Bab 27: Ego Vs Egotistik

DEANDRA tidak bisa berhenti berjalan maju mundur di depan gedung fakultas mereka. Ia terus saja memikirkan chat terakhir yang dikirimkan Anchilla. 

Di sampingnya, duduk di trotoar adalah Flo yang mencoba memeriksa keberadaan Anchilla menggunakan aplikasi 'Find My Iphone.' Ponsel Flo dengan Anchilla berasal dari merk yang sama. Mereka berpikir ada kemungkinan aplikasi tersebut dapat membantu. 

Sementara Meili sedang mengarahkan Lizzie yang membawa mobil ke tempat pertemuan mereka. Gadis itu berbicara tanpa henti menggunakan ponselnya. 

Tak lama, dua sorotan lampu kuning menerangi jalanan yang gelap. Sebuah mobil berhenti di depan mereka kemudian Lizzie turun dengan hampir meloncat. 

"Kita punya waktu sampai jam 11 malam. Bonyok gue udah telpon orang tua Anchilla. Mereka masih mencari di sekitar komplek perumahan. Kalo sampai jam 11 malam kita ga nemuin Anchilla di sini, mereka bakal lapor polisi," jelas Lizzie. 

"SHIT!" seru Flo tiba-tiba. Deandra, Lizzie, dan Meili langsung mengerumuni Flo. 

"Hape gue terkoneksi sama hape Anchilla lewat app itu," kata Flo dengan nada melemas, "tapi hapenya Anchilla lagi mati."

Ketiga dara yang lain bergantian mengeluarkan kata kasar untuk mengekspresikan kekecewaan mereka. 

"De, apa yang buat lu yakin Anchilla ada di sini?" tanya Meili. 

"Kalo dia ga ada di sekitar rumahnya, pilihannya cuma gedung fakultas atau perpustakaan," jawab Deandra. 

Lizzie menyalakan senternya yang besar lalu menyorotkan lampu itu pada wajah Deandra. Karena silau, Deandra perlu untuk mengalau sinar senter menggunakan tangan. "Lizz, jangan ke muka."

Sinar senter itu menurun dari wajah Deandra. "Sorry," gumam Lizzie. "Tapi gimana lu bisa tahu, De?" tanyanya lagi.

"Coba pikir," lanjut Deandra, "apa yang Anchilla paling suka di dunia ini di banding segalanya? Hal yang dia puja-puja kayak dewa?"

Deandra dapat melihat ketiga sahabatnya itu mulai mengerti. "Kucing!" seru mereka bersamaan. 

"Yep," balas Deandra, "Dan terutama kucing fakultas kita yang masih terlantar dibandingkan kucing fakultas lain."

Suara klakson menghentikan pembicaraan mereka. Di belakang mobil Lizzie, sebuah mobil lain muncul. Galih mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. "Gue bawa backup," katanya. Kemudian satu per satu Geng Ga Jelas turun dari mobil itu. Nana, Milo, dan Renald. 

Flo yang melihat Galih berbinar-binar. Gadis itu langsung memeluk Galih. 

Wow. So bucin, pikir Deandra, Saya tak tahan.

Meili sengaja mendeham lebih keras untuk membuyarkan momen 'lovey-dovey ala Flo dan Galih.' 

"Gue tahu kalian lagi balikan," kata Meili, "tapi plis kita fokus cari Anchilla dulu."

Dua insan yang menjadi budak cinta itu melepaskan pelukan mereka dengan enggan. 

"Apa rencananya?" tanya Renald. 

"Kita berpencar, berpasangan. Satu pasangan memeriksa satu gedung. Setelah gedung A-D selesai. Bila tidak ada kita ke periksa gedung E dan kantin berbarengan."

"Kalau menemukan apapun, telpon. Satu orang megang senter, satu lagi megang hape all the time."

Lizzie dan Meili mulai membagikan senter kepada setiap pasangan yang terbentuk. Pasalnya mereka adalah satu-satunya yang berasal dari rumah dan mampu membawa senter dengan jumlah cukup.

Flo tentu bersama Galih. Milo bersama Nana. Meili sudah mengajak Deandra karena mereka bersebelahan.

"Lha, gue sama siapa?" tanya Lizzie. 

Ketika semua orang lain melirik pada Renald, Lizzie hanya dapat menghembuskan napas. Kemudian ia memberikan senter pada Renald. "Gue yang pegang hape. Lu pegang senter," katanya ketus.

"Gais. Apapun yang terjadi, kita temuin Anchilla malam ini."

Semua orang yang berkumpul malam itu mengangguk. Mereka bertekad untuk menemukan Anchilla malam itu juga.

DEANDRA dan Meili memilih untuk mencari gedung C, gedung dengan lantai paling sedikit jumlahnya. Dengan demikian, mereka dapat memulai pencarian di kantin terlebih dahulu. Namun ketika gadis itu sedang menghadap tangga yang gelap, kakinya serasa melemah. 

"M– Mei ... lu duluan dong," pinta Deandra.

"Enak aja! Barengan lah, gue juga takut...."

Meili mengalungkan tangannya pada lengan Deandra. Kedua gadis itu menelan ludah dengan keras. "D– demi Anchilla ... ki– kita harus berani..."

"I– iya...."

Mereka mulai menaiki tangga itu satu per satu. Karena takut, Deandra mengarahkan senter itu ke segala arah. Ke kanan kemudian kiri lalu atas dan balik ke kanan. 

"M– Mei...," panggil Deandra.

"Y– ya?" 

"Ka– kalo kita tiba-tiba ketemu hantu dan mati ... gue mau lu tahu kalo gue sayang ama lu," Deandra mulai merengek. Kaki mereka masih menaiki tangga perlahan. Sementara Deandra masih mengarahkan senternya ke segala arah. "Maafin gue ka– kalo gue ga peka ama perasaan lu pada. Gue sayang lu semua. Tolong bilangin yang lain juga yaa...."

"Ngomong apa sih lu, De? Kalo ada hantu yang bunuh lu ya gue juga mati keles. Gimana mau bilangin yang lain?"

"Iya ju– juga yaa ...."

"Gue juga sayang ama lu. Maafin gue suka sama Skye. Meski efek samping santet ... Maafin juga omongan gue dan kelakuan gue yang jauhin lu. G– gue lagi bingung-bingungnya ama perasaan gue. Ga Skye. Ga Rangga. Sumpah, gue mulai berpikir cowo cuma hidup untuk bikin cewe bingung."

Untuk beberapa waktu, mereka terdiam. Dengan ketakutan masih mencoba melangkah menaiki tangga demi tangga. Akhirnya mereka mencapai lantai dua. Mereka mengelilingi lantai itu. Untungnya setiap kelas dikunci sehingga tidak mungkin Anchilla bersembunyi di salah satu kelas.

Kemudian mereka menarik napas panjang dan mengumpulkan keberanian untuk memanjat tangga kembali, menuju lantai tiga.

"Oh ya, gimana lu ama Rangga?" tanya Deandra di tengah-tengah perjalanan. 

"Seriously?" tanya Meili, "Lu mau nanya itu sekarang?"

Deandra menyoroti wajah Meili yang tampak jengkel. Dengan hanya menatap balik dengan polos. Akhirnya Meili menghembuskan napas. "Ambigu. Ga jelas."

"Umm lu senang dengan status begitu?" tanya Deandra.

"Engga sih. Tapi ga mau cepat-cepat juga. Gue akui gue suka Rangga dulu. Mungkin kalo efek samping santet udah ga ada lagi, gue suka lagi ama Rangga. Tapi suka dan ingin untuk berpacaran itu beda. Dan jujur, gue belum mau berpacaran."

Deandra hanya mengangguk-angguk. Tak terasa mereka pun mencapai lantai tiga. Mereka melakukan putaran yang sama untuk mencari Anchilla. Namun tidak menemukan satu sosok pun. Akhirnya mereka mulai memanjat tangga untuk mencapai lantai terakhir. 

"AAAA!!!" tiba-tiba Meili berteriak. Seperti efek domino, Deandra pun mulai berteriak nyaring. Tanpa bertanya apapun, keduanya langsung berlari menaiki tangga hingga mencapai lantai empat. Lalu Deandra memutar tubuhnya untuk menyoroti tangga tempat mereka muncul.

"A– a– ada ap– apa?" tanyanya terbata-bata. Jantungnya berdegup terlalu kencang. Ya Tuhan, bila sampai mereka dipertemukan hantu saat itu juga ... Deandra akan .... akan ....

"A– ada ...," Meili berusaha berkata disela-sela napasnya yang ngos-ngosan, "ada ... ci– cicak ...."

Mendengar itu Deandra langsung memukul kepala Meili karena kesalnya. "Bego!" 

"Cicaknya loncat ke arah gue, ya gue teriak lah," kata Meili sebagai pembelaan. Namun rasa kesal itu tak kunjung reda pula. Ia sudah dibuat begitu ketakutannya oleh Meili yang ternyata hanya melihat cicak. Sehingga Deandra memukul lengan Meili beberapa kali.

"Ow ow ow!" Meili mengaduh, "Stop! Stop!" 

"Meili? Deandra?" Akhirnya Deandra berhenti. Karena dia mengenali suara itu. Deandra langsung memutar senternya sekitar empat puluh lima derajat. Terdapat sebuah pintu di balik tangga yang menuju ruang badan-badan kemahasiswaan. Pintu besi berwarna putih itu terbuka, menunjukkan sosok Anchilla. 

Entah apa yang merasuki Meili dan Deandra, mereka langsung berlari kencang menuju Anchilla. Deandra langsung memeluk Anchilla begitu ketatnya, begitu pula Meili yang memeluk mereka berdua. Tanpa sadar keduanya mulai menangis menjadi-jadi. 

"Chil, bego! Lu bego! Bego. Bego. Bego. Huaaaa..." 

"Lu ga tau apa seberapa khawatir kita?!" seru Meili. Lalu tangisan gadis itu juga meledak seperti Deandra. Keduanya menangis tersedu-sedu di dua pundak Anchilla. Deandra di pundak kanan dan Meili di pundak kiri. Dua gadis yang lebih tinggi sekitar dua puluh sentimeter dari Anchilla, membungkuk dan membenamkan kedua wajah mereka pada pundak Anchilla.

Deandra merasakan rasa lega yang begitu besar. Ia baru sadar betapa khawatir dan takut dirinya untuk kehilangan Anchilla. Ia semakin sadar betapa pentingnya sahabat-sahabatnya di hidupnya. 

Ia salah berpikir bahwa mementingkan egonya sendiri adalah normal. Karena bila kepentingan ego itu melukai orang lain, itu tak lain adalah egotistik. Dan hal itu hampir saja membuat Deandra membayar dengan kehilangan sahabat-sahabatnya. Sikap egotistik selalu menuntut bayaran. Pertanyaannya adalah, apakah bayaran itu sepadan dengan ego yang didapat?

Deandra kini sudah membulatkan jawabannya. 

Ia tidak mau kehilangan sahabat-sahabatnya. Tidak satu pun.



–Bersambung–



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top