Capter 03

Bulan yang bertengger di angkasa, berpendar terang dan memancarkan cahayanya ke seluruh dunia. Sinar terang bulan pada malam ini juga menyirami hutan lebat yang mengelilingi Kota Ertonburg sehingga kekelaman menyingkir dari sana. Angin pun berhembus dengan pelan, membelai halus setiap daun yang sudah bekerja keras seharian.

Nigel duduk di depan api unggun di pekarangan rumahnya. Malam ini, ia sedang memasak dengan bahan aneh yang selama ini ia tidak tahu jika semua bahan itu ternyata bisa di makan. Tidak hanya itu, dari gift ilmu pengetahuan yang ia terima dari Dewa Kematian Zanon, ia bisa memasak masakan yang tentu saja belum pernah ia coba sebelumnya. Ia tahu cara memotong sayuran dengan benar, ia tahu cara mengatur besarnya api, dan ia juga tahu cara meracik bumbu sehingga makanan terasa sangat lezat. Tidak menyangka jika ilmu pengetahuan yang ia terima akan seefektif ini dalam kehidupannya.

Seorang wanita setengah baya yang gemuk, masih dengan celemek terikat di dadanya, datang menghampiri Nigel.

"Nigel, apa yang terjadi padamu hari ini, Nak?" tanya wanita itu. Ia duduk di gelondongan kayu di sebelah Nigel. "Kau tidak menjual kayu bakarmu hari ini. Nyonya Mucktelery dan Nyonya Climbuff mencarimu. Apa kau tertimpa masalah?"

Wanita itu, Nyonya Goschel, adalah adik dari mendiang ayah Nigel. Karena menikah dengan Lionel Goschel, seorang petani rempah, nama belakangnya pun ikut suaminya.

"Maaf bibi. Hari ini aku mengalami peristiwa mengerikan, atau mungkin peristiwa luar biasa. Entahlah, aku pun tidak mengerti."

Nyonya Goschel tahu jika awan muram sedang membalut benak keponakannya itu. "Apa ada yang sedang kau pikirkan, Nigel? Jika ada, bicarakanlah padaku."

"Sepertinya aku akan pergi untuk sementara bibi," jawab Nigel muram. "Ada yang harus aku lakukan."

"Apa kau akan kembali?"

"Tentu saja!" jawab Nigel cepat. "Tapi, aku tidak tahu kapan akan kembali."

Dengan cahaya dari api unggun yang terang, Nigel dapat melihat senyum tulus terukir di bibir bibinya itu. Nyonya Goschel menoleh dan melihat rumah pohon eksotis peninggalan kakaknya. "Saat ayahmu membangun rumah pohon ini, semua orang di kota menganggapnya aneh. Kau tahu apa yang dia katakan?"

Nigel menggeleng.

"Aku melakukan apa yang aku inginkan dan aku tidak akan menyesali meski seburuk apa pun hasil yang aku dapat." Nyonya Goschel menatap keponakannya yang tampak terpukau.

"Benarkah ayah berkata seperti itu?"

Nyonya Goschel mengangguk. "Bahkan dengan bangga. Karena itulah ibumu jatuh cinta padanya."

Nigel tertegun, seakan baru tersadarkan akan sesuatu. Perkataan ayahnya itu - meski ia dengar dari bibinya - menampar telak awan kemuraman yang membalut hatinya.

"Bibi Gloria, sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan."

"Baguslah kalau begitu." Nyonya Goschel beranjak dari tempat duduknya. "Aku harus segera kembali. Jika tidak, sepupumu akan kelaparan. Dan juga, apabila kau butuh sesuatu, ceritakan pada pamanmu. Pasti ia akan membantumu."

"Baik, Bibi Gloria. Terimakasih."

Tak sengaja Nyonya Goschel melihat isi panci yang mendidih. "Jangan lupa kau perhatikan masakanmu. Sangat tidak enak jika hasilnya gosong."

Nigel benar-benar melupakan yang satu itu. Ia segera mengangkat masakannya.

Wanita gemuk itu tersenyum melihat keponakannya, lalu ia beranjak dan pergi meninggalkannya.

Makanan yang Nigel masak kini sudah matang. Sebuah bubur dengan campuran rempah dan rumput liar. Dengan cepat ia memindahkan makanan itu dari tungku ke piring kayu. Uap panas yang beraromakan kelezatan tercium, membangkitkan selera makan yang mati suri itu. Sambil menatap bara api unggun, Nigel menyantap makan malamnya.

Rasa yang luar biasa lezat - yang melebihi kelezatan masakan ayahnya - memenuhi mulut pemuda itu. Ia sangat terpukau mengingat makanan ini ia sendiri yang memasaknya. Tapi, beban tugas yang ia terima tiba-tiba muncul di pikirannya. Ia sudah menerima tugas itu, jadi ia harus menuntaskannya.

Bara api menjilat-jilat dan memajuh tumpukan kayu bakar yang kering. Nigel menyaksikan fenomena kayu yang berubah jadi arang sambil melahap makanannya. "Aku sudah dihidupkan kembali dan merima tiga gift. Sepertinya aku harus menuntaskan tugas yang ia berikan. Lagi pula, apa sih susahnya mencari dua orang itu? Aku pasti akan menemukan mereka dengan mudah."

Nigel melahap makan malamnya dengan cepat dan mengakhiri dengan tegukan air putih pada gelas kayu yang sudah disiapkan. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, yaitu tidur." Pemuda itu memadamkan api unggun, membersihkan piring, membasuh wajahnya, dan segera masuk ke kamar.

Sinar surya mulai menanjak ke singgasananya, memancarkan cahaya hangat keseluruh penjuru dunia. Negel bangun dari tidurnya dan mulai berkemas. Ia menyiapkan beberapa barang seperti garam dapur, sekotak korek api, dan beberapa keping uang simpanannya. Semua itu ia simpan di dalam sebuah tas pinggang kecil yang terbuat dari kulit lembu. Pemuda itu mengenakan baju lama milik ayahnya. Semacam tunik sederhana lengan panjang berwarna coklat muda yang diikat dengan sabuk coklat tua di pinggang. Dan di sanalah ia meletakkan tas kecilnya tadi. Nigel telah siap dan ia beranjak meninggalkan rumah pohon tersebut.

Nigel membawa keledai bersamanya dan ia segera menuju pasar. Tempat itu berjarak cuma beberapa puluh meter saja dari tempat tinggalnya.

Tujuan Nigel setiba ia di pasar adalah lapak Tuan Harbort, seorang peternak kuda. Ada beberapa peternak kuda lain di pasar itu, namun Nigel memilih Tuan Harbort karena ia sudah kenal lama dengan pria setengah baya itu.

"Si bocah Nigel!" seru Tuan Harbort saat melihat pemuda itu mendekatinya. "Ada perlu apa? Ingin membeli kuda?"

"Tidak Tuan Harbort. Aku ingin menjual keledaiku." Saat Nigel mengatakan ini, tidak ada kesan sedih atau murung yang terlihat di wajahnya. Hal ini justru membuat heran Tuan Harbort.

"Bukankah keledai ini hadiah ulang tahun dari ayahmu?"

"Benar, Tuan Harbort. Tapi, aku butuh uang sekarang."

"Apakah demi wanita itu kau rela menjual harta milik ayahmu?"

Nigel sedikit tergemap dengan perkataan itu. Tentu saja yang dimaksud adalah Diana."Tentu tidak Tuan Harbort. Aku akan pergi untuk sementara waktu, dan uang ini aku gunakan untuk biaya perjalanan."

"Baguslah jika begitu. Aku pikir, karena kegilaanmu pada wanita itu, membuat otakmu sedikit bergeser." Tuan Harbort tertawa dengan candaannya sendiri. Nigel pun ikut tertawa, tapi bukan kerena lucu.

"Berapa harga untuk keledaiku, Tuan Harbort?" Nigel tidak mau terlalu lama di sini. Aroma kuda begitu menyengat dan itu membuatnya risih.

"Lima Puluh koin perak," jawab Tuan Harbort singkat.

"Ow, ayolah. Tambahkan sedikit untukku." Nigel mencoba memelas.

Tuan Harbort menghela nafas sesaat dan menatap pemuda itu penuh kasihan. Ia kenal Nigel dan ayahnya sejak lama. Bahkan ayah Nigel adalah teman minum Tuan Harbort, dan ayah Nigel selalu mengantar Tuan Harbort ke rumahnya jika pria paruh baya itu sudah benar-benar mabuk.

Berhenti bernostalgia, Tuan Harbort mulai berbicara, "Baiklah, anggap saja aku membantumu sekarang. Aku tambah sepuluh keping perak. Jangan menawar lagi!"

"Terima kasih, Tuan Harbort!" seru Nigel yang tampak bahagia.

"Ikat keledai itu di sana!" suru Tuan Harbort.

Nigel membawa keledainya di sebuah tiang dan mengikat tali kekangnya di sana. "Terimakasih atas jasamu beberapa tahun terakhir, teman. Dan selamat tinggal," ucap Nigel sambil mengusap dahi keledainya. Keledai Tuan Harbort sekarang.

Tuan Harbort datang dengan sekantung uang di tangannya. Kantung yang berisi kepingan uang itu ia berikan pada Nigel. "Enam puluh keping perak. Hitung dulu atau nanti kau menyesal karena uangnya kurang."

Nigel menerimanya, "Aku percaya padamu, Tuan Harbort." Ia menyimpan baik-baik uang tersebut di dalam tas kecilnya.

Senyum ceria pemuda itu adalah hal terakhir yang dilihat Tuan Harbort pada Nigel. Setelah itu, ia tidak lagi bertemu dengan pemuda itu.

Nigel berjalan agak cepat melewati keramaian pasar, lalu masuk melewati gang. Tembus di jalan utama kota, Nigel segera menyebrang. Sekarang ia berjalan di trotoar yang berderet banyak toko. Nigel mengacuhka semua toko yang ia lihat dan terus berjalan. Tujuan Nigel sekarang adalah toko alat sihir Tuan Bridget, tempat Diana bekerja. Pemuda itu sangat ingin bertemu pujaan hatinya karena setelah ini, ia tidak tahu kapan lagi bisa berjumpa dengannya. Selain itu, Nigel juga memiliki urusan lain di toko tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh, di ujung pandangan Nigel melihat papan nama toko yang berukiran dari tembaga dengan simbol tonghkat sihir. Nigel segera masuk dan lonceng pintu berbunyi.

Tidak ada Diana di sana. Pemilik toko, Tuan Bridget, keluar dengan cangklong besar di mulutnya. Gumpalan asap mengepul dan melayang tertiup angin, masuk ke cerobong kecil di langit-langit ruangan. Dengan informasi dari gift pengetahuan yang ia terima, Nigel tahu jika ada mantra sihir yang memanipulasi asap tersebut.

Toko ini sangat penuh dan sempit. Banyak sekali alat-alat aneh yang terpajang dan menggantung begitu saja. Kata toko kurang tepat untuk menggambarkannya, justru lebih persis disebut gudang. Begitu berantakan dan sumpek.

"Kau cari apa anak muda?" tanya pria paruh baya itu.

"Saya tidak melihat Diana. Kemana dia, Tuan Bridget?"

"Wanita itu sudah mati."

Nigel tersentak mendengar ucapan pria tua tersebut. Hati dan pikirannya kacau seketika.


TBC...

_____________________________

Hayo hayo hayo. Jangan lupa komentar pedasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top