2 || Di Tengah Pertanyaan (2)
| 2 |
DI TENGAH PERTANYAAN
LOKASI WASTU EDDIE segera ditemukan oleh Balwana, tepat setelah perintah dari Snow turun untuk mengirimkan regu mencari lokasi tersebut. Sambil menunggu tim pencari memastikan lokasi, Rendra dipanggil untuk mengobrol dengan Danes—yang menggantikan Remi sebagai Klien Emas—di aula utama Lightyears yang kosong. Hari masih siang dan Lightyears baru buka saat malam.
"Jadi ... lo mau tanya tentang apa?" tanya Rendra yang duduk bersamanya di salah satu sofa yang membentuk tiga-perempat lingkaran. Hanya ada dua gelas air di meja. Lampu terang karena minimnya cahaya masuk dari jendela. Tato tikus dan akar terlihat di lengan bawah Rendra.
Danes pun menegapkan tubuh, bersiap menyimak. "Bisa mulai dari sistem keanggotaan kalian dulu?"
Rendra memejamkan mata. Danes memang sudah menggantikan Remi sebagai pemilik kontrak—dengan tambahan dua misi baru untuk diselesaikan. Dan, Rendra kebagian memenuhi salah satu misinya: memberi informasi dan kesediaan untuk membaginya kapan pun Danes butuh. Padahal dia sudah memberi Snow latar belakang semua anggota keluarga Tanureja. Dan di antara semuanya, si anak sulunglah yang paling tidak beres. Tapi, Snow justru tak mengambil waktu lama untuk menerima kesepakatan dengan pria itu. Sekarang Rendra paham bahwa sebagian alasannya adalah untuk melempar tanggung jawab kepadanya.
"Elo yang minta gue buat terima Kael sebagai klien, padahal lo tahu betul bahwa Balwana nggak seharusnya terima klien konglomerat kayak Soerjodiningrat. Kita nggak seharusnya terima keluarga lo jadi klien!" ujar Snow dengan jengkel ketika Rendra tadi di ruangannya. "Dan lo juga yang minta gue buat terima Remi. Lo minta gue terima Kael dengan bawa-bawa utang budi lo ke gue, oke. Tapi sekarang karena kita dapat Janggala, urusan ini jadi panjang karena dia tahu apa yang kita sembunyikan! He knows about the fucking serum! Lo tahu gue nggak bisa ngelepas dia, jadi kontrak Remi juga nggak bisa cepat gue kelarin!"
"Iya, tapi ... kan bisa nolak si Danes pas dia minta kontrak Klien Emas berpindah tangan ke dia."
"Dan lo juga bisa menolak Kael dari awal. Padahal kalau dari awal Kael ditolak, anak-anak Tanureja itu nggak akan masuk ke dunia kita."
"Tapi, masalah Kael udah kelar," sanggah Rendra. "Dan Remi mungkin emang parnoan, tapi dia bukan orang gila kayak kakaknya. Lo nggak mesti terima perpindahan kontrak Remi ke Danes!"
"Lo tahu orang kayak Remi nggak akan bisa survive kalau mau lanjutin masalah ini."
"Dan kakaknya bisa?"
"Danes mungkin bakal mati. Tapi seenggaknya, lo nggak akan merasa bersalah kalau dia mati. Sementara kalau Remi mati, lo bakal merasa bersalah sama Kael. Karena Kael adalah keluarga lo."
Rendra tahu Snow benar. Dia juga tahu ini sesuatu yang dia mulai. Jadi dia harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.
"Balwana punya tingkatan level untuk para anggota," ujar Rendra, memulai penjelasan. Ini informasi umum untuk para anggota. Sama sekali tak berbahaya jika diketahui klien. "Yang paling rendah, ada anggota biasa. Mereka biasa jadi kacung. Contohnya kayak orang-orang yang jaga markas bawah sebelum lo ketemu Snow di Ruang Perjanjian, atau orang-orang yang anterin lo ke sini."
Danes terlihat menyimak. Rendra pun melanjutkan, "Di atas anggota biasa, ada Sersan dan Eksekutif. Kedua itu tingkatannya setara, tapi beda jobdesc. Eksekutif itu ngurus masalah non-combat, jadi mereka yang memanajemen lokasi bisnis hiburan kami. Kalau Sersan itu mimpin regu untuk urusan combat. Jadi kerjaannya berkaitan dengan pertarungan fisik, dan mereka berkewajiban menjalankan misi dari atasan."
"Atasan itu, salah satunya lo?"
"Iya. Tingkatan di atas Eksekutif dan Sersan itu adalah Letnan." Rendra menunjuk dirinya sendiri. "Itu jabatan gue."
Danes bergumam dan mencatatnya. "Snow juga Letnan?"
"Bukan. Jabatan dia di atas gue. Dia Komandan. Itu jabatan tertinggi di Balwana."
"Berarti, apa bisa dibilang bahwa Snow itu bos mafianya?"
"Kalau mau dibilang begitu, berarti bos mafianya ada tiga."
"Jadi, ada Tiga Komandan di Balwana?"
"Yep."
Danes menyesap minumannya. "Komandan ada tiga. Tapi, tiga komandan ini ngerjain bidang yang sama, atau beda-beda?"
"Beda-beda. Tapi kesamaannya, mereka sama-sama berhak untuk menangani kontrak langsung sama klien. Bedanya di jenis misi yang harus mereka usut. Buat klien yang membutuhkan penanganan di dunia 'underground', kayak butuh barang di black market, atau butuh jasa orang untuk melakukan tindakan ilegal, urusannya sama Snow. Sementara buat klien yang butuh penanganan di dunia 'on-the-ground', kayak masalah hukum dan legalitas, diurus sama Mas Tama."
Rasanya seperti ada yang kurang, jadi Danes bertanya, "Terus, komandan yang satu lagi? Ada tiga, kan."
Ekspresi Rendra terlihat sulit untuk menjelaskan. Matanya memandangi Danes sejenak sebelum menjawab, "Dia lagi absen."
"Kenapa?"
"Kalau pun gue tahu jawabannya, gue nggak akan kasih tahu alasannya ke elo, Danes."
Informasi privat. Menekan Rendra lebih jauh sepertinya takkan berhasil, jadi Danes kembali fokus ke catatannya. "Jadi, ada anggota biasa, di atasnya ada Eksekutif dan Sersan, di atasnya ada Letnan, dan paling atas ada Komandan," Danes memiringkan kepala. "Jumlah Komandan ada tiga. Kalau Letnan?"
"Jumlah ada sembilan."
"Kerjaan kalian apa?"
"Tugas kami itu jalanin misi sesuai divisi masing-masing."
"Ada divisi apa aja?"
Jemari Rendra mengetuk-ngetuk pahanya. Haruskah dia membeberkan hal ini? Tak ada klien yang benar-benar tahu apa yang dikerjakan anggota Balwana. Sebagian hanya bisa menebak-nebak, dan cuma beberapa yang tahu pekerjaan Letnan yang berurusan dengan kontrak mereka. Namun, tak ada yang benar-benar tahu pekerjaan semua Letnan.
Rendra mengambil keputusan untuk membeberkan masalah itu terang-terangan, sebab dia sudah tahu latar kehidupan Danes. Pria di depannya ini bukanlah orang normal. Otak Danes itu sinting dan lebih kacau daripada ketenangan yang dia tunjukkan saat ini. Toh, dia sudah membeberkan bahwa Balwana memang menjual barang ilegal. Wajah Danes pun juga tidak terlihat kaget mendengarnya.
"Gue ada di Divisi Informasi dan Cyber Security," jawab Rendra. "Untuk yang lain, lo bisa cari tahu sendiri dari orangnya langsung." Tangan Rendra terentang di kepala sofa. Suasana Lightyears di siang hari ini bebas pelanggan, terasa sunyi dan sepi. "Ada lagi yang mau lo tanyakan?"
"Tentang kontrak Balwana," ujar Danes, lalu membuka tasnya untuk menyerahkan kontraknya dan kontrak Remi. "Gue nyadar kalau warna lambang di kontrak baru gue dan di kontrak Remi berbeda. Ini dua-duanya masuk satu kontrak, tapi beda warna di sini," telunjuk Danes mengarah ke lambang tikus dan akar di kertasnya. "Warna tikus di kontrak baru gue biru, sementara Remi merah. Apa ini ada artinya?"
"Ada artinya." Rendra mengangguk. "Warna di lambang tikusnya itu nunjukkin level bobot dan kesulitan misi. Yang menentukan levelnya itu Komandan, karena Komandan yang nentuin operasionalnya."
"Kontrak baru gue warna lambang tikusnya biru. Ini tergolong level apa?"
"Level medium, jadi bobot misinya penting, tapi nggak terlalu berat. Maksudnya, nggak perlu berada di garda depan mempertaruhkan nyawa. Kayak sekarang ini aja, Nes, gue cuma perlu ngobrol sama lo."
Danes membaca lagi isi kontrak barunya. Hanya ada dua pasal: Rendra sebagai informan terpilih wajib berbagi informasi selama 24 jam, dan Linggar sebagai salah satu anggota terkuat Balwana akan melatih Danes untuk bertarung tiap minggu sesuai waktu yang disepakati bersama. Itu memang bukan misi yang mengancam nyawa.
"Terus yang merah," Rendra menunjuk ke lambang tikus di kontrak Remi yang sudah berpindah tangan ke Danes. "Ini levelnya di atas tikus biru. Tergolong penting dan genting, walau kadang nggak mesti mempertaruhkan nyawa."
"Kayak misi di kontrak Kael?"
Rendra bergumam. "Ya, kayak gitu."
"Terus, warna tikus yang lain apa?"
"Warna hijau. Levelnya di bawah tikus biru. Level terendah, jadi itu misi yang mudah."
"Contoh misinya kayak gimana?"
"Contohnya ya kayak ... nyari tahu pasangannya selingkuh apa enggak, atau suruh nge-hack akun mantan."
Wajah Danes terlihat tak percaya. "Balwana ... ngurus yang remeh itu juga?"
"Jangan salah." Rendra terkekeh. "Ada aja orang yang rela keluar duit cuma buat hal remeh itu. Tapi yah ... misi level itu yang urus anggota level bawah, sih."
Danes bergumam. "Apa ada level selain tiga warna itu?"
"Nggak ada. Cuma tiga aja."
"Kalau ini?" Danes menunjuk lambang akar di kontraknya. "Apa semuanya warna emas?"
"Nope." Rendra meregangkan tangannya. "Lambang akar itu melambangkan status klien. Ada tiga status yang kami bedakan dari seberapa besar mereka mau dan mampu membayar. Waktu bikin kontrak, lo isi dokumen, kan? Di situ ada pertanyaan mau seberapa diutamakannya lo sebagai klien. Kalau lo mau bisa menghubungi Komandan Balwana 24 jam, dan lo bersedia bayar sejumlah uang yang diminta, maka lo bisa jadi klien Akar Emas."
"Dan berhubung gue mengambil alih kontrak Remi, yang dari awal udah jadi klien Akar Emas, otomatis gue juga jadi klien Akar Emas, gitu?"
"Yep." Rendra mengangguk. "Jadi, lo bisa dapet keuntungan berupa bisa mengubungi kami 24 jam. Kapan pun yang lo mau."
"Kalau warna lain, kayak gimana?"
"Klien Akar Perak cuma bisa menghubungi di jam kerja Balwana. Sementara Klien Akar Hitam nggak bisa menghubungi Balwana, kecuali langsung datengin Komandan atau Letnan. Jadi, kontak di luar pertemuan tatap muka selalu satu arah dari kami ke mereka."
Danes melirik Rendra yang memainkan gelas minumnya. "Gue mau nanya sesuatu yang sulit."
Satu alis Rendra terangkat. "Apa lo baru aja minta izin?"
"Semacam itu."
"Masih ada sisi sopan ternyata." Rendra mendengus. "Emang mau nanya apa?"
"Dari semua klien, apa ada klien yang kalian khianati?"
Rendra terdiam, lalu tersenyum dan tertawa. "Kenapa? Takut kami berkhianat?"
"Jaga-jaga aja."
Jawaban Rendra terdengar begitu mudah, "Ada, dulu banget."
"Kenapa dikhianati?"
"Dia bikin beberapa orang kami berkhianat buat kerja ke dia aja, terus nyiksa salah satu Sersan kami yang nolak ikut dia sampai sekarat." Rendra menggeleng dan mendecak. "Kami udah bertahun-tahun beroperasi, dan udah ngelihat berbagai jenis klien. Lo bukan orang sinting pertama yang jadi klien kami."
Danes mengernyit. "Kenapa mereka mau berkhianat? Duit dari kalian kurang?"
"Bukan." Rendra menghela napas, lalu menatap Danes dengan senyum tak terbaca. "It's a very long story. There are things that I'd rather not spill."
"You won't even give me a clue?"
"Hmm, berhubungan sama politik."
"Oke, apa lo akhirnya bikin partai politik buat kalahin musuh lo?"
Rendra terbahak. "Cara ngobrak-ngabrik hidup orang nggak mesti dengan bikin partai politik!"
"But it can be a start. Most of politicians I know are monsters."
"Ditto."
Danes pun bertanya hal lain, "Di antara para Komandan dan Letnan, siapa yang terkuat di antara kalian? I mean in combat and battle, bukan dari struktur organisasi."
"Para Komandan."
"Dari ketiga Komandan, siapa yang terkuat?"
"Komandan kami yang lagi absen," jawab Rendra. "Yang kedua terkuat, Snow. Yang ketiga terkuat itu Mas Tama."
"Berarti, gue bisa bertarung one-on-one sama Snow?"
Rendra menatapnya dengan wajah melongo. "Kalau lo mau isi otak lo keluar dari tengkorak lo, bebas aja sih."
"Kalau gue mau latihan bertarung sama dia?"
"Bakal ditolak. Dia terlalu sibuk urus klien lain." Rendra mengamati beberapa orang pekerja yang sedang membersihkan gelas di bar pojok. "Lagian, lo juga bakal dilatih sama Linggar. Jadi santai aja."
"Tapi, dia bukan yang paling kuat."
"Betul, tapi sampai seribu purnama pun, lo tetap nggak akan bisa ngalahin dia berantem."
"How can you be so sure?"
"No, Danes." Rendra menggeleng. "Harusnya pertanyaan itu ditujukan buat lo sendiri. Gimana lo bisa seyakin itu bahwa lo bisa ngalahin Linggar? Lo bahkan cuma tahu sedikit informasi tentang kami."
"And what do you know about me? You know nothing."
"I know a few." Rendra mengangkat bahu. "Mulai dari kesintingan lo sejak zaman sekolah, mayat yang lo bereskan dengan dijadiin makanan anjing-anjing lo, Blok-D di kompleks perumahan lo yang penghuninya lolos catatan kriminal, serta sang pencetus Blok-D yang terobsesi untuk membangun keluarga ideal." Rendra menatap Danes dengan malas. "Background check ke klien itu penting lho."
Harusnya Danes tidak kaget jika Balwana tahu itu semua. Namun, tetap saja itu tak mengurangi rasa terkejutnya. "Membangun keluarga ideal itu bukan obsesi. Itu cuma keinginan wajar seorang pria," ujar Danes. "Sudah senormalnya manusia ingin berpasangan dan beranak."
Rendra mendengus tersenyum. "Lo itu bukan manusia normal, Danes. Bokap lo aja sadar hal ini sampai nyuruh lo buat vasektomi, biar kesintingan lo nggak menurun ke anak-anak lo. Tapi, lo diem-diem nyimpen sperma lo di laboratorium punya temen lo, kan?" Rendra terkekeh. "Lo biasanya selalu patuh sama perintah bokap lo. Vasektomi ini juga patuh sih, tapi kenapa lo se-kekeuh itu mau punya anak? Nggak mau sendirian jadi pengidap APD?"
Danes terdiam. Sekarang dia makin awas pada sistem penggalian informasi Balwana yang sampai bisa mengetahui hal tersebut. Sebab yang mengetahuinya selama ini hanya dirinya dan kedua orangtuanya. Adik-adiknya pun tak tahu hal ini. Danes pun berkomentar, "You did well on your job."
"Tapi gue masih penasaran deh," ujar Rendra, terlihat santai. "Kenapa lo bikin salah satu blok kompleks perumahan lo diisi penghuni dengan ... profil yang unik?"
Sebutan 'profil unik' mungkin adalah istilah halus untuk menyebut orang-orang dengan fetis dan kesenangan ganjil yang tidak manusiawi. Namun, Danes memang menampung orang-orang kaya dengan keganjilan seperti itu di kompleks rumah yang dia huni. Sejak tiga tahun lalu, dia pindah dari rumah orangtuanya untuk tinggal sendiri di rumah pribadi, rumah yang berada dalam kompleks properti Griya Teduh Realty. Dia yang memimpin proyek perumahan tersebut. Dan dia juga yang membentuk satu blok khusus di kompleks yang dihuni orang-orang seperti dirinya: Blok-D, yang hanya berisi tetangga yang 'tahu sama tahu' kebiasaan masing-masing. Sehingga takkan ada yang menggubris jika ada jeritan atau suara mencurigakan muncul dari rumah tetangganya.
Apa dia melakukannya karena tak ingin sendirian? Barangkali iya.
"Lo juga kan nggak bisa merasakan cinta, Nes," Rendra melanjutkan, seperti tak peduli ucapan dari orang yang dia bicarakan. "Tapi, kenapa lo bisa seloyal itu ke keluarga lo? Masa iya, karena lo merasakan utang budi? Emang lo bisa ngerasain itu?"
"Kenapa lo penasaran sekali dengan hidup gue?" tanya Danes, terlihat terhibur. "Gue memang nggak bisa merasakan cinta. Tapi gue bisa memahami konsep utang budi. Gue loyal ke keluarga gue karena mereka selalu melindungi gue."
"Your dad is scared of you."
Ya, Danes sudah mengetahuinya dari lama. Saat kecil dia pernah bercanda dengan mencekik ibunya dengan gagang sapu ke dinding. Setelah dewasa, dia bisa paham kenapa ayahnya selalu waswas kepadanya.
"I know," ujar Danes dengan senyum yang tak sampai mata, sebab sorotnya terlihat kosong. Dia sudah biasa memalsukan emosi. Namun, kamuflase ini sepertinya takkan berguna untuk Rendra. Pria itu sudah cukup membuktikan diri bahwa dia memang informan Balwana. Danes hendak melanjutkan lagi, tapi suara pecahan kaca muncul sebelum dia sempat berkata-kata.
Derap langkah terdengar terburu-buru. Dari arah Ruang Angkasa—ruang privat di kelab malam ini—seorang lelaki yang bertelanjang dada berlari menjauh. Beberapa orang mengejarnya di belakang. Lelaki tadi mengarah menuju pintu keluar.
Rendra berlari cepat sekali, Danes sampai takjub. Padahal jarak dari tempat mereka duduk dengan lelaki yang kabur itu jauh—lebih jauh daripada jarak si lelaki dengan pengejarnya di belakang. Gesit, tubuh Rendra menahan pria yang kabur itu dan segera meringkusnya sebelum yang lain datang. Kemudian Rendra berkata, "Tambah borgolnya jadi dua. Bius aja." Dan semua yang mengejar lelaki itu melakukan hal sesuai perintah Rendra.
Danes mengerjap. Tak menyangka Rendra ternyata atletis. Padahal Rendra terlihat seperti pecandu game dengan jaket hoodie yang jarang olahraga. Danes pun ikut mendekati si lelaki yang kabur, kini sedang ditahan dan diborgol. Mata Danes menangkap lambang Balwana tersemat di punggung lelaki itu. Namun, lambang tersebut bukan dibuat dengan tinta tato seperti milik Rendra, melainkan terbenam ke kulitnya langsung, seperti ditempelkan besi panas ke punggung.
"Sori jadi keganggu," ujar Rendra setelah mereka berjalan kembali ke tempat duduk mereka. "Tadi kita sampai mana, ya?"
"Tadi itu siapa?" tanya Danes, masih terpaku dengan lelaki yang hendak kabur barusan. "Kenapa dia kabur?"
"Oh, itu." Rendra menggaruk kepalanya. "Itu anak nakal. Dia kabur dari tanggung jawab."
"Tanggung jawab apa?"
"Ada orang-orang yang mau pakai jasa Balwana, tapi nggak punya duit untuk membayar kami." Rendra duduk dulu sebelum melanjutkan, "Sebagai gantinya, mereka membayar dengan tubuh mereka. Buat ditandai bahwa mereka masih punya utang sama kami, kami pakai segel besi panas untuk nandain mereka. Karena kalau cuma pakai tato, mereka bisa menghapusnya."
Mudah bagi Danes untuk menyimpulkan maksud Rendra. "Singkatnya, mereka budak?"
"Iya."
"Interesting." Danes menatap kembali ke arah budak yang tengah dibawa itu. "Apa gue bisa nemuin dia lagi?"
"Enggak."
Saatnya berganti topik. "Di mana gue bisa latihan sama Linggar nanti?"
"Di arena latihan kami. Prosedurnya sama aja kayak lo mau masuk Ruang Perjanjian. Latihan bisa dimulai dari jam sepuluh malam pas hari Jumat." Rendra memangku dagunya dengan tangan. "By the way, tracking device yang dibawa Farel masih mau lo bawa?"
Danes tak tahu menahu tentang hal ini. "Kalian pasang tracking device ke Farel?"
"Iya, bentuknya cincin gitu. Linggar yang ngasih ke Farel pas dia ke vila keluarganya. Makanya kami bisa nge-track lokasi Farel disekap."
"Oh, jadi dia yang selametin Farel."
"Iya. Linggar yang pertama datang selametin dia."
"Sendiri?"
"Iya, tapi abis itu ya ada bala bantuan nyusul." Rendra tersenyum santai. "Kan gue udah bilang, he is crazy strong. Ratusan purnama pun lo nggak akan bisa ngalahin dia."
"We'll see that later."
Rendra mendengus, lalu menggosokkan telapak tangan dan menarik napas. "So, apa ada lagi yang mau lo tanya ke gue?"
Danes menegapkan tubuh. Wajahnya kini terlihat lebih serius. "Daripada pertanyaan, gue lebih mau menawarkan suatu kesepakatan sama lo, Rendra. Kesepakatan di luar kontrak Balwana."
***
Saat matahari mulai terbenam di ufuk, Danes pergi bersama satu regu untuk melihat sendiri lokasi wastu Eddie Cakrawangsa. Lokasinya berjarak tiga jam dari markas Balwana. Terdiri dari tiga bangunan, dikelilingi taman, pepohonan, dan disiram oleh cahaya senja, wastu Eddie yang tersembunyi lebih tepat disebut kastel emas. Wastu tersebut dilindungi oleh dua lapis gerbang tinggi, ada lingkar dalam dan lingkar luar. Luasnya seperti satu perkampungan jadi satu rumah.
"Damn," rutuk Rendra, mengamati lewat teropong. "Mansion segede itu, sampai tembok gerbangnya ada lingkar dalam dan lingkar luar, ini semua buat nyembunyiin apa?"
"Buat nyembunyiin emas, kali, ya," sahut Ario, salah seorang Sersan Balwana, turut dihadirkan untuk membantu misi kontrak Remi. Dia adalah orang yang memberikan botol peracunan Rania kepada Remi saat di rumah sakit. "Tapi kata Danes, kita harus nyulik cewek. Jadi, ada cewek dikurung dalam situ, gitu?"
"Dikurung dalam sangkar emas?" balas Rendra. "Sounds like a fairytale."
"Jadi dalam sangkar emas, seorang putri menunggu seorang pangeran untuk menyelamatkannya?" Danes menyeringai seperti binatang buas. "I'm on my way then."
Hari-hari berikutnya pun dilanjutkan dengan mempelajari sistem keamanan dan profil para pekerja di situ. Dan selama dua bulan, hingga hari Janggala dimasukkan ke penjara, Danes berlatih dengan Balwana, merencanakan samaran yang tepat untuk masuk ke wastu Eddie, mempersiapkan senjata dan rencana-rencana lain, menunggu saat yang tepat untuk masuk dan menculik si cucu perempuan, serta menyiapkan rencana setelahnya. Perjalanannya mungkin masih panjang, tapi ini adalah tahap awal untuk mengalahkan musuhnya. Dimulai dengan Operasi Infiltrasi Sangkar Emas.
[ ].
2,8k words
edited: 5/11/2021;
edited: 7/4/2023
A/N
APD: Antisocial Personality Disorder
Wastu: padanan bahasa Indonesia untuk kata "Mansion" (English)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top