Menjauh

Apa yang kamu rasakan saat musuh bebuyutanmu tidak lagi membuat ulah, malah dia menghindar terus menerus.

Bukankah hidupmu akan berubah menyenangkan? Hari-harimu akan berjalan lancar tanpa mendengar suara musuh bebuyutanmu.

Seharusnya begitu, seharusnya memang begitu yang aku rasakan saat Dava tak lagi mem-bullyku. Aku seharusnya bisa hidup tenang karena Dava yang seperti menghindar dan menjauh dariku.

Tapi kini yang aku rasakan tidaklah begitu. Sebaliknya aku lagi-lagi merasa kehilangan. Mungkin karena terbiasa dengan segala Bullyan lelaki songong itu. Tanpa aku sadari aku merindukan interaksi yang terjalin antara kita berdua.

Sudah hampir tujuh hari Dava seakan menjauhiku. Dava selalu menghindar, seakan tidak mau menghirup oksigen yang sama denganku. Hanya di saat jam pelajaran saja, kami bisa satu ruangan, bila jam pelajaran berakhir, Dava langsung keluar kelas tanpa menyapaku atau hanya sekedar melirikku. Aku bagaikan butiran debu, yang ada tapi tak di anggap.

Tidak hanya itu, selama tujuh hari ini pun aku selalu datang ke rumahnya. Bertemu kak Radit, seperti biasanya. Kali ini bukan Dava saja yang memintaku untuk bersama kak Radit. Tapi ibu tiri Dava pun begitu. Tapi meskipun aku datang ke rumah Dava. Aku tida pernah bertemu dengan lelaki itu. Aku tidak tau di mana, ke mana dan sedang apa.

Apa aku merindukannya? Ya.
Apa aku kehilangannya? Ya, aku merasa begitu.
Kali ini aku tidak mau munafik. Karena semakin lama dia menjauh, aku semakin mencari-cari keberadaannya.

Pertemuan terakhir kami saat Dava mengantarku pulang. Di mana ucapan terakhirnya masih terngiang di pikiranku bahkan di telingaku, seakan Dava baru saja mengucapkannya.

"Gue harap Lo bisa sama-sama dengan Kak Radit," Dava menjeda ucapannya, "walaupun mungkin ada yang tersakiti," sambung Dava lagi.

Mungkinkah Dava yang tersakiti? Apa  dia sebenarnya sakit karena perhatian kak Radit lebih kepadaku dan bukan dengannya? Atau karena dia sakit karena dia menyukaiku?

Aku kurang yakin dengan yang terakhir. Aku tau Dava tidak mungkin suka dengan gadis gendut sepertiku. Tapi apa harus aku di jauhkan dengannya? Tidak bisakah kita seperti dulu lagi? Saling mengumpat, dan saling menghina, tapi kami tetap dekat.

Aku sangat merindukan Dava. Sangat merindukan pemuda songong itu.

***

Aku tau dari tadi Tia memperhatikanku. Tapi rasanya malas kalau harus meliriknya walau sebentar saja. Mood-ku benar-benar hancur.

"Ke kantin, yuk?" Ini istirahat kedua. Biasanya cacing di perutku sudah berdemo ria walaupun sebelumnya sudah di isi saat jam istirahat pertama.

Tapi sejak istirahat pertama, aku belum mengisi perutku. Alasannya karena belum lapar. Akhir-akhir ini aku kurang nafsu makan. Kenapa? Entahlah. Tanya Tia saja, mungkin dia tau.

"Sar, lo dari tadi belum makan," kata Tia lagi sembari menggoyangkan tanganku.

"Gue gak nafsu, Ti," lirihku.

"Lo kenapa sih? Gara-gara di cuekin sama Dava?"

Eh?? Tia kok punya pikiran kayak gitu? Emang benar kayak gitu ya? Bahkan aku saja tidak sadar.

Aku menoleh pada Tia cepat. Tia cengengesan, aku langsung memalingkan wajahku kembali, jadi malu sama Tia.

"Bener ternyata kata gue. Lo merasa kehilangan Dava, kan?"

"Tia, ih.. mulut lo lemes banget."

Tia malah tergelak. "Bego banget gue punya temen, itu tandanya lo peduli sama Dava. Ngaku aja, deh, lo suka ya sama Dava?"

Astaghfirullah... Ini bocah...

"Volume suara lo gak di kecilin dikit apa, Ti?"

"Lagian, kesel gue lama-lama liat lo, udah kayak ikan kekurangan air tau gak, dan itu cuma gara-gara Dava gak sapa-sapa Lo, kan?"

"Eng-enggak, apaan sih lo? Gue bersyukur Dava gak gangguin gue lagi." Aku malah gelagapan.

"Iya deh, gue tau, Lo bohong gue bener. Eh... Salah ya?" Lagi lagi Tia cengengesan.

"Gue cuma mau fokus sama Kak Radit doang," kataku.

"Lo gak suka Dava?" Aku menggeleng kuat.

"Enggak."

"Ehem."

Dava masuk dengan membawa bola basket. Aku tersentak di tempatku.

Dava masih sama, bersikap tak acuh padaku, seakan-akan aku adalah orang lain baginya. Eh, iya, kami orang lain, tapi setidaknya kami pernah dekat.

"Ti, chatting gue kalau udah ada guru." Tia melongo kaget di tempatnya, lalu hanya mengangguk. Sedangkan Dava berlalu keluar kelas sebelum dia menyunggingkan senyum  kecil ke arah Tia.

Sebentar! Kenapa hatiku panas sekali mendengar Dava bicara dengan Tia?? Ya ampun, senyum Dava!!! Kenapa terlihat sangat manis dan ganteng....!!!

Sejak kapan cowok itu punya senyum yang bisa mengalihkan duniaku??

"Sar, kalau lo gak suka sama Dava, Dava buat gue aja ya?"

Aku melebarkan mataku. Kenapa Tia bicara begitu sih?? Tia menoleh padaku. Aku mendelik sinis.

"Buruan, katanya mau ke kantin," kataku mengalihkan pertanyaan Tia. Aku berlalu pergi meninggalkan Tia yang masih teriak-teriak memanggilku.

Panas sekali cuaca hari ini.

***

Di kantin aku melihat Dava dengan Rania. Rania itu mantan Dava, kata orang begitu.

Tapi katanya Dava yang memutuskan hubungan secara sepihak karena Rania ketahuan selingkuh dengan Kakak kelas.

Dan melihat kedekatan mereka sekarang, mungkinkah kalau mereka balikan lagi??

Ah... Cuaca semakin panas saja.

"Sar, pantesan aja Dava cuekin Lo, dia balikan lagi kayaknya sama Rania."

"Bodo amat, gue gak jadi ke kantin ah. Penuh."

"Lah... Penuh gimana sih? Udah jelas-jelas banyak meja kosong." Aku mengabaikan Tia yang nyerocos tanpa henti.

Efek cuaca panas, jadinya begini.

***

*Bersambung*

Kenapa ya Sarah? 😅😅😅








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top