Sakit
"Sarah," panggilnya lembut, sehingga suara itu seakan menggelitik telingaku. "Gue berharap banyak sama Lo, demi Kak Radit, gue rela membelakangi perasaan gue sama Lo."
Seketika, aku merasa waktu berhenti saat itu juga. Dava yang masih menatapku lembut, dan aku yang masih diam karena ucapannya.
"Maksudnya?"
Dava tidak menjawab, dia memilih untuk keluar, setelah kepergiannya. Aku hanya bisa diam.
Bukan. Bukan aku tidak mengerti apa maksud Dava, hanya saja, aku ingin kata-kata yang lebih jelas. Agar aku tidak salah paham.
Wajar, kan, kalau aku ingin penjelasan yang lebih detail. Karena selama ini sikap Dava tidak pernah baik denganku. Aku tidak mau di saat aku sudah menjatuhkan hatiku pada Dava, malah kenyataannya Dava tidak suka denganku.
Lagi pula... Aku juga tidak tau pasti hatiku dan perasaanku pada Dava. Selama ini aku hanya tidak suka melihat kedekatannya dengan Rania.
Aku mengira itu adalah perasaan iri yang aku rasakan untuk Rania karena dapat perhatian lebih dari Dava. Dan itu bukanlah cemburu.
Sekarang, Dava pergi tanpa ada kejelasan sama sekali. Meninggalkan aku yang dilanda dilema.
Drtt! Drtt! Drtt!
Getaran ponsel di saku rokku, mengalihkan pikiranku tentang Dava. Aku segera merogoh saku rok.
+628238800xxxx
Sar, Radit pingsan, kita mau bawa dia ke rumah sakit Cinta Kasih. Lo nanti ke sana ya.
Gio
Aku terkejut, sangat terkejut. Ada apa lagi dengan Kak Radit?
Tanpa memikirkan kepalaku yang masih terasa sakit, aku langsung keluar dari ruang UKS. Melangkah ke kelas untuk izin pulang lebih dahulu.
Tapi sebelum aku sampai kelas. Aku bertemu dengan Dava yang baru saja keluar kelas. Dia membawa tasnya, langkahnya terburu-buru.
"Lo ikut gue," kata Dava saat berpapasan denganku. Aku hanya mengangguk. Dava langsung menarik tanganku.
Dalam perjalan ke rumah sakit, aku sempatkan untuk mengirim pesan ke Tia, menitip tasku dengannya.
Di perjalanan, Dava mempercepat laju motornya. Dia benar-benar terlihat kalut, wajah cemasnya terlihat jelas.
"Va, jangan ngebut, pelan-pelan," kataku sedikit teriak.
Dava tidak menjawab. Tapi dia mengikuti apa kataku, Dava mengurangi kecepatan motornya.
****
Sesampai di rumah sakit, kami langsung mencari ruang UGD sesuai info yang Kak Gio berikan.
Kami berlari cepat, di depan ruang UGD. Ada Kak Gio, Kak Dias dan Kak Dewa. Mereka tampak khawatir. Dan itu semakin membuatku cemas.
"Gimana keadaan Kak Radit?" tanyaku.
Kak Gio menggeleng. "Dokter masih periksa."
"Kenapa dia bisa pingsan?" Kali ini Dava yang bertanya.
"Gue juga gak tau, wajahnya pucat tadi, gak lama dari itu dia mimisan, dan pingsan."
"Pasti Kak Radit kecapean," kataku dengan khawatir. Dava langsung menatapku.
"Lo tau betul gimana kondisi Kak Radit, Sar. Kenapa Lo gak jaga dia?!"
Nada bicara Dava sedikit membentak, membuatku tergelonjak. Aku jadi merasa bersalah sekaligus kelas. Apa Dava tidak tau keadaanku tadi?
Lagi juga Kak Radit masih dalam kelas. Mana mungkin aku terus menjaganya.
"Dava, Lo gak perlu bentak Sarah kayak gitu, seharusnya Lo berterimakasih sama dia, karena udah mau jagain Abang lo, di bandingkan dengan lo, Lo gak ada tanggung jawabnya sebagai ade." Kak Dewa terlihat emosi.
"Ini bukan waktunya Lo menyalahkan orang lain dalam kondisi kayak gini, Va. Seharusnya Lo berdoa untuk kesembuhan Abang Lo." Kak Dias bicara dengan sabar.
Sekarang aku paham, dia antara teman-teman Kak Radit, yang paling dewasa itu Kak Dias. Dia tenang di banding Kak Dewa yang cepat emosi. Sedangkan Kak Gio yang humoris dan... Urakan.
Dava menunduk lesu. Kemudian menarik tanganku, kami pun duduk di kursi tunggu.
"Maafin gue," katanya lirih.
"Hm. Gue paham sama apa yang Lo rasain. Maafin gue juga," kataku. Saat ini aku hanya ingin menenangkan Dava.
Tante Rani datang dengan tangis yang mungkin sudah pecah sedari mendengar kabar dari Kak Gio.
Tapi yang tidak dapat kuduga. Tante Rani malah menghampiri Dava. Dan...
Plak! Plak!
"Adik macam apa kamu ini? Gak bisa menjaga Kakak kamu yang lagi sakit!"
Dava hanya diam menunduk. Wajahnya sudah merah, entah malu, entah sakit, atau marah. Yang pasti aku mulai tau bagaimana Dava di perlakukan dengan Tante Rani.
"Tante, Radit pingsan di kelas, ini bukan salah siapa pun." Kak Dias lagi-lagi mencoba menenangkan.
"Kamu itu gak punya malu, Dava! Sudah numpang di rumah kita. Seharusnya kamu bisa balas Budi dengan menjaga dan melindungi Radit."
"Tante, udah, ini bukan salah Dava. Kak Radit memang kelelahan karena rutinitasnya di sekolah."
Jujur, aku ingin melindungi Dava saat ini. Hatiku sakit melihat Dava yang hanya menunduk tak membela diri. Beda dengan Dava yang aku kenal.
Tante Rani akhirnya bisa diam, hanya isakannya yang masih terdengar. Aku menatap Dava yang kini berlalu pergi.
Kak Dewa duduk di sampingku. "Samperin Dava, gih. Kasian gue liat dia," kata Kak Dewa. Aku mengangguk dan berlalu pergi dari sana.
Mencari-cari Dava yang entah ada di mana, akhirnya aku pun berjalan menuju taman rumah sakit. Dan benar saja, dia ada di sana. Dava sedang duduk membungkuk, dengan di tangan yang bertautan dan di topang pada kaki.
"Dava," panggilku. Dava tidak menoleh ataupun menjawab. Tapi aku tau dia mendengarku.
"Selama ini gue banyak ngalah sama Kak Radit, tapi di mata nyokap dan bokap, gue selalu salah."
Kata-kata Dava membuat dadaku sesak. Aku seperti tau bagaimana keadaannya selama ini. Diperlakukan tidak adil dengan ibu tirinya. Mungkin wajar, karena Tante Rani ibu tiri Dava. Tapi bagaimana dengan Ayah Dava? Sebelumya Dava pernah bercerita tentang keluarganya. Tapi aku tidak menyangka bisa lihat secara live sikap Tante Rani.
"Lo diem aja?" Aku berharap, dapat mendengar kata perlawanan Dava. Tapi cowok itu malah mengangguk.
Aku menghela nafas panjang. "Gue bisa rasain kalau ada di posisi Lo, Va. Pasti sakit banget di beda-bedain."
Dava tersenyum. "Gue udah biasa sekarang," kata Dava dengan tersenyum yang terlihat miris di mataku.
"Dava," panggilku. Dava menoleh padaku, tanpa aku sadari, aku memeluknya erat, seakan Dava adalah barang pecah belah yang akan hancur bila aku melepasnya.
Saat tersadar, aku hendak melepas pelukanku. Tapi Dava seakan menahanku, dia memelukku erat, sangat erat.
"Makasih, Sar. Gue sayang sama Lo," ucap Dava lirih. Dan itu mampu membuat air mataku luruh. Alasannya? Aku tidak tau.
***
*Bersambung*
Yang selama ini suka kesel sama Dava karena sikapnya yang songong. Pas baca part ini gimana nih tanggapan kalian sama Dava?
Ayo dong komen dan vote yang banyak.
:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top