Bab 8: Uji Validitas
SETELAH percakapan mereka di toilet, mereka sepakat untuk menguji validitas perasaan Anchilla terhadap Skye hari itu juga sepulang sekolah. Rencananya gampang.
Satu, Lizzie, Anchilla, dan Deandra akan mengajak Skye untuk main mobile legend seperti biasa. Lalu mereka akan bawa Skye ke kafe kecil di atas kantin kampus.
Dua, setelah mereka pesan minuman Lizzie dan Deandra akan pamit ke toilet. Meninggalkan Anchilla dan Skye berdua, duduk berhadapan.
Tiga, keempat gadis lain akan mengintip dari jendela selama mungkin hingga Anchilla merasakan atau... tidak merasakan apapun.
"De," panggil Lizzie dengan berbisik. "Jangan mewek deh. Kuatkan dirimu, sistur!" Kini mereka sedang berjongkak dalam satu baris, mengintip melalui jendela kafe.
Deandra menoleh ke Lizzie di samping kirinya. Wajahnya terlihat pucat, matanya berair. Sudah jelas dia merasa iri. Satu tangan Deandra menangkup dadanya kemudian ia mengernyit. Seakan ia merasakan sakit.
"Jangan gitu dong," bisik Meili di samping kanan Deandra, "Gue juga iri nih..."
Dari jendela, mereka dapat melihat Anchilla dan Skye sedang mengobrol santai.
"Lemah kalian semua." Bisikan Flo yang berada di paling kanan terdengar menusuk.
"Sok lu, Flo! Lu juga iri kan," sergah Lizzie.
"Gak sudi gue iri gara-gara Skye. Hati gue cuma buat Galih."
"Cih."
"Eh," bisik Deandra, "Kok gue merasa ini rencana yang bego yak? Kita udah berjongkok 30 menit nih. Untung kafe biasanya sepi banget pas pulang kuliah. Kalau ga malu banget dilihat orang kayak gini."
"Emang lu punya rencana la–"
Saat itu Anchilla berdiri dari mejanya dan berjalan cepat ke arah pintu di sebelah jendela yang mereka intip. Ketika ia keluar dari pintu, tatapan mereka saling bertemu.
ANCHILLA pernah memiliki pacar, dulu sekali ketika ia masih SMP. Pengalamannya sejauh ini adalah yang paling maju di antara grup pertemanannya karena mantan pacarnya sudah berjumlah dua. Tapi, lagi-lagi, ia pacaran dulu sekali. Sekarang, sudah empat tahun lamanya ia melajang. Sebenarnya, Anchilla sendiri merasa... mungkin dirinya sudah bertambah apatis soal cinta sehingga ia tidak pernah merasakan perasaan kuat apapun pada siapapun selama ini.
Maka, seharusnya ketika menjalankan "uji validitas" ini, berhadapan dengan Skye seorang diri. Ia seharusnya tidak merasakan apapun.
Ya, tidak merasakan apapun. Apatis.
"Lu suka teh ya, Chil?"
DEG.
"Eh? hm... iya. Teh di kafe ini sangat enak." Anchilla dengan gugup mengambil gelas berisi es teh manis kemudian menyeruputnya. Kapan Lizzie dan Deandra akan balik kembali?
"Gue juga denger lu sering kasih makanan ke kucing-kucing di kampus ya?"
DEG.
Anchilla tersedak kecil karena minumannya. Dengan cepat ia mengingatkan dirinya sendiri: Apatis. Ya, Anchilla adalah orang yang apatis.
"Iya hehe... soalnya kasian kucing-kucing sini ga terawat seperti kucing-kucing di kampus lain. Di kampus kita belum ada asosiasi pecinta kucing soalnya."
Skye menggeser posisi duduknya hingga tubuhnya bersandar di salah satu pegangan kursi. Satu tangan menopang dagunya.
DEG. DEG. DEG.
Holy shit!
Anchilla tahu jantungnya berdegup kencang. Tapi kenapa sekarang? Selama kelas pagi ia tidak merasakan apa-apa... jadi kenapa sekarang ketika 'uji validitas' jantungnya bereaksi? Tunggu... apakah karena Anchilla sama sekali tidak melihat Skye selama kelas pagi sehingga ia belum menyadari persaannya? Namun sekarang karena sudah melihat Skye... berduaan pula, akhirnya perasaannya muncul??
"Lu sebegitu sukanya sama kucing ya?" Skye tersenyum.
DEGDEGDEGDEGDEGDEGDEG.
Anchilla tidak bisa berpaling dari lesung pipi yang muncul ketika Skye tersenyum. Astaga! Sejak kapan Skye... seimut ini?
TIDAKKKKKK!!!! Anchilla berteriak dalam hati karena nyatanya efek samping santet itu tidak mengeksklusi dirinya.
"Sebenarnya Chil," lanjut Skye, "Gue suka seseorang di grup pertemanan kalian."
Anchilla rasanya ingin menangis dalam hatinya... tunggu, tunggu...Tunggu... Skye baru saja bilang apa?
Tatapan Anchilla tidak menutupi keterkejutannya. Ia menganga, rahangnya pun seakan jatuh.
"Gue suka senyumnya. Juga suka matanya kayak bersinar tiap kali dia melakukan sesuatu yang dia suka." Skye menangkup satu jemari di depan bibirnya.
"Jangan bilang siapa-siapa ya."
APAAAAAAAAAAA???????!!!!!!!!!
Begitu banyak pikiran berkecamuk di dalam benak Anchilla. Tapi yang paling membingungkan adalah pertanyaan: mungkinkah orang yang Skye suka adalah aku? Kalau bukan, untuk apa Skye menceritakan hal ini pada Anchilla? Apa tujuan Skye menceritakan hal ini? Apa motif di balik–
Tapi, apakah seburuk itu bila Skye menyukai Anchilla?
Tidak. Tidak. Tidak. Seribu kali TIDAK. Anchilla tidak boleh suka dengan Skye!
"Uh... kayaknya Lizzie dan Deandra terlalu lama. Ak– aku akan coba panggil me– mereka."
Sebelum Skye sempat membalas, Anchilla sudah berdiri dari kursinya dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Seperti dugaannya, teman-temannya berbaris mengintip dari samping jendela. Seperti barisan patung kurcaci. Ketika tatapan mereka semua bertemu, Anchilla serasa tidak perlu berkata apapun lagi. Pipi nya yang memerah dan napasnya yang terengah-engah sudah menjadi jawaban bagi teman-temannya.
"KALIAN ngapain?" suara bariton yang dalam tiba-tiba terdengar. Kini pandangan mereka tertuju pada sosok pemuda di belakang Lizzie. Berbeda dengan Skye, pemuda ini mengeluarkan aura kejantanan– ehem, maksudnya aura testosteron yang pekat. Rangga.
"Ga ngapa-ngapain kok!!" Dengan panik, Meili menarik Anchilla masuk ke dalam kafe kembali. Ketiga sahabat lain mengikuti. Mereka buru-buru mengucapkan maaf pada Skye karena ada acara dan mereka tidak ingin ketinggalan kereta. Mereka bahkan tidak menunggu respon Skye sebelum Lizzie dan Deandra mengambil tas mereka dan menyerbu keluar dari kafe. Hanya Deandra yang menoleh balik melihat Skye sekali lagi. Pemuda itu tercengang. Sepertinya wajah Deandra terlihat khawatir karena hal berikutnya yang Skye lakukan adalah tersenyum dan melambaikan tangan. Seakan berkata, 'tidak apa-apa.'
Hati Deandra seakan tertusuk saat itu juga. Skye sangat uwu!
Di perjalanan keluar mereka juga melewati Rangga kembali tetapi sama sekali tidak ada yang menoleh. Meninggalkan pemuda itu tercengang pula.
Ah, betapa kacaunya hari ini!
BERDIRI berbaris di depan gerbong kereta, adalah lima gadis dengan tatapan seakan nyawa mereka terkuras habis. Kejadian tadi siang kian berputar-putar di otak mereka masing-masing. Kelimanya memiliki pendapat tersendiri akan apa yang terjadi. Hanya keheningan yang menemani mereka selama perjalanan.
Berbeda dengan Flo yang tinggal di apartemen dekat kampus, Meili tinggal di rumah. Selama tiga tahun gadis itu pulang dan pergi ke kampus dari rumah, memakan waktu satu jam setidaknya setiap hari. Tapi gadis itu tidak pernah mengeluh.
Rumah Meili sederhana. Terdiri dari dua lantai dan memiliki warna mayoritas cokelat. Ketika mereka sampai di depan gerbang utama, terdengar suara gonggongan dari dalam. Anjing Meili, seekor beagle betina menggonggong dengan gemasnya menantikan kedatangan pemiliknya. Tak lama seorang wanita paruh baya membuka gerbang tersebut. Rambutnya pendek, garis garis putih mulai terlihat di antara rambut hitamnya. Ia memakai jubah ungu di atas daster berwarna krem. Di pergelangan tangannya, beberapa gelang dengan aneka jimat bergemerincing. Tetapi yang membuat Deandra sangat tercengang adalah... di dahi perempuan itu, sebuah tulisan karakter mandarin terlukis dengan warna merah.
"Mah!" Meili berseru dengan malu. Temannya itu langsung menarik ibunya masuk ke dalam kembali. Deandra dan tiga sahabat lain mengikuti.
Sesampainya di dalam ruang tamu, Meili melepaskan genggamannya pada ibunya. "Mah, kan udah kubilang jangan berpakaian aneh-aneh hari ini karena teman-temanku mau berkunjung!"
Ibunya Meili, Bu Dila, menatap anaknya itu dengan kebingungan. "Tapi apa yang aneh dengan ini?"
Meili hanya mampu menepuk jidatnya. Tatapan Bu Dila kemudian mengarah pada keempat sahabat Meili. "Halo semuanya! Maaf tante tidak bisa mempersiapkan lebih banyak. Tapi ada snack dan minuman di ruang makan."
"H– halo tante..." jawab mereka hampir bersamaan. Sudah jelas mereka masih terpana akan penampilan Bu Dila.
Akhirnya Bu Dila menuntun mereka ke ruang makan. Untuk beberapa saat hanya kecanggungan yang menemani mereka. Mereka pun tak berani menyentuh sedikit pun makanan yang disuguhkan.
"Jadi ada apa kalian kemari? Meili bilang kalian punya pertanyaan untuk tante?"
"Hm... anu tante... jadi... hmm..." lidah Deandra serasa kelu ketika mencoba untuk menjelaskan. Tatapannya langsung mengarah pada Meili. Anchilla, Flo, dan Lizzie pun menatap Meili. Seperti ada koneksi mental di antara mereka untuk membebankan kewajiban menjelaskan situasi mereka kepada Meili. Apalagi karena Bu Dila adalah ibunya Meili... tentu lebih baik bila anak sendiri yang menjelaskan kan?
Meili menghela napas. "Begini mah..." Deandra dapat melihat Meili menelan ludah berkali-kali. Jemarinya kian bermain di atas pangkuannya. Tidak ada dari mereka yang berani menatap tatapan Bu Dila. "Kita melakukan ritual santet–"
"APAA??!!" Teriakan Bu Dila seperti di sinetron itu mengejutkan kelima gadis yang duduk di meja makan.
"Ya... itu terjadi, trus–"
"SANTETT??!!"
"Mah, dengerin dulu!"
Tanpa melihat Bu Dila saja, Deandra sudah tahu ibu itu mengeluarkan aura gelap dan amarah yang pekat. Bulu kuduk Deandra merinding sejadi-jadinya.
Setelah Meili selesai menjelaskan semuanya pada Bu Dila, keheningan kembali muncul. Bedanya kini aura tidak enak sangat jelas menguar dari Bu Dila.
"Jadi... ritual santet kalian bisa dibilang gagal," lanjut Bu Dila, "Bukannya membuat Skye memberikan tanda, kalian malah pada suka dengan Skye."
Kelimanya mengangguk.
"Terus... kalian ke sini mau bertanya bagaimana menghilangkan efek sampingnya itu?"
Kelimanya mengangguk kembali.
Bukannya menjawab, Bu Dila malah menjitak anak semata wayangnya itu sampai Meili mengaduh. "Sembrono kamu! Main santet sampai bawa teman-teman kamu pula!"
"Ampun, Mah! Kan kita tidak benar-benar percaya... kita pikir cuma permainan roleplay biasa. Mana tahu ternyata beneran ada efeknya."
Bu Dila lanjut menjewer anaknya itu. "Jadi kamu bilang kerjaan Mama itu takhayul semata?"
Kelima orang itu menelan ludah.
"Maaf, tante. Tapi sebagai mahasiswa kedokteran, sangat sulit menerima kenyataan bahwa santet bukanlah sekedar takhayul semata." Kata Anchilla.
Bu Dila akhirnya menghembuskan napas kemudian melepaskan genggamannya pada telinga Meili. Sembari Meili mengelus-elus telinganya yang merah, tatapan Bu Dila seakan menggelap.
"Untung kalian hanya menimbulkan efek kecil seperti ini. Kan bisa susah kalau efeknya lebih besar dari ini."
"Ma– maksud tante... kita bisa saja memanggil roh iblis dari ritual santet... kayak di film-film?" Tanya Deandra. Bulu kuduknya kini kian berdiri.
Bu Dila mengangguk. Namun melihat tatapan Flo, Ancilla, dan Lizzie yang masih skeptis, ibu itu kembali menghembuskan napas.
"Memang sulit menerima semua ini. Apalagi kalian memang diajarkan untuk berpikir logis dan saintifik. Jadi saya tidak akan berusaha mengajari kalian semua."
"Saya hanya bisa memberi saran, biar saya coba jelaskan dalam bahasa yang kalian orang-orang pintar dapat mengerti," lanjut Bu Dila kembali, "Karena penawar biasanya memiliki efek kebalikan dari racun, bagaimana kalau kalian coba membuat Skye benci dengan salah satu dari kalian?"
Kelimanya kini menatap Bu Dila. "Saya yakin sembilan puluh delapan persen bahwa cara ini akan berhasil. Tapi saya tidak bisa menjelaskannya sehingga dapat ditangkap oleh logika kalian."
"Bu," panggil Flo, "Bagaimana bila kita tidak melakukan apapun pada kondisi ini?"
"Ya... kalian akan selamanya suka dengan Skye."
Kelima gadis itu saling tatap. Sepertinya tidak ada jawaban lain. Dan meski logika mereka memberontak, mereka semua merasa tidak sudi untuk meneruskan rasa suka ini pada Skye –kecuali Deandra. Sepertinya, mereka harus memulai misi baru.
Meili tiba-tiba berdiri dan memeluk ibunya. "Maaf selama ini aku masih kurang percaya bu," katanya, "Sampai sekarang masih enggak, dan Meili mau ibu ga perlu berurusan dengan hal-hal mistis ini lagi. Tapi terima kasih banyak untuk solusi ini!"
Keempat gadis lain mengangguk. Mereka merasakan hal yang sama. Meski Bu Dila sedikit eksentrik, mereka sama sekali tidak meragukan Bu Dila.
"Ya, jangan lupa yang penting kalian lulus jadi dokter dulu!" Seru Bu Dila dengan semangat, "Susah-susah Mama bayarin, awas kalau sampai ga lulus gara-gara ini!"
Meili langsung berdiri tegap dan menghormat kepada ibunya. "Siap, komandan!"
Hari itu juga, kelima gadis itu berunding di kamar Meili. Mereka perlu menyusun rencana... rencana untuk membuat Skye membenci salah satu dari mereka.
Ya, semuanya dapat kembali normal. Kembali seperti semula.
Ya, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi... apakah mereka sanggup dibenci oleh Skye yang sudah seperti teman dekat untuk mereka masing-masing? Apalagi... kini mereka semua menyukai Skye...
"Oh ya!" seru Anchilla. Hari itu sudah berganti sore. Mereka semua duduk di lantai kamar Meili yang dipenuhi poster-poster BTS. Keempat gadis melihat Anchilla dengan intens. Meili pun penasaran. "Skye bilang dia suka salah satu dari kita."
"AAAAAPPPPPPPPPPPPAAAAAA????!!!!!"
Nantikan saja kelanjutannya MWAHAHAHHAHAHHAHA
Kalian lebih ship DeandraXSkye atau AnchillaXSkye ?
Kalo gue sih udah pasti ship MeiliXRangga HAHAHAHHA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top