Capter 04

Nigel kaget bukan kepalang saat mendengar Tuan Bridget mengatakan kalau Diana sudah mati. Jelas tidak ada canda dalam mimik wajah dan juga nada suaranya. Perkataan itu terdengar serius dan spontan.

Jantung pemuda itu berdegup kencang. "Maaf Tuan Bridget, jangan bercanda. Dari mana Anda mengetahuinya?"

Tuan Bridget menyedot asap tembakau dari cangklong dan menghembuskannya. Gumpalan asap menyembur dan segera masuk ke lubang kecil di langit-langit. "Dia tidak menunjukkan batang hidungnya selama tiga hari terkahir dan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, bahkan ibunya sendiri pun tidak tahu."

"Anda menganggap Diana sudah mati karena ia menghilang selama tiga hari?"

"Apa ada alasan baginya untuk menghilang lema tiga hari?"

"Anda membutaku kaget. Aku akan mencari tahunya sendiri nanti."

"Baguslah." Tuan Bridget menghisap kembali nikotinnya. "Lalu, apa kau ke mari hanya ingin mencari wanita itu?"

"Oh, benar juga. Apakah Anda memiliki peta menuju Reruntuhan Zebrulgard?"

"Kenapa kau mencari peta itu? Apa kau akan ke sana? Kenapa kau ingin pergi ke tempat terkutuk seperti itu? Ada apa di sana?"

Telinga Nigel tidak menangkap rentetan pertanyaan yang dilontarkan Tuan Bridget barusan. Namun, ada satu kata yang membuatnya tertarik.

"Terkutuk?" Nigel tampak keheranan. Seharusnya, gift ilmu pengetahuan yang ia dapat pasti menjelaskan mengenai tempat itu. Tapi, gift tersebut tidak memberitahukan informasi apa pun. Mungkin gift ini tidak sepenuhnya memberitahukan data yang umum.

"Ya, seperti yang kau pikirkan." Tuan Bridget mendekatkan wajah lebarnyanya ke pemuda di depannya itu. Tampang menyeramkan ia suguhkan sekarang. "Di malam hari, kau tidak akan melihat setitik cahaya pun di sana. Kau bahkan tidak bisa menyalakan api sekecil apa pun. Kegelapan menguasai reruntuhan itu. Tempat terkutuk dari yang terkutuk."

Tuan Bridget mencoba menakuti namun, sayangnya Nigel tidak menunjukkan kecemasan apa pun.

Pria tua itu tampak kesal karena candaannya tiak berhasil. Ia segera mengambil gulungan kertas di lemari tak jauh darinya dan di berikannya pada Nigel. "Aku tidak punya peta khusus. Aku berikan peta negara kita saja. Di sana tertera jelas jalan menuju Reruntuhan Zebrulgard dan semua tempat yang ada di negri ini."

Nigel menerimanya dan langsung membentangnya. Peta berbetuk persegi itu menunjuk semua tempat di negaranya.

"Aku tidak menyangka negara kita sekecil ini," ujar Nigel. Matanya menelusuri kotanya – Kota Ertonburg – ke Reruntuhan Zebrulgard.

"Harganya sepuluh keping perak," saut Tuan Bidget.

"Apa! Itu terlalu mahal untuk harga segulung kertas." Nigel potes.

"Kau benar juga. Harganya lima belas koin perak." Justru sekarang laki-laki tua itu menaikkan harganya.

"Baiklah, sepuluh keping perak." Nigel mengambil uang peraknya dan membayar peta sesuai harganya.

Tuan Bridget menerima uang itu dengan wajah masam. Sedangkan Nigel menyimpan petanya dibalik baju.

Nigel segera pergi meninggalkan Tuan Bridget, ia keluar dari toko peralatan sihir yang terlihat sesak tersebut. Kali ini, ia berencana akan menuju rumah Diana, ia ingin menemui wanita tua yang berharap bakal jadi calon mertuanya.

Ia berjalan santai melintasi trotoar, melewati beberapa toko yang menawarkan berbagai macam barang. Ia juga melewati toko perhiasan. Ada banyak sekali berlian dan permata yang berkolaborasi dengan emas dan perak membentuk kalung dan gelang, yang harganya sudah pasti melebihi angka di dalam tasnya. Nigel tidak perduli, ia terus melangkahkan kakinya.

Terlihat pula sebuah toko busana. Di toko itu, sebuah gaun dipajang di balik kaca tebal. Gaun super mewah berwarna hijau. Terdapat banyak renda pada gaun itu membuatnya begitu elegan. Nigel yakin, hanya para bangsawan yang mengenakan gaun semacam itu. Sama seperti sebelumnya, ia hanya melihat dan tidak terlalu perduli.

Pemuda itu terus berjalan lalu berbelok ke kiri, ke luar dari jalan utama. Jalan yang ia lewati sekarang jauh lebih kecil, mungkin hanya bisa di lewati satu kereta kuda saja. Menanjak dan berkelok.

Nigel mendongak. Di atas bukit, Nigel bisa melihat rumah tua dengan tanaman merambat tumbuh di dinding rumah tersebut. Menjorok ke belakang tepat di sebelah pohon besar yang rimbun. Itulah rumah Diana yang menjadi tujuannya. Namun masih berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.

Saat ia kembali menatap ke depan, sebuah bar adalah bangunan yang ada di hadapannya sekarang. Nigel tidak mempermasalahkan tempat mabuk itu namun, ia lebih tertarik dengan dua laki-laki yang ada di depan bar tersebut. Nigel mengenali salah satunya. Bagaimana tidak, laki-laki itu adalah saingan cintanya. Pacar Diana yang sekarang. Dan sepertinya, laki-laki itu juga mengenali Nigel. Terlihat jelas dari sorot matanya saat kedua mata mereka bertemu.

Nigel membelokkan langkahnya dan menghampiri laki-laki itu. "Martin Dostal?"

"Ya. Dan kau pasti Nigel," saut laki-laki itu.

Laki-laki teman Martin meninggalkan dua pemuda itu, ia masuk ke dalam bar.

Nigel sekarang tahu kenapa semua wanita tergila-gila padanya. Ketampanannya terlihat jelas dengan jarak sedekat ini.

Rambut emasnya tergerai cemerlang di bawah sinar matahari. Kulit wajahnya halus, bahkan tidak terdapat bintik coklat di sana. Begitu pula dengan matanya, iris mata berwarna emas terlihat seperti permata topas yang berkilauan. Saat ini, ia mengenakan kemeja linen putih polos dengan rompi berwarna merah. Setelan itu jelas menambah pesonanya. Nigel sempat rendah diri karena ketampanan Martin jauh di atasnya. Namun, bukan berarti ia akan menyerah.

"Aku dengar Diana menghilang. Apakah itu benar?" tanya Nigel.

"Jika tidak, dia sudah bersamaku sekarang." Raut wajah Martin terlihat agak kesal. "Wanita brengsek itu meninggalkan aku dan ibunya begitu saja. Aku yakin, ia sekarang pasti pergi dengan laki-laki kaya."

Nigel agak kesal dengan ucapan Martin barusan. Tuduhan itu seakan menggambarkan Diana adalah pelacur yang memilih uang dari harga diri. Meski Diana cinta uang, namun Nigel yakin wanita pujaannya itu bukan termasuk wanita serendah itu.

"Sudahlah," lanjut Martin. "Jangan ucap nama wanita itu lagi. Aku muak mendengarnya."

Martin meninggalkan Nigel begitu saja dan masuk ke dalam bar, menyusul temannya tadi.

Nigel terdiam sesaat. Ia sempat berpikir, apa Diana memang seperti itu, atau ada alasan lain yang membuatnya harus pergi.

Pemuda itu menepis pemikiran buruk di kepanaya lalu kembali berjalan, melanjutkan langkahnya menuju rumah Diana yang tadi sempat tertunda.

Beberapa menit kemudian, tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau di atas bukit menyambut kedatangan Nigel. Ia segera menyebrangi savana kecil itu dan menghampiri satu-satunya rumah tua di sana.

Nigel mulai mengetuk pintu.

Suara wanita tua menyahut dari dalam. Dan beberapa saat, daun pintu pun terbuka. Seorang wanita setengah baya yang gemuk dan agak bungkuk berdiri di ambang pintu.

"Nigel?" Suara serak ke luar dari mulut wanita renta itu.

"Selamat siang, Nyonya Pelester. Aku dengar Diana menghilang, boleh saya bicarakan hal itu pada Anda?"

"Silahkan, masuklah!" Nyonya Polester membuka pintu agak lebar, membuarkan Nigel masuk ke rumahnya.

Nigel melihat seorang wanita cantik namun tidak asing. Ia duduk di sofa pada ruang tamu rumah tua tersebut.

"Kebetulah sekali Nigel, Anna juga ingin mengatakan sesuatu padaku akan hal itu," tambah Nyonya Polester.

Pemuda itu duduk di sofa bersebrangan dengan Anna.

Nyonya Pelester tidak langsung duduk, ia berjalan makin masuk ke dalam rumah. Ia menuju dapur dan akan membuatkan Nigel secangkir teh.

"Apa yang kau lakukan di sini, Nigel?" tanya Anna berbisik.

"Aku ingin mencari wanita pujaanku, dan aku mulai dari mana jika bukan dari sini," jawab Nigel yang juga berbisik.

"Aku ingin membicarakan sesuatu pada Nyonya Polester, hal penting. Dan aku tidak ingin orang lain mendengarnya." Anna cukup serius dalam ucapannya, meski masih berbisik.

"Tidak apa, Anna." Nyonya Polester tiba-tiba muncul dengan secangkir teh hangat di tangnya. "Biarkan dia mendengarnya juga."

Nyonya Polester duduk di sofa tunggal menghadap Nigel dan Anna setelah ia meletakkan teh hangat itu di atas meja.

"Baiklah." Anna memperbaiki posisi duduknya menghadap Nyonya Polester. "Sebelum Diana menghilang, aku melihatnya pergi bersama Martin Dustal. Mereka menuju hutan di sebelah barat kota. Dan sorenya, aku melihat Mertin kembali, namun tidak dengan Diana."

"Apa kau ingin mengatakan kalau Martin ada hubungan dengan menghilangnya Diana?" tanya Nigel mengonfirmasi.

"Ya." Anna mengangguk mantap.

"Sebelum ke sini, aku bertemu Martin di bar. Dia mengatakan jika kemungkinan Diana pergi dengan laki-laki kaya."

"Omong kosong!" seru Nyonya Polester. Hal ini membuat Anna dan Nigel kaget.

"Itu benar," saut Anna. "Mertin Dustal adalah laki-laki paling licik yang pernah aku temui dalam hidupku, Nigel. Lebih mungkin pohon berjalan dari pada Martin berkata jujur." Nigel bisa menangkap rasa geram dari nada bicara Anna.

Nigel menyeruput teh yang disuguhkan hingga habis, lalu beranjak dari sofa tersebut. "Sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan," ujarnya.

"Nigel, apa yang akan kau lakukan?" saut Anna.

Pemuda itu segera melangkah menuju pintu rumah. "Teh buatan Anda sangat nikmat, Nyonya Polester. Terima kasih." Dan ia pergi dari rumah pujaan hatinya tersebut.

TBC...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top