Pura-pura
Hari ini, aku lebih bersemangat datang ke sekolah, di ingat-ingat musuh bebuyutanku sudah mulai akrab denganku, jadi tidak ada alasan untukku bermalas-malasan.
Dava, mendengar cerita pemuda itu kemarin, membuat hatiku sedikit luluh. Bukan, lebih tepatnya bersimpatik, hanya sedikit.
Tiba-tiba sebuah motor berjalan cepat di sisiku. Dan ternyata itu adalah Dava, baru saja dibicarakan, orangnya sudah ada saja.
"Umurnya panjang."
Dava memarkirkan motornya, dia menoleh padaku, aku tersenyum pada Dava, tapi yang terjadi, dia malah mendelik padaku.
Kenapa?
Tidak lama dari itu Alvan datang menghampiri Dava, senyumnya langsung tercipta di bibir tipisnya. Dia melirik padaku lagi, begitupun Alvan.
"Minggir, badan lo tutupin jalan nih." Ini bukan Dava, tapi Alvan. Setelag berkata itu, Alvan tergelak sembari mencolek Dava, seakan memberi kode untuk memulai membullyku.
Dava hanya tersenyum simpul.
"Minggir, Ndut, jangan diri di tengah jalan."
Seketika aku tercengang. Bukan karena ucapannya yang panggil aku gendut. Itu sudah terlalu biasa bagiku, tapi intonasinya, sangat lembut. Bahkan Alvan pun ikut menoleh pada Dava, seakan mencari-cari kebenaran kalau itu benar Dava yang bicara.
"Tugas udah di kerjain belum?" Dengan bertanya Dava membawa Alvan pergi dari hadapanku.
Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah rasa yang aneh dari lubuk hatiku. Bahagia? Mungkin. Tapi rasanya hangat sekali. Sampai-sampai aku kesulitan menarik nafas.
"Sarah!" Itu Tia, dia baru tiba ternyata. "Lo ngapain berdiri di koridor? Tungguin gue, ya."
"Iya," jawabku asal.
"Tau aja gue belum dateng. Yuk, masuk kelas." Tia merangkulku dan membawa ke kelas.
***
Tett! Tett! Tett!
Bel tanda istirahat sudah berbunyi, aku dan Tia segera keluar kelas menyerbu kantin. Seperti biasa kantin terlihat penuh. Beberapa meja sudah terisi dengan kakak kelas yang memakai kostum olahraga, salah satunya Kak Radit. Wajahnya tampak merah karena baru saja terpapar panasnya matahari, keringat pun masih tersisa di dahinya, rambutnya yang basah, semakin menambah ketampanannya.
Sungguh, aku tidak bisa memalingkan wajahku darinya.
"Lo mau pesen apa?" tanya Tia padaku, tapi karena sebagian duniaku teralihkan dengan Kak Radit, aku sampai tidak menjawabnya.
"Ya elaah.. Ini anak, gue tanya malah bengong." Protes Tia.
"Eh, maaf, maaf. Kenapa?"
"Lo mau makan apa?"
"Samain aja."
"Gue pesen Batagor,Cireng, Mie ayam, sama jus alpuket, lo mau apa?"
Aku langsung menoleh terkejut pada Tia saat mendengar pesanna gadis ini. Astaga, kenapa dia pesan makanan sebanyak itu?
"Gue baso aja sama jus jeruk."
"Kalau gitu gak sama dong." Aku hanya menyengir pada Tia.
"Gue cari tempat duduk, ya." Tia mengangguk.
Aku pergi meninggalkan Tia, mencari tempat yang nyaman untuk kami menikmati makan siang. Sampai akhirnya mataku jatuh pada meja di sudut kantin. Ah.. Itu meja favoritku.
Aku segera melangkah ke arah sana, tapi sebelum aku benar-benar sampai, Kak Radit sudah duduk di sana, dia tidak sendiri. Tapi bersama Kak Dela yang merupakan kakak kelas terpopuler dan tercantik di sekolahan ini.
Langkahku langsung terhenti. Tiba-tiba saja aku merasakan udara di sekitarku memanas.
"Hobi lo diri di tengah jalan, ya." Aku menoleh dan menemukan Alvan dan Dava di sana.
"Maaf," ujarku, lalu menyingkir memberi mereka jalan. Alvan langsung menghampiri Kak Radit, sedangkan Dava masih berdiri di hadapanku.
"Tenang, mereka bukan pacaran kok, cuma temenan doang," kata Dava, setelah itu dia berlalu pergi menghampiri Alvan, Kak Radit, dan Kak Dela.
Aku mengerutkan dahiku, merasa tidak percaya dengan apa yang baru ke dengar. Apa Dava baru saja menenangkanku? Ini suatu hal yang langka.
"Lo kok masih di sini? Mau duduk di mana?" Tia menghampiriku dengan tray di tangannya.
Aku melihat sekeliling. "Di sana aja." Aku menunjuk sebuah meja yang baru saja di tinggalkan penghuninya.
***
Pernah merasakan belajar Matematika pada siang hari? Nah, saat ini, itu yang kurasakan. Di saat otak lelah untuk berpikir, mata sudah ingin terpejam, dan pulau mimpi sudah menunggu. Kelasku harus merasakan kepusingan yang luar biasa.
Rumus yang tertulis di papan tulis, bagaikan sebuah tulisan dongeng. Guru yang menerangkan di depan kelas pun seperti bernyanyi pengantar tidur. Hampir semua tidak bersemangat untuk belajar.
"Gila gue ngantuk banget," gumam Tia. Aku mengangguk membenarkan. "Gue tidur dulu, ya. Entar bangunin gue." Pesan Tia.
Tanpa menunggu jawabanku, Tia langsung menelungkupkan wajahnya ke meja. Bukan hanya Tia yang merasakan kantuk, aku pun begitu.
Aku pun ikut menidurkan kepalaku di meja, dengan posisi miring, mataku menangkap Dava yang sedang menulis sesuatu di bukunya. Pemuda itu lebih banyak diam akhir-akhir ini. Aku sampai kehilangan sosok jahilnya. Tapi aku bersyukur dengan itu, setidaknya Dava tidak mempermalukanku seperti biasanya.
Tanpa aku sadar, Dava kini telah memperhatikanku. Tapi tatapannya tidak sehangat saat di kantin. Tatapannya lebih dingin. Merasa tak sanggup untuk menatap Dava lebih lama lagi, aku memalingkan wajahku menghadap Tia.
***
Waktu pulang sekolah, adalah waktu yang paling di tunggu-tunggu bagi para anak sekolah. Hal itu bagaikan sebuah hadiah setelah otak kita terkuras habis karena berpikir keras.
Aku berjalan di koridor dengan membawa tong sampah. Pasti paham kan aku sedang apa? Ya, piket. Mendengarnya saja sudah membuat otot-ototku lemas. Tapi suka tidak suka harus kulakukan biar besok pagi aku tidak harus mengeluarkan setengah uang jajanku untuk membayar dendanya.
Jadi, di sinilah aku, membuang sampah di tempat sampah dekat parkiran. Jaraknya cukup jauh, aku pun butuh turun tangga karena letak kelasku berada di lantai dua.
Tiba-tiba langkahku terhenti, saat Kak Dela berdiri di hadapanku, dia tidak sendiri. Ada dua kacungnya yang juga berdiri di sampingnya. Dia tersenyum padaku. Sangat cantik, bahkan aku yang seorang perempuan pun suka melihatnya.
"Sarah, ya?" tanyanya ramah. Aku mengangguk.
"Iya, Kak."
"Boleh ngomong sebentar?"
Eh, seorang gadis paling cantik di sekolah ini mau.bicara denganku? Ada apa ini? Mungkinkah aku akan di masukan ke gengnya? Ya, itu tidak mungkin. Sangat mustahil.
"Boleh, Kak."
"Di sana aja ngobrolnya. Jangan di sini." Kak Dela menunjuk pada taman di pojok sekolah. Aku pun setuju.
Aku mengikutinya, tong sampah masih aku bawa, memangnya mau di taruh di mana? Di tengah lapang? Ya tidak mungkin.
Kak Dela berhenti, begitu pun dengan kedua temannya. Wajah ramahnya seketika menghilang. Terganti dengan wajah angkuh dan... Sinis, mungkin.
"Lo kenal sama Radit?"
Deg!
Kemana suara ramah nan lembutnya?
"Kenal, Kak," jawabku apa adanya.
"Kenal Dava juga?"
"Kenal, Kak. Dia teman sekelas ku."
Kulihat Kak Dela tersenyum sinis pada teman-temannya yang juga tersenyum sinis padanya. Apa maksudnya sih?
"Jadi lo lagi deketin keduanya? Maruk banget lo, ya, jadi cewek. Sadar body dong, lo tuh udah kayak galon."
Huh.. Menyesal aku ikut dengannya.
"Tapi siapa yang dekati mereka, Kak. Aku enggak-"
"Jangan pura-pura, emang gue gak tau lo pernah di anter pulang sama Radit, terus kemarin lo ngobrol dekat banget sama Dava. Lo ngaca deh! Nilai wajah lo, bandingin sama gue. Lo tuh gak ada apa-apanya sama gue. Ibaratnya lo itu comberan dan gue air gunung. Pokoknya gue gak mau tau, lo harus jauh-jauh dari mereka." Kak Dela hampir berbalik, tapi tidak jadi, sepertinya belum tuntas bicaranya.
"... Satu lagi, gara-gara lo, mereka berantem. Pokoknya cewek pembawa sial kayak lo, jangan dekat-dekat sama cowok ganteng kayak mereka. Paham!" Aku hanya bisa terdiam, mereka pun pergi meninggalkanku.
Ah ... Begini lagi, semakin lama aku terbiasa dengan hujatan dan hinaan orang terhadapku.
***
"Bersambung"
Ada apa ya sama Dava? Ada yang bisa tebak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top