10
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
"Masih sakit?" Tanya Petang saat melihat Sarah masih saja memegangi keningnya.
"Sakit lah," jawab Sarah. Bibirnya mengerucut sebal.
"Ya udah sebagai ganti rugi gue teraktir lo makan siang. Terserah lo mau makan di mana?"
"Gue juga ditraktir kan?" tanya Ari pada Petang.
"Yailah. Disaat gue ngajak Sarah jalan ke luar gue juga harus ngajak lo dan disaat gue neraktir Sarah berarti gue juga harus neraktir lo?"
Ari tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu kiri Petang, "Anak pinter."
Petang mengabaikan ledekkan Ari, perhatiannya tertuju pada Sarah, "Lo mau makan dimana?"
Sarah terlihat berpikir.
Petang membuang muka keluar saat tersadar kalau sedari tadi dia terus saja memperhatikan Sarah melalui kaca spion.
"Aku pengen makan di Amuz."
Ari langsung nyengir sedangkan Petang langsung melotot.
"Lo mau bikin gue bangkrut, Sar?"
Sarah memasang wajah super polos, "Abang tadi siapa sih yang bilang mau ganti rugi terus nawarin aku boleh milih makan dimana aja?"
Ari terkekeh sambil menunjuk ke arah Petang.
Petang menggerutu tapi dia tetap menjalankan mobilnya ke jalan Jenderal Sudirman, SCBD.
"Yakin mau makan di Amuz?" tanya Ari sambil menoleh ke arah Sarah.
"Eh nggak jadi deh. Kita makan di rumah makan Bu Retno aja. Kasihan Petang kalau kita makan di Amuz bisa-bisa dia beneran bangkrut."
Petang menghembuskan napas lega, "Lo emang sahabat yang paling pengertian," ucapnya sambil tersenyum sumringah.
Sarah hanya balas tersenyum, perhatiannya kembali fokus menatap ke arah jalanan yang dilewati.
Begitu banyak keluh yang sering mengisi relung hatinya, namun ketika melihat kehidupan diluar sana Sarah rasa kesusahan yang dia rasakan selama ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesusahan yang dialami banyak orang diluar sana. Jangan pun pekerjaan yang tidak mereka miliki, bahkan mereka pun tak memiliki rumah untuk bernaung. Mereka tidur di emperan toko dan di kolong jembatan. Anak-anak mereka tidak mampu mengenyam pendidikan karena keterbatasan biaya. Pemerintah memang menggratiskan Sekolah Dasar, namun tetap saja pungutan biaya itu ada. Bayar iuran uang kas, pembelian LKS, pembelian seragam, dan alat-alat tulis. Ditambah lagi sekarang sebelum masuk Sekolah Dasar anak-anak diharapkan sudah terlebih dulu mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak, sedangkan setahu Sarah tidak ada taman kanak-kanak yang gratis.
🍒🍒🍒
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di rumah makan Bu Retno.
"Samain aja pesennya," ucap Sarah saat Petang menanyakan Sarah ingin memesan apa.
"Kamar mandi dulu," pamit Ari pada Sarah dan Petang.
Sarah dan Petang mengangguk.
"Lo udah punya calon, Sar?" tanya Petang selagi menunggu pesanan mereka datang.
Sarah yang tengah menatap ke arah satu keluarga yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk langsung mengalihkan pandangannya ke arah Petang, "Calon apa?"
"Calon suamilah, masa calon presiden."
"Belum," jawab Sarah, pandangannya menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan chat dari Deska.
"Kata Bang Ari lo udah punya calon."
"Hmm."
"Sarah gue lagi ngajak lo ngomong!" Petang terlihat kesal saat Sarah tidak memperhatikannya.
"Iya Petang. Aku dengerin kok," jawab Sarah tanpa mau repot menatap wajah Petang.
"Bang Ari bilang Satria calon lo?"
Sekilas Sarah mengangkat wajahnya, menatap Petang dengan tatapan bingung, "Kak Satria mau dijodohin sama aku?" Bukannya menjawab pertanyaan Petang, Sarah malah balik bertanya.
"Kenapa lo malah balik nanya?" Petang menatap Sarah dengan tatapan gemas.
"Karena aku nggak tahu?"
"Masa sih nggak tahu?"
"Kak Satria itu Kakaknya Deska dan ternyata dulu pernah satu SMP sama Kak Ari, jadi singkat cerita mereka tuh saling kenal. Bahkan temenan pas SMP. Itu aja yang aku tahu. Untuk urusan jodoh-jodohan aku sama sekali nggak tahu."
"Satria orangnya kaya gimana?"
"Baik."
"Baik aja?" Petang ingin mendengar jawaban lebih dari itu.
"Kak Satria tampan, baik, sopan, mapan dan shaleh."
"Berarti Satria bukan tipe lo yah?"
"Ih kenapa sih ngomongin Kak Satria mulu?" kesal Sarah.
"Gue kan cuma mau tahu aja. Kaya apa si Satria yang mau dijodohin sama lo," jawab Petang ikutan kesal, "Prinsip Lo sekarang masih sama kan?"
Dahi Sarah berkerut, "Prinsip apa?"
"Prinsip kalau lo nggak mau punya calon suami yang shaleh?"
Sarah menggeleng, "Prinsip itu udah aku buang jauh-jauh."
"Apa gara-gara Satria?"
"Apaan sih Petang. Kok kamu nggak nyambung sih dari tadi Kak Satria lagi Kak Satria lagi yang dibahas. Aku ngebuang prinsip itu bukan karena Kak Satria tapi karena Allah," ucap Sarah tegas. Dia mengeluarkan buku catatannya dari dalam tasnya. Lantas menyuruh petang untuk membaca deretan kalimat yang terdapat di dalam buku tersebut.
Petang pun membacanya, "Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidzahullah pernah berkata, 'Apabila engkau tidak berhasrat untuk menikah dengan seseorang maka engkau tidaklah berdosa untuk menolak pinangannya, walaupun ia seorang laki-laki yang shalih. Karena pernikahan dibangun di atas pilihan untuk mencari pendamping hidup yang shalih disertai dengan kecenderungan hati terhadapnya. Namun bila engkau menolak dia dan tidak suka padanya karena perkara agamanya, sementara dia adalah seorang yang shalih dan berpegang teguh pada agama maka engkau berdosa dalam hal ini karena membenci seorang mukmin, padahal seorang mukmin harus dicintai karena Allah, dan engkau berdosa karena membenci keteguhannya dalam memegang agama ini. Akan tetapi baiknya agama laki-laki tersebut dan keridhaanmu akan keshalihannya tidaklah mengharuskanmu untuk menikah dengannya, selama tidak ada di hatimu kecenderungan terhadapnya. Wallahu a’lam.'" Petang terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengajukan sebuah pertanyaan pada Sarah, "Jadi bila nanti ada laki-laki yang shaleh ngelamar lo. Lo bakal terima dia?"
"Bila memang aku menyukainya, tentu aku akan menerimanya."
"Jadi Lo bakal nerima lamaran si Satria?"
Sarah melotot kesal, "Astagfirullah Petang. Kamu tuh kenapa sih? Kenapa balik lagi balik lagi ke Kak Satria?"
"Lo suka nggak sama dia?"
"Nggak," jawab Sarah ketus sambil kembali memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Terus yang lo suka siapa?"
"Belum ada," jawab Sarah tegas.
"Lo bakal ngasih tahu gue kan."
"Ngasih tahu apa?"
"Ngasih tahu gue kalau nanti ada yang ngelamar lo dan ternyata Lo suka sama dia."
"Emang penting buat kamu?"
Kini gantian Petang yang melotot, "Lo penting buat gue. Dan Lo masih nanya kaya gitu ke gue?"
Sarah terkekeh, "Biasa aja dong. Nggak usah ngambek kaya gitu."
Petang memukul kepala Sarah dengan botol air mineral 600ml yang tinggal setengah isinya.
"Sakit," Sarah membalas memukul kening Petang dengan sendok yang memang sudah tersedia di atas meja dengan cukup kencang hingga membuat Petang mengaduh kesakitan.
"Sadis banget lo. Benjol nih jidat gue."
"Suruh siapa mukul duluan. Oh iya, aku ada rencana buat buka usaha. Kira-kira kamu mau nggak nanamin modal."
"Usaha apa?"
"Bikin kerajinan dari baju-baju bekas aku yang udah nggak kepake."
"Mau lo jadiin apa emang baju-baju bekas itu?"
"Macem-macem. Dari mulai pernak-pernik yang mempercantik rumah sampai tas."
"Emang lo butuh modal berapa?"
"Lima juta. Aku udah bikin rincian biayanya," Sarah menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan rincian biaya yang dibutuhkan untuk memulai usahanya.
"Kalau nggak laku gimana?"
"Kok kamu pesimis sih? Allah itu mengikuti prasangka hambanya. Sebagai hamba yang percaya akan kuasa Allah kita itu harus optimis. Kalau Allah ridho pasti semuanya akan berjalan sesuai dengan yang kita harapkan."
Petang tersenyum, tanpa sadar dia memperhatikan wajah Sarah yang terlihat cantik saat mengemukakan rencananya untuk membuka usaha yang sepertinya sudah dia yakini akan berhasil, "Muka lo pakein apa. Kok sekarang jerawat lo pada ngilang?" tanyanya pada Sarah yang masih serius bicara tentang rencana usahanya.
Sarah refelek menyentuh wajahnya, "Pake air wudhu."
"Kok bisa? Kemarin-kemarin jugakan Lo pasti wudhu pas mau shalat."
"Kemarin-kemarin kan aku wudhunya kaya kucing males kena air, asal basah aja. Nggak merhatiin mana aja yang harus dibasuh. Gimana cara ngebasuh yang bener biar nggak ada bagian yang kelewat. Padahalkan syarat sah shalat itu harus dalam keadaan suci. Kalau wudhu kita nggak bener itu berarti shalat kita nggak akan sah. DR. Sagiran, M.Kes, Sp.B dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat menuliskan, bahwa membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua siku dan seluruh anggota wudhu secara umum memiliki manfaat yang sangat besar dalam menghilangkan keringat dan kuman-kuman dari permukaan kulit. Air wudhu juga berfungsi membersihkan kulit dari kandungan minyak yang tertahan di kelenjar kulit. Dan bener kuman-kuman di muka aku hilang dan jerawatpun musnah," jelas Sarah panjang lebar, "Udah jangan terus ngelihatin aku. Itu namanya zina mata," ucap Sarah menyinggung Petang yang sedari tadi terus saja menatap wajahnya.
Petang sontak langsung mengalihkan pandangannya, "Bang Ari lama banget. Gue susul yah. Barangkali dia pingsan di toilet."
Sarah terkekeh, "Iya sana susul."
Petang beranjak dari duduknya, lantas berjalan ke arah toilet. Tak lama keduanya kembali. Wajah Ari terlihat pucat.
Sarah langsung beranjak dari duduknya, "Ada apa?" tanyanya khawatir.
Bukannya menjawab Ari malah membawa tubuh Sarah ke dalam pelukannya. Dia mendekap tubuh adiknya dengan sangat erat.
Sarah makin kebingungan, dia menatap ke arah Petang yang berdiri di belakang tubuh Ari. Namun Petang tidak mengatakan apa-apa.
"Kasih tahu aku Bang. Apa yang terjadi?" tanya Sarah pada Ari.
"Papa..."
Mendengar kata Papa seketika tubuh Sarah membeku. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir Sarah.
"Papa meninggal, Sarah," ucap Ari dengan suara yang terdengar sangat parau.
"Jangan bercanda," Sarah langsung melepaskan tubuhnya dari pelukan Ari. Dengan langkah cepat dia keluar dari rumah makan tersebut.
Ari terduduk lemas di atas kursi.
"Gue kejar Sarah dulu, Bang."
Ari hanya mengangguk. Tangannya yang gemetar mencoba mengirimkan pesan kepada sanak keluarga. Memberitahukan kabar duka itu.
"Sarah!" Petang meraih pergelangan tangan Sarah. Namun dengan cepat Sarah menepisnya, "Lo nggak bisa lari dari kenyataan!"
"Aku nggak mau denger!" teriak Sarah pada Petang yang kini berdiri di hadapannya.
"Meskipun Lo nggak mau denger tapi tetep itu kenyataannya. Papa lo udah meninggal dan sekarang lo harus ikut gue dan Bang Ari ke Solo sebab Papa lo bakal di makamin disana sore ini juga."
"Nggak! Aku nggak mau kesana! Aku nggak mau kesana!"
Rasa benci, kecewa, takut dan sakit yang tak tertahankan membuat Sarah kehilangan kesadarannya. Kegelapan menyergapnya. Meniadakan rasa sakit yang menghantam jiwanya.
🍒🍒🍒
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top