Genggaman Hangat Dava
"Karena gue gak suka liat Lo sama cowok lain!"
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan Dava.
Dia kenapa, sih?
"Maksudnya?" tanyaku hati-hati, takut. Wajah Dava sudah memerah.
"Lupain aja," katanya, lalu kembali melajukan mobilnya.
Aku terdiam, pikiranku masih berkelana kemana-mana. Dava terlihat aneh hari ini.
Banyak melamun dan berpikir, sampai tidak sadar Dava sudah berhenti tepat di depan rumahku.
Sebentar!
Rumahku?
Dava tau dari mana alamat rumahku?
"Udah sampe?" tanyaku dengan kerutan kecil di dahiku.
"Iya, kayak yang Lo liat," sahut Dava ketus.
Aku menoleh pada Dava, menatapnya lekat. Dava yang merasa di perhatikan ikut menoleh ke arahku.
"Kenapa?!" tanyanya ngegas.
"Lo tau rumah gue?"
Sesaat kemudian Dava seakan salah tingkah, gugup dan gelisah. Ini orang makin aneh. Jangan-jangan mau ngebekasin.
"Enggak," jawabnya kemudian.
"Terus kok ini udah sampe aja? Padahal gue gak kasih tau alamat rumah gue loh."
"Kak Radit tadi kasih tau gue."
"Oh..."
Berpikir apa aku ini? Mengira Dava mengikutiku? Mana mungkin, yang pasti-pasti saja. Kak Radit, kan, pernah mengantarku pulang. Jadi dia memberitahu alamatku pada Dava, karena tau kami tidak akan membuka suara walau hanya sekedar menanyakan alamat.
"Ya udah, tunggu apa lagi? Sana keluar!" Aku mendelik pada Dava. Lalu keluar begitu saja, tanpa mengucapkan apa pun.
Aku segera masuk ke dalam, tapi Dava belum juga pergi. Setelah aku masuk ke dalam, barulah mobilnya pergi.
Oh, mungkin Dava sedang mengabari seseorang. Positiv thinking Sarah.
Karena sikapnya yang hari ini aneh, aku jadi berpikir kemana-mana.
***
Keesokan harinya, Dava lagi dan lagi menyuruhku untuk menjenguk kak Radit, dia bilang kak Radit yang menyuruhnya.
Tidak masalah buatku, mengingat aku juga rindu dengan kakaknya itu. Aku menyanggupi saja.
"Tia boleh ikut?" tanyaku.
"Mau simpen di mana?"
"Hah?"
"Hoh!" serunya kemudian melesat pergi.
"Dava serius, gue boleh ajak Tia?! teriakku padanya.
"Tia mau Lo kantongin?" ujarnya sembari menghampiriku lagi.
"Kenapa?"
"Gue bawa motor, enggak bawa mobil."
"Gue naik angkot aja sama Tia."
"Enggak, nanti Lo kesesat lagi."
"Gue inget rumah Lo, kok."
"Enggak, lain kali aja bawa Tia-nya."
"Tapi gue canggung kalau cuma gue."
"Ada gue, udah deh jangan banyak maunya." Setelah berkata begitu. Dava pergi meninggalkanku. Kali ini benar-benar pergi.
Tia datang dengan senyum lebarnya. Dengan menepuk-nepuk pundakku, dia mengitariku.
"Kenapa sih?"
"Gimana nge-date-nya? Lancar?"
"Siapa?"
"Bolot, ih..."
"Apa sih, Ti, gue gak paham."
"Lo sama Dava, udah sampe mana? Kata gue juga apa, jangan benci-benci, jadi cinta, kan?"
"Ya ampun, Tia. Pikiran Lo ke jauhkan banget tau gak? Gue cuma jenguk kak Radit yang lagi cedera, kok."
"Bohong, tapi Lo lebih lama sama dava di banding kak Radit, kan?"
"Terserah deh." Tia tergelak.
Memang benar apa kata Tia, aku lebih lama bertemu dengan Dava di banding kak Radit, Dava juga seakan tidak membiarkanku berdua dengan kak Radit.
***
Waktu seakan berjalan begitu cepat. Waktu pelajaran terakhir pun berlalu begitu saja. Bel tanda pulang sudah berbunyi nyaring. Beberapa saat kemudian koridor di penuhi dengan seruan-seruan dari siswa dan siswi.
Aku dan Tia masih merapikan barang-barang kami. Sampai akhirnya Dava datang dengan membawa helm berwarna pink.
"Ayo, cepetan!"
"Apa?" tanyaku masih belum mengerti.
"Ke rumah gue."
"Oh iya, lupa. Ti, gue balik duluan, ya. Kak Radit mau-"
"Iya, balik gih Lo, Dava juga udah kasih gocap ke gue," kata Tia sembari mengeluarkan uang 50ribuan dari saku bajunya.
"Hah?"
"Udah buruan."
Dava langsung mengambil tasku, dan memberikan helm pink itu padaku.
"Pake ini," katanya.
"Kemarin warnanya bukan ini."
"Kemarin bekas orang, nanti Lo gak nyaman," ujarnya sembari berlalu.
"Anjir.... Dava perhatian banget!" seru Tia yang masih memperhatikan kami tadi.
"Apaan sih, Lo." Aku berlalu pergi meninggalkan Tia yang sudah mencak-mencak di kelas karena kelewat baper. Lebay!!!
Aku berjalan menuju parkiran motor, di mana Dava sudah nangkring di motor ninjanya.
"Lama amat sih."
"Tadi ngobrol dulu sama Tia."
Aku mencari-cari keberadaan tasku yang tadi sudah di bawa Dava terlebih dahulu.
"Tas gue."
"Ini sama gue." Dava menunjukan tasku yang sudah dipakai di bagian depan.
"Sini."
"Gak usah, sama gue aja. Ayo, cepet, Sar."
Aku segera naik dengan ragu. Dava tersenyum. Tau dari mana? Dari kaca spion. Senyumnya tidak bisa di jabarkan. Hanya satu yang terlintas di pikiranku. Manis.
Astaghfirullah... Sarah, otaknya udah terpapar virus gila Dava.
***
Alih-alih ke rumah kak Radit, Dava malah membawaku entah ke mana. Sudah setengah jam di jalan, tapi tidak sampai-sampai juga.
Ini orang beneran lupa jalannya?
"Va, kok perasaan jauh amat rumah Lo? Seingat gue kemarin dekat deh."
"Kemarin kita, kan, dari mall. Kalau dari sekolah ya jauh."
Oke, ada benarnya juga, mungkin Dava harus putar jalan kalau dari sekolah, aku mulai diam, menikmati perjalanan menuju rumah Dava.
Tapi Dava malah memasuki motornya pada parkiran cafe. Aku mengerutkan dahiku. Sembari membenarkan kacamataku, aku turun.
"Kok ke sini, Va?" tanyaku.
"Kak Radit nitip kopi." Dava berjalan lebih dulu, aku hanya mengekorinya dari belakang.
Sampai pada akhirnya, kami berpapasan dengan sekelompokan perempuan dari sekolah lain.
Kayaknya mereka baru pertama kali ketemu cowok ganteng, makanya lihat Dava saja sudah jerit-jerit tertahan. Kenapa sih?
Dengan gayanya yang ala-ala Korea, dan seragam yang ketat, mereka mengibaskan rambut mereka yang panjang. Oh, maksudnya biar menarik perhatian Dava.
Aku menjaga jarak dari Dava, minder juga, kalau di bandingkan denganku yang over big ini.
Tapi tak di sangka. Dava berhenti tepat di depan gadis-gadis cacing kepanasan itu.
Dia menoleh padaku, kemudian mengulurkan tangannya, sembari tersenyum lembut, Dava berkata, "ayo, Sayang."
Aku termangu di tempat. Dava kenapa, ya? Ada yang tau?
Tanpa aku sadari, Dava sudah menuntun tanganku. Tangannya lembut dan hangat. Dava berlalu dari hadapan gadis-gadis itu dengan menggenggam tanganku erat.
Ya ampun, jantungku seperti sedang dugem. Dag dig dug der.
"Lo kenapa tuntun gue sih?" kataku sembari menghentakkan tangannya.
"Gak demen gue sama cewek kayak gitu. Centil banget udah kayak cacing." Dava mendengus.
"Tapi gak salah? Lo ngaku-ngaku gue pacar Lo, apa kata mereka? Lo gak malu?"
"Masih mending Lo dibanding mereka," jawab Dava, lalu memesan kopi untuk Kak Radit.
Santai banget si Dava ngomongnya. Gak mikir jantungku udah kayak naik roller coaster.
Lagi juga, bisa-bisanya jantungku berdetak cepat di saat dekat dengan Dava. Padahal sudah jelas aku benci dia.
***
*Bersambung*
Dava kenapa ya?
Buat Sarah merasa kehilangan musuhnya kan kalau gitu 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top