Perhatian Dava?
Salah satu hal yang paling menyakitkan di dunia ini selain dapat Bullyan, dan juga harus menjauh dari seseorang yang kamu suka.
Itu yang kini aku rasakan, semenjak kak Dela melabrakku dengan kata-kata hinaannya. Hampir seminggu ini aku menjaga jarak dengan kak Radit.
Bukan hanya dengannya, tapi dengan Dava juga. Entahlah mereka sadar atau tidak. Toh, menurutku aku bukanlah sesuatu yang penting bagi mereka. Apa lagi untuk Dava.
Sikap Dava masih sama seperti dulu, jahil dan usil, tapi Dava semakin jarang menghinaku. Mungkinkah sudah insaf? Aku harap begitu.
Saat ini aku sedang berada di lapang, menonton pertandingan dari sekolahku dan sekolah lain. Aku bersama Tia.
Tia tidak henti-hentinya bersorak gaduh saat tim sekolah kami berhasil mencetak poin.
Aku tidak terlalu paham dengan basket, tapi sedikit menikmati karena kak Radit ikut bermain di sana.
Jujur saja aku rindu dengannya, tujuh hari ini tidak melihat wajahnya membuatku tidak bersemangat. Sebenarnya sesekali aku bertemu dengannya di saat jam istirahat, tapi kak Dela selalu mengintil bagaikan ekor.
Jadi, saat seperti inilah kesempatanku untuk melepas rindu pada kak Radit. Sudut bibirnya tertarik saat dia berhasil memasukan bola ke dalam ring untuk kesekian kalinya.
Kak Radit memang hebat.
Saat sedang fokus memperhatikan kak Radit, tiba-tiba kepalaku di lempar sesuatu oleh seseorang.
Takk!
"Aw!!" Aku menoleh ke belakang mencari orang yang sudah berulah padaku. Tapi aku sangat terkejut dan baru sadar kalau di belakangku sudah ada yang berdiri.
Dava dan antek-anteknya.
Pantas saja aku merasa teduh, ternyata Dava menghalau sinar matahari yang siang ini terasa panas.
"Apaan lo?" tanyanya dengan sinis.
"Apaan sih lo," ucapku lalu kembali menghadap ke depan.
Tapi jujur saja sebenarnya aku sedang berpikir. Kenapa Dava harus berdiri di belakangku? Apa dia enggak tau kalau aku benar-benar gak nyaman.
"Va, kantin, yuk, ah," ajak Alvan pada Dava.
"Lo duluan aja, gue masih mau liat Radit tanding," ujar Dava.
"Ya udah nanti Lo nyusul, ya." Setelah itu Alvan pergi bersama kedua temannya yang aku sendiri enggak tau siapa. Mungkin dari kelas lain.
Aku kembali fokus pada pertandingan kak Radit. Ya Tuhan, kak Radit benar-benar sempurna. Aku rasa waktu ibunya mengandung kak Radit, mengidam yang baik-baik.
Tiba-tiba saja Tia membuka suara,"Sar, kantin, yuk. Laper nih gue."
Sangat berat rasanya beranjak dari tempat ini, tapi tidak aku ungkit juga, cacing perutku sudah demo.
"Hm, yuk." Aku dan Tia segera berdiri dan meninggalkan lapangan.
Sesampai di kantin, aku segera memesan makanan yang benar-benar bisa menghilangkan rasa laparku.
"Gue cari meja ya, Ti." Tia mengangguk.
Aku segera pergi mencari meja kosong, tatapanku menyusuri sekitar, sampai mataku bertemu tatap dengan Dava. Cowok menyebalkan itu juga pergi ke kantin. Padahal pertandingan kak Radit belum selesai.
Ah, mungkin saja Alvan sudah menunggunya. Aku enggak mau ke geer'an dulu.
Aku segera duduk di meja yang kosong. Tak lama dari itu Tia datang dengan membawa makanan kami.
Aku segera mengambil porsiku, dan melahapnya dengan semangat 45.
Pakk!
"Lap mulut Lo, jangan kayak badak kalau makan." Aku terkejut, ternyata Dava yang menyimpan tempat tisu beserta isinya, yang memang tidak tersedia di mejaku.
Setelah mengatakannya, Dava pergi dengan santainya. Iyyuuhh... Menyebalkan sekali laki-laki itu.
"Dava kenapa sih?" tanya Tia.
Aku menoleh pada Tia, dan hanya menggeleng sebagai jawaban. Aku pun tidak tau Tia. Ada apa dengan Dava. Mungkin lagi kedatangan tamu bulanan.
***
Hari ini aku bisa pulang lebih cepat, maka dari itu aku dan Tia bermaksud untuk berkunjung ke toko buku. Siapa tau ada novel bagus dan murah.
"Sarah, gue perhatiin, Dava udah gak berulah lagi, ya, sama Lo."
"Apaan sih, Ti. Dia masih sama kok kayak dulu, nyatanya dia panggil aku Badak. Apa coba kalau gak berulah."
"Tapi Dava panggil Lo Badak, emang cara makan Lo berantakan. Udah kayak setahun gak kena nasi tau gak? Makanya dia kasih Lo tisu."
"Gak mungkin, Dava emang cuma malu-maluin gue aja." Aku mencoba mengelak ucapan Tia.
Walaupun sebenarnya aku berpikir yang sama. Di lapang pun begitu, dia berdiri di belakangku seakan sedang melindungiku dari sinar matahari.
"Eh, iya deh. Dava gak mungkin kasih perhatian buat Lo." Aku menoleh pada Tia dengan kerutan kecil di dahiku.
"Noh, bocahnya lagi kasih perhatian sama Mala."
Aku mengikuti arah pandang Tia. Dan benar saja, di parkiran motor mall ada Dava bersama Mala, mereka baru saja sampai. Terbukti dari Dava yang membantu Mala melepas helmnya.
"Mereka pacaran, ya?" tanya Tia.
Aku hanya terdiam, enggan menjawab. Aku hanya berpikir. Sikap Dava sangat lembut pada Mala, dan itu terbanting terbalik bila dia denganku.
Dava akan kasar, bahkan bicara sinis. Sedetik kemudian, aku bisa merasakan nyeri di hatiku. Apa menjadi gadis gendut sepertiku begitu hina?
***
*Bersambung*
Siapa nih yang pernah di hina karena fisiknya gendut, kurus, pendek, item kecil, atau dekil?
Oke, kalau gitu kita sama.
Kadang kekurangan kita itu selalu di olok-olokan dengan orang sok maha sempurna. Padahal kita tau dengan jelas, kesempurnaan itu hanya milik yang kuasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top