25. Awang: Ratapan Manusia
Bang Sammy menelepon semenit lalu, mengabarkan bahwa HRP Rescuer yang ia pinjam—atau sewa dengan mahal—sedang dipindahkan dari markas angkatan laut menuju New Batavia. Butuh satu atau dua jam sampai HRP Rescuer melayang tepat di atas Dusun Kalapa, lalu ia memuji apa yang aku dan Allan lakukan. "Sudah kubilang ke kanan kan!" Allan angkat bicara sambil menyombongkan diri. Ia baru saja selesai berbincang dengan adik barunya yang setengah manusia—humanoid—atau seperempat manusia, aku menyimpulkan demikian setelah mendengar interaksi keduanya, menggemaskan.
"Ya, ya," jawabku sambil mengayun makin cepat. Sejujurnya aku ingin mengendarai kapal motor saja atau mungkin benda bulat yang tadi baru dipindahkan oleh truk-truk tertutup Pupet. Masalahnya terlalu banyak reruntuhan bangunan dan pepohonan yang terbawa arus atau sesuatu entah apa yang mengapung-apung. Kapal motor bisa karam karenanya dan kami—aku dan Allan—tidak akan sampai tujuan.
Atap-atap bangunan panggung khas Dusun Kalapa mulai terlihat, begitu juga jalanan apung yang naik hingga separuh tinggi rumah. Penghuninya telah bertanggar sambil mengibarkan payung dan mengenakan mantel, jaket, atau pakaian-pakaian tebal. Aku bisa melihat Nyai Murti yang tua dan tangguh berada di atap rumah Pak Kus berpelukan dengan istri cantik Pak Kus. Ia melambai ke arahku—dan Allan—lalu mulai melantunkan syair pilu.
"Langit-langit kelabu; sedih dan bergemuruh." Warga-warga lain bersautan mengikuti Nyai Murti bersama petikan gitar dan dengung harmonika yang turut diserukan. "Menatap kami bersedu; manusia yang dungu." Aku tergegun dan Allan menganga kecil dengan bilah membulat. "Mengidolakan hidup; namun terseok umur."
"Lan, rekam Lan!" seruku sambil menggoncang tubuh Allan lamat-lamat.
"Langit-langit kelabu; jaman terus melaju; Kami menelan liur; sebab lapar menderu; Menanam padi merumput; di genangan air luh." Sampan telah bercumbu dengan jalanan-jalanan apung. Seorang yang masih paruh baya turun dari atap dan membantu Allan meninggalkan sampan. Sementara aku menambatkan pada pilar-pilar bangunan panggung.
"Langit-langit kelabu; tempat kami menuju; Temukan Ia yang satu; berdemo sambil menunduk; Menuntut tanah menyubur; hilang seluruh air luh." Allan mulai membuka perlengkapan yang aku siapkan, memberi pertolongan pertama pada mareka yang kurang beruntung. Aku mengikuti di belakang, bersalaman dengan Pak Kus serta Nyai Murti lalu membahas perihal HRP Rescuer yang akan segera menyusul.
"Aku membuka pintu; mencari mimpi ketujuh; Menatap jauh setapak; dan helaian kelopak; Tapi di mana mimpi; tidak ada yang mengerti." Pak Kus memahami keadaan kami yang serba sulit dan berterimakasih atas apa-apa yang telah diusahakan. Mungkin Pak Kus memikirkan sesuatu seperti, setidaknya ada mereka yang mengerti dan sudi membantu, atau cukup beruntung seseoran datang membantu. Meski sejujurnya baik aku, Allan, maupun Bang Sammy, tidak ada yang tahu ke mana harus mengungsikan orang-orang lemah Dusun Kalapa.
"Hijau bilah Melati; terpapar matahari; Sedap elok dipandang; oleh pemuda pedagang; Dijual bagai kenangan; di pasar hewan Jakarta." Aku membawa beberapa bungkus roti dan air mineral lalu membagi-bagikan ke tiap atap sambil memohon maaf karena terlambat juga meminta seluruhnya saling berbagi. Mereka yang lapar dan haus segera mengambil alih atau meminta lebih, tapi perbekalanku terbatas karena sampan yang tidak seberapa.
"Tenang rescuer utusan Bang Sam akan segera datang!" Allan melerai lalu menarik lenganku menjauhi gerombolan warga, ia berbisik. "Aku tidak bisa lihat lagi Wang, ini terlalu menyedihkan." Aku mengusap pundaknya yang gemetar sambil menenangkan.
"Hei Lan, apa kamu pernah membayangkan bagaimana kondisi Jakarta dulu? Saat setelah dihancurkan dan ditenggelamkan oleh air bah." Allan menggeleng, wajahnya masih masam dan napasnya memberat. "Aku tiba-tiba bersyukur bencana kali ini hanya kenaikan muka air saja."
__________
25. Sijo, salah satu jenis puisi asal Korea
Nyai Murti beserta warga Dusun Kalapa menyanyikan sijo ketika Awang dan Allan datang membantu
__________
Sesungguhnya masih enggak paham sijo itu gimana, semoga benar, kalau salah tolong anggap saja benar
Pandu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top