Gara-gara Roll Depan.

Mulai dari sini, hisa akan pake sudut pandang dari Sarah ya. ☺

Pagi ini aku berangkat sekolah dengan lemas. Hari ini jadwal pelajaran olahraga, apa lagi olahraga senam lantai. Tahu lah kalian bagi aku yang berbadan gemuk ini tidak akan mampu melakukannya.

Aku memasuki gerbang sekolah, tidak lupa menyapa satpam yang selalu aku sapa dengan ramah. Namanya pak Jujung. Pak Jujung merupakan Ayah dari temanku sewaktu Sekolah dasar. Jadi wajar kalau aku dekat dengannya, karena dari dulu aku selalu bermain dengan putrinya Karina.

Aku berjalan dengan perlahan melewati parkiran motor, siapa tahu ada Tia. Jadi bisa barenga ke kelasnya.
Tapi tidak lama. Motor besar melewat di samping ku dengan mengebut. Aku sampai tersentak di buatnya.
Setelah motor itu parkir, baru aku bisa lihat, siapa pelakunya. Tentu kalian tahu. Ya, siapa lagi kalau bukan Dava.

Anak sok ganteng yang selalu saja membuat ulah denganku. Dava tersenyum sinis ke arahku setelah ia berjalan mendahului ku.

Sabar.

Mungkin satu kata yang harus aku lakukan saat ini. Aku menghela nafas panjang. malas mengubris Dava. Aku ikut melangkah ke dalam kelas, yang letaknya tidak jauh dari lapangan.

Setelah aku masuk kelas, aku mencari-cari keberadaan Tia.

"Tia engga ada, apa mungkin gak masuk?" gumamku.

Tidak lama seseorang datang ke kelasku. "Ini dari Tia, dia gak bisa masuk. Sakit." ujarnya pada ku.

Gadis cantik itu namanya Wida. Teman dekatnya Tia waktu Sekolah menengah pertama, tapi kata Tia, Wida berubah saat berteman dengan kumpulan anak-anak cantik di sekolah ini.

Sebenarnya Tia juga cantik, tapi dia bukanlah anak yang percaya diri, jadi dia memilih berteman denganku, gadis gemuk berkaca maa, dari pada harus bergabung dengan Wida.

Jadi di sekolah ku memiliki tiga kelompok. Anak-anak cantik, anak-anak pintar, dan anak-anak lugu atau bisa di bilang biasa saja. Kalian bingung kenapa di sekolah ada kelompok seperti itu? Itu gak aneh kok, sebenarnya setiap sekolah ada yang berkelompok seperti itu. itu pasti deh.

Kalau aku sendiri, aku mungkin termasuk ke dalam kelompok biasa-biasa saja. Iya dong, masuk ke kelompok cantik. Hello .. Dimana letak kecantikkan ku?? Badan gemuk dan berkaca mata. Itu tidak ada seperapatnya masuk ke kategori cantik.

Masuk ke kategori anak pintar? Pintar dari mana? Matematika aja nilainya ceblok terus. Yang bagus hanya Bahasa Indonesia saja.

Nah, jadi aku masuk ke kategori anak biasa-biasa saja.
Kalau ini emang nyata. Stop cuap-cuapnya.

Setelah Wida pergi, aku menatap surat dari Tia. Kalau tahu Tia tidak sekolah, kalau gitu aku tidak akan masuk. Aku bukanlah anak yang supel, jadi sulit untuk ku berinteraksi dengan teman yang lain.

Aku menyerahkan surat itu pada sekretaris. Namanya Nurmala, Gadis itu cantik dan juga pintar, tapi dia tidak banyak gaya. Dia juga alim. Makanya Dava dan teman sebangkunya itu suka mencuri pandang ke arah dia.

Kalau kalian tanya dari mana aku tahu, tentu saja itu semua karena tidak sengaja. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Dava dan temannya sedang menatap Nurmala yang saat itu sedang mengaji. Sempurna kan dia.

"Ini surat sakit siapa?" tanyanya lembut.

"Dari Tia, katanya sakit." jawabku. Tia hanya mengangguk.

"Jadi bangku kamu kosong ya?" tanya Tia lagi. Aku hanya mengangguk. "Aku duduk sama kamu, ya? soalnya duduk disini kurang jelas lihat papan tulisnya."

Hah? Jadi Nurmala juga sama kaya aku?

"Boleh, kebetulan aku juga sendiri duduknya." Nurmala berseru riang, ia segera memindahkan tasnya ke mejaku.

"Kalau disini aku bisa lihat jelas." ujarnya.

"Emangnya kamu rabun?" tanya ku.

Nurmala mengangguk. "Iya, padahal udah pakai kontak softlens." Aku semakin tercengang mendengar penjelasan Nurmala.

"Softlens? Kok gak keliatan?" tanyaku. Setahuku, soflents itu udah kaya pelangi, warna warni. Lalu cara pakainya juga menyakitkan. Aku selalu bergidik ngeri membayangkannya.

Nurmala tersenyum. "Yang aku pakai bening. Tidak berwarna seperti orang-orang kebanyakkan." aku mengangguk.

Ternyata Nurmala yang ku kira sempurna memiliki celah juga. Apa yang aku bilang? Di dunia ini tidak ada yang sempurna. Selalu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Tapi, kenapa aku merasa, aku banyak sekali kekurangan? Kelebihannya apa? Entahlah hanya tuhan yang tahu.

"Kenapa kamu tidak coba pakai softlens saja?" tanya Nurmala. Aku menggeleng cepat.

"Itu menyakitkan, aku gak bisa memakainya." ujar ku, Nurmala tertawa hambar. Apanya yang lucu?

Dava masuk ke dalam kelas bersama kawannya yang, iyuuhh.. Ganteng sih. tapi sayang terlalu tebar pesona.

"Ya ampun!!" Tiba-tiba Dava tergelonjak kaget di depan mejaku. Aku dan Nurmala sontak mengerenyitkan dahi.

"Nurmala kamu duduk di depan?" tanyanya. Dan aku mulai mencium-cium aroma perang akan segera di mulai.

Nurmala mengangguk dengan senyum lembutnya. "Iya, soalnya Tia gak sekolah, sakit." ujar Nurmala menjelaskan.

Sebenarnya bukan itu tujuan Dava bertanya, lihat saja nanti ujung-ujungnya pasti aku di bawa-bawa.

"Nurmala, kamu seperti putri yang sedang bersama bodyguard nya."

Nah.. Benar gak kata ku. Dava sudah mulai sindir-sindir.

"Maksudnya?" tanya Nurmala, entah dia polos atau pura-pura polos. Yang jelas aku kesal, kenapa sih Nurmala tidak seperti Tia yang tidak menggubris setiap ucapan Dava.

"Itu tuh." ujar Dava, seraya melirik diriku. Nurmala ikut melirik ke arah ku. Aku mencoba tidak mengindahkan ucapannya. Nurmala hanya tersenyum kecil. Mungkin dia juga tidak enak dengan ku.

Tidak lama bel berbunyi, semua murid masuk kelas. aku malas sekali belajar sekarang. Tia tidak ada, dan sekarang olahraga.

Pelajaran pertama adalah olahraga, aku dan Nurmala segera mengganti baju olahraga. Setibanya di toilet, aku segera mengganti pakaianku. Bergantian dengan Nurmala. Setelah aku selesai sekarang giliran Nurmala.

Sembari menunggu Nurmala ganti baju, Aku menatap diriku di cermin toilet. Ukuran baju ku XL tapi kenapa masih sangat ketat? sebesar apa sebenarnya diriku ini?

Nurmala keluar dari toilet. "Ayo!" aku hanya mengangguk.

_

_

_

Semuanya telah berkumpul di lapang, sebelum melakukan senam lantai, kami semua pemanasan.
Aku selalu bersama dengan Nurmala. Sepertinya ia kurang nyaman bersama teman sebangku nya. Soalnya dia kurang dekat.

Setelah pemanasan. Pak Ardi selaku guru olahraga menyuruh kami masuk ke dalam ruang olahraga. Disana sudah ada matras yang tersedia.

Jangan di tanya bagaimana perasaanku saat ini, takut dan degup jantungku berdetak lebih dari kata normal.
Aku menghela nafas berkali-kali.

Pak Ardi memberi intruksi pada setiap anak didiknya yang akan memulai senam lantai. Di mulai dari roll depan, roll belakang, loncat harimau dan sikap lilin. Bahasa lainnya apa ya? Aku tidak tahu, yang jelas itulah yang Nurmala sering katakan.

Dava dan temannya mendapatkan nilai plus. Katanya gerakkan mereka bagus dan benar. Pak Ardi matanya rabun. Iya sepertinya begitu.

Satu per satu para murid melakukan aksinya, ternyata hampir 80% semuanya berhasil. Entahlah pas giliran ku.
saat giliran Nurmala, dia bisa melakukannya dengan baik. Bahkan Nurmala mendapatkan pujian beruntun dari pak Ardi dan juga para teman, terutama Dava.

Setelah Nurmala, tersisa tiga orang lagi, setelahnya giliran namaku. Aku berkali-kali menghela nafas. Aku semakin gelisah.

"Salah Safira." Panggil pak Ardi.

"Nah, ini yang gue tunggu-tunggu. Mau lihat gajah senam lantai gak? Nih sebentar lagi akannada pertunjukkan sirkus."

Aku mendelik ke arah Dava, sedangkan Dava menatapku mengejek.

"Kali ini gue harus bisa." gumamku pelan.

Aku mencoba meyakinkan diriku, dulu waktu SMP aku bisa melakukan senam lantai. bahkan nilai ku sangat baik. tapi itu kan dulu. Tidak tahu sekarang, berat badan ku juga sudah makin meningkat.

"Sarah, buka dulu kaca matanya. Nanti pecah." peringat pak Ardi. Aku mengangguk. Membuka kaca mataku perlahan, seketika semuanya buram, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya yang jelas matras saja. Aku menitipkan kaca mataku dengan Nurmala. Karena hanya dia yang aku kenal selain Tia.

Sebelum memulai, aku sempat berdoa. Siapa tahu saja tiba-tiba berat.badanku turun mendadak. Mukzizat tuhan itu ada bukan?

Aku mulai melakukan ancang-ancang roll depan, aku mendengar sorakkan Dava dan teman-temannya. Aku mulai melakukannya. Pertama berhasil sampai dua kali putaran.

Aku dengar pak Ardi bertepuk tangan dengan berseru ."Bagus Sarah!"

Selanjutnya aku melakukan roll belakang, aku tak jamin ini bisa, tapi setelah aku coba, aku bisa melakukannya. Benar kan, tuhan sayang sama aku. Setelah melakukan Roll depan, aku tidak mendengar sorakan Dava. Entah apa yang sedang mereka perhatikan. Aku tidak bisa melihat jelas, karena kacamata ku yang tidak di pakai.

Selanjutnya lompat Harimau. Satu orang telungkup di ujung matras. dan aku harus melompatinya. Dan yang disini aku takut, takut aku gagal dan berakhir menindihi temanku, apalah jadinya kalau aku di panggil ke ruang Guru karena membuat salah satu teman ku patah tulang?

Oke, mungkin ini berlebihan. but, nothing impossible.

Aku mulai mengambil aba-aba untuk melompat, setelah itu aku mulai berlari dan berguling.

Yippi.. Aku berhasil !!!

Terakhir sikap lilin, aku juga bisa melewatinya. Sungguh tadi waktu yang sangat berat untuk ku.

"Sempurna!!" seru pak Ardi. Aku di perintah untuk berdiri di samping pak Ardi. Aku tidak mengerti apa maksudnya.

"Walau pun gemuk, Sarah ini memiliki badan yang lentur. Kelenturan tidak memandang besarnya bobot tubuh kita, seperti tadi Jessi. badannya kecil. Tapi dia tidak bisa melakukan gerakkan senam lantai yang benar." tutur pak Ardi menjelaskan.

Aku sedikit senang dan puas. Setidaknya Dava tidak lagi menghina ku di depan teman-teman. Tapi tidak tahu kalau nanti.

Aku kembali duduk di samping Nurmala. "Kamu hebat." pujinya. Aku hanya tersenyum.

"Makasih, kaca mataku mana?" tanyaku.

"Ada di Dava." Aku tercengang dengan jawaban Nurmala.

"Kok ada di dia?"

"Tadi Dava mau melihatnya."

Bolehkan aku mengumpat Nurmala sekarang? Apa dia tidak tahu kalau Dava adalah musuh sejati ku sekarang?

"Bisakah kamu mengambilkan?"

"Tentu." Nurmala mencoba memintanya dari Dava. Tapi sepertinya tidak berhasil. "Dava bilang, kamu saja yang ambil."

Rasanya aku ingin menangis. Bahkan aku tidak tahu Dava berada dimana. Semuanya buram dan aku tidak bisa melihat dengan baik. Aku hanya menunduk. Bukan apa, aku hanya pusing karena tidak memakai kaca mata. Aku sudah ketergantungan memakai kacamata.

Setelah selesai olahraga, aku dan Nurmala bergegas pergi menuju ke kelas. aku terduduk dengan kepala yang ku rebahkan di meja. Kepala ku pusing.

"Nih." aku mengangkat kepalaku, ternyata Dava yang mengembalikan kacamata ku. "Cengeng, gitu aja nangis." ujarnya sembari pergi menuju mejanya.

Aku segera memakai kaca mataku. Taraa... Pusingku sedikit mereda. Aku menoleh kearah Dava. Dia menatap ku dengan wajah di tekuk.

"Kenapa dia?" gumamku lalu kembali mengarahkan wajahku ke depan. Tapi tunggu, kenapa kaca mataku sedikit longgar. saat ku lepas dan ku lihat, ternyata gagang kacamatanya lepas, dan hanya di tempel dengan lem power glue.

"DAVAAAA!!!!"  teriakku, sontak aku mendengar tawa Dava yang nyaring. Astaga, kali ini Dava benar-benar keterlaluan.

*bersambung*

Untuk masalah kelenturan, mungkin ada yang gak percaya. tapi benaran deh aku ngalamin sendiri.

Jangan lupa vote dan komennya..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top