Terpaksa.

Ini hari ke dua, aku gak sekolah. Setelah Dava yang mematahkan gagang kaca mata aku tanpa alasan yang jelas. Aku engga masuk sekolah.

Papah yang bertanya setelah aku pulang sekolah dua hari lalu. Karena aku pulang tanpa kacamataku, terkesan curiga. Sampai papah menyuruh mamah untuk bertanya untuk kesekian kalinya.

"Kamu di hina sama teman-teman sekolah kamu?" tanya mamah saat masuk ke dalam kamar ku. Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan mamah itu lagi, lagi itu.
Aku sampai bosan di buatnya.

"Engga mah, aku gak di hina kok."

"Terus kenapa kaca mata kamu bisa patah?" tanya mamah lagi.

"Kan Sarah udah bilang, kaca mata Sarah patah saat Sarah lagi olahraga senam lantai. Sarah lupa lepas."

"Emang posisinya kaya gimana sampai kaca mata kamu patah?"

"Berguling gitu deh, Mah." jawabku seadanya.

"Kamu di ketawain sama teman-teman kamu, gak?" oke, sekarang aku merasa lagi di introgasi.

"Engga kok, Mah. Teman-teman Sarah tuh baik-baik." kilah ku. Mamah mengangguk lega.

Aku tahu, mamah itu khawatir dengan ku. Setelah dimana aku di bully dengan teman-teman ku sewaktu SMP. Mamah jadi lebih sering bertanya tentang keseharian ku di sekolah.

Aku engga mau bercerita tentang masalah Dava. Engga, jangan sampai mamah dan papah tahu. Aku engga mau pindah sekolah. Jujur aku merasa nyaman di sekolah itu. Di sana ada Tia dan Nurmala yang mau jadi teman ku dengan tulus tanpa memandang fisik ku. Ya, walau pun ada Dava dan teman yang lainnya juga. Tapi bukan masalah kok. Aku masih bisa menghadapi mereka.

"Kalau ada yang hina kamu, bilang sama mamah dan papah, jangan di tutup-tutupin." Aku mengangguk.

"Harus itu, mah." sahut ku.

"Ya udah mamah mau ngobrol dulu sama papah." ujar Mamah. Tapi aku menarik tangan Mamah.

"Mah, kaca mata aku udah selesai?" tanya ku.

"Belum. pak Erik nya kemarin pulang kampung. Ibunya kam meninggal. Jadinya di mendadak kesananya."

"Terus kaca mata aku, Mah?"

"Kamu pakai softlens aja ya, mau gak? Cuma sementara kok." Aku melebarkan mataku.

"Mamah. Sarah gak bisa pakai Softlens. Takut ah."

"Ya udah tunggu sampai pak Erik pulang aja kalau gitu."

"Terus sekolah Sarah? Lagi juga papah gak bisa ke optikal yang lain apa, Mah?"

"Engga dong, kan Fram kamu ada di pak Erik. Kecuali emang kamu mau ganti."

"Engga, Sarah udah nyaman sama Fram itu."

"Ya udah, tunggu sampai pak Erik pulang dari Bekasi."
Aku hanya bisa pasrah. Mamah keluar dari kamar ku.

Aku menatap seisi ruangan ku dengan penglihatan yang ngeblur. Jujur saja kepala ku sedikit pusing kalau tidak pakai kaca mata. Tapi mau bagaimana lagi.

Drtt! Drtt!

Ponselku bergetar, aku segera mengambilnya yang letaknya berada di samping ku. Aku menyipitkan mataku. Tulisannya tidak jelas. Aku mendekatkan jarak ponselku.

Ternyata pesan singkat dari Tia.

Tia.
Besok.ada ulangan harian pak Yusuf,
Lo masuk gak?

Aku menghela nafas kasar. Aku mau masuk, tapi bingung kalau tidak ada kaca mata. Aku pasti tidak akan mengerti dengan pelajaran yang di terangkan oleh guru di depan kelas.

Me.
Belum tahu, kalau engga masuk gapapa, kan?

Tidak lama ponselku bergetar. Tia balasnya sangat cepat.
Pasti dia gak ada kerjaan.

Tia.
Nanti susulan dong. Emang kacamata belum bener?
Seharusnya Dava tanggung jawab tuh.. Gara-gara dia
Lo jadi gak bisa sekolah, kan.

Aku mengangguk. Seharusnya begitu. Tapi dengan lantangnya Dava menolak untuk bertanggung jawab dengan kerusakannyang dia buat terhadap kacamata ku.

Me.
Belum. Berharap sama Dava kaya berharap
Bintang muncul di siang hari, ia. Gak mungkin.

Tia.
Kejadian langka, ya kalau Dava mau tanggung jawab.
🤣🤣

Me.
🤣🤣

Aku menyimpan ponselku kembali di ranjang ku. Kalau pakai softlens jujur saja aku tidak bisa. Tapi ulangan besok di haruskan ikutan, aku tidak mau susulan. Karena susah berdiskusi.

Aku melirik meja belajar ku, dimana sebuah paperbag tergeletak di atasnya. Tadi siang, Mamah membelikan ku Softlens. tentu saja Softlens mins. Itu kata ku.

Aku turun dari ranjang tidurku, melangkah mendekat ke meja belajar ku. Aku membuka paperbag itu. Warnanya hitam dan bening. Mamah membeli dua sekaligus.
Tujuannya aku tidak mengerti kenapa Mamah membeli dua. Mungkin agar aku bisa memilih. Tentu saja aku akan memilih yang bening.

Aku mulai membukanya, dan mulai memasukkan Softlens ke tempat berbentuk bundar dempet itu.
Sebelum memakai Softlens, aku mencuci tangan terlebih dahulu.

Aku berdiri di depan cermin. Tanganku bergetar saat mulai memasukkan Softlens ke mataku. Ternyata memang tidak mudah, berkali-kali aku mengedipkan mataku. Membuat Softlens itu terjatuh ke telapak tanganku. Aku mencoba lagi, demi ulangan.

Aku melebarkan mataku, dan.. Yey Softlens masuk kedalam mataku. Aku segera mejamkan mataku. Takut jatuh lagi. Tapi aku ingat, bagaimana kalau Softlens itu masuk kedalam bola mataku? Aku segera membuka mataku perlahan. Tapi yang terjadi, aku mulai jelas melihat, walau hanya sebelah. Dan itu tidak seburuk yang aku kira.

Aku mencoba yang satunya lagi, memasukkan yang kedua, tidak terlalu sulit. Karena aku sudah tahu strateginya. Memakai Softlens juga punya strategi loh.

Dan aku tersenyum lebar saat aku melihat dengan jelas tanpa menggunakan kacamata. Aku menatap cermin.

"Ya, ini engga terlalu buruk. aku masih terlihat manis." kekeh ku.

Aku keluar dari kamar ku, memberi tahu papah dan mamah.

"Pah, Mah. Lihat aku pakai apa!" seru ku.

Tidak lama aku mendengar suara riuh di halaman belakang. Tampak Papah dan Mamah berlari kecil ke arahku.

Mereka tercengang menatapku. "Kamu pakai Soplannya?" Tanya Papah. aku mengernyitkan dahi ku.

"Soplan apaan, Pah?" tanya ku.

"Maksud Papah Softlens kali, bukan Soplan." ujar Mamah membenarkan.

"Iya itu maksud Papah." Aku tergelak mendengar ucapan Papah.

"Iya, Pah, Sarah pakai Softlens. Abisnya besok ada ulangan, Sarah gak mau kelewatan."

Papah dan Mamah hany mengangguk. "Ya sudah tidur sana. Udah malam." titah Papah. Aku menurut.

Sebelum aku pergi, Mamah memanggil ku. "Sarah. Lepas Softlens nya dulu. Jangan di pakai tidur."

"Loh emang gitu, Mah?" tanya ku.

"Iya lah, kamu mau buta?"

"Idih, Mamah ngomongnya nyeplos amat." protesku. Mamah tertawa, aku segera masuk ke dalam kamar.

Aku menatap diri ku di cermin. "Padahal buat pakainya aja susah banget. Eh.. Sekarang harus di lepas. Emang ribet kalau pakai ginian." Gumam ku.

Aku kembali melepas softlens itu. Tidak semudah memakainya ternyata. Melepasnya jauh lebih sulit, karena aku harus memasukkan jariku ke dalam mata. Dan rasanya sangat mengerikan.

Akhirnya aku bisa tidur, setelah satu jam lamanya bergulat dengan Softlens yang sulit sekali di lepas. Aku harus memikirkan strategi yang cocok untuk melepas softlens.

***

Aku masuk ke dalam kelas. Di kelas ku sudah ada Tia dan Nurmala. Entah sejak kapan mereka jadi dekat. Pasti Nurmala menggantikan posisi ku di samping Tia selama dua hari ini.

Mereka menatap ku tidak berkedip. Mungkin karena aku beda hari ini. Dengan bangun pagi, demi aku memakai softlens. Tapi tetap saja aku kesiangan. Nyatanya Tia sudah lebih dulu datang di banding ku.

"Sarah." panggil Tia. Dia bangun dari kursinya. Begitu juga Nurmala.

"Sarah, kamu pakai softlens?" tanya Nurmala. Aku hanya mengangguk malas. Apa perlu seperti ini? Reaksi mereka berlebihan. Kalau aku artis, sepertinya ini akan masuk ke dalam top ten viral di dunia.

"Sarah, demi apa pun, lo cantik banget." puji Tia. Dia memang overly orangnya. Dia sampai memutariku. Padahal yang berubah cuma mata aja. Selebihnya engga. Aku masih sama. Gemuk dan hitam. Sedih ya.

"Ini tuh terpaksa. karena sekarang ada ulangan aja makanya aku pakai softlens ke sekolah."

"Gapapa kok, gak kelihatan." jawab Nurmala dengan senyum yang menyungging di bibirnya.

Kegaduhan terdengar dari luar kelas. Tidak lama Dava muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan orang pembuat onar.

Dia menatap ku dengan tatapan tidak percaya. "Ya ampun, teddy bear lepas kacamata."

Benar kan apa kata ku. Dia selalu saja berulah. Padahal aku tidak mencari masalah apa pun dengannya.
Dava mulutnya emang harus di kasih pelajaran. Lihat saja nanti. suatu hari nanti aku akan bisa membungkam mulutnya yang seperti kaleng bekas itu.

*Bersambung*

Kisah kaya gini, sebenernya ada yang ngalamin. Bahkan banyak. Dan entah kenapa kalau menulis cerita berbau fat girl kaya gini aku selalu memilih sudut pandang dari si perannya.

Tahu gak alasannya apa? Ada yang tahu?

Penasaran? Nanti aku bahas di part selanjutnya 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top