Kritis!
"Makasih, Sar, gue sayang lo." Seketika air mataku luruh. Alasannya? Aku tidak tau.
Dava melepas pelukan kami, dia menggenggam tanganku erat.
"Gue sayang sama Lo, Sar. Sayang," katanya lagi, yang membuatku terpaksa menatapnya lekat. Di matanya, aku tidak menemukan kebohongan. Dia mengecup tanganku lembut.
Ini pertama kalinya aku di perlakukan semanis ini sama cowok. Apa lagi cowoknya Dava.
Dan kata-katanya, kenapa mampu membuatku berbunga-bunga. Seakan aku ingin waktu berhenti saat ini.
"Dava gue-"
"Lo gak perlu jawab, Sar. Karena gue gak minta jawaban Lo, gue cuma Lo tau, kalau gue itu sayang sama Lo, gue cinta sama Lo."
Deg!
Tuhan, ada apa ini? Aku merasa sangat bahagia saat ini.
***
Sudah hampir lima hari, aku bolak balik ke rumah sakit untuk menjenguk Kak Radit. Cowok itu belum juga sadarkan diri. Dia koma.
Selama itu juga Dava tidak pernah masuk sekolah. Setiap hari dia menunggu Kak Radit, dia bermalam di sana meskipun harus menunggu di kursi tunggu.
Kadang Dava melupakan mengisi perutnya, dia lebih suka menyendiri dan meratapi kesalahannya. Aku kasian dengan Dava. Tante Rani begitu keterlaluan dengannya. Tante Rani membuat Dava di selimuti dengan rasa bersalah beberapa hari ini.
Akhirnya, aku membawa makanan untuk Dava. Cowok itu pasti belum makan.
Dan benar saja. Saat aku baru sampai, aku melihat Dava menangis dengan raut wajah yang khawatir. Beberapa dokter dan suster yang menangani Kak Radit, melewatiku dengan terburu-buru, mereka masuk ke dalam kamar Kak Radit. Dava semakin cemas saja. Akhirnya, Aku menghampiri Dava.
"Va," panggilku dengan menepuk pundaknya pelan. Dava menoleh. Dia langsung saja memelukku.
"Gue takut, Sar, gue takut," lirihnya.
"Kenapa?"
"Kak Radit kritis. Gue takut." Dava melepas pelukan kami, pipinya sudah basah dengan air mata, kantung matanya juga hitam, menandakan dia kurang tidur.
"Dava, Lo harus tenang."
"Sar, gue mohon sama Lo, disaat Kak Radit sadar nanti, dan dia sembuh, gue mohon, Sar, Lo mau ya jadi pacar dia. Lo harus mau ada di samping dia. Gue mohon sama lo, Sar." Dava berkata dengan menggenggam tanganku erat.
Kalian tau apa yang aku rasakan saat ini? Sakit. Sangat sakit. Dadaku sesak, mendengar setiap ucapan Dava.
Apa dia tidak memikirkan hatinya? Tidak memikirkan perasaannya? Dia bilang sayang dan cinta waktu itu. Tapi apa arti dari perkataannya saat ini?
Apa Dava akan mengalah lagi? Mengorbankan perasaannya lagi?
Lalu bagaimana denganku?
Separuh hatiku telah di rebut olehnya.
Ya, Dava. Kali ini aku paham dengan perasaanku terhadap Dava. Perasaan yang berbeda dengan rasa yang aku miliki untuk Kak Radit.
Mengagumi dan cinta itu terasa sama, tapi bila kita rasakan lebih dalam, itu akan berbeda. Sangat berbeda. Dan rasaku pada Dava berbeda dengan rasaku untuk Kak Radit.
Selama ini aku kira, aku mencintai Kak Radit. Tapi pikiranku salah, rasa itu hanya rasa mengagumi. Kagum karena kebaikan Kak Radit, kagum karena kepintaran Kak Radit, kagum karena sifat Kak Radit yang dewasa.
Aku akui, aku salah, tapi sebuah rasa tidak bisa di paksa, kan?
"Sar, gue mohon..."
Aku melepas genggaman kami. Dava bingung dengan tindakanku.
"Dava, Lo mau mengalah lagi?" Dava menatapku, kemudian mengangguk.
"Apa pun, yang penting Kak Radit bahagia. Lo juga cinta, kan, sama Abang gue?"
Aku menggeleng pelan. "Enggak, Lo salah."
"Maksudnya? Lo cuma mempermainkan Kak Radit?"
"Dava... Gue sukanya sama Lo," cicitku.
Dava menegakkan tubuhnya, dia menatapku tajam, lalu berjalan mundur.
Dava menyugar rambutnya, lalu tertawa hambar. "Lo gampang baper, Sarah," katanya.
Aku terdiam di tempatku. Menatap Dava. "Waktu itu gue cuma bercanda doang, gue gak suka sama Lo. Lo itu gendut, jelek, pendek, Lo bukan tipe gue. Lo jangan terlalu percaya diri, gue gak pernah ada rasa sama Lo." Dava kembali tergelak.
Tidak! Aku tidak percaya dengan kata-kata Dava, aku tau bagaimana perasaannya. Dava sedang berbohong
Aku tersenyum lembut, mataku sudah berkaca-kaca. Bagaimana pun kata-kata Dava cukup menyakitkan bagiku.
"Gue tau Lo bohong, Dava."
"Enggak, gue serius."
"Oke," jeda, "makasih untuk kejujuran Lo, tapi maaf, Dava, untuk kali ini, gue gak mau terlibat sama masalah lo dan Kak Radit." Aku berlalu pergi dari pandangan Dava.
Hatiku sakit. Rasa sakit ini bukan hanya karena kata-kata Dava. Tapi yang lebih menyakitkan adalah, Dava harus membohongi semua orang termasuk hatinya.
***
Keesokan harinya.
Aku tidak lagi datang ke rumah sakit untuk menjenguk Kak Radit. Aku juga tidak sekolah. Saat ini aku hanya ingin di rumah, mengurung diriku, dan menjauh dari hal-hal yang menyangkut Kak Radit dan Dava.
Sengaja aku matikan ponsel. Aku tidak mau ada yang mengabariku. Bertanya keberadaanku, atau bertanya alasan aku tidak masuk.
Aku menatap wajahku di cermin. Astaga mataku yang sembab, sangat tidak enak di pandang.
"Sarah!" Panggilan itu membuatku beralih ke pintu kamar, di sana ada Mamah.
"Sar, ada temen kamu tuh,"
"Siapa?"
"Gak tau, temuin dulu ya."
"Tapi, Mah-"
Mamah berlalu gitu aja, tanpa kasih penjelasan yang detail tentang tamu tak di undang itu.
Aku berjalan lunglai ke lantai bawah. Di ruang tamu, aku melihat seorang yang tidak asing lagi.
Menghela nafas dalam-dalam. Aku melangkah menghampiri Dava. Cowok itu ada di sana. Mau apa sih?
"Ehem." Dava langsung menoleh padaku. Seketika dia berdiri.
"Sar-"
"Mau apa?"
"Gu-gue, mau minta maaf sama Lo,"
Dava menatapku penuh harap. Sedangkan aku? Aku bingung harus menjawab apa. Sedangkan kata-kata Dava masih terngiang dalam pikiranku.
"Lo pulang aja deh," kataku akhirnya setelah setengah jam mendiamkan Dava.
Dava menatapku tidak percaya. "Lo gak maafin gue?"
"Gue butuh sendiri." Setelah itu, aku pergi kembali ke kamarku, meninggalkan Dava sendiri di ruang utama.
***
*Bersambung*
Kira-kira Sarah mau gak ya maafin Dava?
Duh... Sebentar lagi nih.
Sarah jadinya sama siapa ya? Kalian dukung Sarah sama siapa nih?
Sarah - Dava
Sarah - Radit
Atau
Sarah gak jadi sama siapa-siapa?
Komen ya. Jangan lupa vote-nya.:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top