancis, Danes melihat sosok Sabima Prawespati duduk di taman. Tanda-tanda Alzheimer muncul sejak dua bulan lalu, dan ayah Farel itu pun mengundurkan diri sebelum pekerjaannya makin kacau.

Ibu Farel berhenti di suatu pintu dan mengetuknya, memberi tahu bahwa Danes ingin menjenguk, lalu pintu dibuka sendiri oleh ibu Farel.

Farel terlihat sedang melarikan jemari di atas papan Braille. Danes sudah menyiapkan ekspresi tertekan dan kalimat suportif yang biasa dilontarkan kepada tokoh teman baik yang sakit keras dalam film-film sedih. Namun, Farel lebih dulu meminta ibunya untuk meninggalkannya berdua dengan Danes. Dan, Danes segera tahu bahwa ini akan jadi perbincangan serius. Mungkin Farel tak butuh basa-basi cengeng. Syukurlah Danes tak membuang waktu untuk ke kamar mandi dan memakai obat tetes mata.

Farel memulai, "Remi udah kasih tahu ke gue tentang bokap kalian."

Pasti yang dimaksud adalah informasi tentang Bahar Karim. Farel tahu bahwa Jayhadi Tanureja akan ditahan jika bukti-bukti kuat sudah ditemukan—atau dibuat.

"Cepat sembuh," ujar Danes. "I mean it, get well soon. Kalau bokap gue ntar ditahan, gue nggak mau kelamaan pegang jabatan CEO di Griya Teduh."

"Wait, what?" Farel terdengar heran. "Lo nggak mau jadi CEO?"

"Nggaklah. Ngapain? Gue harus selalu menyenangkan para Dewan Komisaris dan Dewan Direktur. But they don't like me, and I have no intention to make them like me." Danes kira ini sudah cukup jelas, ternyata orang-orang masih berpikir bahwa dia menginginkan jabatan ayahnya. Padahal Danes tak perlu naik jadi CEO jika Farel tak mengalami kebutaan. Toh bagi Danes, pekerjaannya sekarang sebagai manajer yang menyewakan properti kepada mucikari, bandar judi, dan siapa pun yang bersedia membayar itu jauh lebih menarik diurus ketimbang jadi CEO.

Kemudian dengan gestur tangan, Farel meminta Danes mendekat. Meski tak bisa melihat wajah Danes, kilat murka di mata Farel begitu jelas.

"Mereka bikin gue buta, bikin bokap gue kena Alzheimer, bikin adek lo dilecehkan geng motor, dan bikin nyokap lo nyaris mati." Ucapan Farel menggigit diiringi tatapan membara. "Make them pay for this, Danes. I know you can. Sebagaimana lo bisa bikin cewek yang merkosa Remi sekarat, sebagaimana lo bikin anak-anak yang bully Fatma udah nggak bisa sekolah lagi sampai sekarang. You are the only one who can pull it off. Make each of them pay."

Danes membuka mulut. Ternyata Farel sadar apa yang selama ini dia lakukan. "I will," ujarnya dengan tenang. "Gue bakal bikin mereka membayar dengan harga yang sangat tinggi. Lo cukup duduk manis dan menyimak apa yang akan terjadi."

Farel menarik napas dengan berat, seperti menahan amarah dalam dada. Danes merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Jadi dia berbalik untuk keluar. Suara Farel menahannya.

"Apa lo selalu kayak gini?"

Danes menoleh sedikit. Merasa Farel ingin menanyakan hal lain.

Farel melanjutkan, "Apa lo nggak pernah nunjukkin sisi lo itu ke Remi?"

"Ayah gue melarang," jawab Danes. "Walau gue nggak normal, adik-adik gue tetap layak buat senantiasa hidup normal."

Farel menunduk. "Orang kayak lo ngerasa biasa aja ya, hidup dalam kebohongan kayak gitu?" Dia menggeleng dan mendengus dengan seringai. "Gue sih udah capek."

Danes tak membalas. Dia hendak pergi ketika Farel menahannya lagi dengan membuka suara, "Remi nggak akan setuju dengan apa pun rencana lo."

"Gue nggak butuh persetujuan Remi atau siapa pun untuk melakukan apa yang mau gue lakukan." Danes kini berbalik sepenuhnya. "Di momen bokap gue memutuskan buat kerja sama dengan Cakrawangsa, gue udah tahu bahwa cepat atau lambat, hal kayak gini bakal terjadi ke kita. Gue udah memperingati bokap gue, dan gue juga udah memperingati bokap lo, Farel. Tapi mereka tetap melaju dengan rencana mereka. So if they don't give a fuck about my opinion, then I won't give a fuck about theirs. Gue hanya akan menjalani apa yang harus gue jalani."

Danes tak mengambil waktu lebih lama di ruangan itu. Dia memutar tumit sepatu dan segera keluar, berpamitan dengan keluarga Farel, lalu pergi menuju tempat motornya terparkir untuk pulang.


***


Satu jam setelah Danes tiba di rumah, belnya berbunyi.

Danes membuka pintu, menemukan wajah Rendra dengan seragam ala tukang servis dan perkakas di tangan. Dia segera membiarkan pemuda itu masuk.

Senyum Rendra melebar ketika melihat Danes. Matanya menyiratkan sesuatu yang menggelikan. "Pantesan Mas Tama nggak terima tawaran lo."

"Kenapa dari awal lo nggak kasih tahu?" gerutu Danes. "Mana gue tahu kalau ternyata istrinya pernah gue biarkan menetap di resort gue sama penyekapnya?" lanjut Danes, menutup pintu setelah Rendra memasuki ruang tamu dan meletakkan perkakasnya di lantai. Ada bordiran 'Khodir Electronics' di punggung seragam Rendra. Sepertinya, kini Rendra hadir sebagai tukang servis kulkas. Minggu lalu dia datang sebagai tukang servis WiFi rumah.

"Wah, lo pikir gue tahu segalanya tentang lo, ya? Gue cuma cek background lo, Nes. Belum ngecek semua orang yang pernah bersinggungan sama lo."

Danes tahu dia lebih baik bicara ke intinya. "Apa lo tahu hal-hal yang Tama suka?"

"Hm, kayaknya dia bakal suka lihat leher lo digorok orang karena cuma diam aja pas lihat perempuan disekap."

"Kayak kalian nggak pernah sekap perempuan aja."

"Itu hal yang berbeda, Danes. Mbak Bening nggak pernah membuat kesepakatan apa-apa sama Nicholas, dia dipaksa pakai kekuatan yang nggak bisa dia lawan, beda dari klien kami yang hanya menerima sanksi atas ulah mereka yang melanggar kesepakatan." Rendra memiringkan kepala. "Anyway, apa lo kenal dekat sama Nicholas?"

"No, not really. Gue cuma tahu dia sebagai rekan bisnis aja." Danes mengernyit, mencurigai sesuatu. "Lo tahu di mana Nicholas sekarang?"

"Mati kayaknya. Belom ngecek lagi, sih."

"Ah, itu dia. Cek di mana Nicholas sekarang. Gue bakal seret dia dan gue bawa ke Tama."

Tak disangka, Rendra tertawa lebih kencang daripada yang pernah dia lakukan di depan Danes. "Emang kocak lo." Dia geleng-geleng kepala. "Lo pikir Mas Tama nggak tahu siapa Nicholas? Lo pikir, sekarang Nicholas melalang bebas di luar sana? Gue belum tahu dia beneran udah mati atau enggak, karena cuma Mas Tama yang tahu keadaan Nicholas di sel khusus."

"Sel khusus?"

"Itu sel buat menahan dan menyiksa musuh kami."

Dan meski tadi Rendra menertawainya, otak Danes justru bekerja menyimpulkan hal lain.

"Apa ada orang lain yang juga udah ditangkap?" tanya Danes. "Apa cuma Nicholas?"

"Udah ada beberapa orang lain." Rendra terdiam, menyadari arah pikiran Danes. "Lo ... mau cari siapa aja orang lain yang terlibat sama penyekapan istrinya Mas Tama?"

"Hm. Gue bisa kasih daftar para pengunjung resort yang datang bersama Nicholas saat itu, siapa tahu ada nama yang belum ditemukan Tama." Danes melirik Rendra. "Lo ada info lain tentang Tama?"

Wajah Rendra terlihat tak terkesan. "Dia nggak akan merasa cukup puas dengan usaha lo ini."

"Apa dia bukan orang yang apresiatif?"

"Satu-satunya apresiasi yang bisa gue bayangin dari Mas Tama cuma dia mukulin lo sampai lo masuk rumah sakit. Jadi, mending jangan berharap terlalu tinggi."

"Nggak, itu udah cukup." Danes sedikit menyeringai. "Itu artinya, dia orang yang pendendam. Dan daftar orang-orang yang terlibat dalam penyekapan istrinya dulu pasti berguna buat dia."

"Lo sebenernya sadar nggak sih, kalau lo sendiri juga terlibat sama hal itu?"

"Gue cuma terlibat secara nggak langsung."

"Lo bener-bener nggak merasa bersalah karena hal itu, ya?"

"Hm," Danes bergumam dengan ringan. "Otak gue nggak punya kapasitas untuk merasa bersalah, Rendra. Lo duluan yang udah tahu riwayat gue."

Rendra pun mengangkat tangannya dan memejam. "Oke, oke. Gue bantuin lo supaya Mas Tama mau nerima lo lagi jadi klien dia." Napasnya terhela. "Tapi, mungkin lo tetep nggak bisa menghindari beberapa kekerasan."

Danes manggut-manggut. "In case you haven't know, orang kayak gue punya toleransi rasa sakit yang lebih tinggi dari kebanyakan orang."

"Sakit fisik atau sakit hati?"

"Sakit fisik. Gue nggak bisa ngerasa patah hati atau sakit hati. Bisanya ngerasa murka." Danes bergumam. "Karena itu, gue masih bisa ngerasa pengin bunuh orang yang udah mengacaukan keluarga gue. Dan lo, juga anak-anak Balwana yang lain, bakal bantu gue buat ngancurin bajingan-bajingan itu."

"Let's move on to the next subject," ujar Rendra. "Minggu ini kan udah waktunya Janggala mengeksekusi rencananya buat pura-pura mati. Tapi, kenapa tiba-tiba ada Bahar Karim yang menyeret nama ayah lo? Bukankah rencana awalnya itu Janggala bakal dibuat keracunan, jadi harus masuk rumah sakit, terus dokter jaga bisa membuat kematian palsu Janggala?"

"Betul." Danes bersandar. "Tapi selain itu, hasilnya berjalan sesuai rencana. Janggala masih selamat dan dirawat di rumah sakit dengan dokter yang kita rencanakan. Tinggal tunggu berita duka dari dia aja sebelum kita ke mansion Eddie."

Rendra bergumam dan membalas, "Lo nggak lupa sama kesepakatan kita, kan?"

"Jelas gue nggak lupa. Gue malah khawatir lo yang justru lupa."

"Alright then." Rendra berdiri dan mengenakan lagi topinya. "Servis kulkas sudah selesai. Gue harus lanjutin kerjaan lain."

"Besok-besok, bakal datang jadi apa lo?"

"Jasa sedot WC kayaknya. Apa pun itu, yang jelas bukan jasa bersihin perapian rumah lo. Gue nggak mau urus abu mayat yang lo bakar di sana." Rendra mengambil kotak perkakasnya, lalu melambaikan tangan. "Lagian lo ada-ada aja. Bikin perapian buat rumah di Jakarta."

Danes mengangkat bahu. "Cukup berguna pas hujan."

"Sekali-kali, jajanin gue babi crispy satu kilogram dari toko langganan gue gitu, buat apresiasi kerja keras gue."

Danes menyipit. Ini adalah salah satu kebiasaan Rendra setelah kesepakatan mereka terjalin dua bulan lalu. Selalu tidak tahu malu minta dijajani makanan. "Iya, iya, ntar gue beliin."

Pintu rumahnya pun tertutup. Danes melihat Rendra sudah keluar dari gerbang dan pergi dari rumahnya. 

[ ].

2k words
4/12/2021
edited: 7/4/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top