4 || Di Tengah Latihan
| 4 |
DI TENGAH LATIHAN
Rabu, beberapa hari setelahnya...
SIAL BETUL. PADAHAL Danes tak pernah menginginkan posisi ini.
"Apa kamu siap menerimanya?" tanya suara dari seberang telepon. Nadanya menunggu. Danes melirik ke televisi dengan agak jengkel. Layar menunjukkan berita terkini tentang Janggala Cakrawangsa yang dibawa ke rumah sakit, serta penyelidikan lebih lanjut untuk teman satu selnya yang menghabisinya hingga sekarat saat tengah malam.
Dia kenal siapa pelakunya. Bahar Karim adalah mantan anak buah ayahnya dulu. Bahar mengundurkan diri untuk bekerja di kampung halamannya. Alasan yang sangat ganjil. Karier Bahar Karim saat itu sedang sangat baik, bahkan akan cepat dipromosikan untuk naik jabatan. Keputusan yang biasa diambil adalah bertahan di Jakarta, bukan malah mengundurkan diri dan kembali ke desa yang jauh dari Ibu Kota.
Danes tahu ayahnya sempat curiga bahwa ada yang memeras Bahar agar segera mengundurkan diri. Sebab Bahar mendadak terlihat ingin menyimpan masalah sendiri.
Danes mengangkat bahu meski tak bisa dilihat. "Apa saya punya pilihan lain?"
"Kamu tentu punya pilihan untuk menolak. Tapi, bukan berarti tanpa konsekuensi."
Permintaan ini bukan tanpa alasan. Pak Broto, salah satu dewan komisaris di kantornya tadi menelepon untuk memberi informasi dari orang dalam di kepolisian. Dari informasi itu, Bahar Karim menyatakan bahwa dia mendapat perintah untuk memukuli Janggala sampai mati dari Jayhadi Tanureja, ayah Danes. Belum ada bukti yang bisa memperkuat pernyataan tersebut, tapi Pak Broto sudah menghubungi Danes karena dia tahu bahwa Bahar Karim cukup dekat dengan Jayhadi saat masih bekerja di Griya Teduh Realty. Pak Broto—dan barangkali anggota dewan komisaris lain—hanya mengambil tindakan untuk berjaga-jaga.
"Iya," jawab Danes, menelan keengganan. "Saya akan menerima jabatan CEO jika ayah saya terbukti bersalah. Apa dewan direksi mau membuat rapat membahas hal ini?"
"Belum, Danes. Saya hanya mau menginformasikan. Tapi mungkin, kamu akan diangkat lebih cepat."
"Kenapa? Bukankah tidak ada bukti kuat bahwa ayah saya pelakunya?"
"Ya, tapi, kita tahu bahwa ayahmu dan Bahar cukup dekat. Jadi, kami hanya berjaga-jaga."
"Apa kalian mau memecat ayah saya?"
"Jika belum terbukti bersalah, tidak. Tapi kemungkinan, ayahmu akan berinisiatif untuk mengundurkan diri."
"Nggak ada alasan untuk ayah saya mengundurkan diri. Bahar Karim nggak punya bukti kuat."
Ada jeda sejenak. "Seminggu sebelumnya, ada rekaman CCTV di sebuah gedung, rekaman tersebut menunjukkan bahwa Bahar Karim keluar kamar mandi nggak lama setelah ayahmu keluar. Bahar bilang bahwa mereka sempat mendiskusikan rencana pembunuhan Janggala di dalam kamar mandi. Polisi sedang mengusut kebenarannya."
"Bukankah itu butuh saksi?"
"Bahar bilang, ada saksi mata di kamar mandi yang mendengar ketika ayahmu meminta untuk membunuh Janggala. Polisi sekarang sedang mengusut saksinya."
Danes bisa mencium ketidakberesan dari situasi ini. Ayahnya bukan pembunuh, tetapi dia adalah tipe pengubur kebenaran. Danes barangkali sudah masuk penjara anak saat kecil jika bukan karena ayahnya. Namun, apakah ayahnya memang benar melakukan itu? Menyuruh Bahar Karim untuk membunuh Janggala karena dendam? Itu tak seperti ayahnya.
"Apa kita nggak bisa membayar mereka untuk menghentikan usutannya?" usul Danes.
"Tidak bisa, Danes. Saya sudah mengusulkan, tapi yang lainnya tidak setuju."
Kesimpulan pun terbentuk seperti sebuah jentikan jari.
Dewan Komisaris Griya Teduh Realty, yang mayoritas diisi oleh keluarga Cakrawangsa, ingin menyingkirkan ayahnya dari kantor. Pak Broto adalah salah satu komisaris yang cenderung netral, dan karena itulah dia yang menyampaikan hal ini.
Satu demi satu, sekutu Danes ditumbangkan. Om Sabima, Farel, dan kini ayahnya juga.
Danes menarik napas. Keputusan ini sedikit-banyak menyentil egonya. Griya Teduh Realty seharusnya menjadi perusahaan keluarganya dan keluarga Prawespati. Bukan Cakrawangsa. Tapi Cakrawangsa adalah pemegang saham terbesar di perusahaan ini. Sehingga keluarga Tanureja dan keluarga Prawespati harus selalu membuat keputusan yang menyenangkan pihak Cakrawangsa.
"I hold no remorse toward the decisions made by the boards," ujar Danes. "Tapi, apa Farel sudah dipertimbangkan untuk menggantikan posisi ayah saya?"
"Sudah. Tapi Farel mengabari bahwa dia mengalami kebutaan temporer, jadi dia nggak bisa mengemban jabatan itu."
Danes mengerjap. "Buta temporer? Sejak kapan?"
"Katanya sejak tiga hari belakangan, dia kesulitan melihat. Kemarin benar-benar tidak bisa melihat dan dibawa ke rumah sakit."
Danes yakin itu pasti efek dari obat yang disuntikkan saat Farel disekap. Farel buta temporer, ayahnya menjadi tersangka pembunuhan, Om Sabima mengalami Alzheimer, dan dia harus bersiap untuk Operasi Infiltrasi Sangkar Emas dalam waktu dekat. Sungguh pagi yang sempurna.
"Baik, Pak Broto," balas Danes pada akhirnya. "Saya akan menerima tanggung jawab yang diberikan, atas perintah dari para Dewan Direksi dan Dewan Komisaris."
Setelah panggilan tersebut ditutup, ponsel Danes kembali berdering tak lama kemudian. Kali ini dari Remi.
"Nes," panggil Remi dengan tergesa. "Lo udah lihat berita?"
"Ya." Dia melirik sekilas pada berita yang masih menayangkan topik yang sama. "Pak Broto telepon gue, bilang kalau Bahar Karim menyatakan bahwa Papi nyuruh dia pukulin Janggala sampai mati, dan ada bukti CCTV. Janggala sendiri masih hidup, dilarikan ke rumah sakit. Dan saat ini belum ada bukti kuat bahwa Papi terbukti salah. But we know how it will happen. Papi mungkin akan mengundurkan diri lebih dulu."
"Apa lo diminta gantiin Papi?"
"Ya. Lo udah tahu kalau Farel sekarang buta temporer?"
"Gue baru aja mau ngabarin lo." Helaan napas Remi terdengar lelah. "Nanti sepulang kantor, gue mau jenguk Farel. Lo ikut?"
Danes menghela napas mengingat hal-hal yang harus dia kerjakan. Sebenarnya dia enggan meluangkan waktu untuk menjenguk Farel. Tapi, dia sudah bersumpah untuk konsisten menjadi abang yang baik bagi adik-adiknya, serta putra yang membanggakan bagi orangtuanya. Membunuh orang adalah satu hal, tapi menjadi abang yang buruk adalah hal lainnya. Untuk membuat dirinya berbeda dari monster-monster di kota ini, setidaknya dia harus memiliki prinsip yang dia bawa sampai mati. Bukan hidup hanya menjadi robot atau sekadar predator.
"Gue akan jenguk dia besok atau lusa. But for now, I have some business to attend."
"Right. Lo sibuk minggu ini." Remi lalu melanjutkan, "Are you going to take the pill?"
Danes tersenyum masam. "Things are going to get busier. I don't have much choice."
"Then please take it in a considerate amount," Remi terdengar memohon. "Harusnya itu nggak dipakai tiap hari, Nes."
"Gue nggak pakai tiap hari. Cuma dua hari sekali."
"Tapi lo pakai satu pil. Itu cukup untuk bikin lo nggak tidur dua harian. Bisa bahaya, Nes. Badan lo pasti bakal kecapekan kalau kayak gini terus."
Danes meringis. Kekhawatiran Remi bukan tanpa sebab. Awalnya pun, Danes hanya mengonsumsi pil penghilang kantuk sesekali ketika pekerjaan terlalu banyak. Namun sebulan belakangan, dia makin sering mengonsumsinya, membuat dia hanya tidur dua kali seminggu.
"I'm fine," ujar Danes. "I really am. Gue nggak merasa kelelahan. Apa lo melihat gue kelelahan di kantor?"
"Enggak. If any, you seemed energized." Setelah sebuah jeda, Remi seperti tersadar sesuatu. "Oh, you took the other pill."
Pil lain yang dimaksud Remi adalah pil untuk membuat tubuh berenergi, fokus, tidak merasakan letih seharian. "Gue nggak akan konsumsi lagi minggu depan."
"Nes, lo udah pernah mimisan karena kecapekan."
"Gue sekarang berhati-hati. Tadi malam gue tidur, dan nggak konsumsi pil apa pun."
Remi menarik napas. "Apa ada sesuatu yang bisa gue bantu?"
"Stay healthy and just do your job." Danes lalu memutuskan sambungan. Dia menatap lagi layar yang menunjukkan berita terkini. Hari ini dia masih harus latihan dengan Linggar sepulang kantor.
***
Seusai sesi latihan dengan Linggar, Danes beristirahat bersama Linggar yang tak terlihat kelelahan sama sekali. Padahal mereka sudah latihan puluhan menit hingga kaus Danes basah kuyup oleh keringat. "Lo nggak capek atau kepanasan, Nggar?"
Linggar mengangkat bahu. "Biasa aja sih." Dia menenggaknya, lalu menatap ke arah pintu yang terbuka.
Danes menoleh, melihat sosok gadis mungil berkulit cokelat gelap dengan rambut twin tails. Pakaiannya terlihat manis, penuh renda. Eksistensinya terlihat begitu salah tempat ketika peri seperti ini justru berada di markas para bajingan. Tapi di antara semuanya, yang paling mencolok ketika gadis itu mendekat adalah bola mata gadis itu. Warnanya biru, terang dan kontras dari bulu mata dan kulitnya yang gelap.
Linggar tersenyum. "Udah selesai kerjaannya?"
Gadis itu manggut-manggut dengan senyum manis. "Mm-hmm! Linggar masih harus latihan?"
"Iya, ini masih ngelatih si Danes. Lo ada urusan apa datang ke sini?"
"Mau kasih ini." Gadis itu memberikan sebuah dokumen kepada Danes. "Dari Rendra."
"Oh, thanks." Danes mengambil dan membuka sekilas. "Lo anak buahnya Rendra?"
Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Bukan."
"Dia Letnan," Linggar mengimbuhi. "Letnan ketiga Balwana. Kalau ntar lo butuh orang buat berantem, dia bisa ikut."
Danes menatapi Willy dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh mungil, mata biru bulat dan terlihat polos, bahkan dikucir dua seperti anak-anak. "Lo beneran bisa berantem?"
"Mm-hmm!" Willy manggut-manggut.
"Emang nggak masalah ya, kalau berantem pakai soft lens kayak lo gini?"
Willy membeliak. "Soft lens? Ini warna mata asliku."
Alis Danes terangkat. "Warna aslinya biru? Lo keturunan penjajah?"
"Hmmm." Willy menatap ke atas dan berpikir. "Aku kurang tahu apakah aku memang keturunan penjajah atau bukan. Tapi, semua keluargaku punya kulit cokelat gelap dan mata biru. Kami tidak punya masalah pengelihatan, tapi rata-rata dari kami punya masalah pendengaran."
"Apa lo juga termasuk? Punya pendengaran yang bermasalah?"
"Iya, sedikit. Tapi aku bisa membaca gerak bibir kamu." Willy kembali menatap Linggar. "Aku masih ada urusan, jadi harus pergi. Nanti kalau Linggar sudah selesai, kabari aku ya. Aku mau makan bersama Linggar."
Linggar mengangguk. "Nanti gue kabarin kalau gue udah free."
Willy pun pergi. Danes duduk sambil membaca dokumen yang diberikan oleh gadis itu.
Melihat dokumen yang dibaca Danes, Linggar bertanya, "Daftar kasusnya Mas Tama?"
"Oh, iya." Danes melirik sekilas. "He is pretty good. Gue udah nemuin dia untuk memakai jasanya sebagai pengacara. Gue berniat jadiin dia pengacara keluarga gue."
Linggar memicingkan mata. "Memangnya lo nggak punya pengacara keluarga?"
"Punya. And he's not bad." Danes meletakkan dokumen dan mengelap keringat dengan handuk kecil. "Tapi, gue agak ragu dia bisa menang lawan keluarga besar kayak Cakrawangsa, Soerjodiningrat, dan lain-lain. Sementara Tama punya rekor, dia berhasil menang dalam kasus yang lawannya adalah Soerjodiningrat. That was definitely something."
Wajah Linggar terlihat agak skeptis. Dan dia bahkan tak bertanya Danes ingin Tama menjadi pengacara pembela untuk kasus apa. Dia justru bertanya, "Emang Mas Tama mau?"
"Kenapa enggak? Gue udah ketemu dia minggu lalu, dan dia nggak kelihatan keberatan. Sekarang karena bokap gue diduga sebagai pelaku pembunuhan berencana, gue merasa akan butuh Tama." Danes menatap Linggar sambil mengangkat satu alis. "Ada review buat latihan minggu ini?"
Linggar mengambil botol air miliknya. "Lo jadi makin cepat, dan kekuatan juga menyusul. Tinggal ngelatih akurasi dari serangan lo." Dia menenggak minumnya dulu. Danes masih heran kenapa tiap kali latihan, hanya dirinya yang banjir keringat sedangkan Linggar tak pernah terlihat kelelahan. Sparring ini terasa seperti mainan untuk Linggar. "Mau ngelatih lagi akurasi serangan lo di hari Sabtu?"
"Sabtu gue nggak bisa. Ada kondangan, jadi gue skip dulu." Danes memasukkan barang-barang ke tasnya.
Linggar mengalihkan pandangan dari ring tinju ke Danes. "Mau langsung balik?"
"Iya." Dia pun berdiri untuk pergi ke ruang ganti. Mata Danes memandangi ke kaca di langit-langit arena. Mengingat saat pertama dia mendatangi tempat ini.
***
Dua bulan yang lalu, beberapa hari setelah perbincangan dengan Rendra, Danes kembali mendatangi Balwana untuk mendapat latihannya.
Namun, Snow mengarahkannya ke markas lain, bukan markas di rubanah Lightyears. Lokasinya sedikit lebih jauh. Selama ke lokasi pun, Danes diantar pakai mobil dari Lightyears ke markas tersebut dalam keadaan mata tertutup. Begitu sampai, prosedur masuk ke markas bawah tetap dilakukan. Namun, kini ditambah dengan sebuah ban lengan berwarna merah dan emas, di tengahnya ada lambang Balwana.
Danes mengikuti prosedur dengan tertib. Usai beberapa menit dihela berjalan, dia mendengar suara pintu terbuka, disusul suara keramaian dari balik situ. Keramaian itu berganti dengan bisik-bisik ketika Danes masuk. Beberapa di antaranya mampu Danes tangkap.
"Siapa tuh? Bukan orang kita, ya?"
"Itu klien, bego. Lihat ban lengannya."
"Klien Emas tuh."
"Ngapain Klien Emas ada di sini?"
Bisik-bisik makin ramai. Namun, Danes tetap dihela menuju suatu lokasi lain, melewati banyak orang. Setelah beberapa saat, anggota Balwana yang menghelanya berhenti. Tutup matanya dibuka, dan Danes melihat sebuah ruangan luas serba putih. Langit-langitnya sangat tinggi. Ada ring besar di tengah, dipagari oleh kayu dan kawat besi. Terdapat dua kursi panjang di luar ring, dua pintu di sisi kiri dan kanan, dan kaca hitam besar di empat sudut langit-langit. Mungkin kaca besar tersebut terhubung dengan ruang lantai atas untuk mengawasi pelatihan. Entah, Danes tak bisa melihat dari bawah sini.
Di sisi kiri, sosok Rendra duduk bersama seorang lelaki berkulit cokelat dan berambut keriting berpotongan undercut. Danes segera mendatangi keduanya.
"Selamat datang di latihan perdana lo, Nes," ujar Rendra, lalu tangannya menunjuk lelaki di sebelahnya. "Ini Omar, dia yang bertanggung jawab untuk senjata yang bisa lo pakai."
Danes mengangguk kepada si lelaki asing, lalu mengulurkan tangannya. "Danes."
"Omar." Lelaki itu tersenyum, menunjukkan lesung di kedua pipi. "Linggar tadi lagi jajan, tapi bentar lagi pasti bal—oh, itu dia orangnya."
Danes menoleh ke arah pintu. Seorang pemuda dengan rambut fade undercut memasuki ruangan. Telinganya ditindik dengan aksesori yang sedikit rumit. Wajahnya adalah tipe wajah terpahat, lebih cocok untuk jadi model internasional. Badannya memang cukup atletis, tapi Danes agak sulit percaya bahwa pemuda ini adalah Letnan kedua terkuat. Tadinya dia berasumsi bahwa 'Linggar si Letnan Kedua' setidaknya adalah pria yang hampir seperti Snow, berwajah gahar dan berotot besar. Namun, Linggar lebih terlihat seperti selebgram terkenal mancanegara. Danes jadi agak skeptis.
Rendra mengarahkan tangan ke pemuda itu dan berkata, "Nes, kenalkan, ini Linggar, mentor lo buat sparring ke depannya."
Linggar datang dengan baju santai; kaus hitam, celana jeans dan sandal jepit hijau. Sebungkus snack pasta coklat tergigit di mulutnya. Dia melepas snack itu untuk berkata, "Udah siap latihan?"
"Udah," jawab Danes. "Gue mau mulai sekarang."
"Ganti baju dulu. Abis itu pilih senjata yang mau lo pakai." Linggar kembali mengemut snack-nya, lalu duduk bersama Rendra di kursi panjang.
Danes dihela oleh Omar ke kamar mandi. Dia harus mengganti setelan kerjanya dengan pakaian yang lebih sesuai untuk latihan. Usai itu, Omar membawanya ke depan di pintu lain arena latihan. Ternyata ruangan di balik pintu tersebut berisi banyak senjata.
"Lo mau pakai tangan kosong atau pakai senjata?" tanya Omar. "Kalau mau pakai senjata, di sini ada senjata buat latihan."
Mata Danes membeliak setelah lampu gudang senjata menyala. Cahayanya menyorot berbagai senjata yang terpajang, rasanya seperti masuk walk in closet berisi berbagai amunisi perang. Mengingatkannya dengan film aksi di mana para hero pertama kali melihat gudang senjata yang bisa dia pakai.
"Eh, sori, ini gudangnya kurang lengkap senjatanya," ujar Omar, terlihat baru teringat sesuatu. "Kalau lo mau yang lengkap, ada di gudang utama, itu gudangnya lebih gede. Tapi, jadinya lo harus ditutup lagi matanya dan dihela sama penjaga buat ke sana. Lo mau kayak gitu, atau milih senjata di sini aja?"
Danes bertampang datar, tapi sesungguhnya dia terkejut. Dalam benak dia tahu, sudah sewajarnya gudang senjata Balwana besar dan lengkap. Anggota mereka ada banyak, begitu pun klien mereka. "Gue cek di sini aja. Kalau senjata yang gue mau nggak ada di sini, gue baru pergi ke gudang lain."
"Oke. Emang lo nyari apa?"
"Tonfa."
"Oh, ada kok. Ntar pilih aja yang lo mau. Linggar bakal ngikutin pakai senjata yang lo pilih."
Danes menggeleng. "Gue udah lima tahun terakhir pakai tonfa. Linggar pilih aja senjata yang emang dia jagokan."
Omar terkekeh. "Linggar udah nguasain semua jenis senjata yang kami punya, kok. Termasuk tonfa. Dia nggak jadi Letnan kedua terkuat kami tanpa alasan, you know."
Saat Omar pergi untuk membuka-buka rak senjata, Danes masih terpaku. Jika Linggar yang merupakan Letnan kedua terkuat bisa mengusai semua senjata ini, bagaimana dengan Letnan yang pertama? Bagaimana dengan level para Komandan? Berapa lama anggota Balwana berlatih sampai bisa seperti ini?
"Nes, nih gue ada beberapa tonfa. Lo cobain sendiri model yang lo mau, ya!" seru Omar, membuat Danes segera pergi ke arahnya.
Setelah beberapa saat memilah, Danes memilih sepasang tonfa baja, mengambil dua pasang untuknya dan Linggar. Dia keluar setelah Linggar selesai makan dan menaruh snack lain di kursi. Usai itu, mereka berdua memasuki ring dan pemanasan sendiri dengan tonfa mereka.
"Lo mau mulai ngajarin gue dari mana?" tanya Danes, berlatih mengayunkan tonfanya. "Gue udah belajar dasar-dasar bela diri. So, don't waste your time to teach the basics."
Linggar meregangkan otot, mendengarkan Danes dengan wajah apatis. Dia pun membalas, "Hari ini, lawan gue sekuat yang lo bisa. Gue perlu tahu batas kekuatan dan teknik lo sampai di mana."
"Oke." Danes memegang kedua tonfa sejajar lengan. "Gue juga mau ngetes elo."
Mereka pun bersiap dengan kuda-kuda. Rendra masuk sebagai wasit. Usai tangan Rendra diangkat, Danes segera memelesat untuk menyerang Linggar.
Denting tonfa beradu. Linggar bertahan dari serangan-serangan Danes, baik dari pukulan tonfa maupun tendangannya. Selama beberapa saat, Linggar hanya melakukan gerakan bertahan, mengikuti tempo lawan.
Danes pun meningkatkan kecepatan dan tenaga. Linggar menepis semua serangannya. Pada menit ke sekian, Danes berhenti menyerang untuk memberi celah kepada Linggar. Dia ingin tahu kekuatan lawannya itu.
Dalam sepersekian detik, Linggar mengambil celah yang Danes berikan. Dan celakanya, Danes tidak mengantisipasi kecepatan sang lawan.
Shit. Danes segera berguling, lalu berdiri dan menjauh sejenak. Jika dia tak kabur dengan cepat, dia pasti sudah terkena serangan fatal di lehernya.
Linggar tak membuang waktu dan langsung menyerang Danes begitu Danes berdiri. Danes berusaha sekuat tenaga untuk menepis dan bertahan dari serangan Linggar. Namun, Linggar terlalu cepat dan liat. Gerakannya halus. Nyaris tak ada jeda. Tahu serangan apa yang harus dilayangkan usai serangan sebelumnya berakhir. Danes kewalahan, sehingga dia menjauh dan menepi ke ujung ring.
Mereka lalu terdiam; Danes dengan napas tersengal, dan Linggar dengan wajah tenang. Otot Danes sudah mulai kelelahan. Namun, ini masih jauh dari berakhir.
Linggar memiringkan kepala. "Udah selesai?"
Murka, Danes memelesat dengan serangan penuh. Tapi, kini serangannya lebih gegabah. Kurang presisi. Sudah puluhan menit berlalu sejak dia bertahan dari serangan Linggar, jadi otot Danes yang kelelahan tak bisa dibohongi. Ketika Danes lengah, Linggar justru menyerangnya, tanpa jeda dan bertubi-tubi. Danes tahu Linggar pasti menunggu saat ketika dirinya kelelahan.
Namun, Danes juga menunggu saat ketika Linggar menyerang. Dia menahan tangan Linggar dan menahannya di lantai. Saat Danes hendak menginjak wajah Linggar, pemuda itu gesit berguling ke samping dan menendang kaki Danes.
Danes terjatuh, tapi segera menghindar dari serangan Linggar. Dia berdiri dan menyilangkan tonfa untuk melindungi diri dari serangan. Namun, kecepatan Linggar kian tinggi. Dan yang pasti, gerakannya aneh. Danes menyadari bahwa Linggar selalu menghindari area wajah dan tangan kirinya. Beberapa kali, Danes sempat terkena serangan Linggar. Linggar pun tak menyerang langsung dengan tonfa; dia menggunakan tangan. Satu tonfanya hanya digunakan untuk membuat Danes kewalahan dan lengah. Pukulan Linggar ke tubuh Danes selalu memakai tangan. Dan serangan tangan Linggar terasa seperti menusuk tubuhnya alih-alih memukul.
Di saat Danes kelelahan, Linggar memanfaatkan celah itu untuk memberikan serangan bertubi-tubi. Danes hanya mampu bertahan dari beberapa serangan, sebelum akhirnya dijatuhkan ke lantai dan ditahan sebelum dia mampu berdiri.
Lutut Linggar menggencet leher sang lawan. Gencetannya kuat sekali. Dan secepat kilat, bilah belati tiba-tiba keluar dari dasar kedua tonfa Linggar. Mata Danes membeliak. Dia tak sempat bereaksi. Belati itu hendak menghujamnya, tapi berakhir tertancap di lantai sebelah leher Danes.
Linggar pun beranjak, menarik kedua tonfa yang tertancap. Tangannya terulur untuk menarik Danes dari posisinya.
Danes masih berusaha mencerna pertandingan ini.
Tangan Linggar masih terulur.
Jengah, Danes menepis uluran tangan Linggar. Dia menatap Rendra dan Omar untuk protes, "Kenapa nggak ada yang bilang kalau belatinya ada di dalam tonfa?"
"Eh?" Omar terlihat bingung, lalu dia menggaruk-garuk kepala. "Sori, kayaknya gue lupa. Tapi, bukannya lo tadi cek sendiri di dalam gudang? Gue kira lo udah tahu sendiri gitu."
Danes berdecak, beranjak berdiri, lalu menormalkan deru napas yang tersengal. "Lagi, Linggar."
Namun, lawannya itu hanya terdiam dan mengepit tonfanya di lengan. "Latihan kita cukup sampai sini. Sampai jumpa untuk latihan minggu depan."
"Hah?" Danes membeliak dengan napas terengah. Dan yang membuatnya tercengang adalah, Linggar sama sekali tak terlihat kelelahan. Hanya agak berkeringat. "Maksud lo apa? Gue masih kuat buat latihan lagi. Ini bahkan belum ada satu jam kita latihan."
Linggar meraih snack pasta coklat di kursi. "Lo nggak dalam posisi mampu untuk melanjutkan latihan."
"I am perfectly fine."
Sambil menarik napas, Linggar meliriknya, lalu melirik Rendra dan Omar. "Dia bakal kesakitan mungkin sampai tiga hari ke depan. Gue udah menghindari muka dan tangan kirinya, sesuai kata Snow. Tapi, mungkin dia bakal butuh painkillers."
"Sip. Thanks ya, Nggar," balas Rendra sambil menepuk pundak Linggar.
Linggar mengangguk dan mengembalikan tonfa ke Omar. "Gue duluan."
Danes masih tak paham. Tubuhnya memang kelelahan, tapi masih mampu untuk latihan lagi. Namun, Linggar sudah keluar dari arena dan dia hanya bisa bertanya, "Kenapa kalian biarin dia pergi?"
Rendra tersenyum lebar dengan bibir terkulum, sorot matanya terlihat geli. "Karena ini waktu buat lo diobatin, pulang, terus istirahat. Your body is damaged, Danes."
"It isn't."
"It is, tapi lo belum ngerasain efeknya sekarang. Efeknya bakal mulai berasa besok pagi."
"Eh, Ndra. Painkillers-nya nanti dikasih aja pas kalian balik ke Lightyears," imbuh Omar. "Biar sekalian Danes balik pulang."
"Sip." Rendra pun melirik Danes. "Ganti baju dulu, Nes. Tonfanya tinggalin aja. Ntar gue yang balikin."
Sebenarnya Danes tak mau menurut. Namun, tubuhnya memang kelelahan. Durasi sepuluh menit bertarung dengan Linggar saja sudah membuatnya selelah ini. Bagaimana jika lebih? Tapi, Danes yakin dia merasa selelah ini karena sedari tadi menggunakan kekuatan penuh.
Setelah berganti baju dan dihela keluar, Rendra memberikan obat kepadanya. "Tujuan latihan hari ini adalah bikin lo paham perbedaan kekuatan lo dan kekuatan Letnan Balwana." Rendra menepuk bahu Danes. "Dan besok, lo bakal paham perbedaannya."
***
Rendra benar. Rasa sakit yang Danes alami baru terasa di keesokan hari. Dari pagi, Danes bahkan kesulitan untuk beranjak dari kasurnya. Hanya kepala dan tangan kirinya yang yang tidak sakit. Dan kedua area itu memang dihindari Linggar. Balwana pasti sudah tahu bahwa Danes kidal.
Selama tiga hari setelah bertarung dengan Linggar, Danes bahkan kesulitan konsentrasi karena seluruh tubuhnya kesakitan. Dia masih bisa berjalan, tapi itu pun harus menggeret kaki. Cuti kerja pun dia ambil selama dua hari.
Gimana caranya dia ngelakuin itu? pikir Danes, tak percaya. Bagaimana caranya Linggar mampu menyerangnya, tapi membuat rasa sakit yang dia terima terlambat reaksinya?
Pada latihan kedua, Linggar melatih Danes dengan senjata-senjata lain. Danes tak pernah bisa menguasai trik Linggar untuk membuat lawannya kesakitan hingga tiga hari, tapi dia bisa dilatih untuk menjadi lebih kuat.
***
Sejak tiga tahun lalu, Danes pindah untuk tinggal di rumah yang dia beli sendiri. Hunian tiga tingkat yang terletak dekat kantornya, berada dalam sebuah kompleks perumahan yang dibangun Griya Teduh Realty bernama Griya Ambrosia, tepatnya di Blok-D.
Perumahan di Blok-D merupakan area khusus yang hanya terdiri dari sepuluh unit rumah, serta memiliki gerbang tinggi dan tertutup yang melindungi blok tersebut. Adalah Danes sendiri yang menyeleksi penghuni Blok-D Griya Ambrosia. Calon penghuninya pun lebih sering diajak atau ditawari oleh para penghuni yang sudah menetap. Danes tak butuh pemasaran untuk Blok-D—dia selalu meminta pihak pemasaran Griya Ambrosia untuk berkata bahwa Blok-D sudah penuh, meski pada kenyataannya masih ada beberapa unit yang kosong. Sebab hanya orang-orang tertentu yang Danes izinkan untuk menetap di blok ini.
Danes membuatkan bungker atau rubanah khusus di tiap rumah Blok-D. Entah mau dibuat mengurung manusia atau mayat, semua terserah sang pemilik rumah. Gudang tiap unit Blok-D memuat pintu menuju ruang bawah tanah. Isinya adalah bungker untuk keadaan gawat darurat. Ada listrik, air, dan pencahayaan secukupnya. Semua didesain mirip dengan bungker di rumah elite di luar negeri yang Danes tahu.
Saat melewati jalan menuju rumahnya, Blok-D terlihat sangat sepi. Sekarang memang sudah tengah malam. Para tetangganya kebanyakan sudah tidur. Tak ada yang keluyuran karena besok masih hari kerja.
Namun ketika berbelok ke jalan depan rumahnya, Danes melihat sosok pria berkemeja putih dengan tato bunga di leher sedang berjalan di trotoar. Kemeja putihnya ternoda oleh darah. Dia memelankan kecepatan kendaraan dan menurunkan kaca pintu mobil.
"Fabian," panggil Danes. Pria yang berada di sebelah kaca terbuka itu menyadari mobil Danes, lalu menunduk untuk melihat sosok di balik kemudi. Perhatian Danes langsung ke arah kemeja putih dengan noda darah. Dia mengangkat alis.
Fabian langsung menggeleng. "Bukan darah gue."
"I know. Gue heran aja lihat lo pakai baju putih pas lagi dinas. Tumben."
Fabian tertawa pelan. "Bukan lagi dinas. Jadwal kerjaan gue lagi kosong. Gue habis ke barnya Marlon, terus berantem sama orang mabok yang rusuh di sana. Nobody's dead yet. But somebody is in a bad shape." Marlon—bersama Maureen, saudarinya yang tinggal bersamanya—adalah tetangga Danes selain Fabian.
"Oh, kalian ke bar barunya Marlon?"
"Iya. Gue disuruh pulang duluan sama Marlon, daripada ribut lagi sama pelanggan." Fabian mengangkat bahu. "Anyway, lo nggak ikut ke bar? Weren't you invited?"
"I were. Gue lagi sibuk aja belakangan ini."
"I can see that. Dua bulan belakangan lo udah jarang nongkrong sama kami. Lagi rencanain apa lo?"
Danes terkekeh. "You will know it soon. Dan mungkin, gue bakal butuh jasa lo dalam waktu dekat."
"Alright. Just let me know."
Fabian menjauh dan Danes menutup kaca mobil, berkendara melewati pagar rumah dan parkir di balik garasi. Blok-D hanya dihuni oleh orang-orang kaya dengan selera unik seperti Marlon dan Maureen, atau pekerjaan ilegal seperti Fabian. Semua memiliki rahasia yang tak bisa ditunjukkan di depan orang awam karena bisa ditangkap aparat. Danes mencari dan mengumpulkan mereka agar dia tak perlu terlalu sering menyembunyikan diri. Dia sudah belajar bahwa cara efektif untuknya hidup itu bukan cuma dengan beradaptasi dengan orang normal, melainkan juga dengan berada di antara orang-orang yang sama sepertinya.
Begitu keluar dari mobil, dia melepas ketiga anjingnya dari kandang mereka di taman. Selama Danes ke kantor, ketiga anjingnya dibiarkan di kandang teras rumah, atau kadang diurus oleh Fabian, dokter hewan sekaligus pembunuh bayaran yang tinggal di Blok-D. Jadi dia memberikan duplikat kunci gerbangnya agar ketiga anjingnya bisa dibawa oleh Fabian.
Setelah membiarkan peliharannya masuk rumah, Danes menemukan sebuah paket amplop cokelat di depan pintu. Dia mengambil dan membaca sembari memasuki rumah. Paket itu memang ditujukan untuknya, dikirim oleh Gautama Farhandi—pengacara Balwana yang dia ajak kerja sama.
Sedikit curiga, Danes pun segera membukanya dan mencari kata semacam 'menerima tawaran' atau 'setuju' dalam surat tersebut. Namun, tidak ada hal seperti itu. Ini justru surat penolakan, berikut dengan sebuah cek yang Danes berikan untuk uang down payment.
Danes menggertakkan gigi. Dibacanya surat itu berulang kali, berpikir pasti ada yang salah, tapi dia memang membaca dengan benar.
Tama menolak tawarannya.
Apa-apaan ini?
Sebenarnya apa masalahnya? Tama hanya menyebut bahwa dia menolak Danes karena alasan personal. Tapi saat minggu lalu dia menemui Tama, pria itu tak terlihat keberatan dengan Danes menjadi kliennya. Tama memang belum menyetujui kontrak, tapi itu karena dia harus menjadwalkan waktunya untuk Danes. Bukan karena menolaknya jadi klien. Pertemuan minggu lalu terlihat begitu positif dan potensial. Tama memang tidak sepenuhnya ramah, tapi dia sopan dan profesional. Harusnya Tama tidak keberatan dengan latar belakang para kliennya. Toh, dia sudah lama berkecimpung dengan klien-klien bermoral buruk. Bahkan Rendra pun juga sudah pernah berkata bahwa Danes bukanlah orang sinting pertama yang menjadi klien Balwana.
Danes melempar tasnya dan mengempaskan tubuh di sofa. Salah satu dari ketiga anjing Danes mendekati kakinya. Moncongnya berada di atas kaki sang majikan. Danes mengelusnya singkat sambil berusaha mengontak Tama. Mungkin ini memang sudah larut malam dan kemungkinan besar Tama tak mengangkat panggilan—berhubung Tama bukan Komandan Balwana yang terikat kontrak dengannya. Tapi, Danes tetap ingin mencoba. Toh, anggota Balwana memang bekerja di malam hari.
Panggilannya terjawab setelah beberapa kali dering. Suara Tama terdengar tenang dan lebih dingin dari biasanya. "Selamat malam."
"Selamat malam, Tama," ujar Danes, berusaha mengontrol emosi. "Gue udah dapat kiriman dari lo. Tapi, gue nggak paham alasan lo menolak tawaran kontraknya. Kayaknya kita nggak ada masalah selama pertemuan kita selama ini."
"Itu memang betul," jawab Tama. "Masalah personal saya bukan terletak di impresi saya terhadap pertemuan kita, melainkan pada diri kamu di masa lalu."
Danes memicingkan mata. "If I recall, gue bukanlah klien berlatar belakang buruk pertama yang lo tangani. Lo pernah jadi pengacara untuk seorang koruptor, dan lo fine aja dengan itu."
"Seperti yang sudah saya bilang, Danes. Masalah saya terhadap kamu itu personal. Sementara untuk klien saya yang lama, saya nggak ada masalah personal dengan mereka."
"Terus apa masalah personal lo ke gue?"
Tama terdiam sejenak. "Apa kamu nggak awas dengan dosa kamu sendiri di masa lalu?"
"I did many sins. You need to be more specific."
"Kamu nggak ingat kejadian lima tahun lalu, saat kamu menyewakan resort garapan perusahaanmu ke seorang pria yang dikenal suka menyekap wanita?"
Danes terdiam. Dia memang sudah terbiasa menyewakan tempat untuk orang-orang bercatatan hitam. Tapi tentu akan jadi masalah jika korbannya adalah orang terdekat Tama. "Gue hanya menyewakan kepada mereka yang membayar. Gue nggak berurusan dengan wanita yang mereka bawa. Bukankah Balwana juga begitu?"
"Kami nggak menyewakan tempat kepada pemerkosa, Danes." Tama terdiam. "Harusnya kamu melakukan background check dulu sebelum menerima seseorang sebagai klienmu."
"Siapa nama wanita itu?"
"Saya ragu kamu tahu namanya."
Sambungan pun diputus oleh Tama. Danes kini sudah memiliki gambaran atas alasan Tama menolaknya. Danes pun menatap jam dinding. Sekarang sudah lewat tengah malam, dan besok dia masih harus ke kantor. Dia mendecak dan melempar ponsel ke sofa.
"Well, fuck."
[ ].
4,6k words
4/12/2021
edited: 7/4/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top