Maafnya Dava?

Kak Radit membawa ku ke taman di mana letaknya berada di samping ruang serba guna. Aku menunduk, ya hanya menunduk, selain malu aku juga tidak mau melihat kak Radit. Dia akan melihat wajah meronaku karena rasa senang karena sudah di tuntun oleh kak Radit.

"Maafin Dava, ya." Kata-kata itulah yang pertama keluar dari mulutnya.

Ya, pasti kata-kata itulah, emangnya mau kata-kata apa lagi? Ungkapan cinta? Ya ampun, bahkan untuk memikirkannya aku belum berani.

"Iya, gak apa-apa, Kak." Sebenarnya sih aku mau memaki, tapi gak adil rasanya kalau harus kak Radit yang menerima makian ku itu.

Kak Radit tersenyum padaku. "Kakak percaya, kamu orangnya baik." Kata-kata itu seakan membuatku terhipnotis, aku hanya melongo memperhatikan kak Radit yang juga menatapku, jangan lupakan tangan kami yang belum lepas.

"Kalau gitu, Kakak ke kelas dulu, ya." Aku hanya mengangguk, dan tautan tangan kami terlepas. Aish.. Rasanya aku gak rela. Kak Radit meninggalkanku, aku hanya bisa menatapnya punggung lebarnya.

"Oh, My first love."

***

3 hari berlalu, setelah kejadian di mana Dava mempermalukan ku. Aku jarang melihat Dava berkumpul lagi dengan teman-temannya, sikapnya pun tidak seceria dan sebrengsek biasanya, dia lebih banyak diam. Mungkin karena teman-teman kelas juga menyayangkan akan sikapnya.

Tidak hanya Dava, setelah kejadian itu, Mala pun menjadi korbannya, banyak orang yang kurang simpatik dengannya, terlebih lagi dengan Tia, saat mengetahui berita itu, Tia langsung menegur Mala. Padahal aku sendiri pun tidak begitu menyalahkan Mala.

Sudah dua hari, Mala tidak masuk, keterangannya sakit, tapi Tia baru saja bilang padaku, kalau kemarin baru melihat Mala di bioskop. Kalau boleh jujur, aku enggak peduli dengan masalah ini, selama hidupku enggak terusik. Lagi pula baik buruknya, Mala tetap temanku.

Setelah kejadian itu pun, aku lebih banyak di kenal dengan para kakak kelas dan juga teman luar kelas. Mungkinkah ini di sebut hikmah di balik gunjingan? Tapi sebaiknya aku enggak perlu di kenal sampai segitunya. Toh, mereka hanya mengenalmu karena hinaan yang Dava kasih sama aku.

Kak Radit pun sedikit menjauh dariku akhir-akhir ini, entah kenapa. Aku juga bingung. Cuma pikiranku selalu positif, dan berkata. "Kak Radit mau ujian, jadi dia lagi fokus belajar." itulah kata-kata motivasi ku untuk terus berpikir positif tentang kak Radit.

"Sar, gue mau ke kantin dulu, lo mau ikut gak?" tanya Tia, saat ini jam istirahat. Aku enggan keluar kelas, karena selalu banyak mata yang menatapku. Tatapannya bukan kagum ya, ingat! Tatapan iba atau kadang mengejek. Itulah yang aku tangkap.

"Enggak deh, Ti. Gue males." Tia hanya menyedikan bahunya tak acuh.

"Oke lah, gue ke kantin dulu." Tia berlalu pergi.

Semabri menunggu Tia kembali, aku memilih memainkan ponselku, membuka sosial media. Enggak ada yang menarik, akhirnya aku memilih membuka game, setidaknya sedikit menghibur.

Takk!

Aku terkejut, sebuah coklat sudah berada di hadapanku. Dan siapa yang menyimpannya? Bukan Tia atau kak Radit, tapi Dava. Yups D-A-V-A. Cowok nyebelin yang bisanya menghina aku. Dia baru aja menyimpan coklat di hadapanku.

Coklatnya baru, bukan bekas apa lagi bungkusannya doang. Dan tentu saja aku terkejut di buatnya. Bertanya-tanya dalam hati, apa ini mimpi atau hanya halusinasiku aja.

Aku menengok ke belakang, ternyata Dava masih di sana, dia baru saja kembali dari luar, mungkin dari kantin. Dan sekarang dia lagi merebahkan kepalanya di meja dengan posisi membelakangiku.

Aku bingung harus ngomong apa sama dia, mau menyapanya, tapi takut salah, mau bertanya juga takut ribut. Ujung-ujungnya aku mengambil coklat itu dan mengembalikannya, aku letakan di samping Dava. Cari aman.

Setelah itu, aku kembali duduk, tidak lama Tia datang. Dia membawa banyak makanan. "Buat lo," kata Tia.

"Makasih," ucapku.

Aku menikmati makanan yang Tia belikan untukku, tapi jujur saja, aku masih kepikiran dengan coklat yang Dava beri, mungkinkah itu tanda minta maaf dia sama aku?

****

Waktu pulang sekolah telah tiba, Tia sudah lebih dulu keluar kelas karena ada pertemuan eskul pramuka bersama pembina yang lain, sedangkan aku harus berkemas, dan piket dulu.

Sungguh, aku menyesali Mala yang tidak hadir hari ini, karena aku harus piket bertiga saja, dan salah satunya dengan Dava. Aku hanya bisa pasrah kalau sudah begini, karena pada akhirnya, akulah yang membersihkan semuanya.

Aku mulai menyapu ruang kelas, sedangkan temanku Dea, yang satu piket denganku, hanya menghapus papan tulis dan pulang. Ah.. Sudah biasa. Kalau ada Mala pasti aku berdua dengannya.

Kalau Dava, dari awal kami sekolah dia tidak pernah mau piket, tau sendiri, kan? Dava lebih memilih berantem dari pada harus piket. 

Tapi tak lama seseorang masuk saat aku sedang mengangakti kursi ke atas meja. Ternyata Dava. Dia langsung menyimpan tasnya dan mengangkati kursi juga. Cukup bingung, tapi aku malas kalau harus bertanya.

Setelah itu, aku mengepel lantai, Dava masih di sana, dia sedang membersihkan kaca. Aku mencoba mengabaikannya, enggan bertanya, walau pun mulut ini gatel banget rasanya.

Setelah mengepel, aku langsung membersihkan pel-an di toilet. Rasanya ingin segera pulang, malas berlama-lama di kelas kalau bersama dengan Dava.

Aku langsung kembali ke kelas, berniat menyimpan pel-an dan ember. Ku lihat Dava masih di sana, kaca-kaca sudah selesai ia bersihkan, dan dia masih berdiri di depan kelas, dengan tas yang sudah di gendongnya.

Lagi, lagi aku mencoba mengabaikannya, seoalh-olah tidak ada orang di sana, aku melewatinya begitu saja. Tapi yang terjadi, Dava kembali masuk ke dalam kelas. Dan dia menghampiriku.

"Kenapa di balikin lagi?" tanya Dava. Sontak aku terkejut di buatnya. Aku menoleh ternyata Dava sudah ada di belakangku.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Coklatnya." Aku hanya terdiam, bingung mau bicara apa. "Emang gak suka coklat?" tanyanya lagi.

Aduh, aku merasa aneh sama Dava yang tiba-tiba baik seperti ini, jadi risi. Aku masih diam.

"Terus sukanya apa?" tanyanya.

Tolong jangan gini dong Dava, aku malah gak nyaman. Rasanya aku mau kabur aja dari sini. "Kamu sariawan? Atau sakit gigi? Kenapa aku tanya gak di jawab?"

Wait, wait? Aku?

Tolong ambilkan Cotton buds buatku, ini ada yang salah sama pendengaran ku atau emang Dava bicara 'aku, kamu' sih?

"Sarah, jawab," katanya sedikit memelas.

"Lo kenapa sih?" Malah kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Ya ampun, itu karena aku bingung mau ngomong apa, sampai yang ada di pikiran jadi keluar.

"Aku mau minta maaf sama kamu."

Serius, aku mau nanya, ini beneran Dava gak sih? Jangan-jangan kembaran Dava, atau kak Radit yang pakai topeng Dava. Ya kali aja kan, siapa yang tau.

"Maaf?" lirihku,

"Aku udah keterlaluan sama kamu kemarin. Maaf ya Sarah. Aku cuma gak mau kamu deket-deket sama kak Radit."

Tolong sadarkan aku dari mimpi aneh ini.

***

*Bersambung*


Ada yang paham sama kata-kata terakhir Dava gak nih?

Ayo, boleh di tebak-tebak. .





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top