Bab 25: Cogito, Ergo Sum

FLO dulu memercayai bahwa ada dua 'hati' dalam tubuh manusia. Satu adalah sebuah organ yang penting untuk detoksifikasi zat-zat berbahaya dalam tubuh, yang juga disebut sebagai hepar. Satu lagi adalah yang sering disebut sebagai nurani dan asal semua perasaan kita. Sewaktu SD, ia selalu menggambar bentuk hati di atas dada karena begitulah ia membayangkan 'hati' miliknya. 

Seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa organ yang bersemayam di dadanya tidak berbentuk seperti dua keping air mata yang disatukan. Justru, organ itu memiliki empat ruang dan beragam pembuluh darah. Organ itu berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paru. Organ itu adalah alasan mengapa kita dapat mendengar suara dug dug dug bila kita meletakkan satu tangan di atas dada. 

Organ itu nyatanya tidak mengendalikan perasaan kita. 

Perasaan, pemikiran, nurani ... semuanya diatur oleh sebuah organ yang terletak paling atas di tubuh kita. Otak. 

Melalui pertukaran hormon dan zat kimia, otak membuat kita dapat membuat penjelasan atas segala sensasi yang kita rasakan. Kita dapat merasionalisasi ilmu matematika dan fisika, dapat membedakan beragam tekstur dan sentuhan, juga dapat mengambil keputusan. 

Tak hanya itu, otak juga membuat kita dapat merasakan 'perasaan.' Rasa senang, sedih, cemburu, amarah, jijik –semuanya adalah permainan komposisi zat kimia berdasarkan area otak mana yang teraktivasi saat itu. 

Tubuh kita merasakan sensasi. Otak membuat interpretasi atas sensasi itu. Otak pula membuat pemikiran dan ide mengenai hasil interpretasi itu. Lalu otak merangsang sistem limbik atau pusat pengaturan emosi untuk memberikan bumbu akan interpretasi itu. Kemudian otak pula yang membimbing pengambilan keputusan berupa respon kita terhadap sensasi itu. Otot-otot kita tinggal menjalankan. 

Hal inilah yang membuat Descartes mengutarakan kalimat terkenal, "Cogito, ergo sum –I think, therefore I am." Dalam bahasa indonesia, "Aku berpikir, maka aku ada."

Flo sadar bahwa perasaan seperti cinta juga merupakan permainan zat kimia yang dilakukan otak dalam tubuh. Semua orang dapat membuat perasaan adiksi dan senang itu, hal itu adalah pekerjaan dopamine, oxytocin, dan norephinephrine serta adrenaline yang membuat jantung berlari kencang. 

Tapi tidak semua orang dapat mempertahankan perasaan itu. Haruslah orang yang dapat menerima kita apa adanya, yang mau mendengarkan, mau berbuat lebih untuk kita yang dapat membuat perasaan itu terus bertahan. 

Galih adalah orang itu untuk Flo ... setidaknya itulah yang Flo pikir sebelum hatinya bercabang ke Skye karena efek samping santet. 

Ia sedang memerhatikan Galih berbicara. Bibir pria itu bergerak tetapi Flo tidak mendengar satu kata pun. Pikirannya justru menunjukkan sosok Skye. 

Apa yang ia sedang lakukan dengan Deandra? Apa mereka sudah semakin dekat sekarang?

Flo berkedip sekali. Tiba-tiba Skye sudah berada di hadapannya. Skye sedang tersenyum, lesung pipinya terlihat. 

Ah, Flo dapat merasakannya ... dopamine dan norephinephrine mulai bermain dalam tubuhnya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, tubuhnya memanas. 

Samar-samar ia dapat mendengar seseorang memanggil namanya. Flo mulai bingung, karena suara itu berasal di depannya namun Skye tidak menggerakkan mulut sama sekali. Suara itu terus saja memanggil nama Flo. 

"Skye ...," panggil Flo. 

Suara itu berhenti memanggil nama Flo. Flo berkedip. Skye menghilang dari hadapannya, digantikan oleh sosok Galih yang– astaga! Flo baru saja memanggil nama Skye ketika ia sedang berkencan dengan Galih!

Kedua tangan Flo sontak menutup mulutnya. Terlambat. Sudut bibir Galih sudah melengkung turun. Tatapan matanya masam. Cuping hidungnya membesar dan dahinya mengerut. Flo tidak dapat menyimpulkan arti dari ekspresi Galih saat itu. Tapi yang pasti ... Flo telah membuat sebuah kesalahan. Karena tak sampai sedetik berikutnya, Galih mengeluarkan dompet dan melemparkan dua lembar uang di atas meja. 

"Galih," panggil Flo. 

Pemuda itu tidak mau menatap Flo. Ia dengan cepat berdiri dan beranjak pergi dari meja makan mereka berdua. 

"Galih!"

Flo berusaha meraih kemeja Galih, menghentikan pemuda itu pergi. Tetapi kaki ramping Galih sudah dengan cepat membawa pemuda itu hampir mencapai pintu kafe tempat mereka berkencan. 

Dengan tergesa-gesa, Flo mengambil tasnya dan beranjak mengikuti Galih. Ia tidak sempat berpikir. Semuanya terasa begitu cepat. Dan ia hanya tahu satu hal. 

Ia tidak mau kehilangan Galih. 

Banyak orang dapat membuat hormon-hormon di balik kata 'cinta' menjadi aktif di tubuh manusia. Tapi tidak banyak orang yang membuatmu berpikir tidak bisa hidup tanpanya. 

Tidak banyak orang yang membuatmu merasa kepergiannya adalah seperti kehilangan sebagian dari dirimu. 

Itulah yang Flo kejar hari itu juga. Ia tidak mengejar efek dari hormon-hormon itu. Ia mengejar belahan lain dari jiwanya. 

Flo mengejar Galih hingga ke trotoar di depan kafe. Tanpa peduli bahwa malam itu masih banyak orang yang berjalan di trotoar, atau banyaknya kendaraan berlalu lalang di jalanan di depan trotoar itu, Flo memeluk Galih dari belakang. Ia menolak kepergian Galih yang sudah seperti bagian dirinya sendiri. 

"Maafkan aku." Flo dapat merasakan pipinya mulai basah. Punggung tempat ia membenamkan wajahnya pun terasa lembap. 

"Flo, udahlah," desis Galih. Ia berusaha melepaskan pegangan Flo pada perutnya. Namun gadis itu justru menguatkan pegangannya. Beberapa orang mulai mengerumuni mereka di trotoar. Seorang pengemudi gojek bersiul ketika melewati mereka. 

"Gue bisa jelasin–"

'Ga, Flo!" Suara Galih meninggi, "Gue udah terlalu sabar sama lu. Gue selalu setia sama lu. Tapi kalau perasaan lu bimbang gini untuk ap–"

Tepat saat itu juga, Flo menarik napas dalam. Lalu tanpa berhenti untuk bernapas, ia akhirnya berkata, "Guedansahabat-sahabatguemelakukansantetguepikiritugabener-beneradajadiguetertarikmelakukannyakarenakayaknyamenantangtapiternyataadaefeksampingnyadanitulahkenapaguesukasamaskyeitusemuaefeksampingsantet!!"

Flo menarik napas panjang. Ia dapat merasakan Galih memutar tubuhnya. Ketika pandangan mereka beradu, Flo dapat membaca ekspresi wajah Galih yang terkejut. 

"Apa?" Wajahnya terlihat polos dan kebingungan. 

Flo menarik napas sedalam mungkin kembali, bersiap untuk melontarkan kata-kata yang sama. "Guedansahabat-sahabatguemelakukansantetguepikiritugabener-beneradajadiguetertarikmelakuka–" 

HMMPH!!

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Galih menekan kedua pipi Flo dengan satu tangannya. Bibir Flo kini seperti mulut bebek di antara jemari Galih. "Pelan-pelan aja ngomongnya."

Melihat mata Galih menjadi penuh pengertian, Flo mengangguk. 

Galih melepaskan tangannya agar Flo dapat lebih leluasa berbicara kembali. Kali ini, Flo akan menceritakan semuanya. Mulai dari mereka melakukan santet, lalu ketika mereka menyadari efek samping santet itu dan Flo yang meminta keluar dari rencana 'reverse logic' mereka, kemudian ketika persahabatan mereka retak. Tak terasa, Flo bercerita begitu lamanya hingga Galih dan dirinya harus meminjam kursi dari warteg di pinggir jalan agar kaki mereka tidak pegal. 

Sekali-kali Flo melirik Galih, takut pria itu menganggapnya gila. Karena pemilik warteg dan beberapa pejalan kaki sudah melemparkan tatapan penghakiman pada Flo semenjak kata santet keluar dari mulutnya. 

"Cantik-cantik, mainnya santet," gerutu pemilik warteg sembari mengulek bumbu pecel. 

Flo menghiraukan komentar bapak pemilik warteg itu. Ia hanya peduli akan tanggapan Galih. Sialnya, pemuda itu baru saja mengusap jidatnya dengan tangan. Sebuah tawa yang miris keluar dari mulut pria itu. 

"Jadi karena efek samping santet ...," kata Galih lebih pada dirinya sendiri. Kemudian pemuda itu menumpukan kepalanya di kedua tangan di atas lutut. "God, aku kira kamu beneran suka sama dia."

Suara Galih terdengar lega. 

"Well ... secara teknis, aku memang suka dia."

"Kamu ga tahu Flo. Aku hampir gila mikirin kenapa kamu bisa suka sama Skye. Kenapa tiba-tiba hatimu berubah gitu. Aku, aku–"

Flo menangkup wajah Galih dengan kedua tangannya. "Tetap saja aku milih kamu, Lih." Kali ini Galih tersenyum lembut pada Flo. 

"Apa yang bisa kubantu untuk mematahkan efek samping santet ini?" Tanyanya mantap. 

Tepat saat itu, ponsel Flo berdering. Ia melihat ada panggilan masuk dari Deandra. 

Huh? Ngapain Deandra nelpon?

Merasa tidak ada perlu dengan Deandra, apalagi dengan hubungan mereka yang lagi renggang, Flo menekan tombol ponsel berwarna merah. 

Tapi tak lama, ponselnya berdering kembali. Dengan kesal, akhirnya Flo menekan tombol ponsel berwarna hijau. 

"Kenapa, De?"

"Anchilla kabur dari rumah, Flo. Dia hubungin lu ga?"

"Apa?!"



Kalo kalian jadi Galih ... bakal gimana? Yok diskusi WKKW

Jangan lupa vote/kasih feedback yaa <33

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top