Sebenarnya
Dava turun dari motornya, aku menautkan kedua alisku, merasa bingung. Dava mau apa turun?
Dava seakan tau isi pikiranku, dia langsung berkata, "kan, ada yang mau gue omongin sama Lo."
Dengan ekspresi datar, aku melangkah masuk, Dava pun menyusul. Dasar tamu tak diundang.
Rumah tampak sepi, sepertinya Mamah belum pulang dari pasar.
"Tunggu sini," kataku pada Dava, menyuruhnya duduk di teras rumah saja.
Tau sendiri gimana kalau sampai tetangga lihat, akan ada gosip baru yang entah kapan tenggelamnya.
Aku mengganti pakaianku, lalu menyiapkan minum dan cemilan untuk Dava. Untung saja masih ada cemilan.
Aku kembali keluar, kulihat Dava sedang memainkan ponselnya.
"Ehem." Dava menoleh padaku lalu tersenyum kecil.
"Jadi ngerepotin," katanya sembari menyengir lebar. Dih, di kira ganteng kali.
Aku menepuk dadaku pelan. Merasa kurang nyaman dengan degupan jantungku.
"Apa yang mau Lo obrolin?" tanyaku to the point setelah duduk di hadapan Dava.
"Buru-buru amat, bentar dulu kenapa sih, gue mau minum dulu." Aku memutar kedua bola mataku jengah.
Dava meminum sampai tandas. Lalu membuka toples dan mengambil cemilan.
"Dava, kapan Lo ceritanya?"
"Sabar, Sar. Gue susah nelen ini, minum lagi dong."
"I'ih!" Dengan kaki di hentak ke lantai aku mengambil gelas Dava dan kembali masuk.
Tidak berapa lama aku kembali keluar, Dava tersenyum lebar.
"Nih." Dava segera merebut gelasnya dan minum dengan sekali tenggak.
Buset... Nih, orang siluman ikan kali ya.
"Jadi, Lo mau-"
"Sar, gue pinjem WC lo dong, dari tadi gue tahan kencing nih."
Astaghfirullah..
"Di dapur, masuk aja sendiri."
Dava langsung berlari masuk ke dalam. Kuhela nafas dalam-dalam.
Beberapa menit kemudian, Dava kembali, kali ini dengan senyum lebarnya. Dava duduk di depanku.
Dengan memasang wajah serius, Dava menatapku.
"Sebenarnya kak Radit ke luar negeri bukan obati kakinya yang cedera." Dava memulai pembicaraan. Aku hanya cukup menyimak ucapannya yang belum tuntas.
Kudengar Dava menarik nafas dalam. "Sebenarnya kak Radit mau terapi sakitnya yang mulai memburuk."
"Maksudnya?"
"Kak Radit sakit kanker darah."
Bagaikan petir di siang bolong. Kabar yang mengejutkan ini cukup membuatku terhenyak di tempatku.
"Udah 3 tahun, kak Radit melawan penyakitnya. Penyakitnya ini sempat di nyatakan sembuh sama dokter, tapi tanpa kita duga, penyakitnya kambuh, dan sekarang semakin parah."
"Ta-tapi kemarin baik-baik aja."
"Kak Radit pinter banget sembunyikan sakitnya. Bahkan nyokap sama bokap gue aja merasa kak Radit baik-baik aja. Dia bukan gue yang pandai mengeluh."
Aku masih tidak dapat percaya dengan ucapan Dava. Dava sangat keterlaluan kalau dia sampai berbohong. Tapi Dava tidak mungkin sekejam itu, kan? Lagi pula wajah Dava tampak serius.
"Dan..." Dava membuka tasnya, dia mengambil buku berwarna hitam, lalu memberikannya padaku. "Ini buku harian kak Radit, gue temuin kemarin waktu gue ke kamarnya. Lo bisa baca semuanya. Kayaknya Lo perlu baca. Gue gak tau ini cara yang benar atau enggak. Tapi gue cuma mau Lo tau kenyataannya."
Dengan perlahan aku mengambil buku itu dari tangan Dava.
Dava tersenyum denganku.
"Kalau gitu gue balik dulu."
"Em, iya, makasih, ya, Va." Dava hanya mengangguk sembari tersenyum, kemudian berlalu pergi.
Aku menatap kepergian Dava. Lalu beralih ke buku harian kak Radit.
Kata Dava, aku harus baca ini. Apa kak Radit menulis tentangku?
Aku segera membuka halaman pertama. Lembar pertama hanya gambar kartun yang di gambar dengan kak Radit. Ternyata dia sangat pintar menggambar.
Lembar kedua kosong. Sangat di sayangkan, karena menulis halus di lompat seperti ini.
Lembar ketiga, keempat dan kelima masih kosong. Sampai lembar yang keenam. Sebuah catatan pendek yang kak Radit tulis. Isinya..
Ternyata aku menyukaimu
Pikiranku melambung jauh membaca catatan ini, mungkinkah buatku?
Tidak mau terlalu percaya diri, aku membuka lembar selanjutnya.
Kali ini tulisannya cukup panjang. Hanya saja ini seperti ... Puisi mungkin.
Mencintaimu dalam diam.
Mendoakanmu di setiap malam.
Perasaan yang ku pendam.
Tak akan pernah padam.
Untukmu, gadis bertubuh gempal.
Wajahku seketika merona, puisi ini apakah untukku?
Aku kembali membuka lembar yang baru, masih kosong sama seperti tadi. Kembali aku buka, sampai seterusnya.
Hingga akhirnya, barulah ada sebuah tulisan panjang yang sepertinya ini adalah isi curhatan kak Radit.
°°°°
Enggak di sangka, ternyata hal yang gue takuti terjadi juga. Baru aja gue mulai merasakan bahagia, tapi ternyata Allah berkata lain.
Hah... Cape sebenarnya, tapi mungkin ini jalan terbaik buat gue. Baguslah, setidaknya gue tau penyakit ini datang lagi, di saat gue belum menyatakan perasaan gue sama Sarah. Sarah, si cewek berbadan gempal.
Gue gak mau kepergian gue nanti nyakitin perasaan dia, gue sayang sama Sarah. Dia satu-satunya cewek yang bisa buat gue tersenyum, buat gue selai cariin dia, buat gue selalu tunggu kabar dia, dan buat gue diam-diam perhatiin dia.
Ternyata sesedih ini mencintai dalam diam. Hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa ada keberanian untuk menyatakan. Andai aja penyakit ini bisa sembuh total, mungkin dengan beraninya gue ungkapin perasaan ke Sarah. Tapi selalu aja ada penghalang.
Okelah, gak apa, yang penting gue masih bisa dekat sama dia, pandang dia dari kejauhan, itu udah cukup buat gue.
°°°°°
Aku terdiam, hampir tidak percaya dengan apa yang baru aku baca. Kak Radit, dia menyukaiku? Jadi cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Ada rasa bahagia yang menumpuk di hatiku. Tapi cukup kalian tau, sebenarnya kebahagian yang menumpuk di hatiku, menutupi luka hatiku yang mengetahui kenyataan menyakitkan yang di alami kak Radit.
***
*Bersambung*
Hore... Up lagi aku nih...
Jadi gimana? Siapa yang gak nyangka kalau Radit punya penyakit?
Masih penasaran sama kelanjutannya gak?
Kira-kira apa yang bakal Sarah lakuin?
Tunggu lanjutannya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top