2 || Di Tengah Pertanyaan
| 2 |
DI TENGAH PERTANYAAN
BALWANA ADALAH NAMA organisasi bisnis pasar gelap yang sebenarnya sudah diketahui Danes dari lama lewat klien-kliennya. Dari mucikari, pelelang barang ilegal, sampai bandar judi, Danes menyewakan lokasi strategis yang 'aman' kepada para klien. Dalam beberapa percakapan, mereka sering menyebut nama Balwana, berkata bahwa Balwana adalah kompetitor terkuat mereka dalam bisnis ilegal. Jika hanya sekali nama Balwana disebut, Danes takkan berusaha mencari tahu. Namun karena berkali-kali dibicarakan, dia jadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri terhadap organisasi itu.
Dia pernah mendatangi beberapa bisnis hiburan Balwana. Bahkan, dia juga pernah menjadi Klien Balwana. Tapi dia tak merasa bahwa anggota Balwana yang membantunya adalah orang-orang penting. Mereka hanya bawahan. Dan sampai saat ini, Danes belum berhasil mendapat akses untuk menemui petinggi penting Balwana, pun dia tak berusaha lebih keras karena dia tak ada urgensi untuk mencari tahu tentang Balwana.
Sampai hari ini tiba.
Keluarganya sudah diteror beberapa kali; ibunya diberi racun, adiknya dikejar geng motor dan mengalami pelecehan. Danes sempat mencurigai seseorang, tapi ternyata orang itu hanya pengalihan. Pelaku yang sebenarnya akhirnya tertangkap ... oleh Balwana.
Hari ini, Danes baru tahu bahwa adiknya ternyata senekat dan seberuntung itu hingga bisa mengakses dan mendapat kontrak penting Balwana. Mungkin ini yang disebut 'berkat untuk mereka yang melakukan kebajikan'. Walau jika mengingat profil Balwana yang jauh dari kata kebajikan, barangkali ini tak bisa disebut 'berkat' di pihak Remi.
Tapi ini jelas merupakan berkat di pihak Danes.
Segera setelah membaca isi kontrak Remi sebagai Klien Emas, Danes mengambil alih kontrak Remi. Dia butuh kontrak ini, dia butuh akses kekuatan dan informasi yang dimiliki sang adik. Dan kesempatan tak datang dua kali.
"Kabar baik, gue udah dapet akses ke Balwana," ujar Danes kepada teman-sekaligus-rekan-kerjanya lewat telepon. "Jalannya agak mengejutkan. Ternyata selama ini, Remi adalah Klien Emas Balwana."
"Remi?" ulang Marlon dengan tak percaya. Marlon adalah tetangga Danes, bekerja sebagai juru masak sekaligus rekan kerja sampingan Danes dalam menyewa dan mengelola properti. "Itu anak kan bunuh tikus aja nggak berani. Gimana ceritanya dia bisa dapet kontrak Balwana? Klien Emas pula."
"Dia dikenalkan ke Balwana lewat Mikaela Soerjodiningrat," balas Danes. "Dan jangan remehin adek gue gitu dong. Dia kalau udah cinta, apa pun rela diterjang. I secretly admire that from him."
"Lo mah selalu kagum sama orang bucin."
"Gue selalu kagum sama orang yang rela melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Tapi, yang paling menarik memang yang menjadikan cinta sebagai motivasi."
"Karena lo nggak pernah jatuh cinta?"
"Karena gue nggak bisa jatuh cinta." Danes meraih helmnya dan menaiki motor. "Padahal pengin banget. Bukankah ideal kalau bisa punya kekasih yang mampu kita lindungi, sekaligus mampu melindungi kita? Takkan berpisah sampai maut memisahkan?"
Di seberang sambungan, Marlon menarik napas panjang. "Kabarin gue lagi tentang Balwana kalau lo udah selesai."
Panggilan terputus. Danes menyimpan ponsel, lalu memakai helm dan berkendara menuju alamat yang diberikan Remi.
***
Tepat setelah pelaku peneroran keluarganya ditangkap dan diamankan, Danes mendatangi markas Balwana untuk menginterogasi.
Dia tiba sebuah kelab malam bernama "Lightyears", lalu diantar ke ruang privat khusus. Di balik ruangan itu, ada jalan menuju tempat bertemu petinggi Balwana di bawah tanah. Para penjaga memintanya untuk melakukan prosedur wajib sebelum masuk ke bagian utama markas; kepala ditutup, mata sama sekali tak bisa melihat, gawai disita dan dia hanya melangkah dihela penjaga.
Adiknya bilang, orang-orang di sini tak suka klien yang banyak tanya. Danes yakin dia akan punya kesempatan untuk bertanya sepuasnya nanti. Untuk sementara, dia bisa berdiam dan mempelajari dulu apa yang ada di sini.
Perjalanannya menuju ruangan Janggala dikawal oleh tiga orang. Mereka berjalan kaki kurang dari lima menit. Lalu pada suatu titik, mereka berhenti. Danes mendengar suara pintu terbuka. Dia pun dibawa masuk dan dilepas ikatan matanya.
Ruang interogasi memiliki bilik bersekat kaca. Dua orang terlihat sedang berbicara di balik bilik itu. Sosok Janggala duduk di tengah ruangan, dadanya dilingkari dua tali yang tersambung dengan sebuah alat dan laptop. Setelah Danes mendekat, dia tahu itu seperti alat pemindai kebohongan. Dan ada sosok pemuda berkacamata terlihat sedang mengacungkan beberapa foto di depan muka Janggala.
"Dia siapa?" tanya Danes kepada anggota Balwana yang membuka ikatan tangannya.
"Itu Rendra, atasan kami," jawab seorang anggota Balwana, tapi tak ada penjelasan lebih lanjut. Mereka semua segera pergi setelah ikatan Danes dilepas.
Tak lama, Rendra keluar dari bilik interogasi. Janggala takkan bisa melihat mereka; kaca di dalam bilik adalah tipe one way mirror. Sementara mereka masih bisa melihat Janggala dari sekat kaca.
"Lo nanya apa ke Janggala?" tanya Danes. "Ada urusan juga sama dia?"
"Urusan administratif aja. Cuma nanya sesuatu untuk memastikan dia pelakunya." Rendra mengernyit. "Lo saudaranya Remi?"
"Iya. Gue Danes."
"Gue Rendra. Lo kenal dekat sama si Janggala?"
"Dia teman lama keluarga gue."
Kedataran suara Danes membuat Rendra merasa ganjil. Seolah Danes cuma menjelaskan fakta bahwa keluarganya yang dekat, tapi dia sendiri tak merasa benar-benar dekat. Tidak ada emosi di sana, tak ada kebencian ataupun dendam selayaknya seseorang yang habis dikhianati. "Iya, gue tahu. Tapi lo kenal dekat sama dia, nggak?" tanya Rendra, kemudian dia mengibaskan tangan. "Gini aja. Apa si Janggala emang selalu punya tato di punggungnya?"
"Tato apa?"
"Tato teratai."
Danes menggeleng. "Gue nggak tahu. Kenapa sama tato itu?"
Rendra bergumam panjang. "Dari informasi yang gue tahu tentang Janggala, katanya dia takut jarum."
Mereka pun melirik ke arah pria di balik kaca interogasi. Mengingat sedikit penjelasan Remi, Danes menyimpulkan bahwa Rendra adalah informan yang membantu Remi dan Kael.
Danes bertanya, "Itu alat apa?"
"Polygraph. Lie detector. Akurasinya emang nggak sampai seratus persen, tapi cukup untuk jadi acuan. Ntar pas lo masuk, gue bakal ngecek di laptop, dan kasih tahu jawaban dia bohong atau enggak lewat earpiece ini." Rendra memberikan earpiece ke Danes yang tersambung dengan bluetooth. "Default gue sih, kalau dia ngomong jujur, gue bakal diam aja. Tapi kalau dia bohong, gue baru ngingetin lo."
Danes memakainya. Mereka mengecek apakah alatnya berfungsi. Setelah mengkonfirmasi, Danes berjalan ke arah pintu. Sebelum masuk dia bertanya, "Foto apa yang lo tunjukin ke Janggala?"
"Itu rahasia perusahaan, Danes. Sekarang lo masuk aja dan selesaikan urusan lo."
Danes hanya menyipit curiga, tapi sadar bahwa Balwana pasti memiliki agenda lain entah apa. "Pastiin aja kalau 'agenda perusahaan' ini nggak menghalangi misi di kontrak Remi."
Danes memasuki bilik interogasi. Suara pintu terbuka menyiagakan Janggala. Matanya membeliak melihat tamu baru di depannya. "Danes?"
"Gue udah dengar detailnya dari Remi," ujar Danes sambil menutup pintu. Dia bersandar di sana, menyilangkan tangan dengan relaks. "And I must say, I thought you could do better."
Lawan bicaranya hanya terdiam. Kepalanya menunduk, wajahnya terlihat sedikit menyesal.
"Was it your idea?" tanya Danes. "Pencucian uangnya, apa itu lo yang bikin idenya?"
"Iya."
"Om Janggala, Kandjaya udah punya bank sendiri. Kenapa nggak lo cuci aja duitnya di sana? Atau cuci aja uang di bank punya anak perusahaan kalian yang lain. Atau, bikin aja perusahaan cangkang. Ketahuan pun nggak akan diapa-apain selama ada uang tutup mulut. Kenapa harus bawa-bawa Griya Teduh?"
Janggala menatapnya tanpa gentar. "Duduklah, Danes. Saya bisa jelasin semuanya."
Menarik napas, Danes duduk di seberang meja. "Tadinya gue sama Remi mencurigai Erlangga," dia berkata pelan. "Tapi ternyata, pelakunya bukan dia." Dia bertopang dagu sambil menatap Janggala. Terlihat tenang dan santai. "Jadi, ada urusan apa sampai lo melakukan pencucian uang amatiran seperti ini?"
Alis Janggala terangkat. "I'm glad you noticed."
"Lo nggak setangguh itu, Janggala. Pasti ada orang di belakang lo yang ngelakuin hal ini. Siapa orangnya?"
"Saya nggak bisa kasih tahu kamu sekarang."
"Why not?"
"Karena kamu juga nggak setangguh itu." Janggala sedikit memberi senyum miring. "Kamu tahu kamu nggak punya cukup modal untuk membeli kembali saham Griya Teduh dari Kandjaya, dan Kandjaya nggak mungkin semudah itu menjual saham perusahaan kalian."
Danes tahu itu. "Gue nggak berniat pakai cara halus."
"Mengarahkan pistol ke kepala mereka nggak akan bikin mereka menuruti kamu, Danes. Dan nggak akan bikin teror untuk keluargamu hilang," ujar Janggala. "Orangtuamu itu sekuat tenaga mendidik kamu dan menjagamu supaya kamu nggak masuk penjara. Siapa yang bisa menjaga keluargamu kalau kamu jadi buronan polisi?"
"Gue nggak akan jadi buronan polisi. I have my ways."
"Siapa pun koneksi yang kamu miliki, lawanmu itu jauh, jauh lebih kuat daripada kamu dan semua koneksimu digabung jadi satu," tegas Janggala, kini matanya terlihat nyalang. Lebih beremosi dan gigih. "You know I tell you the truth."
Danes melirik ke kaca interogasi, dan Rendra mengatakan bahwa Janggala tidak berbohong lewat earpiece. Namun, Danes juga tahu ada hal tersembunyi yang Janggala inginkan dari kesepakatan ini.
"Sebenarnya apa yang lo mau?" tanya Danes. "What do you want me to do?"
Lama, Janggala menatapnya. "Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Apa lo lagi mengulur waktu?"
"Jadi, kamu mau menjawab pertanyaan saya atau enggak?"
"Tergantung pertanyaannya."
"Ini bukan pertanyaan sulit."
Helaan napas Danes terdengar kencang. "Fine. You may ask."
Lagi-lagi, Janggala terdiam lama dan menatap ke arah lain, dan dia justru mengatakan hal diluar topik, "Ayahmu sering cerita tentang anak-anaknya. Tentang kamu, Remi, Fatma. Tapi ... dia paling sering cerita tentang kamu."
Danes hanya terdiam. Dia tak tahu ke mana pembicaraan ini mengarah.
"Kadang saya lihat ayahmu, dia menatap ke kejauhan dan bergumam sendiri, bertanya apakah dia udah melakukan hal yang tepat, bergumam 'apa aku sudah mendidik dia dengan benar?', dan itu nggak terjadi sekali-dua kali. Ayahmu selalu spesifik menyebut kata 'dia'. Dan saya jadi bertanya-tanya siapa 'dia' yang ayahmu maksud." Janggala memandangi Danes beberapa saat. "Kemudian saya mendengar selentingan rumor tentang kamu, sampai akhirnya ada mantan pacarmu yang datengin kamu di kantor, tepat setelah dia keluar dari rumah sakit. Dan saat lihat reaksinya, saya jadi berpikir, oh, it was you."
Danes menunggu beberapa detik, tapi Janggala tak melanjutkan apa-apa. Jadi dia bertanya, "And your point is...?"
"Apa kamu benar-benar melakukan itu semua?"
"Semua? Be specific."
"Mukulin pacarmu pakai kunci inggris di saat kalian harusnya makan bareng, bikin dia masuk rumah sakit, mukulin para perempuan yang pernah nge-bully pacarmu pas sekolah, sampai mereka pingsan dan ditelanjangi, bikin anak-anak yang gangguin adik bungsumu pada cacat kena lelehan logam, melempar seorang anak SD dari lantai tiga sampai dia meninggal. Was it you?"
Danes memiringkan kepala. Sebenarnya dia agak takjub, karena ternyata Janggala tahu lebih banyak tentang dirinya. "Kalau iya, kenapa? Dan kalau enggak, kenapa?"
"Kalau memang benar kamu yang melakukannya, saya jadi percaya kamu bisa melakukan apa yang saya minta."
Danes menggeleng-geleng dengan seringai. "Jangan mikir diri lo itu ada di posisi tinggi, Janggala. Bukan gue yang lagi ditahan di ruangan ini."
Janggala bergumam. "Saya mungkin nggak berposisi lebih tinggi dari kamu di situasi ini. Tapi, saya juga nggak lebih rendah. Kita setara, karena kamu pun menginginkan sesuatu dari saya." Senyum Janggala merambat. "Kamu butuh informasi lebih dari saya. Apa itu buat balas dendam?"
"No." Danes menggeleng. "I don't just want revenge. I want power." Dia mengaitkan jemari di atas meja dan memajukan tubuh. Tatapannya tajam. "Pertanyaannya, apa lo mampu ngasih itu buat gue?"
"Kekuasaan itu harus ada tujuannya." Janggala masih terlihat tenang. Seperti paman yang mendongeng kepada ponakannya. "Kamu sendiri mau pakai kekuasaannya untuk apa? Karena maknanya besar sekali."
"Gue mau mendapat kembali saham terbesar atas Griya Teduh yang dimiliki Kandjaya, sekaligus membalas orang yang meneror keluarga gue," jawab Danes tanpa terbata. Matanya serius dan tajam. "Can you do that for me?"
Janggala mengangkat alis. Matanya penuh binar, seperti kelegaan, seperti menunggu saat ini tiba. "Yes." Dia mengangguk-angguk, tersenyum. "Yes, I can give that to you."
"Then name your price."
"Keselamatan seseorang." Senyum turun dari wajah Janggala. "Kamu harus lakuin segala cara untuk bikin dia selamat."
"Siapa orang ini?"
"Dia cucu haram Eddie. Sekarang dia tinggal sama Eddie di salah satu mansion-nya. Saya minta kamu menyelamatkan dan melindungi dia."
"Oh." Agak aneh mendengar keturunan Eddie yang bukan dari keturunan dari istri pertama ataupun istri kedua bisa tinggal di sebuah wastu milik Eddie. "Emang dia terancam apa di mansion-nya Eddie? Bukannya malah enak tinggal di mansion sama kakeknya yang kaya raya?"
"Bukan di situ ancamannya," ujar Janggala. "Justru Eddie bikin dia tinggal di mansion untuk melindunginya dari musuh."
"Trus ngapain lo butuh bantuan gue? Eddie pasti punya cukup banyak penjaga buat jagain cucunya itu."
"Usia cucunya udah nggak lama. Tinggal beberapa tahun lagi. Badannya melemah. Saya mau kamu cari obat buat menyelamatkan dia. Supaya dia nggak mati muda."
"Janggala," Danes menghentikan pria di depannya. "Gue nggak paham kenapa lo minta gue menyelamatkan cucunya Eddie yang sekarat, di saat Eddie jauh lebih mampu buat bawa cucunya itu ke dokter-dokter terbaik dunia."
"Nggak ada dokter yang bisa menyelamatkan dia." Janggala menatapnya. "Tapi, kamu bisa jadi perantara."
"Perantara?"
Mata Janggala melirik ke arah kaca. Danes mengikuti. Dia tak bisa melihat wajah Rendra dari sekat kaca itu.
"Orang-orang ini bisa bantu menyelamatkan anak itu." Mata Janggala kembali menatap Danes. "Dan mereka ngelakuin hal-hal sesuai perintahmu. Jika kamu menjadi Klien Emas Balwana, kamu bisa suruh mereka buat menyelamatkan cucu Eddie,."
Dari kontrak yang dimiliki Remi, Danes cukup tahu bagaimana dia bisa menjadi Klien Emas. Tapi dia masih belum tahu seberapa jauh Balwana memiliki akses untuk obat-obat yang mungkin bisa menyembuhkan penyakit mematikan.
"Mereka punya akses untuk menyelamatkan cucu Eddie," tambah Janggala, seolah bisa membaca pikiran Danes. "Saya yakin itu."
"Kenapa lo bisa begitu yakin?"
"Karena mereka menolak saya sebagai klien. Mereka tahu apa yang saya mau, tapi nggak mau kasih, makanya dari awal mereka nolak saya untuk jadi klien mereka."
Danes membeliak. "Lo—kenapa mereka nolak?"
"Apa Remi atau Kael belum bilang ke kamu? They don't do well with old money."
"Terus, kenapa Kael—"
"Itulah, Danes," Janggala menyela, "yang juga bikin saya heran. Saya udah nyoba suruh orang lain untuk jadi kliennya, semacam jadi boneka saya. Tapi Balwana tahu dan orang suruhan saya itu ditolak. Sementara Kael, she came to them, flesh and body, tanpa perlu suruh orang jadi klien boneka, dan dia bisa diterima begitu aja sama Balwana." Janggala menopang dagu, matanya melirik ke sekat kaca yang hanya merefleksikan dirinya, seolah bisa melihat sosok lain di balik bilik interogasi itu. "I wonder why."
Danes tanpa sadar menunggu, tapi tak mendengar balasan apa pun dari Rendra lewat earpiece-nya. Jadi dia berkata, "Terus, rencana lo buat cucunya Eddie ini gimana? Lo mau gue nanya ke Balwana apa mereka punya dan bisa kasih obatnya? Terus gue harus kasih obatnya ke elo?"
"Betul, itu salah satunya. Sedangkan untuk cucu Eddie ... saya mau kamu culik dia dari mansion-nya Eddie."
Danes membeliak. "Hah?"
"Kamu harus menyusup ke mansion Eddie, culik cucunya itu, dan bikin seolah dia udah mati. Dari situ, kamu bisa nyembunyiin dia dan ... minta Balwana buat kasih obat yang bisa menyelamatkan dia."
"Kenapa gue harus culik dia?"
"Untuk mengamankan dia, Danes. Rencana utamanya itu, kamu harus bikin seolah-olah dia udah mati, harus memalsukan kematian dia, terus bawa anak itu ke tempat aman."
Danes mengernyit. "Kenapa lo mau dia dianggap mati?"
"Supaya orang-orang berhenti mengincar dia. Dia sekarat, dan Eddie berniat kasih banyak warisannya ke anak itu. Anak itu harus 'mati' supaya bisa tenang mengobati dirinya, dan nggak diburu sama anggota Cakrawangsa lain."
Danes menyilangkan tangan. "Apa Eddie tahu tentang rencana lo ini?"
"Enggak."
"Apa masuk mansion dan nyulik cucunya Eddie ini tergolong mudah?"
"Lumayan sulit, sebenarnya. Mereka tinggal di mansion Eddie yang keamanannya paling ketat, lokasinya agak terpencil. Bisa dibilang, nggak akan ada warga sekitar yang sadar kalau kalian mati di sana—meskipun ada suara tembakan."
"Good. Very good." Danes manggut-manggut. "Dan gimana cara lo kasih gue apa yang gue mau?"
"Hm, it's simple. Setelah anak itu sembuh, kamu tinggal nikahin dia aja. Eddie bakal kasih banyak warisan dan kekuasaannya ke cucunya itu. Dan sebagai suami, kamu akan dapat bagianmu."
"What?" Danes merasa ini sangat aneh. "Bukankah Eddie justru nggak bisa kasih warisannya kalau tahu bahwa cucunya akan mati?"
"Kamu hanya perlu bikin cucunya mati di mata orang-orang lain, Danes. Tapi untuk Eddie, kamu bisa kasih pesan bahwa cucunya masih hidup dan kamu jadikan sandera. Eddie nggak akan punya pilihan selain menuruti keinginanmu supaya cucunya dilepaskan."
Danes nyaris tertawa, tapi tidak jadi. Dia segera sadar sisi masuk akal dari ucapan Janggala.
Reaksi normalnya adalah terang-terangan menolak. Sebab rencana ini sangat rumit dan merepotkan. Ditambah lagi, dalam pendirian Danes, pernikahan tidak seharusnya dilakukan hanya berdasarkan bisnis—juga tidak seharusnya hanya berdasarkan cinta.
Orangtua yang tidak bahagia akan berpengaruh kurang baik pada tumbuh-kembang anak. Danes ingin berkeluarga, dan tak mau perkembangan anaknya buruk karena ketidakbahagiaan dirinya dan pasangannya. Danes ingin keluarga yang nanti dia bentuk bisa seideal keluarganya saat ini. Dan keluarganya terbentuk ideal karena kedua orangtuanya bahagia dalam pernikahan mereka. Mereka berhasil menjalin komunikasi baik dan kepercayaan tinggi—sesuatu yang jarang Danes lihat pada pernikahan orangtua teman-temannya.
Pernikahan kedua orangtuanya seolah diberkati. Sampai-sampai sebagian orang menganggapnya terlalu indah untuk jadi nyata, sebab mereka bergelimangan harta dengan pernikahan normal dan bahagia, tak ada orang ketiga atau masalah ekonomi mengimpit. Tapi, mungkin karena itulah mereka dikutuk memiliki anak setan seperti Danes. Sebab tak ada keluarga yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak.
"Rencana lo terlalu rumit," ujar Danes. "Nggak ada yang lebih simpel?"
"Kalau kamu punya usul yang lebih baik, saya bersedia mendengar," balas Janggala.
"Apa gue nggak bisa datengin Eddie dan minta restu untuk nikahin cucunya?"
"Kamu pikir Eddie mau menerima kamu sebagai menantu dari cucu kesayangannya?"
Danes ingin mengumbar segala kelebihannya sebagai pria berkualitas dibanding pria kebanyakan, tapi dia sadar bahwa berita buruk tentang dirinya menyebar seratus kali lebih cepat daripada berita baik.
Jadi, Danes hanya bisa menyetujui pernikahan bisnis ini dengan sebuah syarat utama, "Apa gue bisa cerai dalam beberapa tahun?"
"Sangat disarankan begitu. Dua tahun cukup."
"Fair enough." Danes berharap semoga wanita yang tepat untuknya bisa menunggu selama itu—entah siapa dia dan di mana dia sekarang. "Apa aja warisan yang bakal dikasih ke si cucu ini?"
"Setengah aset milik Eddie, saham Grup Kandjaya, termasuk saham Griya Teduh. Nggak ada yang instan, Danes. Kamu harus bekerja keras untuk mendapat kembali saham Griya Teduh yang dimiliki Kandjaya, saya cuma bisa memberi akses untuk sebagian asetnya."
Danes mengernyit. "Itu semua ... diserahkan ke cucunya?"
Janggala mengangguk. "He loves her that much."
"Itu nggak masuk akal."
"Eddie nggak peduli dengan pendapat orang lain terkait warisannya."
"Damn." Danes menyandarkan punggung dan menatap langit-langit. "Dia pakai trik apa sampai Eddie kasih semuanya ke dia?"
Janggala menatapnya dengan sedikit ganjil. "She's not really like what you're going to see. Jadi, perhatikan baik-baik, Danes. Perhatikan baik-baik apa yang terjadi di mansion Eddie nanti. Supaya kamu bisa dapat gambaran sesuai tentang situasinya, tentang target kamu."
"Yeah, I figured." Dia membayangkan cucu Eddie ini semacam gadis pesakitan lemah yang suka pura-pura lugu, memanfaatkan simpati orang dengan penuh trik dan tipu daya. "Berapa umur cucunya?"
"Dia beberapa tahun lebih muda dari kamu."
Danes mengangguk. "Gue hanya akan nikahin dia kalau warisannya udah fix bakal turun ke dia. Selama itu belum terjadi, nggak akan ada kesepakatan."
"Warisannya akan diserahkan ke dia dua bulan lagi. Eddie bakal manggil tim legal ke mansion-nya untuk pembuatan surat waris baru."
"Apa Cakrawangsa yang lain tahu tentang ini?"
"Enggak."
"Terus kenapa lo bisa tahu?"
"Saya dipercaya Eddie buat jagain cucunya itu."
Hal ini membuat Danes makin berpikir keras. "Dari semua Cakrawangsa, kenapa dia milih lo?"
"Itu sesuatu yang nggak bisa saya ceritakan. Mungkin kamu bisa dapat jawaban kalau kamu tanya ke Eddie."
"Sebentar...." Danes menyipit, mengingat-ingat. "Apa Eddie adalah orang yang selama ini ada di belakang lo? Apa dia yang back-up lo buat ngeracunin nyokap gue?"
Janggala mengernyit. "Saya nggak ngeracunin ibumu."
Danes membeliak. Dia menatap ke arah kaca untuk menunggu Rendra mengatakan sesuatu. Tapi tidak ada. Berarti Janggala tidak berbohong. "Bukan lo... terus siapa?"
Janggala hanya terdiam.
"Terus, Fatma?" tanya Danes lagi. "Dia dilecehin sama geng motor. Itu lo yang nyuruh?"
"Bukan."
"Masalah Farel di pabrik? Semua pencucian uang itu?"
"Iya, itu saya yang berbuat."
Danes skeptis. Bisa saja ada kemungkinan bahwa Janggala psikopat dan sudah pasti kebohongannya akan lolos alat pemindai. Namun mengenal Janggala cukup lama, Danes tahu bahwa otak Janggala itu normal. Dia pernah tak sengaja melihat Janggala menangis diam-diam.
Janggala tidak seperti dirinya.
Janggala tidak pura-pura menangis—izin ke kamar mandi untuk meneteskan obat mata dan berlatih ekspresi sedih di cermin—hanya karena situasi mengharuskannya untuk mengeluarkan air mata demi terlihat normal.
Danes menarik napas dan menaruh kedua tangan di atas meja. "Jadi, siapa yang melakukan hal-hal yang nggak lo lakukan itu?"
Janggala terdiam sejenak. "Saya nggak akan pernah lupa mengingatkan kalau keluargamu adalah target, Danes. Terutama setelah hubungan Remi dan Kael resmi go public."
"Target buat apa?"
"Kamu belum sadar juga?" Janggala memiringkan kepala. "Barangkali cinta Remi dan Kael itu sungguhan, tapi orang-orang akan menganggapnya setting-an begitu tahu bahwa Kael adalah penerus Rajayanti, karena mereka akan menganggap Remi cuma menginginkan harta Kael. Keluarga Tanureja berada di ujung tanduk antara pertikaian Cakrawangsa dan Soerjodiningrat. Karena dua keluarga itu sama-sama menginginkan Rajayanti."
"Kenapa mereka mau Rajayanti sebegitunya? I understand that it's a big data company. Tapi, apa sebenernya yang mereka mau?"
"Rajayanti itu nggak cuma punya data kita. Mereka juga punya 'persenjataan' penuh buat memaksimalkan data-data itu," jawab Janggala. "Mereka bisa bikin kandidat capres menang atau kalah dari pemilu, sampai bikin karier dan hidup orang berkuasa hancur. They have the largest and biggest data in this country right now. And they know how to use it. Makanya orang pada berlomba-lomba ambil bagian kekuasaan di Rajayanti."
Danes tercengang. Tak terpikirkan sampai situ. Ini berarti, ada data-data ilegal yang tersimpan juga. "Apa yang bikin lo seyakin itu kalau mereka punya datanya dan mampu menghancurkan orang-orang?"
"Menurutmu kenapa saya mau berpacaran dengan Umbhara?"
"Good point." Dia bergumam. "But, are you sure it's not a bluff? Apa mereka benar-benar punya data dan segala perangkat untuk memanfaatkannya secara maksimal?"
"He is not bluffing. I saw it for myself." Janggala terlihat keras kepala. "Kalau kamu nggak percaya, tanya aja orang di luar yang ngawasin kita. Beberapa bulan lalu, ada yang mencoba membajak sistem di Rajayanti pakai sidik jari Kael."
Danes menyipit, lalu menatap ke kaca. "Rendra?"
"Yea, sorry about that," jawab Rendra lewat earpiece. "But rest assured. Nggak ada data yang dicuri kok."
Janggala melirik Danes. "Kamu yakin cuma mau detector ini dipakaikan ke saya dan bukan ke dia?"
"Kalaupun gue mau, gue nggak ada hak buat melakukan itu."
"Sadar diri sekali," Rendra berkomentar. Danes memang tak bisa melihat wajah Rendra sekarang, tapi rasanya pemuda itu sedang tersenyum. "Tapi benar, Danes. Lo nggak ada hak melakukan itu. Remi pun juga nggak ada hak."
"Terima kasih atas infonya, Rendra," ujar Danes, matanya melirik Janggala. "Gue masih nggak paham. Kenapa nggak lo sendiri aja yang menculik cucunya itu? Lo anaknya Eddie. Lo lebih dekat sama dia dibanding gue. Seharusnya lebih mudah buat lo bawa dia keluar."
Mata Janggala terpejam. "Saya terikat perjanjian sama Eddie. Perjanjian ini nggak mengizinkan saya untuk membawa keluar anak perempuan itu dari rumahnya. Dan lagi pula ... meski saya bisa menculik dia, saya nggak bisa mengamankan dia. Pergerakan saya selalu diawasi."
"Termasuk pergerakan untuk pencucian uang lewat Griya Teduh? Termasuk penyekapan Farel?"
"Iya. Saya berusaha menyembunyikan ini, tapi kayaknya mereka tahu setelah kalian menangkap saya." Janggala memberi jeda. "Remi mengambil keputusan yang tepat untuk nggak langsung bawa saya ke polisi."
"Karena kalau lo dibawa ke polisi, lo nggak akan bisa leluasa bikin kesepakatan sama gue," Danes menebak arah strategi Janggala. "Yang gue nggak paham, kalau lo emang cuma butuh gue, kenapa lo nggak ngomong langsung aja? Kenapa harus pakai acara nyulik Farel dulu?"
"Saya harus masuk penjara. Cuma itu satu-satunya cara mereka mengurangi pengawasan ke saya ... dan mengalihkan pengawasan mereka ke keluargamu."
Danes mengangkat alis. "Jadi, lo mau bikin keluarga gue jadi kambing hitam?"
"Hanya untuk sementara."
Bibir Danes membentuk satu garis. "Lo ada di daftar hitam gue setelah gue membunuh pelaku peneroran keluarga gue."
Janggala tak terlihat takut. Justru menyetujui dengan anggukan. "Silakan. Tapi, tolong lakukan setelah misi kamu selesai."
Danes menarik napas. "Di mana lokasi mansion Eddie ini?"
"Kasih saya kertas dan pulpen. Biar sekalian saya bikin petanya."
Danes keluar dari bilik interogasi untuk meminta kertas dan pulpen. Ketika keluar, Rendra meliriknya dengan wajah suram. "I have a bad feeling about this mission," ujar Rendra.
Danes mengangkat bahu. "Bukankah tugas Balwana itu bikin misi buruk tetap berjalan baik sampai tuntas?" Matanya mencari-cari benda yang diinginkan Janggala, lalu melihat Rendra sudah mengulurkan kertas dan pulpen kepadanya. "Thank you."
"Hey, can I ask you something?" tanya Rendra, dan Danes menunda masuk ke bilik interogasi. "Apa lo yakin lo bakal tetap bertahan hidup sampai tujuan lo tercapai?"
"Yakin," jawab Danes tanpa ragu. "I have a lot more in my arsenal than you may think."
"Oh, woah." Rendra terlihat sungguhan takjub, tapi Danes menangkap sarkasme pemuda berkacamata itu. "Lo ... ternyata emang mirip sama Remi."
Danes merasa maksud dari pernyataan itu adalah hinaan. Tapi dia tak bisa tak penasaran, "Dari sisi apa?"
"Kalian sama-sama naif. Bedanya, lo lebih sinting aja."
"Bukannya itu bagus? Kemenangan butuh sedikit kegilaan."
"Yeah, Danes, of course." Rendra memutar bola mata. "Kecuali kalau lawan lo bener-bener jauh lebih kuat dari lo."
"Gue sadar betapa kuatnya mereka, Rendra," Danes berkata dengan sabar. "Tapi, gue yakin gue bakal ngalahin mereka. Entah hari ini atau suatu saat nanti."
"Mungkin lo udah mati sebelum bisa ngalahin mereka."
"Selama gue masih ngelawan, gue masih punya kemungkinan untuk bertahan hidup." Danes mengakhiri dengan memasuki bilik interogasi, menutup pintu dan memberikan alat tulis kepada Janggala. Ketika menulis, Danes menyadari bahwa Janggala memiliki tanda di pergelangan tangannya. Seperti tanda lahir.
"Jalan menuju mansion Eddie ini agak sulit. Kamu mungkin butuh beberapa orang ikut ke sana untuk mengingat jalannya," ujar Janggala, menjelaskan denah lokasi. "Setelah masuk, kamu cari cucu haram Eddie yang tinggal di sayap timur. Pelajari aja jadwal dia. Dan kamu bakal tahu celah untuk culik dia gimana."
Danes bergumam sambil membaca peta di meja. "Setelah surat warisan yang baru jadi, gue culik dia, bikin prenup, terus kami menikah, gue dapat warisannya dan dia dapat obatnya. Begitu, kan?"
"Betul." Janggala memiringkan kepala. "Kamu cuma peduliin itu? Nggak berniat tanya penerimaan orangtuanya?"
"Om Janggala, gue nggak butuh persetujuan orangtua perempuan untuk nikahin perempuan itu. Kalau mereka nggak setuju, mereka tinggal dibersihkan aja."
"Orangtuanya udah mati."
"Lebih bagus. Gue biasanya memang mengincar anak yatim-piatu." Danes memandangi peta dan melihat tulisan baru yang Janggala buat. Dia membacanya, "Nama cucu Eddie: Irene. Usia 24 tahun. Rambut hitam panjang, kulit putih. Tinggal di sayap Timur mansion-nya Eddie. Jadi, ini orang yang harus gue culik?"
Janggala mengangguk.
"I still have some questions, though," ujar Danes. "Apa arti dari tato lo?"
Janggala terdiam sejenak. "Api kehidupan."
"Bukannya lo takut jarum?"
Janggala terdiam sejenak. "Dulu, iya." Danes menunggu apakah ada penanda kebohongan dari Rendra, tapi pemuda itu tak berkata apa-apa. Janggala menyerahkan kembali alat tulisnya. "Ini petanya."
"Siapa aja yang tahu tentang tato itu?" Danes berujar usai menyimpan catatan Janggala. "Selain gue."
"Anak kacamata yang tadi ke sini, sama Harimukti."
"Umbhara tahu?"
Ada jeda sejenak. "Tahu."
"Kalau gitu, ini pertanyaan terakhir." Tatapan Danes terlihat santai. "Apa Umbhara Rajayanti adalah orang yang lo cintai dalam hidup lo?"
Mata Janggala membola. Detak jantungnya naik, dan dia tak menjawab untuk sesaat. "Apa itu penting untuk diketahui?"
"So it's a yes?"
"It's not like that."
"Dia bohong, Nes," suara Rendra terdengar dari earpiece.
Senyum Danes melebar. "Begitu, ya. Terima kasih atas kerja samanya."
Dan dengan penutup itu, Danes keluar dari ruang interogasi.
***
Dari Ruang Interogasi, Danes ingin menemui Snow dan dihela menuju Ruang Perjanjian. Remi berkata bahwa Snow adalah penanggung jawab kontraknya, semacam bos Balwana. Jadi, Danes harus menemui Snow jika ingin mengambil alih masalah Janggala ini.
Begitu masuk Ruang Perjanjian, pria yang ingin ditemuinya ternyata adalah sosok raksasa setinggi dua meter, berotot dengan rambut dicat putih, beberapa bekas luka mencoreng wajahnya. Danes diminta duduk di kursi tamu, sementara Snow membuka dengan, "Ada yang bisa kami bantu?"
"Gue mau kontrak Remizard Tanureja dipindahtangankan ke gue," jawab Danes. Tangannya mengulurkan kontrak Remi dan surat persetujuan dari sang adik, meletakkannya di atas meja Snow. "Itu surat persetujuan dia. Dari kontrak Balwana, klien boleh digantikan siapa pun asalkan klien yang bersangkutan setuju, mampu membayar biaya pergantian klien, dan selama isi kontrak klien belum selesai. Kode kontraknya A511403."
Snow mengamatinya sejenak sebelum mengambil surat tersebut. Aturan yang diingatkan Danes itu benar. Bukan sesuatu yang bisa dia bantah. "As you wish." Tangan Snow meraih sebuah dokumen dari laci, lalu memberikannya kepada Danes. "Silakan isi dokumen ini dulu, lalu kirim uang sesuai nominal yang tertera di sana."
Danes membaca isi dokumen itu, lalu berkata, "Gue mau nambah dua hal untuk kontrak ini."
"Apa itu?"
"Pertama, gue butuh informan yang bersedia buat berbagi informasi selama 24 jam. Dan kedua, gue mau latihan bertarung sama anggota terkuat yang lo punya."
Alis Snow terangkat. "Itu bisa diatur."
"Siapa anggota terkuat lo?"
"Dia lagi nggak available," jawab Snow. "Tapi, masih ada anggota lain yang nggak kalah kuat."
"Pastiin aja kalau yang melatih gue ini emang beneran kuat."
Snow menyipitkan mata dan tersenyum, tapi kedutan di alisnya tak menunjukkan bahwa dia senang. "Of course."
Hanya butuh beberapa menit bagi Danes untuk mengisi dokumen perpindahan klien dan mengirimkan sejumlah uang untuk membeli sebuah anggrek berharga fantastis.
"Ada anggota keluarga lo yang suka anggrek?" tanya Snow berbasa-basi sambil menyimpan dokumen tersebut di laci. "Itu bisa jadi alibi. Kalau nggak, juga nggak masalah."
Ibunya suka anggrek. Tapi, ini bukan saatnya membahas sang ibu. "Gue mau ada beberapa anak Balwana yang mencari mansion Eddie Cakrawangsa." Danes mengeluarkan peta yang digambar Janggala. "Lokasinya di sini."
Snow membaca peta dan mengangguk. "Baik, bakal gue siapkan orang untuk datang ke sana."
"Gue juga ikut," imbuh Danes. "Kapan regu buat nyari mansion itu siap?"
"Akan lebih baik kalau lo datang setelah regu itu memastikan lokasinya. Jadi, nanti setelah lokasi ketemu, baru lo sama tim lain nyusul ke sana."
Danes mengangguk. "Untuk masalah informasinya, gue bakal bicara sama siapa?"
"Kami punya informan khusus. Nanti lo bisa ketemu sama dia."
"Rendra?"
"Betul."
"Kalau orang yang bakal ngelatih gue? Apa gue bisa nemuin orangnya sekarang?"
"Orangnya kebetulan sedang ada urusan lain. Bakal gue kabari lagi kalau nanti sudah pulang." Snow beranjak untuk membuka suatu laci di lemari besar, lalu memberikan Danes sebuah ponsel model lama. Danes langsung tahu itu burner phone. "Nanti semua dikabari lewat ini."
Danes menerima ponsel itu dan mengambil lagi kontraknya. "Bisa panggil Rendra buat ketemu gue? Gue butuh informasi dari dia sekarang."
Snow terdiam. Dia mengamati Danes seperti kucing pemalas. Tangannya mengetikkan sesuatu di ponselnya sendiri. "You really are a different species than your brother."
"I take that as a compliment." Danes berdiri dan menunggu para penjaga masuk, bersiap ditutup matanya untuk kembali dihela keluar dari markas Balwana. "Adek gue sampai jatuh miskin demi bayar kalian. So you'd better do your job well."
Setelah melihat Danes pergi, Snow membuka interkom pada sekretaris Balwana. Dia berbicara sambil membuka kertas kontrak pria itu. "Niki, tolong buka daftar status klien dan masukkan data baru. Perlu dicatat, setelah misi nomor A511403 selesai, blacklist nama Daneswara Tanureja dari daftar klien. Dia terlalu merepotkan."
[ ].
5k words
edited: 5/11/2021;
edited: 07/04/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top