Rasa Yang Berbeda
Masih bertanya-tanya dalam hati, kenapa denganku ini? Kenapa aku merasa kesal melihat kedekatan Dava dan Rania.
Padahal apa urusanku? Seharusnya aku hanya memikirkan Kak Radit, bukan Dava yang jelas-jelas selalu berulah denganku.
Dava juga lebih pantas dengan Rania, mereka sama, sama-sama ngeselin. Demi apapun, aku ingin melenyapkan ingatanku saja kalau aku terus-terusan memikirkan Dava seperti ini.
Sepulang sekolah pun aku harus kerumahnya untuk bertemu dengan Kak Radit. Tapi apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengan Dava?
***
Hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Yaitu, kembalinya Kak Radit ke sekolah, sekian lamanya dia tak memunculkan diri di sekolah, kini di saat dia kembali tentu saja menjadi hal yang aneh bagi siswa dan siswi, tambah lagi Kak Radit sekolah menggunakan kursi roda.
Banyak yang bingung dan bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Kak Radit? Tapi bukan Kak Radit namanya, kalau dia hanya membalas senyum kepada orang yang bertanya.
Sesekali Kak Radit menjawab, "lagi dapet ujian nih." Raut wajahnya yang santai dan berseri langsung membuat orang terharu karena Kak Radit yang begitu tegar.
Saat ini aku mengantar Kak Radit ke kelasnya. Ada cewek yang menatapku dan Kak Radit tak minat. Dia langsung berlalu pergi dari kelas.
Ada ingat Dela? Kak Dela, cewek yang pernah melabrakku saat itu. Nah, itu dia orangnya. Sekarang di saat Kak Radit sudah begini, dia seperti memandang rendah Kak Radit, bahkan seakan Kak Radit tidak ada di sana.
Sangat menjijikan ada orang seperti Kak Dela. Bukannya iba melihat cowok yang dia suka dulu seperti ini. Kak Dela malah seakan jijik dengan Kak Radit.
Kak Radit hanya tersenyum saat melihat sikap Kak Dela.
"Meja Kakak di mana?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiran Kak Radit.
"Itu kedua dari belakang," jawabnya.
Aku segera mendorong kursi Kak Radit.
"Radit!" seruan cowok membuatku menghentikan dorongan di kursi roda Kak Radit.
Ada tiga cowok baru masuk kelas, sepertinya teman Kak Radit, karena Kak Radit membalas seruan mereka.
"Anjir.. gue kangen banget sama Lo," kata salah satu dari mereka. Namanya Dewa. Dia wakil OSIS di sekolah ini.
"Gue yakin Lo kuat, Dit." Dan yang baru saja bicara adalah Gio. Dia... Ah, aku enggak kenal.
"Biar gue aja yang bantu Radit, Lo ke kelas aja, makasih ya, Sarah." Yang terakhir Dias. Cowok berperawakan jangkung ini merupakan ketua tim basket di sekolah ini.
"Iya, Kak, gue titip Kak Radit, ya." Kak Dias mengangguk. Aku langsung beralih menatap Kak Radit.
"Aku ke kelas dulu, ya. Nanti istirahat, aku ke sini lagi." Kak Radit mengangguk.
"Makasih, Sarah," ucapnya. Aku hanya tersenyum dan berlalu pergi setelah melambaikan tangan ke arahnya.
Setelah itu aku enggak tau mereka ngomongin apa, yang aku yakin, mereka ngomongin aku, karena sayup-sayup aku dengar namaku di sebut-sebut dengan mereka.
***
Aku kembali ke kelas, di sana ada Tia yang sedang mengerjakan tugas, untungnya aku sudah.
"Dari mana Lo?" tanya Tia yang menatapku sekilas lalu kembali fokus pada tugasnya.
"Abis anter Kak Radit ke kelasnya." Tia mengangguk mengerti.
Mataku beralih pada meja Dava, cowok itu tidak ada di sana, tapi tasnya ada, itu artinya dia di kantin, atau... Bersama Rania, mungkin.
Tiba-tiba saja hatiku merasa sesak membayangkan Dava dan Rania bersama. Apa coba maksudnya?
Bel berbunyi nyaring. Semua siswa dan siswi masuk ke kelas mereka. Begitupun dengan Dava. Cowok itu datang, tapi tidak masuk kelas. Ternyata Dava mau mengantar Rania yang kelasnya berada di samping kelasku.
Aku memandang mereka. Dava bisa tertawa dan bercanda dengan Rania, sedangkan denganku, Dava hanya memasang wajah ketus dan dingin.
Tak lama, aku lihat Dava kembali, bodohnya aku di sini, karena tidak bisa berhenti menatap cowok itu. Padahal aku tau, Dava sedikitpun tidak menatapku, seakan aku tidak pernah ada di sana.
Dan dadaku terasa sesak saat ini. Kuhela nafas panjang, Tia menoleh padaku.
"Berat banget kayaknya beban Lo," kata Tia. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tak lama guru masuk ke dalam kelas kami.
***
Jam istirahat sudah tiba, aku dan Tia bergegas menuju kelas Kak Radit. Tentang Tia yang tau Kak Radit sakit, dia banyak bertanya denganku. Dan sedikit kecewa karena aku tidak menceritakan dengannya. Tapi Tia bukan tipe cewek yang mudah marah. Dia cukup mengerti posisiku dan Kak Radit. Akhirnya dia bisa memaklumi.
Aku mengetuk pintu kelas Kak Radit. Cowok itu ternyata sedang bermain gitar bersama teman-temannya.
"Eh, ada, Sarah." Ini Kak Gio yang menjawab. Aku hanya tersenyum. "Masuk, Sar, sini-sini."
"Iya, Kak." Aku masuk dengan Tia yang menunggu di depan kelas.
"Itu temennya!" panggil Dewa pada Tia. "Sini masuk juga, tenang kita gak akan gigit, kok."
Tia hanya tersenyum kecil. Tapi akhirnya Tia masuk juga.
"Mau ke kantin gak, Kak?" tanyaku pada Kak Radit yang malah menatapku lekat.
Senyumnya sangat manis. "Kamu mau ke kantin?" Aku hanya mengangguk.
"Udah, Sar, Lo kalau mau ke kantin, ke kantin aja. Biar nanti Radit sama kita. Gak mungkin juga kita tinggalin dia." Kak Dias membuka suara.
Aku beralih menatap Kak Radit, Kak Radit mengangguk. "Iya, ke kantin duluan aja, nanti biar Kakak bareng yang lain."
"Gak papa?"
"Gak apa-apa," sahut Kak Radit lembut. Aku tersenyum lalu mengangguk.
"Aku ke kantin duluan sama Tia." Kini Kak Radit yang mengangguk.
"Mau di anter gak, Sar?"
"Gak usah Kak Gio."
"Gio, gebetan sahabat Lo tuh, main nikung aja," kata Dewa.
"Bercanda, Dit, canda."
Aku langsung berlalu meninggalkan kelas Kak Radit. Seumur-umur aku baru pertama kali di goda dengan kakak kelas seperti Kak Gio.
"Yang tadi itu siapa sih?" tanya Tia.
"Yang mana?"
"Yang mau anter Lo."
"Oh, Kak Gio. Kenapa gitu?"
"Gak apa-apa, nanya doang." Tia tersenyum kecil.
"Lo suka?" Aku menebak.
"Ih, apaan sih lo, Sar, ya enggaklah."
"Enggak, enggak. Tapi wajahku udah kayak tomat rebus."
"Tomat mateng, Sarah!" Aku tergelak mendengar protes Tia.
Kami memasuki wilayah kantin, tapi langsung di suguhkan dengan pemandangan yang tidak enak. Dava bersama dengan Rania lagi.
Mereka seperti akar dan batang, yang tidak bisa lepas. Uh.. sebel.
"Gue pesen makan dulu, ya. Lo mau makan apa?" tanya Tia.
"Mie ayam aja," jawabku. Sebenarnya nafsu makanku sudah pudar.
"Oke, tunggu di sini." Tia berlalu pergi, tinggallah aku yang sendiri, melihat kedekatan Dava dan Rania yang duduk di depan mejaku.
Di tambah Dava dan Rania duduk menghadap tepat ke arahku, jadi dengan bebas aku bisa melihat kegiatan mereka.
Kok nyesek sih?? Ini kenapa? Apa aku....
Ah, gak mungkin, aku sukanya sama Kak Radit bukan Dava yang jelas-jelas suka banget menghina fisik aku.
"Kita boleh gabung?" Aku menoleh. Ada Kak Radit dan ketiga temannya.
"Boleh, Kak. Sini." Aku langsung membantu Kak Radit menggeser kursi rodanya di dekatku.
Tak lama Tia datang, dia sedikit bingung karena meja kami penuh. Tapi aku segera memberi kode dengannya. Tia duduk di samping Kak Gio, tak lama Kak Dewa duduk di samping Tia. Jadi posisinya Tia di hampir dengan dia ganteng sekaligus. Jangan di tanya gimana jantung Tia sekarang. Pasti sudah deg deg ser.
"Tak lama pesanan aku dan Tia tiba, begitupun dengan keempat cowok itu, sepertinya mereka lebih dulu memesan.
Aku berbincang-bincang dengan teman-teman Kak Radit, sesekali kami tertawa mendengar lelucon Kak Gio.
Sekilas, aku menatap meja Dava dan Rania. Dan bersamaan dengan itu juga mataku dan Dava bertemu tatap. Matanya tajam, ekspresinya tidak terbaca. Tapi aku langsung memutuskan kontak mataku lebih dulu saat Kak Radit menyentuh tanganku.
Aku menoleh pada Kak Radit, dia tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya.
Aku kembali menatap Dava. Ternyata dia masih menatapku. Kemudian dia memutuskan kontak matanya, dan berlalu pergi dari sana. Tak memperdulikan Rania yang sudah teriak-teriak memanggilnya.
"Dava kenapa, ya?" gumamku sangat pelan, sangat, sangat pelan sampai aku yakin tidak ada yang mendengar ucapanku.
Aku langsung menoleh pada Kak Radit, ternyata cowok itu lagi menatapku. Aku terkejut di buatnya.
"Kenapa?" tanyanya pelan.
Aku menggeleng cepat. "Enggak," jawabku dengan tersenyum.
Kak Radit gak dengar aku, kan?
***
*BERSAMBUNG*
Holla, hollaho...
Gimana kabar kalian? Liburan ke mana nih? Tapi sebaiknya diem di rumah aja ya..
Gimana nih sama part ini? Siapa yang emosi sama Sarah karena belum sadar juga sama perasaannya?
Jangan lupa vote dan komen ya, biar cepet up lagi.. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top