Ada Apa Dengan Dava?

Aku dan Tia segera masuk ke mall tepatnya ke toko buku. Kami langsung menjajah setiap rak buku bagian novel romansa.

Perasaanku bosanku seketika menghilang. Aku segera mengambil beberapa buku pilihanku saat Tia memanggilku untuk segera pulang. Saat di kasir, cukup panjang antrian. Mungkin karena ada diskon dari beberapa buku, makanya tempat ini banyak pengunjungnya.

Sembari menunggu antrian, aku mengobrol dan Tia. Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku.
Tentu saja hal itu menarik perhatianku dan Tia untuk segera menoleh.

"Sar, Ti. Kalian di sini juga." Mala. Ya, orang itu Mala. Dia bersama Dava.

Mereka sudah jadian, ya?

Tiba-tiba rasa kepoku membuncah. Aku mengikuti arah tangan Mala yang saat ini sedang merangkul tangan Dava.

"Iya, mau beli novel baru," jawabku dengan senyum yang di paksakan. Sedangkan Tia, jangan tanyakan gadis itu. Saat tau siapa dalang yang menepuk pundakku, dia memilih memalingkan wajahnya dan fokus menunggu antrian.

Mau tau alasan Tia bersikap tak acuh begitu dengan Mala? Yups, itu karena kejadian waktu di kantin itu. Dimana Mala bukan membelaku saat aku di permalukan dengan Dava.

Padahal akunya saja sudah mulai melupakan masalah itu. Tapi enggak dengan Tia. Kata Tia, Mala itu enggak setia kawan. Dia bahagia di atas penderitaan temannya.

Setelah itulah Mala menjauh dari kami. Mala lebih suka sendiri atau bersama Dava dan Alvan. Biarlah, mungkin memang mereka sedang menjalin hubungan. Aku enggak peduli.

Sebentar, tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Iya, iri. Kenapa Mala bisa di perlakukan lembut dengan Dava, sedangkan aku??

Baiklah lupakan perasaan melow. Sekarang fokus pada antrian yang kini mulai menipis.

Aku kembali mengobrol dengan Tia. Sedangkan Mala sendiri di belakang kami. Dava? Enggak tau kemana. Enggak mau memikirkannya.

Kini giliranku dan Tia. Setelah membayarnya. Aku segera pamit pada Mala. Mala hanya tersenyum sembari mengangguk.

Tia segera menarik tanganku untuk segera pergi dari sana

"Ngapain sih Lo sapa-sapa Mala? Lo gak inget gimana dia waktu itu?" Cerocos Tia.

"Udah kenapa sih, Ti. Yang udah-udah jangan di inget-inget mulu."

"Perlu gue inget, Sar. Kalau perlu gue tulis biar jadi sejarah. Sejarah teman gak setia kawan."

"Sampai segitunya." Aku tergelak mendengar ucapan Tia.

Tiba-tiba saja Dava sudah ada di hadapan kami. Terpaksa aku dan Tia berhenti secara mendadak.

"Dari mana aja Lo? Noh, cewek Lo tungguin," kata Tia sembari menunjuk toko buku.

Dava tidak menghiraukan ucapan Tia, tatapannya fokus padaku. Aku sendiri jadi merasa risi di tatap begitu intensnya dengan Dava.

"Dia bukan cewek gue, kok. Gue cuma temenin dia doang." Dava bicara pada Tia. Tapi matanya masih menatapku. Dan seakan memberi penjelasan kalau mereka bukanlah pacaran.

"Ya elahh.. kasian amat si Mala gak di anggap sama Lo." Dava melirik Tia sesaat, lalu kembali melirikku.

"Kak Radit minta gue bawa Lo ke rumah, Lo mau ikut?"

Deg!

Sebentar! Tunggu sebentar, aku lagi mencerna ucapan Dava.

"Siapa?" tanyaku setelah aku diam beberapa detik.

Dava tersenyum sinis. Jelas banget senyumnya sindir aku. Menyebalkan.

"Kak Radit. Lo gak lupa sama kakak gue, kan?"

Aku menggeleng pelan. "Oh, ada apa emangnya?"

"Mana gue tau, makanya Lo temuin aja dulu."

"Ya udah, gue minta aja alamatnya, nanti gue sama Tia ke sana."

"Kakak gue cuma mau ketemu sama lo, doang."

"Idih, pelit amat, bilang aja gue gak boleh ikut, gue juga ogah kalau emang di ajak ke sana." Tia mengomel lagi.

"Ya udah nanti gue ke sana sendiri. Mana alamatnya?"

Jangan kalian kira aku akan ke rumah mereka mengabulkan permintaan kak Radit.

Holy no!

Aku hanya beralasan saja.

"Rumah kita baru pindah, gue gak hafal alamatnya."

"Oh, ya udah biar gue minta sama kak Radit besok."

"Dia cedera pas tanding basket tadi, makanya gak bisa sekolah."

"Ya ampun kok bisa?!" Aku histeris mendengarnya. Bisa ku lihat wajah Dava yang tambah sinis.
"Kalau gitu nanti gue chatting kak Radit aja."

"Nomor kak Radit, kan, Lo blokir."

Eh..

Dia tau nomor kak Radit di blokir. Ya ampun malu banget rasanya. Iya, itu sebuah kenyataan yang bahkan Tia baru tau. Dengan sengaja aku memblokir nomor kak Radit. Padahal untuk mendapatkan nomor itu susahnya luar biasa. Sekalinya sudah dapat malah aku blokir. Namanya juga lagi belajar move on.

"Bisa gue buka nanti blokirannya."

"Ribet amat sih lo? Udah bareng gue aja sekarang."

Tiba-tiba Dava menggenggam tanganku. Tentu saja hal itu membuatku dan Tia melebarkan mata kami.

"Sebentar, Lo mau apain temen gue?"

"Tenang aja kali, Ti. Temen Lo gak akan gue buat sapi guling, kok."

Mulut cowok pedes amat.

"Terus gimana sama Mala?" tanya Tia.

"Dia udah besar bisa pulang sendiri."

"Eh, Va, gue ke sananya pake ojek online aja. Gak apa-apa kok, nanti gue ikutin dari belakang."

"Ribet. Gue ngebut kalau pake motor."

"Tapi, Tia gimana?"

Dava merogoh saku bajunya, mengeluarkan selembar uang 20 ribu, lalu menyerahkannya pada Tia.

"Buat ongkos." Tia menyengir kuda.

"Gue demen kayak gini. Iya, deh. Ati-ati, ya!" Bisa aku dengar seruan Tia, dia melambaikan tangannya ke arahku.

Sedangkan aku sudah di tarik paksa oleh Dava.

***

Di parkiran motor. Dava menyerahkan helm yang tadi di pakai Mala padaku.

"Pake!" perintahnya. Aku mengambilnya dengan enggan.

"Motor lo gak akan apa-apa gue naikin?"

"Emang kenapa sih?"

"Bannya nanti kempes..." Lirihku.

"Udah cepetan naik," kata Dava sembari memakai helmnya. "Lo juga gak gendut-gendut amat kok." Yang aku dengar begitu.

"Hah? Apa?"

"Cepetan naik." Aku segera naik.

Tak lama dari itu Dava melajukan motornya.

***

Dava berhenti di depan rumah berlantai dua itu. Rumahnya besar, halamannya juga luas. Ada kolam renang juga di halamannya.

Ya ampun jiwa noraku seketika meronta. Dava itu anak orang kaya ternyata. Pantas saja belagu, tengil. Emang wajar kalau begitu.

"Ayo, masuk." Dava menarikku.

Ya Tuhan, padahal aku bisa mengikuti dia dari belakang. Buat apa sih dituntun mulu? Di kira aku sapi ternak apa di giring-giring.

Dava menitahku untuk duduk yang aku yakini sebagai ruang tamu. Setelah itu Dava masuk. Sepertinya mau memanggilkan kak Radit.

Beberapa saat kemudian, Dava datang dengan membawa minuman.

"Kak Raditnya mana?" tanyaku saat Dava sudah mendudukkan bokongnya.

"Sabar, dia butuh usaha keluar dari kamarnya."

Eh, buset.. ini orang gak niat bantu apa?

"Enggak di bantu, Va?"

"Males," ujarnya ketus.

Tak lama dari itu kak Radit datang dengan memakai tongkat. Dia berjalan dengan bantuan tongkat. Itu artinya parah banget dong. Bahkan kakinya di perban. Tapi dengan santainya Dava menolak untuk membantu kakaknya itu.

Dava emang sadis. Hatinya ketinggalan di dalam rahim ibunya aku rasa.

"Kak." Aku segera berdiri untuk membantu kak Radit.

Sesaat aku melihat Dava yang mendelik padaku, lalu memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

"Makasih, Sarah." Kak Radit tersenyum padaku. Aku pun membalasnya.

Aku kangen sama kak Radit. Lihat wajahnya sedekat ini buat rasa rinduku sedikit terobati.

"Kakak kenapa?"

"Tadi jatuh pas tanding."

"Oh, aku gak tau."

"Iya, soalnya kamu keburu pergi. Jadi Kakak gak bisa konsen tandingnya. Alhasil jatuh deh."

Ini kak Radit lagi ngegombal, ya? Atau bukan sih? Kok aku bahagia ya.

"Uhuk, uhuk." Dava terbatuk tiba-tiba.

"Minum, Dek!" Perintah kak Radit.

Ternyata, Dava di panggil dengan sebutan 'Adek' kalau di rumah. Kok geli ya aku dengarnya.

"Nyamuk masuk ke mulut, Kak."

"Ya udah, minum."

Dava langsung mengambil air yang dia bawa tadi. Loh, aku kira buat aku. Salah kira ternyata.

"Bukannya punya Sarah?"

Dava menghentikan tegukannya. "Iya, buat dia. Nih, Sar, gue balikin lagi."

Iyyuuhh.. ogah.

Aku mengabaikan Dava, dan lebih fokus pada kak Radit.

"Udah ke dokter?" tanyaku.

"Udah."

"Udahlah, makanya di perban," celetuk Dava. Aku mengabaikannya lagi.

"Apa kata dokter?"

"Istirahat tiga hari." Aku mengangguk saja.

"Ada yang mau Kakak omongin sama Sarah."

Aku menatap kak Radit lekat. Lalu melirik pada Dava yang juga menatapku.

Merasa aku terganggu dengan kehadiran Dava. Kak Radit langsung mengusir Dava.

"Va, pergi dulu gih, Kaka mau ngomong sama Sarah."

"Ya udah ngomong aja kali, gue juga gak akan nguping."

Dengan santainya Dava mengeluarkan handfree dari saku celananya yang sudah terpasang di ponsel. Lalu memasangkannya ke telinga, matanya terpejam, dengan tangan bersedekap dada.

Kak Radit menghela nafas panjang. Pasti lelah sama sikap Dava yang menyebalkan.

"Beberapa hari ini kamu kemana?" tanya kak Radit padaku. Seketika aku merasakan jantungku berdetak cepat.

"Ada," jawabku.

"Terus kenapa nomor Kaka di blokir?"

"Oh, itu. Kayaknya ke tekan sama sepupu aku deh, waktu itu hp aku di pinjam soalnya." Alasan klasik.

"Oh, Kaka kira kamu menghindar."

"Enggak, kok."

"Kak Dela labrak kamu, ya?"

Aku terdiam. Bingung mau jawab apa.

"Jujur aja, gak apa-apa. Waktu itu ada teman Kaka yang liat soalnya."

Kaki tangannya dimana-mana ternyata.

"Iya, tapi gak apa-apa kok, Kak. Emang salah aku juga yang sok akrab sama pacar orang."

"Siapa?"

"Kak Radit."

"Kaka gak ada hubungan apa-apa sama Dela. Dianya aja yang deketin Kaka mulu."

Perasaan bahagia dan lega langsung membuncah. Senyuman tiba-tiba terukir dari bibirku. Malu-maluin emang si Sarah.

Kak Radit ikut senyum. "Senang banget," katanya.

"Enggak." Kilahku. Aku melirik Dava. Ternyata dia udah gak tidur lagi. Matanya menyorot tajam ke arahku.

Aku memalingkan wajahku dari Dava. Mengabaikan tatapannya yang masih mengunciku sehingga aku sulit untuk bergerak.

***

Setelah waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Aku segera pamit untuk pulang.

Dava langsung menawarkan diri untuk mengantarku. Oke, padahal aku mau pulang sendiri aja. Sama dia bosan, soalnya diam mulu.

Dava langsung masuk ke mobilnya. Aku pun mengikuti Dava. Duduk di samping pengendara.

Sebelum Dava melajukan mobilnya, Dava mengenakan kacamata hitamnya. Apa-apaan sih ini anak? Di kiranya ganteng banget apa?

Tapi kenapa mataku gak mau berhenti menatapnya. Astaghfirullah, ya Tuhan cerahkan pikiran Sarah.

Dava tersenyum miring, kayaknya dia sadar lagi di tatap sama aku. Akhirnya aku memilih memalingkan wajahku dan menatap jendela. Malu banget.

Selama perjalanan hanya ada keheningan. Sampai akhirnya Dava membuka suara.

"Lo kurusan, ya."

Aku menoleh cepat pada Dava. "Apa?"

"Lo diet?"

Aku menunduk memperhatikan tubuhku. Kurusan? Masa iya? Emang sih sebenarnya akhirh-akhir ini aku lebih mengurangi porsi makanku. Tapi masa iya langsung kurus.

"Enggak."

"Terus kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa."

"Oh, karena mikirin kak Radit, ya?"

Eh, ini orang ada apa sih?

"Enggak juga."

Tiba-tiba Dava menepikan mobilnya. Aku terkejut. Oh, mungkin Dava menyuruhku untuk turun.

Aku segera bersiap. "Mau kemana?" tanya Dava membuatku bingung.

"Turun," jawabku.

"Emang rumah Lo di sini?"

Aku menggeleng. "Gue mau ngomong sama Lo." Seharian ini Dava masang wajah dingin, tapi suaranya sangat lembut.

"Apa?"

"Lo jangan dekat-dekat sama kak Radit."

Itu lagi, Dava selalu bilang gitu.

Aku menghela nafas panjang. "Kenapa sih, Va, Lo ngatur banget hidup kakak Lo sama gue?" Aku menjeda ucapanku, "kalau Lo gak suka sama gue, ya gak masalah, tapi jangan larang gue buat dekat sama kakak Lo."

"Lo suka sama kakak gue?"

"Iya, gue suka sama kak Radit, dia baik, perhatian, pengertian, peduli sama gue."

Aku bisa melihat rahang Dava mengetat. "Pokoknya gue gak suka Lo deket-deket sama kak Radit."

"Kenapa?! Kak Radit gak keberatan kok gue dekat sama dia. Bahkan di saat gue mau move on, dia cari-cari gue lagi. Terus kenapa Lo masalahin sih? Kenapa sih, Va? Kenapa?!"

"Karena gue gak suka liat Lo deket sama cowok lain!"

Seketika aku terdiam. Apa maksudnya?

***

*Bersambung*

Asyikk...up lagi nih..

Maksud Dava apa sih? Ayo ada yang mau jawab? Tebak-tebak cus... 😁😁😁























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top