Barang Yang Tertinggal

Aku berjalan menuju ruang kelas dengan semangat baru. Baru kemarin aku mengisi daya semangat dalam tubuhku, walau hanya 15 menit, tapi cukup bagiku. Pasti kalian tau siapa tenaga ku. Ya, benar sekali, kak Radit, selain 4 sehat 5 sempurna yang membantuku bertenaga, kak Radit juga salah satu energi bagiku. Lebay? Enggak apa-apa emang nyatanya gitu kok.

Aku bersenandung pelan saat memasuki kelas, kemudian duduk dengan rapinya, hari ini aku ingin bahagia tanpa memikirkan Dava  yang selalu berhasil menyulut emosiku.

"Nih."

Takk!

Aku terkejut saat sebuah benda terjatuh tepat mejaku, ini pulpen kesayanganku. Ku dongakkan kepalaku. Ternyata Dava yang berlalu pergi dari hadapanku.

"Ini pulpen gue, kenapa bisa ada di lo?" tanyaku.

Dava memutar kedua bola matanya, seakan pertanyaan ku itu hanya basa basi. "Yang seharusnya gue tanya, tuh pulpen kok bisa ada di kak Radit. Tepatnya di mobilnya."

Aku tercang tidak mengerti dengan maksud Dava. "Maksudnya?" tanyaku.

"Kemarin lo balik bareng kak Radit?" balik tanya Dava. Aku berdecak, karena bukannya menjawab, Dava malah balik bertanya.

"Iya," jawabku singkat.

"Lo lagi deketin kakak gue?"

KAKAK GUE?!

Dimana teman-teman terdekatku? Aku butuh bantuannya untuk mengklarifikasi apa yang baru saja aku dengar.
Dia bilang kak Radit kakaknya? Serius? Ini gak bohong atau aku salah dengar, kan?

"Maksudnya kakak gue?" untuk kali ini saja aku berharap Dava bisa menjawab dengan benar pertanyaan ku. Setidaknya agar aku bisa menghilangkan rasa penasaran ini. Jangan sampai aku enggak bisa tidur malam nanti.

Dava dengan angkuhnya tersenyum miring ke arahku, seakan mencibir, sepertinya aku salah bertanya dengannya, kenapa juga aku tidak mencoba cari tau dengan teman-temanku saja.

"Makanya, gaul dong jadi orang, jangan kudet." Nah, benarkan, Dava ujung-ujungnya mencibirku.

"Perlu ya gue up dated tentang hidup lo, kurang kerjaan amat gue," jawabku tidak mau kalah ngomong.

Dava malah mencebikan bibirnya, seakan dia tau kalau aku memang penasaran terhadapnya. "Denger baik-baik ya, guling."

"Ih.."

"... Gue sama kak Radit itu adik kakak."

Ya ampun, hari ini cerha banget loh, matahari juga bersinar terang, langit berwarna biru muda dengan indahnya, tapi kenapa aku merasa ada sebuah petir yang baru saja menyambarku?

Oh, mungkin Dava bohong. "Kalau bercanda jangan kelewatan."

"Dih, gue udah gak waras kalau sampe buat lelucon buat lo." seru Dava.

Seketika aku terdiam, wajah Dava memang gak terlihat bercanda, dia juga serius banget. Kalau kayak gini rumah tangga gue bakal cepet hancur kalau punya adik ipar kayak Dava si bedebah.

"Gak mungkin." gumamku yang masih bisa di dengar dengan Dava mungkin.

"Apanya yang gak mungkin? Lo gak liat gue sama kak Radit mirip?"

Mirip? Bahkan bisa gue jamin, dakinya Dava sama kak Radit gak sama. "Kalau lo sekiranya suka sama kak Radit, gue peringati, Ya. Lebih baik lo buang jauh-jauh deh rasa suka lo, soalnya gue gak sudi kalau kakak gue punya pacar yang fisiknya serba lebih kayak lo." Setelah berkata gitu, Dava langsung keluar kelas.

Mulutnya pedas banget, aku sampai kesulitan menelan Salivaku sendiri. Ku tatap pulpen ku. Sepertinya benda itu terjatuh dari tas ku saat kemarin aku pulang bersama kak Radit.

Kak Radit dan Dava adik kakak, tapi mereka sangat berbeda, kak Radit yang notabenenya pemuda baik dan ramah, terbanding terbalik dengan Dava yang belagu dan juga kurang ajar.

Dava selalu memandang seseorang dari fisiknya, sedangkan Kak Radit dia tidak pernah memilih teman, dia selalu berteman dengan siapa saja dengan tulus, itu menurutku.
Entah kenapa Tuhan menciptakan dua orang sedarah dengan karakter yang berbeda.

"Sarah." panggilan itu memusnahkan lamunanku.

Ternyata Kak Radit yang saat ini sudah berdiri di depan pintu kelas, senyumnya sangat menawan, aku kembali tersihir, dan energiku kembali terisi, sepertinya. Seketika aku melupakan ucapan Dava tadi.

"Pulpennya udah di kembaliin sama Dava, kan?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Udah, kak. Makasih ya," jawabku.

"Iya, sama-sama. Jadi kemarin tuh ketinggalan di mobil, aku yakinnya itu punya kamu, soalnya cuma kamu yang naik ke mobil itu, selain aku."

"Iya, Kak. Maaf ya ngerepotin."

"Iya, gak apa-apa, ya udah Kakak ke kelas dulu, ya." kak Radit melambaikan tangannya ke arahku, aku pun membalasnya.

Seperti ada bunga yang bermekaran saat mendengar kak Radit bilang kalau hanya aku yang naik ke mobil itu, jadi intinya, aku orang pertama selain keluarganya yang naik mobil itu, dan tentunya dengan Kak Radit.

Ya Tuhan, aku sangat bahagia, seketika aku seperti mendapatkan harapan baru dari kak Radit, rasa kesal dan sedihku karena Dava tadi, hilang seketika.

"I love you kak Radit." gumamku.

***

*Bersambubg*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top