9. Sammy: Ketenangan Manusia

Manusia itu cengeng, seperti Mama yang menangis sebab Ayah meninggalkannya, atau seperti Ayah yang menangis sebab Mama meninggalkannya. Aku tidak, sebab aku telah mengerti bahwa kecengengan-kecengengan serta tangisan-tangisan tidak akan mengembalikan mereka. Sammy kecil alias aku telah tumbuh dewasa dengan baik dan menjadi laki-laki hebat. Atau mungkin aku hanya berpura-pura hebat.

Kadang aku berpikir bahwa hidup sebagai Manusia terlalu sulit dan melelahkan. Bukankah lebih nyaman menjadi tumbuh-tumbuhan atau bebatuan di taman? Tidak perlu berurusan dengan kecengengan-kecengengan, pun emosi secara keseluruhan. Atau mungkin sama saja, toh aku tidak tahu apa isi pikiran pepohonan dan bebatuan, mungkin mereka juga dilanda kecengengan-kecengengan tapi tidak banyak protes sebab diciptakan lebih tabah.

"Bermainlah dengan Delphi selagi Ayah mengurus pekerjaan." Aku diusir secara halus oleh Ayah. Ia sibuk, sangat sibuk, sampai aku bertanya-tanya untuk apa ia membawaku ke kediaman rekan bisnisnya, untuk diusir kah? Tapi aku telah tumbuh dewasa dan mengerti waktu-waktu yang tepat dan tidak tepat untuk merajuk. Jadi aku menemui Delphi yang asik sendiri seperti perintah Ayah.

"Halo Nona," aku menyapa. Gadis manis yang kuyakini sebagai Delphi menoleh dari bukunya yang tebal dan nampak membosankan. Ia tidak kunjung membalas, tapi tidak pula memanggil pelayannya untuk mengusir atau menyingkirkan aku.

"Aku sibuk," ia menjawab ketus.

"Sibuk apa? Membaca? Untuk apa? Kenapa kamu membaca buku membosankan? Kamu punya komik atau buku bergambar?" tanyaku panjang lebar. Delphi menutup bukunya lantas berpindah dari ruang baca menuju halaman belakang. Aku mengekor dengan tenang dan ikut mendudukkan diri di salah satu sudut halaman.

"Pergi Sana!" aku diusir lagi. Kenapa manusia suka sekali mengusir sesamanya, seperti Mama, seperti Ayah, dan seperti Delphi. Namun aku pantang menyerah dan memilih untuk bersikeras agar Delphi mengakui eksistensi seorang Sammy.

Aku mendekati wajah Delphi, sekitar Lima atau sepuluh senti, hingga bilahnya nampak jelas. Cokelat terang, dalam, dan penuh intrik, seperti milikku yang sedikit lebih gelap. Aku menebak-nebak dan menganggap  Delphi telah melewati masa sulit seperti ditinggalkan oleh mamanya, dan terpaksa membunuh kecengengan-kecengengan--sepertiku. Atau mungkin ia sudah cukup lelah dan menganggap tumbuh-tumbuhan serta bebatuan memiliki nasib yang lebih beruntung.

"Tidak mau, aku diberi perintah untuk bermain denganmu," kilahku. Namun Delphi benar-benar terusik, ia mendorongku dan berpindah menuju danau buatan di ujung halaman. Kedua kakinya dicelupkan ke dalam air lalu ia kembali melanjutkan santap bukunya. Aku mematung, mengamati Delphi yang dahinya berkerut karena pening akibat buku-buku sulit atau mungkin karena ia lelah menghadapiku.

Delphi dan permukaan danau, keduanya sama saja, sama-sama tenang dan menyembunyikan kedalaman. Padahal jika aku berani berbuat iseng, keduanya bisa digoyahkan atau bahkan dikuras habis-habisan. Jadi aku yang telah lama meninggalkan kecengengan-kecengengan dan kenangan-kenangan tentang Mama, mencoba mengusik Delphi dengan sebuah pertanyaan. "Kata ayahku kamu spesial, sampai-sampai tidak diijinkan menengok dunia luar." Tidak disangka Delphi merespon dan menatapku lamat-lamat. "Apa kamu ingin keluar?" lanjutku.

"Apa kamu bisa membebaskan aku?" Aku cekikikan sebelum memberi jawaban. Ia seperti permukaan danau buatan yang dilempari bebatuan taman, bergoyang-goyang tidak mampu mempertahankan ketenangan serta pendiriannya.

"Aku ini serba bisa, tapi tentu aku tidak akan bertindak dengan cuma-cuma."









_________

9. Danau yang tenang

Sammy menganggap Delphi seperti danau yang tenang, dalam, lagi menyembunyikan kegelapan

Delphi dan permukaan danau yang tenang, keduanya mampu diusik dengan cara yang tepat

__________

Udah saya mulai frustasi di sini
Demi apapun, saya setengah sadar waktu menulis ini

Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top