10 || Di Tengah Belanja
| 10 |
DI TENGAH BELANJA
[cuplikan]
NAMANYA LILA. ITULAH nama yang dia berikan baik kepada rekan kerja, klien, ataupun teman sekolah. Nama aslinya adalah Nurlela. Mungkin hanya petugas kedinasan dan segelintir orang lain yang tahu nama aslinya itu. Edreya adalah salah satunya. Mereka berteman saat sekolah, ketika mereka masih sama-sama jadi anak bermasalah dan suka bertemu di ruang BK—Lila dengan rokok, Edreya dengan laporan dari orang-orang yang dia pukul.
"Hei, Dreya," sapa Lila sambil duduk malas di sofa. "Udah dipecat lo? Tumben bisa keluar-keluar gini."
Edreya mengangkat bahu. "Aku berhasil nego sama bosku supaya bisa cuti."
Lila bergumam. Dia mematikan rokok di asbak dan meraih sebatang lagi. "Lagi butuh apaan?"
"Ada seorang anak yang mau aku tampung," ujar Edreya. "Rencananya, aku mau nego sama bosku supaya dia bisa tinggal di tempat kerjaku. Tapi kalau itu nggak berhasil, aku mau minta izin kamu supaya dia sama aku bisa numpang tinggal di sini. Kami mau tinggal sekitar sebulan, ntar biaya makan sehari-hari juga bakal aku tanggung."
"Bentar. Trus, rumah dari mendiang ortu lo? Udah lo jual?"
"Aku sewain. Sekarang masih ditempatin orang. Baru selesai kontraknya sebulan lagi. Makanya aku mau numpang di apartemen kamu ... kalau boleh?"
Lila mendengus tersenyum. Dia mengetukkan rokoknya ke asbak sebelum berkata, "Lo yang bersihin kamar mandi sama setrika baju."
"Yes! Thank you!" Edreya segera memeluk Lila, membuat Lila kewalahan dan bersyukur langsung menjauhkan rokoknya.
"Drey!" seru Lila. "Jangan keras-keras woi meluknya. Lo sadar kan kalau tenaga lo tuh di atas rata-rata?!"
Edreya tertawa. Mereka lalu menghabiskan waktu untuk berbincang setelah lama tak bertemu.
Lila mengamati Edreya, teringat pada kali pertama mereka bertemu setelah bertahun-tahun lulus SMA. Mereka bertemu di salah satu tempat karaoke plus-plus tempat Lila dulu bekerja, Edreya sedang mencari gigolo untuk kliennya, sedangkan Lila sedang menuang minuman kepada tamu pria yang menyewanya sebagai hostess. Kebetulan pemilik karaokenya memang seorang germo yang memiliki rantai pasok untuk banyak jenis pelanggan.
Lila masih ingat impresinya melihat Edreya saat itu. Profil fisik temannya itu terlihat lebih kuat, seperti dahan unik mencuat meski berada di antara ratusan dahan yang sama. Mungkin itu karena tingginya, atau mungkin karena luka bakar di dahinya, atau mungkin karena tubuhnya yang berlekuk sintal dan pakaiannya tak bisa menyembunyikan itu. Keseluruhan aura Edreya berubah. Dia memang masih santai dan berotak tajam, tapi ketenangannya bisa membuat orang menggigil. Tatapan Edreya ke banyak orang kini tak ubahnya seekor predator santai mengamati mangsa. Mata dan auranya menghanyutkan dan mematikan seperti madu beracun. Eksistensinya mencuri perhatian tanpa dia harus meninggikan suara.
Edreya yang dia temui setelah sekian lama ini terlihat seksi, terasa menggoda sekaligus mematikan. Gadis kurus yang dia kenal saat SMA seakan hanya sekelebat memori.
"Lil, sori, aku abis ini masih ada urusan," ujar Edreya, beranjak untuk pamit.
Lila ikut beranjak dan memeluk gadis itu. "Iya, nggak apa-apa. Ntar kabarin aja kalau udah mau dateng ke sini. Gue besok kerja malam soalnya."
"Sip. Nanti aku kabarin."
"Drey."
Edreya menoleh, menyadari nada peringatan dari temannya itu.
Lila memejamkan mata dan mendesah. "Gue tahu, kita berdua sama-sama bukan orang suci. Kerjaan kita juga nggak bisa dibilang 'bersih'. Tapi... bahkan pekerjaan kotor juga punya levelnya. Maksud gue ... plis lo jangan aneh-aneh, ya. Mainnya jangan kejauhan. Gue takut lo kenapa-kenapa."
Edreya mengerjap mendengarnya. Tapi, dia segera tersenyum dan mengangguk. "Semua bakal baik-baik aja kok."
Karena biasanya memang seperti itu.
Dia bisa membuatnya baik-baik saja.
Sebab Lila hanya tahu dia bekerja sebagai ART di rumah orang kaya. Lila tak pernah dia beri tahu tentang orang-orang dia antar ke gerbang neraka di klinik dokter Bimo.
***
"Kasih tahu ini ke bos kamu," ujar Edreya. "Saya nggak pernah berniat buat ngeracunin Rania. Saya cuma lagi memancing kalian buat cari tahu apa tujuan kalian menguntit saya, Rania, dan keluarganya. Dan ternyata dugaan saya benar. Kalian itu bertugas melindungi, bukan membunuh keluarga Rania." Dia menahan dada lelaki itu dengan satu lututnya, sementara satu tangannya terangkat. "Tapi, kalian agak merepotkan. Tas belanjaan saya dibawa pergi pula. Blueberry cheesecake-nya lumayan mahal, tahu."
Satu serangan dilayangkan, cukup untuk membuat lelaki tadi tak sadarkan diri. Edreya pun berdiri dan menjauh. Tangannya meraih ponsel untuk menghubungi Rania, mengirim pesan suara bahwa dia menitipkan Darius serta memberi tahu bahwa dia mungkin takkan pulang sampai lusa. Kemudian dia mengirim pesan kepada Lila untuk pura-pura tak kenal siapa Edreya jika ada orang yang bertanya tentang dirinya.
***
"You sure you wanna go alone?"
"I'm not a kid, Remi." Danes berdiri dan mengambil barang-barang yang dia butuhkan. "Gue cabut duluan."
Danes menginformasikan sekretarisnya tentang jadwal mendadaknya untuk ke klinik, menunda semua pekerjaannya—dan pekerjaan sang ayah yang dilimpahkan kepadanya—untuk diberikan kepada Remi, tersusun dari yang paling genting hingga yang kurang genting.
Saat dalam perjalanan, Danes sebenarnya ingin meminta sopir untuk langsung mengantarnya ke rumah saja. Namun, ini sudah kali ketiganya mimisan karena kelelahan. Besok adalah hari dia harus menculik cucu Eddie. Mungkin mengecek kesehatan dan meminta obat bisa mempercepat kesembuhan. Dia pikir dia hanya akan diberi parasetamol dan obat-obat lainnya. Tapi ternyata dokter juga berkata Danes memiliki gejala tipes.
"Istirahat yang benar, Pak," ujar dokter. "Demam Anda tinggi sekali. Gimana bisa Anda ngantor dengan demam kayak gini?"
Entahlah. Mungkin karena Danes tak ada pilihan selain menjalani. Terutama mengingat apa yang harus dia lakukan selama dua bulan belakangan.
Pukul empat sore, dia sudah tiba di Griya Ambrosia. Danes tak pernah terbayangkan dia akan pulang kantor secepat ini selama dua bulan terakhir. Belakangan dia sangat sibuk untuk menjalankan rencana-rencananya.
Dia membawa sekantung obat dari klinik dan keluar dari mobil. Namun, sudah ada mobil lain yang terparkir di garasi rumahnya. Mobil Alphard yang sudah dia kenal. Danes segera melihat rak sepatu di balik pintu utama, dan dia menemukan sepasang sneakers bunga sakura yang jelas bukan miliknya.
"Oh, bener kan Bang Danes udah pulang!" seru suara Fatmawati Tanureja, sang adik bungsu. "Tadi aku masuk duluan pakai kunci duplikat. Bang Remi ntar datang habis pulang kantor."
"Kenapa lo ada di sini?" tanya Danes, menaruh sepatu ke rak dan meletakkan barang-barangnya di sofa. Dia mengikuti Fatma ke arah dapur dan mencium aroma kaldu. Ketiga anjing Danes bahkan mengikuti Fatma saat gadis itu memasak. "Lo masak apa?"
"Bubur, buat Abang nih. Lagi sakit kan?"
"Remi bilang apa ke elo?"
"Bang Remi cuma nge-chat aku dan minta aku dateng karena kakak sulung kami tersayang sedang jatuh sakit, hiks." Fatma pura-pura menghapus air mata. "Emang ada apa sih tadi di kantor? Abang tiba-tiba pingsan?"
"Nggak. Cuma mimisan."
"Ya ampun." Fatma segera mengecek temperatur Danes dari dahi pria itu. "Ih, Abang panas banget badannya. Mandi air hangat dulu deh. Abis itu makan dan istirahat."
Danes menghela napas dan segera naik ke kamarnya. Dia ingin menyuruh Fatma pulang saja berhubung ini adalah masa-masa Fatma harus belajar untuk masuk perguruan tinggi. Namun, Danes tak memungkiri bahwa kehadiran adiknya dapat membantu. Dia juga tidak sekeras kepala itu hingga berpikir dia dapat melakukan segalanya sendirian.
Setelah Danes mandi dan makan, Remi datang dan langsung disambut oleh dua anjing Danes, sedangkan anjing yang satu lagi sedang beristirahat di pangkuan Fatma sambil menonton TV. Lalu Danes minum obat dan memasuki ruang kerja. Tubuhnya sedikit lebih baik. Tanpa dia sangka, tiba-tiba Remi datang masuk ruang kerja dan menutup laptopnya.
"Lo demam, Nes." Remi menarik napas. "You need to rest."
"Iya, ih! Abang jangan kerja berlebihan gitu," ujar Fatma, menyusul dengan membawa sebaskom air dan handuk kecil. "Ntar kalau Abang pingsan, susah gotongnya. Bang Danes kan berat...." Fatma mencebik dengan bibir maju. Namun rautnya terlihat khawatir.
Danes menatap kedua adiknya, lalu menghela napas. Dia mengikuti Remi yang menghelanya ke kamar. Fatma mengompresnya setelah dia berbaring di kasur. Remi memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Mereka berdua menyiapkan segala sesuatu yang Danes butuhkan saat sakit. Mirip seperti yang sudah Danes alami bertahun-tahun lalu. Dan bahkan setelah selesai menyiapkan, mereka tetap berada di sisi Danes, mengecek temperatur, memastikan tubuhnya dijaga.
Mata Danes mulai mengantuk oleh kerja obat. Dia sayup-sayup mendengar kedua adiknya bercakap-cakap di luar, kadang tertawa dan kadang membicarakan hal serius, lalu mata Danes pun terpejam, mengingat pertanyaan Farel yang berkata bahwa selama ini Danes hidup penuh kebohongan.
Namun melihat kedua adiknya sekarang, serta mengetahui bahwa mereka tak absen merawatnya sampai dia sembuh beberapa hari kemudian, Danes jadi berpikir bahwa Farel keliru. Hidupnya ini bukanlah kebohongan. Rasa khawatir Remi dan Fatma bukanlah dusta, walau sekarang mereka tahu sekelebat kekejaman yang Danes lakukan kepada orang lain. Kepedulian Remi dan Fatma bukanlah kebohongan. Ini semua nyata. Dan Danes ingin melindungi hal itu.
[ ].
14/12/2021
edited: 7/4/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top