5 || Di Tengah Perburuan
| 5 |
DI TENGAH PERBURUAN
Senin, beberapa hari sebelumnya...
KUMPULAN INFORMASI YANG sudah Edreya dapat dari dua pengikut barunya adalah sebagai berikut:
Pertama, Yayok ternyata lebih muda darinya, meski wajahnya terlihat sudah tua. Yayok juga bukan anak buah Daryono—setidaknya bukan anak buah resmi. Dia hanya korban penculikan yang ternyata bukan target utama, lalu dipaksa terus bersama Daryono untuk memancing target utamanya. Begitu target utama sudah tertangkap dan dibawa ke bos, pilihan Yayok adalah dibunuh atau harus mau jadi kacung para preman. Yayok memilih yang kedua. Dan ini sudah genap seminggu sejak dia jadi kacung para preman Daryono—sampai akhirnya ditinggalkan dalam gudang bersama dua mayat karena Yayok dianggap tidak becus. Edreya berjanji akan memulangkan Yayok ke keluarganya setelah Edreya bisa bertemu Daryono.
Kedua, Darius berusia dua belas tahun dan kedua orangtuanya sudah meninggal. Dia masih punya sanak saudara, tapi Darius tak menjelaskan lebih jauh. Yang cukup diketahui: Darius tak ingin pulang, dia hanya ingin bertahan hidup entah di mana.
Perjanalan mereka berhenti sejenak di sebuah kota kecil. Edreya dan Yayok bergantian menyetir sepanjang malam. Sekarang hari sudah pagi dan Edreya harus memberi tahu tugas pertama Yayok dan Darius: mandi.
"Ada MCK di sana," ujar Edreya setelah mereka memarkirkan mobil. "Nanti kalian ke pasar, beli baju, perlengkapan mandi, sama stok makanan. Saya mau mandi duluan. Kalian mandi setelah saya. Ini daftar belanja dan uangnya."
Yayok dan Darius menerima uang dan kertas daftar belanja, kemudian pergi menuju pasar yang baru buka. Matahari sudah terbit dari satu jam lalu. Waktu perjalanan menuju Jakarta dari tempatnya kini akan memakan waktu satu hari—dua, jika mereka banyak beristirahat.
Lima belas menit kemudian, Edreya selesai mandi dan berganti pakaian. Yayok dan Darius menunggu di mobil Jeep yang terparkir tak jauh dari sana.
"Mbak, ini bubur ayamnya." Yayok menyerahkan plastik berisi sebungkus bubur ayam. "Tapi, yang jual nggak ada bungkus sterofoam, jadi cuma dibungkus plastik begini."
"Nggak apa-apa." Edreya membuka kunci mobil, lalu mengambil bubur ayam itu dan membuat isinya teraduk dengan tangannya. "Kalian bisa mandi sekarang. Biar saya aja yang masukkin barang-barang yang lain." Kemudian dia merobek salah satu ujung bawah plastik dengan gigi dan memasukkan ujung itu ke mulut.
Sementara Yayok dan Darius ke MCK, Edreya memasukkan stok makanan ringan ke bagasi sambil memakan buburnya. Dia mengecek ulang barang-barang yang harus dia siapkan sebelum berangkat. Lalu dia menutup bagasi dan mengunci mobil.
Kakinya melangkah ke pasar, melihat sekitar dan masuk ke gang-gang kecil. Dari sudut matanya, dia bisa merasa bahwa dia sedang diawasi sejak dia memasukkan barang-barang di mobil. Jadi dia mencari gang sepi untuk konfrontasi.
Dia pun tiba di sebuah gang buntu yang tak ada orang lewat, hanya diapit oleh dua dinding bangunan di kanan-kiri jalan sempit. Edreya melipat plastik berisi bekas bubur ayamnya yang sudah habis, lalu memasukkannya ke saku celana. "Kalian ada urusan apa sampai ngikutin saya?"
Dua lelaki yang mengikutinya berhenti. Edreya berbalik menghadap mereka. Tak ada yang bersuara. Wajah mereka terlihat waspada.
"Nggak mau jawab?" Edreya memiringkan kepala. "Oke."
Satu lelaki duluan menyerang dengan berusaha menangkap tangannya. Edreya berkerut jijik, segera menangkap tangan lelaki itu duluan dan memelintirnya. "Nggak perlu sok gentleman kalau kelakuanmu masih kayak binatang. Harusnya kamu langsung mukul saya, bukan cuma narik tangan saya."
Pria yang lain menyerangnya dari belakang. Edreya menggunakan pria yang dia tangkap untuk jadi tameng, lalu melemparnya ke tembok. Begitu kencang hingga pria tadi meringkuk tak bisa beranjak. Sementara pria kedua masih bugar dan bersiap kembali menyerang. Dia mengeluarkan pisau dan mengunuskannya ke Edreya.
Edreya menepis beberapa tebasan, kemudian menangkap kedua tangan lelaki itu dan menendang selangkangannya dengan lutut. Lelaki tersebut kehilangan keseimbangan dan Edreya berhasil menyingkirkan pisaunya.
"Masih nggak mau jawab?" Edreya mendekat, lalu berhenti ketika menangkap sebuah gerakan dari belakang. Sudut matanya melirik. Pria pertama yang tadi meringkuk terlihat sedang menekan ponselnya.
Edreya berlari dan menendang benda dari tangan pria pertama yang tadi. "Nyari bantuan siapa?" tanya Edreya, mengambil ponsel itu dari lantai. Matanya membaca isi pesan di layar. "SOS?" Dia mencurigai sesuatu yang ganjil, dan dua pria ini terlihat terlalu tenang untuk ukuran orang yang kalah, terlihat kurang putus asa. Edreya pun mengambil kesimpulan, "Kayaknya kalian udah nggak berguna. Saya interogasinya ke temen kalian aja. Mereka pasti lagi mengincar orang-orang yang ikut saya tadi."
Dengan itu, Edreya menendang dua pria tadi hingga setengah tak sadarkan diri, lalu menyeret mereka ke bak sampah terdekat. Dia hendak pergi, tapi teringat plastik bekas bubur ayam dalam sakunya dan berbalik untuk buang sampah.
Saat Edreya tiba di parkiran mobil, Yayok sudah menunggunya dengan wajah gelisah. "M-mbak, itu si Darius lagi pergi ke pasar. Katanya ada sisa uang jadi dia mau jajan kerupuk. Tapi, dari tadi dia belum balik."
"Kalian diikutin."
"Iya, saya ngerasa diiku—eh, kok, Mbak tahu?"
Edreya menyerahkan kunci mobilnya. "Bawa mobilnya ke dekat pintu keluar pasar. Selalu cek hape. Saya mau kejar Darius."
Pasar sudah mulai ramai pada pukul tujuh pagi. Keramaiannya tidak padat. Edreya masih bisa mengawasi orang berlalu-lalang serta jajaran toko. Dia mencari penjual kerupuk terdekat. Sebab kalau Darius sudah selesai beli kerupuk, harusnya dia tak berada jauh dari situ.
Dia juga mencari sudut mati serta celah antara bangunan yang nyaris terhimpit. Mencari pergerakan mencurigakan. Dia menemukan warung yang menjual kerupuk tapi tak menemukan Darius. Kemudian dia mengecek ponsel milik penguntit tadi dan membuka pesan berisi S.O.S. di sana. Usai mempelajari gaya mengetik si penguntit, Edreya mengirimkan pesan yang bertanya lokasi. Balasan untuknya didapat tak lama kemudian.
Edreya hendak pergi, tapi seluruh indranya merasakan ada sosok lain mendekati dan mengawasinya. Dia segera menoleh dan melihat sosok anak lelaki bertopi dan berjaket merah mendatanginya. Matanya segera mengenali sosok itu.
"Kamu dari mana aja?" tanya Edreya. "Kamu diikutin orang?"
"Iya," balas Darius dengan berbisik. "Tapi, gue langsung sadar dan pergi ke toko baju yang banyak anak-anaknya. Pas ortu mereka keluar toko, gue ikut keluar bareng anak-anak mereka. Terus gue mau balik ke mobil dan ngeliat lo di sini."
Edreya tersenyum. "Jadi, kamu nyuri baju di toko itu?"
Darius mengernyit. "Bisa dibilang tukar baju? Soalnya gue juga ninggalin baju yang baru gue beli di sana."
Edreya terkekeh dan menepuk pundak Darius. "Ayo balik ke mobil."
Yayok sudah memarkirkan mobil di dekat pintu keluar pasar. Mereka memasuki mobil dan Edreya baru berkata, "Ada dua-tiga orang tersisa yang mengincar kita. Satu menguntit Darius, satu atau dua lagi menunggu di bangunan kosong dekat alun-alun."
Raut wajah Yayok gelisah. "Terus gimana, Mbak? Apa kita harus lapor polisi?"
"Enggak. Kita lanjutin perjalanan ke Jakarta. Kalau kita berhenti, ntar juga kita ketemu lagi sama mereka. Mereka pasti ngejar kita."
"Bukannya itu berarti mereka lebih baik dibereskan sekarang?"
Edreya menggeleng. "Makin lama kita ngulur waktu, makin tinggi kemungkinan Bahar Karim mati duluan. Kita harus ke Jakarta secepatnya."
"Sebenernya kenapa ada yang ngincer kita?" Yayok kebingungan, tapi tetap menjalankan mobil untuk pergi dari kota kecil ini. "Apa mereka anak buahnya Daryono?"
"Bukan." Edreya bingung bagaimana harus menjelaskan bahwa dia memiliki banyak musuh yang sudah sewajarnya memusuhinya. "Kemungkinan besar, mereka nargetin saya."
Setelah keluar lumayan jauh dari kota kecil tadi, mereka berhenti dulu di pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Edreya mengecek sekitar dan tak ada yang mencurigakan. Pom bensin ini standar, hanya ada kamar mandi dan isi gas untuk ban. Tak ada bank, jadi Edreya harus mencari bank di tempat lain. Uang tunainya semakin menipis dan dia harus segera mengambil lagi.
Usai isi bensin, mereka kembali ke jalan menuju Jakarta. Jalan utama yang mereka lewati sangat sepi meski hari sedang cerah. Jalanannya memang buruk dan belum diaspal. Namun, Edreya tetap menyuruh Yayok menyetir dengan kecepatan cukup tinggi.
Saat sedang melaju, mendadak terdengar sebuah letupan dari mobilnya. Keseimbangan mobil sedikit goyah. Bannya bocor. Yayok mengerem dan mobil mereka berhenti di bahu jalan.
Edreya melihat pergerakan orang dengan senapan dari kejauhan, orang itu berada di balik pohon, bersembunyi di balik batang. Edreya pun mengambil sebuah kotak mengilat dari lantai jok belakang. "Yayok, kamu bisa ganti ban mobil?"
"B-bisa, Mbak."
"Bawa mobilnya menjauh dari sini, terus ganti bannya di bahu jalan. Ban ganti sama alat ada di bagasi. Ban yang sekarang masih cukup kuat buat dibawa jalan. Hati-hati."
"E-eh, terus Mbak mau ngapain?"
"Beresin urusan sama penguntit kita."
Wajah Yayok terlihat pucat. "Mbak nggak akan lama, kan?"
Edreya mengangguk, mengeluarkan sepasang tonfa dari kotak itu. "Sepuluh atau lima belas menit lagi, saya bakal hubungin kamu. Ini nggak akan makan waktu lama."
Setelah keluar mobil, Edreya meletakkan kotak senjatanya di tanah. Mobilnya berputar balik ke pom bensin, sedangkan dirinya berlari menuju tempat pria yang menembak ban mobilnya.
Petembak tadi sepertinya tidak memperkirakan tingginya kecepatan berlari Edreya. Dia tengah berlari ketika merasakan sebuah tangan menekan kepalanya ke tanah, menjatuhkannya hingga tiarap. Dari sisi matanya, dia spontan panik melihat Edreya.
Edreya tak memberi celah kabur, langsung menekan kedua kaki pria itu. "Kalian sama sekali nggak berniat membunuh saya," ujar Edreya, mendorong batang tonfanya ke leher petembak itu. "Kalau kalian niat membunuh, harusnya kalian nembak tangki bensin supaya mobil meledak."
Leher hingga wajah petembak itu memerah karena tekanan dari tonfa. Dia hanya terengah dan terisak sakit.
"Siapa yang nyuruh kalian?" tanya Edreya, sedikit melonggarkan tekanan tonfanya agar pria itu bisa bicara. "Saya bakal lepasin kalau kamu jawab."
"Zzse...Se..." Pria itu menatapnya—tepatnya, ke belakangnya. "Sekarang!"
Edreya mendengar pergerakan dari belakang dan sejenak, rasanya seperti slow-motion di indranya. Dia bisa merasakan seseorang akan bergerak dari balik punggungnya. Refleks Edreya segera menghindar dan menangkis alat di tangan musuh. Alat itu sebuah semprotan. Edreya segera memukul pria barusan dengan tonfa dan membuatnya pingsan.
Sebelum petembak pertama kabur, Edreya menyerang leher dan kaki pria itu dengan tonfa, cukup keras hingga membuatnya menjerit. "Semprotan tadi buat apa?" Edreya lalu melihat alat semprotan tadi mempelajarinya. Spontan, dia mendengus. "Kalian mau bius saya?" tanya Edreya, menggelengkan kepala dan tertawa pendek.
Pria pertama hanya mengamati perempuan itu dengan hati carut-marut. Edreya bisa menangkap bahwa pria ini—serta para penguntit yang lain—tidak benar-benar tahu siapa dirinya. Mereka juga terlihat kaget melihatnya mudah menangkis serangan dan menghajar kelompok mereka. Ini membuat Edreya merasa ganjil.
"Kamu mau cara lembut atau kasar?" tanya Edreya. "Kalau cara lembut, kasih tahu siapa orang yang nyuruh kalian dan saya bakal tinggalin kalian di sini. Kalau mau cara kasar, kamu sama temenmu ikut saya ke neraka. Pilih salah satu."
Petembak pertama itu menatapi Edreya dengan gentar, lalu menatapi temannya yang tak sadarkan diri, tapi tak mengucapkan apa-apa.
"Sepuluh," ujar Edreya, "sembilan..., delapan...."
Hitungan mundur itu berlanjut sampai nol. Dan petembak itu hanya berkata, "Lo tetap bakal ketangkap walau lo tahu siapa orangnya."
"Justru itu harus kasih tahu siapa orangnya. Biar bosmu nggak perlu repot-repot menangkap saya. Biar saya sendiri yang datangin orangnya."
Pria itu hanya menutup mulut dengan wajah keras kepala.
Edreya menarik napas. "Waktu habis. Karena kamu nggak jawab pakai cara lembut, berarti kalian harus dibawa ke neraka."
Perempuan itu meraih semprotan tadi dan menyemprotkannya di depan pria pertama, juga menyemprotkannya ke pria kedua untuk jaga-jaga. Kemudian dia menghubungi Yayok untuk kembali ke lokasinya di hutan.
Sambil menunggu Yayok, dia mengambil kotak senjatanya dan mengeluarkan tali tambang. Dua pria itu dia lucuti pakaiannya serta gawainya. Ponsel mereka sudah tak ada histori apa pun. Semua sudah dihapus permanen. Edreya meninggalkannya bersama pakaian luar kedua pria tadi.
Usai memungut senapan angin dan semprotan bius, Edreya menyeret dua pria itu bersama senjata mereka ke bahu jalan. Yayok tiba tak lama setelah itu. Wajahnya terlihat lega, sedangkan Darius terlihat sulit menyembunyikan kepanikan.
"Darius," panggil Edreya sambil mengeluarkan salah satu tas kosong di selipan belakang jok, kemudian dia memasukkan senapan dan semprotan bius ke dalamnya. "Tolong lakban mulut dua orang ini, terus ikat tangan dan kaki mereka. Lakban sama tali ada di tas cokelat belakang jok kamu. Nanti mereka bakal duduk di jok belakang sama kamu, jadi tolong jagain mereka. Oh, sama tolong cek kolor mereka kalau ada GPS nempel atau semacamnya."
"Dibiarin pakai kolor aja?" gumam Yayok, lalu menggeleng dan membiarkan. Saat melihat Edreya mengangkat dua pria itu ke jok belakang, Yayok hendak turun dari mobil untuk membantu. Namun, Edreya sudah selesai mengangkat kedua orang itu ke jok sendirian. Dan dia terheran melihat Yayok keluar dari mobil.
"Kamu kenapa turun?" tanya Edreya. "Kamu masih harus nyetir. Giliran saya nyetir masih dua jam lagi."
"O-oh... I-iya, Mbak." Yayok kembali ke joknya dan menutup pintu. Merasa kaget bercampur heran. Makin ke sini, dia makin yakin bahwa Edreya lebih kuat dari yang dia duga.
Edreya masuk ke mobil dan menyimpan senjata di dekatnya. Mereka pun kembali melaju. Darius tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Edreya mengamatinya dari spion dan berkata, "Nanti kita berhenti di tempat yang ada banknya." Edreya bersender ke punggung jok dan memejamkan mata. "Yayok, jalanin mobil pakai kecepatan tinggi. Kita harus cepat sampai di Jakarta."
Sebelum Bahar Karim mati, tambah Edreya dalam hati.
Mereka pun pergi sesuai tujuan awal. Perjalanan ke Ibu Kota masih memakan waktu satu hari setengah. Edreya harus segera ke sana sekaligus membereskan entah siapa orang yang ingin menangkapnya.
[ ].
2k words
10/09/2021
edited: 7/4/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top