Kak Radit Marah

Pelajaran hari ini sangat membosankan, aku sampai mengantuk mendengar pak Ade menjelaskan rumus-rumus fisika tadi. Untung saja hal itu tidak bertahan lama, karena aku yakin rambutku akan segera rontok kalau harus menatap angka-angak itu lebih lama.

Jam istirahat pun telah tiba, aku dan Mala segera pergi ke kantin, seperti biasa kantin begitu ramai, sampai aku kesulitan untuk mencapai stand bi Ani, penjual mie ayam yang biasa aku pesan.

Setelah sulitnya aku melewati lautan manusia itu dan memesannya, aku dan Mala segera mencari tempat, tapi sayangnya, di saat seperti ini mencari meja kosong paling sulit. Sekalinya ada hanya satu kursi yang kosong.

"Mala, penuh," ujarku berbisik pada Mala.

"Eh, ada yang kosong tuh." tunjuk Mala. Aku ikut arah pandang Mala, dan sedetik kemudian aku mendengus.

Pasalnya, di meja itu enggak benar-benar kosong, ada Alvan dan kawan-kawannya, pasti tau lah, ya, siapa kawan si jongos devil itu. Yups, betul banget, ada si Dava. Ah, lebih baik aku menahan lapar dari pada harus makan satu meja sama dia.

"Mala, kalau kamu mau makan di situ, Silakan aja, tapi aku makannya di stand bi Ani aja ya." Aku gak mau liat Dava. Ucapan Dava kemarin masih terngiang di kepalaku.

Sontak Mala merenung. "Kok gitu sih, Sar? Aku gak bisa gabung sama anak cowok kalau gak ada anak ceweknya."

Huh. kalau bukan teman, mungkin aku sangat keberatan banget, tapi kalau di ingat lagi, Mala itu udah baik sama aku, jadi baiklah, mau gak mau, suka gak suka aku pun menurut aja, walau pun aku harus siapin kuping.

"Ya udah." Mala tersenyum lebar, dia langsung menarik tanganku.

"Boleh ikut duduk di sini? Mejanya pada penuh," kata Mala. Dava dan Alvin begitu antusis saat mendengar Mala bicara.

Dengan cepat, Dava menggeser kursi untuk mempersilakan Mala duduk. Paham banget deh, orang cantik selalu menjadi ratu di segala tempat. Mala segera duduk. Sedangkan aku masih berdiri menunggu salah satu dari mereka mempersilakanku duduk. Ingat ya, mempersilakan, bukannya minta di geserin Kursi. Aku masih sempurna ya, masih bisa melakukan segalanya sendiri selama aku mampu.

"Mala, lo kok ke kantin bawa beras sendiri?" kata Dava.

Aku sudah tau kemana tujuannya. Entah sok polos, atau memang polos, Mala malah termangu. "Enggak kok," jawabnya.

"Lah itu yang diri, itu kan karung beras." Tunjuk Dava padaku. Benar kan kata aku apa.

Sontak Alvan, Dava dan juga .. Mala, mereka tergelak. Sebenarnya, lucunya itu dari mananya sih? Kok aku gak mau ketawa ya dengarnya?

Mala memukul lengan Dava pelan. "Gak boleh gitu, Dava. Sarah itu teman aku tau," kata Mala, tapi masih terlihat sisa tawa di wajahnya.

Aku harus marah atau enggak kalau Mala kayak gini? Pengennya sih marah, tapi sayangnya aku paling gak bisa marah sama teman. Bukannya gak bisa, tapi lebih ke canggung aja nanti pas baikan nya.

"Mala aku ke kelas dulu, ya." Aku lebih baik menghindar kalau kayak gini.

Tapi sayangnya bi Ani udah datang dengan membawa.dua mangkuk mie ayam dam jus jeruk pesanan aku sama Mala.

"Eh, mau kemana, Sarah? Itu makanannya udah dateng."

Kalau udah gini gimana dong? Kalau aku pergi, sayang mie ayamnya udah di bayar, lagi juga aku laper banget, aroma mie ayam buatan bi Ani gak bisa di tolak, tapi kalau enggak pergi, malu sama si iblis juga jongos iblis. Aku jadi dilema.

"Udah Sarah, makan dulu," kata Mala, dia menarik tanganku dan menyuruh ku duduk di depannya, yang artinya duduk di samping Alvan.

Tapi dengan spontan, Alvan menarik kursinya ke samping Mala, seakan enggak mau dekat dengan ku, sakit hati banget sebenarnya, seakan aku makhluk yang menjijikkan, tapi bukannya jauh dari Alvan adalah pilihan terbaik.

Aku segera menarik mangkuk mie ayam punyaku, segera melahapnya, tanpa memperdulikan celotehan dari dua makhluk yang kini memandangku mengejek.

"Biasanya dia tuh makan sepanci ludung tuh, cuma karena di depan kita-kita aja jadinya dia cuma makan semangkuk," oceh Dava yang tujuan nya pada ku.

Alvan dan Dava tergelak, sedangkan Mala hanya mengulum senyumnya. Pasti dia juga mau ketawa, tapi karena gak enak aja sama aku, jadinya Mala menahannya.

"Gak liat tuh perutnya udah kayak semen karung." sambung Alvan.

Haduh, aku kepanasan kalau kayak gini, selain mie ayamku yang pedas, hati ku juga panas. Aku masih melanjutkan makan ku, mencoba tidak menghiraukan kedua orang itu.

"Dasar gentong!" seru Dava pada ku, suaranya cukup tinggi, seketika, kantin hening, mungkin mereka semua terkejut mendengar seruan Dava.

Semua mata tertuju pada meja kami. Aku hanya bisa menunduk, kalau seperti ini aku butuh Tia. Sayangnya gadis itu gak masuk karena sakit.

"Van, lo mau tau gak rahasia dia?" tanya Dava pada Alvan, tapi matanya aku rasa masih tertuju padaku.

"Apa?"

"Si gentong ini, suka sama abang gue, kak Radit, lo tau sendiri kan, gimana gantengnya abang gue, dan kemarin dengan sengajanya dia tinggalin pulpennya di mobil abang gue. Di kiranya abang gue kedemenan banget kali sama dia, padahal abang gue cuma kasian aja sama dia," ujar Dava dengan senyum meremehkan.

"Mimpi dia." Cibir Alvan.

"Halu lo ke tinggian, Tong!" seru Dava pada ku.

Aku memandangnya dengan kebencian yang mendalam, mataku udah berkaca-kaca. "Kenapa lo liat gue kayak gitu? Gak suka?" pertanyaan Dava seakan menantangku.

Semua orang menatap ku, mungkin ada yang iba, mencela, atau pun meremehkan, entah lah aku terlalu malu walau hanya untuk menghela nafas aja.

"Dava!"

Brak!

Kami semua terkejut, Kak Radit ada di sana memandang Dava dengan marah. Oh malaikat pelindungku. Dia menghampiri meja kami.

"Lo apa-apaan sih? bisa-bisanya lo menghina cewek kayak gitu, di depan umum pula. Lo mikir gak? Lo itu baru aja menjatuhkan harga diri dia?! Kayak gitu seorang cowok?! kayak gitu cara cowok memperlakukan cewek?! Mamah ngajarin gitu ke kita? Hah? Gue tanya?!"

Brak!

Bentakan kak Radit bersamaan dengan gebrakannya pada meja yanh kami duduki, aku lihat wajah Dava tampak merah, mungkin antara marah dan malu, tapi sedikit pun aku gaj merasa kasian, melainkan senang.

"Sekali lagi gue liat lo bersikap kayak gitu sama cewek, terutama sama Sarah, gue aduin sama mamah." Ancam kak Radit.

Setelah itu kak Radit menatap ku, begitu juga aku, dia langsung menarik tanganku, dan membawa ku pergi dari sana. Kini hatiku kembali menghangat, sentuhan kak Radit di tanganku ternyata berefek besar dengan diriku.

***

*Bersambung*

Dava keterlaluan..aku yang nulis, aku yang emosi 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top