Bab 7: Toilet Dalam Perbaikan

SUDAH setengah jam lebih Meili dan Lizzie menunggu agar dosen mereka, dokter Ray, mengakhiri kelas kuliah. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh sembilan menit. Dan Meili sudah habis kesabarannya menunggu Veraldi selesai melontarkan berbagai pertanyaan –sebagian besar bahkan tidak termasuk dalam cakupan materi mereka hari itu. 

Lima menit yang lalu, ia sempat melihat Flo menyelinap keluar dengan alasan ingin ke kamar mandi. Namun, Meili langsung tahu bahwa gadis itu pasti menghampiri kelas pacarnya (baca: bucin). 

Ia juga memerhatikan Skye keluar kelas beberapa menit setelah Flo agar dapat mencuri waktu istirahat lebih lama. Ah, pemuda itu ... sejak kapan ia sangat menawan–

SHIT! Pull yourself together, Meili!

Lizzie benar, selama hari ini ia entah mengapa melirik-lirik Skye terus. Bahkan ketika ia menonton grup band kesayangannya, matanya tetap mencari-cari sosok pemuda itu. Padahal Meili sudah memiliki crush tersendiri. Menurutmu kenapa Meili hari itu memilih untuk duduk di sisi kiri ruangan ketika keempat sahabatnya duduk di sisi kanan ruangan? Meili melirik seorang pria yang duduk di sebelah kanannya. 

Dari dekat, hal pertama yang ia lihat adalah tangannya yang besar, berisi dan berotot. Meili pun harus menelan ludahnya ketika netranya mengarah ke atas. Terlihat rahang pria itu yang kuat dan kokoh. Jangkungnya sangat terlihat, dan rambut hitamnya terlihat rapi. Matanya yang tajam fokus memerhatikan presentasi dosen. Di pipi kiri pria itu, sebuah bekas luka kecil bersemayam. Tetapi bekas luka itu justru membuat pria di samping Meili terlihat sangat manly

Ya, pria yang Meili selama ini suka adalah seorang PRIA seperti Rangga yang duduk di sampingnya. Bukan seorang bocah seperti Skye. Tetapi meski Meili masih merasa Rangga jauh lebih seksi –ehem ... matanya tetap saja melirik pada Skye. 

Tuh kan, sekarang saja mata Meili sudah terfiksasi pada Skye lagi. Ah, Meili hanya dapat mengelus dada mengetahui standar preferensi dirinya sudah jatuh sedemikian rupa. 

Semua ini karena ritual santet mereka ... 

AHHHH!!! Kenapa sih gue menyarankan lakuin santet buat Deandra? Rasanya Meili ingin menangis dalam hatinya.

Kendati demikian, Meili tidak merasakan perbedaan yang berarti. Rasa sukanya pada Rangga sudah ia timbun selama dua tahun. Ia tidak berniat untuk memajukan hubungan mereka. Hanya sebatas teman bermain PUBG saja, ia sudah merasa cukup. 

Tidak seperti Deandra yang masih berusaha dekat dengan Skye, Meili bahkan tidak berusaha menjadi teman dekat Rangga. Oleh karena itu interaksi mereka selama tiga tahun di kelas yang sama sangatlah minim– Ok, stop mikirin kehidupan gue yang menyedihkan dan jomblo ...

Sempat terpikir oleh Meili untuk ikut menyelinap keluar saja seperti Flo, tetapi Lizzie menyatakan di chat pribadi mereka bahwa akan terlihat mencurigakan bila empat orang keluar kelas sekaligus. Plus, mereka belum memberitahu Anchilla, Deandra, dan Flo mengenai teori mereka. Jadi, mereka menunggu. 

Meili dapat merasakan kekesalannya memuncak ketika Veraldi membuka mulutnya kembali, "Satu pertanyaan lagi dok." Suaranya seakan dipenuhi gula dan ditinggikan. 

Meili rasanya ingin muntah. Bisa ia lihat, banyak teman-teman satu kelasnya yang lain juga mulai menghela napas. Lelah dengan tirani pertanyaan Veraldi yang tak kunjung usai. 

Akhirnya, ketika jarum panjang menunjuk angka 11, dokter Ray memotong Veraldi yang hendak bertanya, "Bila ada pertanyaan lagi, silahkan email saya. Maaf, saya ada urusan." Singkat, jelas, padat. 

Tapi Meili dan teman-teman yang lain tahu, dokter Ray pun sudah habis kesabarannya. "Kelas saya sudahi di sini. Terima kasih atas perhatiannya."

Meili dengan cepat menyambar pintu kelas. Begitu cepatnya hingga satu kelas melongo melihat pergerakan gadis oriental itu. Ini adalah rencana yang sudah ia buat dengan Lizzie. Meili, yang kakinya lebih panjang dari Lizzie, akan berlari terlebih dahulu ke kamar mandi perempuan. Tujuannya, untuk menghalangi siapapun dari memasuki kamar mandi itu. Mereka akan membutuhkan sebuah tempat khusus untuk membicarakan teori gila mereka. Sementara itu, Lizzie akan mengajak Deandra dan Anchila untuk mengikuti memasuki kamar mandi. 

Kebetulan sekali di perjalanannya, Meili melihat Flo berlari ke arahnya. Rambut pendek gadis itu tersibak angin. Tatapannya panik. "Meili–"

Belum sempat Flo berhenti dari larinya, Meili langsung menarik paksa tubuh sahabatnya itu memasuki kamar mandi perempuan. Flo terkesiap karena Meili membanting pintu kamar mandi di depan muka Flo. Kemudian ia menempelkan sebuah kertas yang sudah ia buat dari tadi di depan pintu kamar mandi. Lalu ia memasuki kamar mandi itu pula. 

Tulisan di kertas itu adalah: 

TOILET DALAM PERBAIKAN. 

Ketika melihat tanda ini, Lizzie akan tahu bahwa kamar mandi itu adalah markas mereka selama jam istirahat ini. Benar saja, beberapa detik setelah Meili memasuki kamar mandi dua orang gadis lain didorong Lizzie memasuki kamar mandi yang sama. Kini mereka berlima sudah berkumpul. Dua di antara mereka menatap penuh kebingungan –Anchilla dan Deandra. Satu orang memilik tatapan panik dan sedang ngos-ngosan mengambil napas –Flo. Meili tidak tahu tampang apa yang dipasang oleh dirinya dan Lizzie. 

"Flo, lu habis ngapain?" Tanya Deandra. 

Flo tidak bisa menjawab karena masih mengambil napas. Gadis itu pasti berlari dengan sekuat tenaganya tadi, melihat ia sampai harus duduk di atas tutup toilet dan memendam kepalanya di antara lutut untuk menghentikan hiperventilasinya. "Bukannya lu katanya mau bucin ama Galih?"

"Biar gue tebak," lanjut Lizzie, "Lu ketemu Skye tadi ya?"

Gadis yang tadinya ber-hiperventilasi itu langsung mendongak kaget. "K– kok lu tahu?"

Tatapan Lizzie dan Meili seakan menggelap. Suasana di toilet saat itu sangat mencekam. "Sebelumnya gue mau minta maaf," kata Meili pelan, "Sepertinya ritual santet yang kita kira hanya roleplay semata memiliki efek lain ..."

"APA??!!" 

Meili dan Lizzie menutup telinga mereka untuk melindungi gendang telinga mereka dari pecah. Seperti yang mereka duga, ketiga sahabat mereka langsung berteriak tidak percaya mendengar teori Lizzie. 

"Shhh!" Meili menaikkan satu jarinya ke depan bibir. "Jangan berisik, nanti kita ketahuan lagi bersembunyi di sini."

Deandra dan Anchilla justru tertawa terbahak-bahak. "Apaan sih?? Kalau mau ngelawak yang bermutu dikit dong! Dan ngapain juga sampai bikin markas di toilet per–"

Kalimat Deandra terputus ketika melihat tatapan Flo. Tatapan seorang pembunuh berdarah dingin yang diarahkan kepada Meili. Karena Meili adalah pencetus ide ritual santet... karena Meili adalah instruktor mereka dalam ritual santet ... karena Meili adalah alasan kini Flo yang sebelumnya hanya bucin dengan Galih menjadi suka dengan Skye. Meili sendiri tidak kuasa mengangkat matanya menghadap Flo. Takut ...

Sepertinya waktu hidup Meili sudah mau habis ...

"Sepertinya teori itu benar," kata Flo dengan sangat pelan. Tetapi suara itu justru membuat Meili membayangkan Flo seakan sedang mengasah kukunya yang tajam satu per satu, siap untuk menghujam jantung Meili bertubi-tubi. 

"Hari ini gue mau ber-romantis ria dengan pacar gue ... tapi pikiran tentang Skye sangat mengganggu."

Lizzie yang tidak mendapatkan tatapan pembunuh dari Flo juga mengangguk. "Hari ini gue ga bisa fokus karena Skye juga."

"Ah, bercanda kali kalian!!" Anchilla masih tidak percaya. 

"Tunggu ... apa kalian juga jadi sering melirik Skye hari ini?" Tanya Deandra. 

Meili, Lizzie dan Flo mengangguk. 

"Berpikiran bahwa dia imut, ganteng, dan uwu?"

Ketiga gadis itu memiliki ekspresi yang berbeda-beda terhadap pertanyaan terakhir. Lizzie langsung membalikkan badan menghadap wastafel, dirinya serasa mau muntah. Kedua tangan Flo terangkat ke kepala, frustasi. Sementara Meili mulai membenturkan kepalanya ke tembok.

"Ya," jawab ketiga gadis itu secara bersamaan. 

"Jadi, kalian merasakan yang selama ini gue rasakan ke Skye?" 

"Lu pikir gue mau suka sama Skye, hah??!" Teriakan ketiga gadis itu bahkan lebih keras dari sebelumnya. 

"Harga diri gue mau ditaruh di mana?" Tanya Lizzie. 

"Ngapain gue suka sama Skye kalau udah ada Rangga untuk memenuhi fantasi gue?" protes Meili juga. 

Flo pun juga melontarkan ketidaksukaannya degan perasaan mereka sekarang, "Gimana gue bisa bucin ke Galih kalau gue suka sama Skye?!"

Tak terasa ketiga gadis itu sudah memojokkan Deandra ke tembok. Kedua tangan Deandra terangkat seakan sedang menghadapi tiga singa buas di depannya. 

"Trus, kenapa lu gak bilang kalau ritual itu punya efek samping kayak gini?" Flo menunjuk Meili. 

"Gue ga tahu juga!" Meili balik berteriak, "Lu pikir gue senang dapat efek samping kayak gini? Eww.. standar laki-laki gue lebih tinggi dari Skye!"

"Tapi lu pasti tahu kan cara bikin kita normal lagi?"

Untuk pertanyaan itu, Meili menunduk ke bawah. Ia menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak tahu. Ia bahkan tidak tahu bila ritual santet itu memiliki efek samping sedemikian rupa. 

"Ta– tapi ... mungkin mak gue tahu! Kita tanya saja pulang kuliah!"

"Anu ... gais ..." panggilan Anchilla meruntuhkan atmosfer yang sangat tegang itu. "Kok cuma gue yang ga merasa suka sama Skye hari ini?"

Keempat gadis lain langsung melongo. Flo, terutama, menyambar pundak Anchilla dan mengguncang gadis itu. 

"Serius?" Tanyanya, "Apa yang lu lakuin berbeda kemarin sampai efek sampingnya ga kerasa di lu?" 

"Oh! Aku tahu!" Seruan Flo itu dibarengi dengan sebuah pukulan ke kepala Meili. "OWW!!" Mata Meili mulai berair. 

"Anchilla kemarin melemparmu dengan bantal sebelum ritual selesai. Pasti itu yang bikin efek sampingnya gak mempan pada Anchilla."

"Dengan BANTAL, Flo. B. A. N. T. A. L. Bukan dengan tangan superwoman lo!"

Sebelum Flo sempat menggila lagi, giliran Lizzie menyambar dua pundak Anchilla. 

"Chil, lu yakin? Hari ini lu sama sekali ga melirik Skye?" Anchilla menggeleng. "Sama sekali ga mulai berpikir Skye ganteng?" 

Anchilla menggeleng kembali. "Kok aneh?" Kini Anchilla mengangkat kedua pundaknya. 

"Udah gue bilang, Anchilla lempar ban–"

"Variabel itu belum bisa disimpulkan." Kata Lizzie mantap, "Dalam penelitian harus ada uji normalitas terlebih dahulu sebelum variabel itu dapat dikatakan valid."

Anchilla menangkap tatapan Lizzie. Otak pintarnya berputar. "Jadi, lu mau menguji validitas gue tidak suka terhadap Skye?"

Lizzie mengangguk. 

Mendengar itu tatapan Flo membaik, tidak lagi seperti pembunuh. "Kurasa itu adil. Dan bila Anchilla valid, kita bisa analisis kenapa efek samping itu tidak berlaku untuk Anchilla." 

Flo kemudian menatap Meili yang masih memegangi kepalanya. "Sorry gue mukul lu, Mei."

Meili tersentak. Hatinya rasanya sesak. 

"Gak, Flo," katanya, "Ini salah gue karena gue yang rekomendasiin ritual itu pada kalian." 

Lagi-lagi, Meili tidak kuasa menatap para sahabatnya. Ia benar-benar sudah membuat masalah besar untuk mereka sekarang. 

"Tidak. Kita semua juga bersalah karena kemarin kita semua setuju untuk melakukannya." Suara Lizzie lantang terdengar oleh semua orang di kamar mandi. 

"Ini adalah beban bersama, dan kita pasti bisa melaluinya bersama." Mendengar itu, Flo dan Meili mulai tersenyum kecil.

Tentu saja, mereka juga tidak melupakan satu gadis di persahabatan mereka. Gadis yang lumayan sensitif namun periang dan selalu memikirkan yang terbaik untuk semua orang. Gadis yang menyukai pemuda seperti Skye kendati pria itu biasa-biasa saja –tentunya menunjukkan bahwa gadis itu melihat lebih dari penampilan. Gadis yang selama ini memendam perasaannya selama tiga tahun .... Bagaimana rasanya bila suatu hari sahabat-sahabat terdekatmu menyatakan mereka menyukai pria yang sama denganmu?

Serentak mereka menatap Deandra yang masih menempel pada dinding belakang kamar mandi. 

"Tenang saja De," kata Lizzie, "Kita ga mau kok suka sama Skye. Jadi lu tenang saja, kita pasti cari cara untuk mematahkan efek samping santet ini."

"Chill girl, gue masih akan setia sama Galih."

Meili pun membersihkan tenggorokannya, "Kalau gue sih udah milik Jong Kook jadi sorry aja, meski sekarang gue suka Skye ga berarti gue mau sama dia."

Di tengah kekacauan ini, mereka masih memikirkan perasaan Deandra. Sebenarnya gadis itu kaget betul ketika mengetahui tiga dari sahabatnya mulai suka dengan Skye. Jujur, ia sedikit sedih karena ia tidak mau berkompetisi dengan para sahabatnya. Pun ia merasa tidak bisa bersaing dengan mereka. Ia juga merasa gundah, karena kini Skye akan diperhatikan oleh banyak gadis dan bukan dirinya saja. Entah mengapa, ia merasa seakan hak istimewanya akan Skye diambil –padahal dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Skye ... tapi tetap saja, ia merasa hatinya kacau. 

Tetapi, setelah mendengar pernyataan sahabat-sahabatnya, ia merasa bodoh sendiri. Ekspresi mereka lembut dan senyuman mereka tulus. 

"Skye tetap punya lu aja. Kita ga ada yang mau," kata mereka bersamaan. 

Ya, ia merasa bodoh karena telah iri serta dengki dengan para sahabatnya. Kedua matanya mulai berair ketika hati kacaunya kembali tenang dan merasa hangat. "Apaan sih?"

Keempat sahabat Deandra tahu. Di balik kalimat itu, Deandra merasa bersyukur dengan kebersamaan mereka. 

"Nah, sekarang kita harus bikin rencana untuk uji validitas Anchilla." 

RANGGA tersenyum kecil mengingat kejadian hari ini. Ia memutar-mutar pulpen di antara jemari besarnya. Pikirannya melantur pada kelas sebelumnya ketika ia duduk di samping Meili. 

Ia tahu gadis itu seringkali melirik ke arahnya. Bukannya sombong, tapi tubuh Rangga bisa dibilang 'terbentuk' dan tidak banyak anak kedokteran yang 'membentuk' badannya. Lagipula, ia berusaha keras untuk menjaga bentuk tubuhnya yang berotot dan bidang. Banyak sekali lirikan gadis ditujukan pada dirinya hampir setiap hari. Ia pun tidak mau ambil pusing dengan itu, maka ia biarkan saja. 

Meili adalah salah satu gadis yang sering melirik Rangga. Kendati demikian, Meili tidak pernah bertingkah kelewat batas. Hubungan mereka hanyalah sebatas teman bermain PUBG, oleh karena itu Rangga tidak menganggap keberadaan gadis itu sebuah beban. Beda dengan gadis-gadis lain yang seringkali melupakan batas mereka dan dengan jelas mengejar Rangga. Gadis-gadis seperti itu hanyalah beban untuk Rangga. 

Tetapi hari ini... Meili melirik kepada pemuda lain. Awalnya Rangga menyadari Meili meliriknya, namun dengan cepat mata Meili terpaku pada pemuda lain. Sepanjang hari ini pun, mata gadis itu kembali pada satu sumber yang sama. Dan sumber itu bukanlah Rangga. 

Ketika Rangga mengikuti pergerakan mata Meili, ia melihat Skye. Mungkinkah Meili sudah berpindah hati?

Gadis itu bahkan tidak menutupi kenyataan dirinya melirik Skye. Bahkan di tengah-tengah kelas, ia menopang dagunya di meja sementara wajahnya jelas-jelas terarah pada Skye. Berkali-kali, ia juga menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Dan meski ia sedang menonton grup band korea favoritnya, matanya pun kian berusaha menangkap sosok Skye. 

Apa sih yang hebat soal Skye?

Ah, Rangga jadi penasaran. 




Terima kasih sudah membaca sampai sini <3333

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top