Kedekatan Sarah dan Radit
Ini hari Minggu, dan aku sudah berjanji pada kak Radit untuk menemaninya. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya keinginanku. Davalah yang lebih dominan menyuruhku.
Entahlah, dengan mudahnya aku pun hanya menurut saja. Padahal aku setengah hati melakukannya.
Setelah bersiap, aku hendak memesan ojek online. Tapi niatku terurungkan kala Mamah mengetuk kamarku.
"Sar, ada yang cariin tuh," kata Mamah.
Aku mengerut kecil. Perasaan aku enggak membuat janji dengan siapa pun.
"Cepet kasian dia nungguin."
"Siapa?" tanyaku.
"Liat aja dulu, ganteng anaknya."
"Cowok?" tanyaku
"Sejak kapan cewek ganteng?"
Aku menyengir lebar, benar juga. Aku bergegas keluar kamar. Tak lama seseorang yang tidak asing bagiku duduk di sofa ruang tamu.
"Dava?!" seruku.
Dava menoleh dengan tersenyum lebar. "Hai, Sar."
"Lo ngapain di sini?" tanyaku.
"Jemput Lo." Dava menyerahkan helm berwarna merah muda padaku.
"Bentar, gue ambil tas dulu." Aku segera kembali ke kamar mengambil tas, lalu pamit pada Mamah.
Setelahnya, aku kembali ke Dava dan memakai helm. Kami pun meninggalkan pekarangan rumahku.
Di perjalanan tidak ada obrolan di antara kami, kami hanya diam dan fokus pada pikiran masing-masing.
Hingga tidak terasa, kami telah sampai. Aku segera turun, dan mengembalikan helm.
"Cepet," kataku.
"Lo duluan aja, gue mau masukin motor ke garasi dulu." Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam.
Ternyata tidak perlu repot-repot aku menunggu kak Radit, karena ternyata dia sudah ada di ruang tamu, mungkinkah sedang menungguku?
Kak Radit tersenyum simpul padaku, aku membalas senyumannya.
"Kakak lagi apa?" tanyaku hanya sekedar basa basi, karena sebenarnya aku merasakan suasana yang canggung.
"Tunggu kamu," kata Kak Radit. Aku terhenyak. Jadi pikiranku benar.
"Di jemput Dava, ya?" Aku hanya mengangguk dengan senyum kecil. "Andai aja kalau Kakak bisa jemput kamu, mungkin gak perlu sama Dava. Pasti kamu merasa canggung sama Dava, ya?"
Eh...
"Enggak kok, Kak. Aku biasa aja."
"Maaf, ya. Kakak repotin kamu."
Aku mendengar nada frustasi dari suara Kak Radit. Aku langsung menghampiri Kak Radit, dan berlutut di hadapannya.
"Sedikit pun aku merasa gak di repotin sama Kakak."
"Besok aku sekolah. Kita bareng, ya?"
Aku hanya mengerutkan dahiku. "Emang udah gak papa?"
Kak Radit mengangguk dengan tersenyum lembut. "Aku baik-baik aja selama ada kamu di dekat aku."
Aku bisa merasakan wajahku memanas. Mungkin sekarang sudah merona. Tapi aku lagi merasakan detak jantungku yang bertalu cepat. Beda jika bersama Dava. Ini kenapa?
***
Seharian ini, aku bersama Kak Radit, mengajak Kak Radit jalan-jalan, mengelilingi kota. Kami tidak berdua, ada Dava yang juga ikut bersama kami.
Seperti sekarang contohnya. Kami sedang berjalan-jalan di taman kota, cuaca cukup cerah, dan tidak terlalu panas, karena hari sudah sore.
Aku dan Kak Radit berbincang-bincang, namun tidak dengan Dava. Lelaki itu lebih banyak diamnya, dan jawab seperlunya saat Kak Radit bertanya.
"Jadi, kalau udah lulus kamu mau lanjut ke mana?"
"Em..." Aku terdiam sesaat, "belum tau, lagi juga masih lama, kan? Kalau Kakak mau ke mana-"
"Sar, tolong beli ice crem dong, gue pengen yang dingin-dingin," potong Dava cepat. Aku tau tujuan Dava, dia ingin mengalihkan ucapanku yang dapat menyinggung Kak Radit, atau membuatnya kembali sedih.
Aku yang gelagapan, langsung mengangguk. "I-iya. Kak, aku beli ice crem dulu, ya." Aku bergegas pergi meninggalkan Dava dan Kak Radit.
Sungguh, aku sangat merutuki ucapanku barusan. Bagaimana kalau Kak Radit sedih, dan berdampak pada kondisinya. Padahal aku tau dia sudah mulai membaik, walaupun belum maksimal.
"Pak, tiga, ya," kataku pada bapak penjual ice crem.
"Kenapa pake ngomong gituan sih?" Aku menoleh cepat, ternyata Dava sudah berdiri di sampingku.
"Lo kenapa ada di sini? Kak Radit mana?" tanyaku celingak-celinguk mencari sosok Kak Radit.
"Di sana, dia yang suruh gue ke sini buat bantu lo." Aku hanya mengangguk.
"Maaf, Dava," cicitku.
Dava menghela nafas panjang. "Lain kali Lo harus inget. Jangan sampe ucapan Lo bikin Kak Radit sedih."
"Iya, iya, maaf."
"Ini, Neng." Dava langsung mengambil alih dua ice crem. Sedangkan aku mengambil yang jatahku. Setelah Dava membayarnya, kami pun kembali pada Kak Radit.
"Inget, ya. Lo harus jaga ucapan Lo."
"Iya, Dava," sahutku penuh penekanan.
Kak Radit tersenyum melihat kami tiba. "Dava gak marah-marah sama kamu, kan, Sar?"
Aku tergelak kecil. "Enggaklah, Kak," jawab Dava dengan mencebikkan bibirnya.
"Kalau Dava macem-macem lagi, kamu ngadu aja sama Kakak. Biar Dava-nya Kakak Marahin."
"Siap, Kak." kataku dengan mengangkat tangan hormat.
"Tau deh, yang bucin," cibir Dava. Kak Radit tergelak sedangkan aku menunduk malu.
***
Kami kembali pulang. Karena ibu tiri Dava sudah menghubungi berkali-kali. Takut Kak Radit kelelahan dan berakhir fatal pada kondisinya.
Kak Radit langsung di bawa ke kamarnya untuk istirahat. Sedangkan aku hendak pulang.
"Gue anter," kata Dava. Aku hanya mengangguk. Selang beberapa waktu, kami sudah berada di dalam mobil menuju rumahku.
Cuaca benar-benar tidak bisa di tebak, tadi cerah dan sekarang malah turun hujan di sertai petir yang menyambar.
"Makasih, ya." Aku menoleh pada Dava. Lelaki itu sedang menatap jalan. Tak lama dia menepikan mobilnya.
"Kenapa berhenti?"
"Makasih udah mau bantu gue," kata Dia lagi.
Aku termangu namun sesaat kemudian mengangguk. "Sama-sama," jawabku.
"Gue gak nyangka Lo berpengaruh besar buat Abang gue." Dava kini beralih padaku sepenuhnya.
"Pasti Kak Radit bahagia bisa dekat sama orang yang dia sayang," sambung Dava, aku hanya terdiam.
"Gue harap Lo bisa sama-sama dengan Kak Radit," Dava menjeda ucapannya, "walaupun mungkin ada yang tersakiti," sambung Dava lagi.
"Maksudnya?" Dava hanya tersenyum, lalu kembali melajukan mobilnya. Sedangkan aku masih memikirkan ucapan Dava tadi.
***
*Bersambung*
Dava cuma bisa kasih kode, tapi gak ngomong jujur. Sedih ya kalau harus pendam perasaan karena demi orang lain.
😢😢
Siapa yang pernah kayak gini nih??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top