Bertemu Kak Radit
Motor Dava berhenti tepat di depan rumahnya. Aku segera turun dan menunggu Dava agar lebih dulu masuk. Kami berjalan beriringan.
Dava membuka pintu dan enggak lupa mengucapkan salam. Ada sahutan dari dalam, itu pasti ibu tiri Dava.
Kemudian seseorang datang dari dalam, seorang wanita paruhbaya dengan senyum yang menyungging di wajah cantiknya.
"Eh, Dava bawa teman," katanya. Dava hanya bergumam lalu masuk ke dalam meninggalkanku dengan ibu tirinya.
"Namanya siapa?" tanya ibu tiri Dava. Dia memilih mengabaikan Dava yang cuek.
"Sarah, Tan."
"Ya udah, Tante buatin minum dulu ya." Aku hanya mengangguk tak lama ibu tiri Dava pergi ke dalam.
Dava kembali dengan pakaian rumahnya, lalu duduk di sampingku.
"Kak Radit mana?" tanyaku.
"Lagi tidur dia, mungkin cape, kan baru banget sampe. "
Aku hanya ber-O sembari manggut-manggut. Dava memainkan ponselnya, mengabaikanku.
Tak lama ibu tiri Dava datang, di tangannya membawa minuman sirup dan dua toples camilan.
"Ini, di makan ya, Tante masuk dulu "
"Makasih, Tante, maaf jadi repotin."
"Enggak apa-apa kok." Ibu tiri Dava kembali masuk.
"Ibu lo cantik ya, Va."
Dava menoleh singkat, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Cantikkan almarhum nyokap gue."
Aku hanya diam enggan membahas. Aku bisa melihat jelas, Dava kurang suka dengan ibu tirinya. Padahal ibu tirinya terlihat baik.
"Namanya siapa, Va?" tanyaku lagi penasaran.
"Rani," jawabnya, "kenapa sih Lo kepo banget?" Dava menatapku dengan kerutan kecil di dahinya.
"Kali aja, kan, nanti jadi mertua gue," kataku dengan menyengir lebar.
Dava hanya mendengus, lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Va," panggilku.
"Apa sih?" jawab Dava ngegas.
Ini orang kenapa sih? Tadi baik-baik aja perasaan. Aku menggeleng pelan. "Gak jadi," kataku ketus.
Tapi masih ada pertanyaan yang masih terus berputar di kepalaku.
"Dava," panggilku lagi.
Bisa aku dengar Dava menghela nafas dalam, dia menoleh padaku dengan tatapan hangat. "Ada apa Sarah?" jawabnya lembut.
Suaranya mampu membuat bulu kudukku meremang. Astaga, Dava bisa selembut itu memanggil namaku.
Aku tergagap jadinya. "Em... Eng-enggak jadi deh." Aku memalingkan wajah menghadap depan.
"Lo pasti mau tanyain kak Radit, kan? Bentar lagi dia bangun. Dia abis minum obat."
"Keadaannya gimana, Va?"
"Gue gak tau, gue belum tanya ke dia. Nanti Lo langsung tanya aja sama orangnya."
"Va, emangnya gak apa-apa kalau gue tau penyakitnya? Dia marah gak?"
Dava menatapku lekat. Lalu menggeleng lembut. Tiba-tiba saja tangannya terulur mengusap rambutku. "Kalau dia marah, gue yang tanggung jawab," kata Dava.
Seketika tubuhku jadi kaku. Perlakuan hangat yang aku dapat dari Dava sangat berpengaruh besar pada tubuh dan jantungku.
Aku segera menghempaskan tangan Dava pelan. "O-oke."
"Minum dulu, Sar," katanya. Aku menoleh lalu mengangguk. Mengambil gelas dan minum dengan canggung.
***
Aku menatap pintu kamar berwarna coklat tua di depanku. Lalu menoleh pada Dava. Dava mengangguk. Seakan memberiku izin.
Aku membuka pintu itu secara perlahan. Kulihat kak Radit sedang berada di kursi roda menatap keluar jendela.
Aku melangkah perlahan ke dalam. "Kak," panggilku.
Aku bisa melihat keterkejutan kak Radit, tubuhnya menegang. Lalu dia menoleh sesaat dan kembali menatap ke depan.
"Kamu, ngapain ke sini?" tanyanya. Nada bicaranya terdengar ketus dan dingin. Aku meneguk ludahku sulit.
"Em... Aku mau ketemu Kakak."
Kak Radit kembali menoleh ke arahku, dia memutar kursi rodanya sehingga menghadapku.
"Dava yang suruh kamu ke sini?" Aku mengangguk singkat. Kak Radit menghela nafas.
"Kalau kamu ke sini cuma karena kasihan sama aku, sebaiknya kamu pergi aja."
Aku mengerutkan dahiku, merasa tak percaya dengan sikap kak Radit yang tiba-tiba seperti ini. Mungkin dia merasa putus asa. Itu kata Dava.
Aku melangkah mendekat pada kak Radit. "Kakak gimana kabarnya?" tanyaku. "Aku-, aku kangen sama Kakak." Entah kenapa kata-kataku terasa menyakitkan untukku.
Kak Radit tampak terkejut. "Kenapa?" tanyanya lirih.
"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti.
"Kenapa kamu kangen sama aku? Kenapa?"
Aku terdiam sesaat. "Soalnya aku sayang sama Kakak," kataku yang mampu membuat Kak Radit terpaku.
***
Sebelum Bertemu Kak Radit.
Dava menatapku lekat, aku di buat risi dengannya. Kemudian tanpa aku sangka, Dava mengambil tanganku.
"Sar, ada yang mau gue omongin sama lo."
"Hah?" Aku membeo di tempat.
"Lo sayang, kan, sama abang gue?" Pertanyaan Dava terdengar sulit untuk aku jawab. Aku pun tidak tau alasannya. Padahal aku benar-benar suka dengan Kak Radit. Tapi kenapa pertanyaan Dava sangat membuatku sulit untuk membuka suara.
"Gue yakin Lo orang baik, Sar." Dava kembali terdiam, dia menatapku dengan tatapan tak terbaca. "Gue pengen, Lo jagain abang gue. Gue pengen Lo bisa buat di bahagia. Gue mohon buktiin kalau emang Lo sayang sama dia. Walaupun gue sama dia saudara tiri. Tapi gue tetep peduli sama dia. Di detik-detik terakhir kehidupannya, gue mau dia bahagia dengan orang yang dia suka, Sar. Apa pun bakal gue lakuin asalkan dia bahagia."
Aku terdiam, memandang Dava, tiba-tiba saja aku merasakan dadaku sesak, mataku berkaca-kaca. Ucapan Dava terdengar menyakitkan untukku. Ada apa?
"Kenapa?" tanya Dava, "lo mau, kan?"
Aku hanya terdiam, menatap Dava lekat, tapi kenapa sekarang aku melihat mata Dava seperti menahan tangis. Mungkinkah karena kak Radit?
Aku mengangguk pelan, Dava menghela nafas panjang. Dan tanpa aku duga, Dava memelukku erat, sangat erat.
Kembali, jantungku berdetak cepat, pelukan Dava terasa hangat. Hingga aku tidak rela melepas pelukan ini. Dan aku tidak rela kehilangannya.
***
*BERSAMBUNG*
Pada akhirnya bisa up cerita ini. Kangen gak nih? Ayo komen yang banyak dan jangan lupa vote nya biar cepet up dated lagi. 😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top