6

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Sarah mengeluarkan semua pakaiannya yang ada di dalam lemari bajunya. Pakaian-pakaian itu sekarang menumpuk di atas tempat tidurnya, bahkan saking banyaknya ada juga yang berceceran di lantai.

Hari ini dia berniat untuk memulai sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan dilakukan olehnya.

Dia akan menyingkirkan semua blouse, kemeja, dan jeans kesayangannya dari dalam lemarinya karena dia sudah bertekad untuk menggunakan pakaian muslimah yang sesungguhnya.

"Beneran kamu mau pake ghamis sama hijab syar'i?" itulah yang Deska tanyakan padanya saat dia mengutarakan niatnya untuk memakai ghamis dan hijab syar'i saat di perjalanan pulang dari rumah sakit, "Masya Allah. Pantesan dari tadi kamu nanyain terus tentang ghamis sama hijab syar'i ternyata kamu udah ada niat buat pake ghamis sama hijab syar'i."

Saat itu Sarah langsung menggeleng, "Niat gue baru muncul pas denger lo bilang ke Meri kalau Allah itu Maha Baik, sebelumnya gue sama sekali nggak ada niat buat pake baju begituan walaupun lo udah ngejelasin hukum tentang jilbab dan hijab."

Deska menatap Sarah dengan tatapan super terkejut, secara otomatis kaki kirinya menekan pedal rem, hingga gerak mobil yang dia kendarai langsung berhenti.

"Masya Allah, Sarah." Deska langsung memeluk Sarah dengan erat, "Aku seneng banget dengernya. Kamu inget nggak pas semester enam aku dan Meri sering banget ceramahin kamu tentang keutamaan jilbab dan hijab tapi kamu malah marah ke kami berdua. Bilang kalau kami itu sok ngatur dan kamu juga sempet jauhin kami....." Deska benar-benar merasa senang.

Sarah membalas pelukan Deska, "Allah maha membolak-balikkan hati dan sepertinya saat ini Allah telah membalikkan hati gue ke arah yang baik. Jadi gimana caranya biar hati gue nggak balik lagi ke arah yang nggak baik?"

Deska melepaskan pelukannya, "Jangan ditunda. Kalau bisa kamu segera singkirin baju-baju kamu yang nggak syar'i dari dalam lemari kamu."

"Kayanya baju gue nggak syar'i semua deh. Gue nggak pernah beli ghamis sekalinya dibeliin ghamis sama Mama atau sama Bang Ari gue kasihin ke orang soalnya nggak pernah gue pake."

"Ya udah singkirin semuanya kecuali baju tidur."

"Terus nanti gue pake apa?"

"Peke bajulah ukhti, masa pake karung," Deska kembali melajukan mobilnya.

"Jangan panggil gue ukhti gue geli banget dengernya."

"Kok geli?"

"Nggak tahu kenapa gue nggak nyaman. Rasanya nggak cocok aja gue dipanggil kaya gitu. Itu kan buat panggilan cewek-cewek muslimah yang sering ikut kajian."

Deska langsung tertawa, "Kata siapa. Ukhti kan artinya saudariku jadi bebas dong, tidak terbatas oleh apapun."

"Eh kok berhenti sih?" tanya Sarah saat Deska menghentikan mobilnya di depan sebuah butik muslimah.

"Temenin aku belanja yah."

Tanpa menunggu persetujuan dari Sarah, Deska langsung turun dari dalam mobil. Sarah pun akhirnya ikut turun.

Ini kali pertama bagi Sarah masuk ke butik yang khusus menjual pakaian muslimah.

"Ini bagus nggak?" Deska menunjukkan sebuah ghamis berwarna milo dengan bahan motif monalisa.

"Bagus," jawab Sarah.

"Menurut kamu bagusan warna milo apa biru tosca?"

"Biru tosca."

"Ya udah aku ambil yang biru tosca. Kalau ini bagus nggak?" Kini yang Deska tunjukkan sebuah ghamis motif kotak-kotak kecil berbahan cotton berwarna lavender.

"Bagus."

"Bagus aja apa bagus banget?"

"Bagus aja."

"Terus menurut kamu yang bagus banget yang kaya gimana?"

Sarah mengedarkan pandangannya, memperhatikan ghamis-ghamis yang terpasang di manekin, "Gue nggak tahu mana yang bagus. Gue nggak pernah beli ghamis."

"Seenggaknya coba pilih yang menurut kamu enak pas dipake."

"Harus yah gue yang milih?"

Deska mengangguk sambil tersenyum manis.

Mau tidak mau Sarah mulai memilih beberapa ghamis yang menurut dia nyaman saat dipakai dan modelnya juga bagus.

"Cuma tiga?" tanya Deska saat Sarah hanya menunjukkan tiga ghamis berbahan dasar wollycrepe dan cotton yang menurutnya bagus.

"Emang lo mau beli berapa sih?"

"Tujuh."

"Gila banyak banget. Buat apa beli banyak-banyak?"

"Buat dipakelah. Masa buat dibuang. Ayo pilih dua lagi ini kan baru dapet lima!"

"Nggak mau ah lo aja yang milih. Kan lo yang mau beli bukan gue."

"Ayo Sarah dua lagi. Aku pengen kamu yang milihin," ucap Deska sambil memberikan tatapan memohon.

Sarah cemberut tapi dia tetap menuruti keinginan Deska.

"Pilihnya yang bener-bener kamu suka yah," pinta Deska, mengingatkan Sarah agar tidak asal memilih.

Sarah mengangguk. Dia berjalan ke arah deretan ghamis tanpa motif. Memperhatikan modelnya selama beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih ghamis tersebut. Dia mengambil warna navy dan black.

"Ini," Sarah menunjukkan dua ghamis itu ke arah Deska.

Deska mengangguk. Keduanya langsung berjalan ke arah kasir.

"Mbak ini ada khimarnya kan?" tanya Deska pada kasir karena ghamis yang mereka pilih didisplay tanpa khimar atau kerudung.

"Ada mbak. Mau sekalian dengan khimarnya?"

"Iya mbak."

Si kasir itu pun menyuruh rekan kerjanya untuk mengambilkan tujuh khimar yang sesuai dengan ghamis yang sudah Sarah dan Deska pilih.

"Totalnya jadi dua juta empat ratus lima beras ribu," ucap si kasir.

Deska langsung menyerahkan kartu debitnya pada kasir tersebut. Setelah proses pembayaran selesai keduanya kembali ke mobil.

"Gila banyak lo beli ghamisnya?" tanya Sarah saat keduanya telah berada di dalam mobil.

Deska hanya tersenyum. Menjalankan mobilnya dengan tenang.

Setengah jam kemudian merekapun sampai di rumah Deska.

"Itu ghamis buat kamu semua," ucap Deska saat Sarah akan turun dari mobil.

"Apa?"

"Itu ghamis buat kamu semua," ucap Deska mengulangi kata-katanya.

Sarah langsung menggeleng, "Ih apaan. Aku nggak mau," Sarah menolak dengan tegas.

"Please Sarah terima."

"Nggak! Gue bisa beli sendiri."

"Jangan tersinggung Sarah. Aku ikhlas beliinnya. Hitung-hitung itu hadiah."

"Hadiah dalam rangka apa? Gue nggak lagi ulang tahun jadi lo nggak usah ngasih gue hadiah apapun."

"Please Sarah," Deska melipat kedua tangannya di dada, memandang Sarah dengan pandangan mengiba.

Sarah menghela napas panjang, dia paling anti diberi sesuatu oleh orang lain kecuali Petang. Sebisa mungkin kalau memang dia mampu dia akan membelinya sendiri.

"Please Sarah terima yah. Ini titipan dari Allah."

"Maksud lo?" Sarah mengerutkan keningnya bingung.

"Semua yang aku miliki pada hakikatnya milik Allah, termasuk uang yang barusan aku pake buat beliin ghamis buat kamu, jadi semua ghamis ini bukan dari aku tapi dari Allah. Aku cuma perantara aja."

"Tapikan..."

"Please Sarah. Terima yah."

"Iya gue terima," ucap Sarah akhirnya, "Tapi nanti gue bayar. Lo chat aja noreknya."

"Nggak usah diganti, orang itu bukan uang aku tapi uang Allah jadi kalau kamu niat buat gantiin itu uang, kamu langsung bayar aja ke Allah jangan ke aku."

"Gimana caranya? Nggak usah bercanda deh."

"Caranya kamu harus berjuang untuk tetap istiqamah dijalan-Nya. Seberat apapun cobaan yang nanti akan datang menghadang jalan hijrahmu, jangan sekali-kali kamu memilih untuk mundur," ucap Deska sambil menyentuh bahu Sarah, "Jadi jangan ditolak yah, kalau ditolak itu berarti kamu menolak pemberian Allah."

Sarah kembali menghela napas panjang, sebelum akhirnya menerima semua ghamis pemberian Deska.

Assalamualaikum...
Assalamualaikum...
Assalamualaikum...

Bel pintu yang berbunyi dengan nyaring, menyadarkan Sarah untuk berhenti mengingat-ingat apa yang telah terjadi kemarin.

"Selamat sore, Mbak." seorang kurir antar barang yang sudah berdiri di depan pintu rumah Sarah menyapa Sarah dengan sopan, "Ini ada paket untuk Mbak Sarah Azkia Hermawan."

Sarah mengerutkan keningnya, "Paket buat saya? Perasaan saya nggak mesen apa-apa deh. Masnya salah kali."

"Nggak mbak. Disini tertulis jelas nama dan alamat mbak."

"Siapa pengirimnya?"

"Muhammad Raiq Alfarezel."

"Huh?" Sarah terperangah saat mendengar nama itu disebut. Itu adalah nama asli Petang. Muhammad Raiq Alfarezel, nama yang terlalu bagus untuk disandang oleh Petang.

Panggilan Petang sendiri tercipta gara-gara sebuah puisi yang Petang buat dan baca saat kelas lima SD. Sebuah puisi yang benar-benar aneh, hingga berhasil membuat seisi kelas tertawa termasuk Bu Susi, wali kelas mereka saat itu.

Aku suka petang..
Tapi aku tidak tahu Petang itu apa?

Aku bingung...
Akhirnya kutanya Sarah.
Sarah pun bingung.

Jadi Petang itu apa?
Biarlah Petang sendiri yang menjawabnya.

"Jadi Petang itu apa, Raiq?" tanya Ibu Susi kala itu.

Saat itu Petang yang baru berusia sepuluh tahun harus berpikir super keras untuk mendapatkan jawaban dari puisi yang dia buat sendiri, hingga akhirnya jawaban tak kalah anehpun terucap dari bibir Petang, "Petang adalah aku, dan aku adalah Petang karena aku lahir di waktu Petang."

Ibu Susi kembali tertawa sambil bertepuk tangan, "Jawaban yang bagus Raiq."

Karena puisi itulah Muhammad Raiq Alfarezel sering dipanggil dengan sebutan Petang oleh teman-teman sekelasnya, termasuk Sarah yang memang dari jaman TK sampai SMA selalu satu sekolah dengan Petang, namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Tidak sampai satu bulan teman-teman kembali memanggilnya dengan sebutan Raiq tapi tidak dengan Sarah, dia tetap memanggil Raiq dengan sebutan Petang karena dia suka dengan jawaban yang Petang berikan kepada ibu Susi, yaitu Petang adalah aku dan aku adalah Petang karena aku lahir di waktu Petang.

"Jadi gimana mbak ini paketnya?" Pertanyaan dari kurir jasa antar barang menyadarkan Sarah dari lamunannya.

Sarah merutuki dirinya yang hari ini sering sekali melamun, "Oh..iya Mas. Itu dari temen saya. Makasih yah."

"Iya sama-sama mbak. Permisi."

Setelah kurir jasa antar barang pergi Sarah langsung membuka paket yang Petang kirim untuknya.

Mata Sarah membulat sempurna saat melihat apa yang telah Petang berikan padanya. Petang memberinya enam novel karya Sibel Eraslan, dengan judul Maryam, Khadijah, Fatimah, Asiyah, Hajar, dan Aisyah. Enam novel ini adalah novel yang memang ingin dia beli dari jaman dia masih kuliah semester satu gara-gara dia pernah membaca sebuah novel Romance Islami yang sebagian isinya menceritakan tentang kemulian enam wanita mulia penghuni surga, dan si penulis memberitahu bahwa referensinya didapatkan dari karya-karya Sibel Eraslan.

Cuman anehnya Sarah selalu tidak jadi membeli keenam novel itu karena disaat punya uang dan pergi ke toko buku niatnya selalu berubah haluan, bukannya membeli novel Sibel Eraslan tapi yang dia beli malah novel-novel Romance yang selalu memenuhi rak best seller.

"Kok lo beli itu sih? Bukannya lo kesini niatnya mau beli karya Sibel.. Sibel apa teh gue lupa?" Pertanyaan itu Petang tanyakan dikala Sarah malah mengambil novel Romance dewasa dari rak best seller.

"Eraslan."

"Iya Sibel Eraslan."

"Nanti aja deh beli yang Sibel Eraslan nya."

"Kenapa?"

"Gue pengen beli yang ini dulu. Kayanya seru deh ceritanya."

Petang menatap Sarah dengan tatapan jengah, "Sarah, lo tahu nggak?"

"Tahu apa?"

"Antara novel yang sekarang lo pegang sama novel yang nggak jadi lo beli itu ibarat neraka dan surga."

"Maksud lo apa sih?"

"Lo beli ini berarti lo pilih neraka dan ninggalin surga."

Sarah langsung memukul kepala Petang dengan novel yang ada di tangannya, "Asal aja lo kalau ngomong."

"Ih sakit bego," gerutu Petang sambil menoyor kepala Sarah, "Gini-gini walaupun shalat gue masih ada bolongnya. Gue tahu apa perbedaan surga dan neraka. Novel Romance dewasa yang lo pegang isinya pasti tujuh puluh persen tentang percintaan yang berbau seks. Ngaku nggak loh? Dan buku yang lo nggak jadi beli no romance and no sex, tapi syarat akan makna karena ditulis berdasarkan kisah nyata para wanita mulia yang udah dijamin kedudukannya di surga."

Saat itu tentu Sarah tidak terima Petang menjelek-jelekkan novel yang hendak dia beli, sebab novel itu ditulis oleh salah satu penulis favoritenya, "Meskipun tujuh puluh persen isinya tentang percintaan yang berbau seks tapi tetep aja ada pesan moral yang penulisnya hendak sampaikan ke pembacanya. Bukan tulisan kosong yang nggak ada maknanya."

"Apa pesan moralnya? Kalau patah hati jangan bunuh diri. Kalau punya suami nggak romantis selingkuh aja. Atau, nggak apa-apa tinggal satu rumah meskipun belum nikah."

"Apaan sih lo? Pokoknya gue pengen beli novel ini dan ini," Sarah langsung mengambil dua novel Romance dewasa karya dari penulis favoritenya dari jaman dia SMA.

"Inget umur. Umur lo belum cukup buat baca novel itu."

"Gue tipe pembaca yang cerdas. Gue tahu mana yang baik dan nggak baik buat gue baca."

Petang langsung tertawa, "Kalau lo tipe pembaca cerdas harusnya lo tahu mana yang boleh dan nggak boleh lo baca. Bukan malah milih bacaan yang sebenarnya belum boleh lo baca tapi lo malah baca. Itu benar-benar ciri-ciri orang bodoh bukan cerdas."

Kesal dengan apa yang Petang katakan, tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di sekitarnya Sarah langsung melemparkan kedua novel yang ada di tangannya ke wajah Petang, "Gue benci lo."

"Tapi anehnya kok gue sayang yah sama lo," ucap Petang kala itu sambil memunguti dua novel yang dilemparkan Sarah tepat ke depan wajahnya.

Benar-benar Petang yang menyebalkan. Tapi anehnya dia tidak pernah bisa benar-benar membenci Petang. Mulutnya memang telah berucap benci namun tidak dengan hatinya.

Petang : Kiriman gue udah nyampe kan?

Petang : Itu buku Ori loh. Se-ori permintaan maaf gue ke lo.

Petang : Tahu nggak, Sar? Pas gue beliin lo tiket konser CNBLUE kemarin gue ngerasa gue lagi bawa lo menuju neraka. Tapi pas gue beliin enam novel itu gue kaya lagi ngajak lo jalan menuju surga. Hahaha...

Petang : Harus lo baca yah! Itu harganya mahal walaupun tetep nggak semahal tiket konser.
Berarti bener yah apa kata orang, kalau jalan menuju surga itu murah dan jalan menuju neraka itu mahal. Tapi anehnya kenapa tetep pada rebutan beli tiket ke neraka? Dan tiket ke surga malah sepi senyap...

Petang : Jangan diread doang 😑😑

Petang : 😖😖😖

Petang : Maafin gue, Sarah.

Sebersit senyuman terbit di wajah Sarah saat membaca tumpukkan chat yang Petang kirimkan untuknya. Namun dia sama sekali tidak ada niat untuk membalas chat itu.

Jalan ke Surga dan Neraka itu sudah dilengkapi dengan penunjuk jalan yang jelas. Tapi kenapa masih banyak yang nyasar? Buta arahkah atau pura-pura buta? Seketika pemikiran itu memenuhi kepala Sarah.

🍒🍒🍒

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top