24. Sembilan: Kesendirian Manusia

Kak Allena belum kembali dan Kak Allan baru saja pergi, sementara aku masih duduk manis di sofa ruang tengah sambil menonton televisi. Sepi sekali, seperti aku berada dalam ruang putih milik Pupet dan dibiarkan seorang diri. Tidak ada humanoid lain yang bisa diajak bercerita apa lagi manusia. Jika terus begini, aku tidak yakin mampu mengejar ketertinggalan sejauh ratusan juta tahun cahaya.

Aku merasa, manusia terlalu rumit. Mereka senang mengatakan hal-hal tidak benar atau mengada-ada. Seperti bagaimana Kak Allan menjelaskan mengenai asal-usul manusia dan berbagai fenomena alam. Hampir seluruhnya bertentangan dengan hukum-hukum alam dan norma yang berlaku. Atau, mungkin manusia memang tercipta dengan pemikiran masing-masing dan tidak saling berbagi. Seperti matahari yang ditelan oleh lautan menurut Kak Allan dan perputaran bumi menurut ingatan yang Prof Hardipa tanamkan, keduanya memandang dari sisi yang berbeda dan tidak bertautan. Lalu humaoid seperti aku, Satu, Dua, Tiga, dan lainnya berbagi pemikiran yag serupa. Duh, dilihat dari mana pun jarak yang terbentang memang terlalu jauh.

Telepon duduk di samping televisi berbunyi dan aku yang diberhaki pengetahuan mengenai penggunaan mesin komunikasi itu menjawab dengan percaya diri. "Halo," ucapku sambil mengedip. Akhir-akhir ini aku tidak bisa selalu mengendalikan kedipan, sistem replika emosi telah terlalu banyak menyita tempat dan membuat segalanya menjadi otomatis.

"Halo Sembilan, Kak Allena sudah kembali?" Seseorang di seberang sana atau lebih tepatnya Kak Allan berbicara.

"Kak Allena belum kembali," jawabku.

"Oh yasudah kalau begitu, hati-hati di rumah jangan bukakan pintu untuk orang asing, mengerti?" Aku mengerti tapi jika menjawab begitu mungkin Kak Allan akan menutup teleponnya.

"Tidak, Sembilan tidak mengerti, apa Kak Allan akan segera pulang?"

"Kamu tidak mengerti, yang benar saja, aku masih sibuk, tolong jangan buat masalah," Kak Allan terdengar jengkel. Aku tidak membuat masalah, aku hanya ingin mengobrol. Kak Allan masih menungguku bicara dan televisi mengabarkan gelombang tinggi di hampir seluruh pantai Nusantara.

"Kak, sepertinya akan ada badai, kata televisi, bukankah sebaiknya Kakak cepat pulang?"

"Ah ya, ombaknya cukup keras, aku akan pulang jika semuanya sudah beres sudah ya."

"Jangan, Sembilan ingin mengobrol, di sini sepi sekali, seperti ruang sepuluh-sepuluh di laboratorium Pupet," ucapku jujur. Kak Allan terdiam beberapa saat hanya suara angin dan deburan yang terdengar samar-samar. "Kak Allan sedang di mana?"

"Ke kanan Wang, aku ingat Bang Sam bilang ke kanan," lalu Kak Allan sibuk bicara dengan orang lain. "Iya, kalau tersesat tetap kamu yang bertanggung jawab."

"Kak Allan," panggilku.

"Ya, kamu bicara apa?"

"Tidak, sepertinya Kak Allan sedang sibuk." Kak Allan tidak kunjung bicara dan aku tidak ingin mematikan panggilan.

"Kamu ingin mengobrol kan? Tanyakan sesuatu, biasanya kamu punya banyak pertanyaan aneh."

"Benarkah boleh?" teriakku.

"Ya, ya." Namun aku sedang tidak memiliki pertanyaan, seluruh hal yang kulihat, kudengar, dan kurasa sendirian menjadi terlalu nyata. Lagi, televisi mengabarkan perihal ombak tinggi dan dampaknya terhadap lalu-lintas. "Kenapa ada ombak?"

"Apa tidak ada pertanyaan lain? Yang sedikit lebih mudah." Aku menggeleng, lupa bahwa Kak Allan hanya bisa mendengar suaraku.

"Tidak."

"Begini ...," Kak Allan bercerita panjang lebar, tentang penguasa laut yang setengah duyung dan kebenciannya terhadap manusia. Aku sempat menanyakan mengapa penguasa laut tidak suka dengan manusia dan Kak Allan menjelaskan kerusakan-kerusakan di laut akibat ulah manusia. Meski begitu, aku tetap berpikir bahwa penguasa laut tidak seharusnya membenci seluruh manusia, Kak Allan dan Kak Allena pasti tidak pernah berbuat jahat pada laut. Keduanya tidak pantas disamakan dengan manusia-manusia perusak.

"Penguasa laut tidak bisa naik ke darat?" tanyaku memastikan.

"Ya, karena ia setengah duyung, ia butuh air dan tidak bisa berjalan di darat, tapi ia ingin membalas dendam dengan menjebloskan manusia-manusia ke dalam laut." Aku terkesima, Prof Hardipa tidak pernah menjelaskan hal-hal semacam ini. "Jadi penguasa laut berusaha menarik manusia dengan cara menjulur-julurkan tangannya, air di sekitar penguasa laut turut bergerak dan ya, terjadilah ombak."

"Apa penguasa laut sudah berhasil membalaskan dendamnya?" tanyaku antusias. Kak Allan diam sejenak sebelum memberi jawaban.

"Kurasa belum, jika sudah maka tidak akan ada lagi ombak dan aku mungkin sudah mati tenggelam."

"Tidak, Kak Allan tidak boleh didaur ulang!"



__________

24. Dongeng tentang terjadinya ombak

Sembilan yang kesepian dan Allan yang mengalah, mereka berbincang melalui telepon mengenai terjadinya ombak, tentu seperti biasa Allan memberi jawaban absurd penuh kebohongan dan khayalan

__________

Ship Allan x Sembilan, manusia sama humanoid, anaknya ntar cyborg kayak robocop 


Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top