Bab 21: Ego


LIMA hari telah berlalu dari terakhir kali Deandra bercakap dengan para sahabatnya. Hari di mana hubungan persahabatan mereka retak. Jujur, hati Deandra tidak tenang. Perasaannya berkecamuk. 

Setelah hari naas itu, Deandra juga kehilangan motivasi untuk pergi kuliah. Tetapi ia memaksakan dirinya karena bila ia bolos, orang tuanya akan menceramahinya. Kendati demikian, dirinya selalu goyah setiap kali tidak sengaja bertatapan dengan para sahabatnya. 

Perasaan rindu itu tentu ada. Namun perasaan kesal dan gengsi juga muncul. Sehingga mereka akan saling bertatapan, menunggu yang lain untuk berbicara terlebih dahulu. 

Pada akhirnya, tidak ada yang menginisiasi pembicaraan. Bahkan seulas senyuman pun tidak ada. Mereka saling mengalihkan muka dan pura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing. 

Kelima sahabat itu, yang sebelumnya selalu duduk di barisan kursi yang berdekatan kini duduk terpencar di ruang kelas mereka. Grup chat mereka yang terkadang penuh candaan mereka ketika kelas menjadi bisu. Kelas kuliah yang dulu mereka hadapi dengan ringan menjadi terasa menyesakkan. Seakan padang bunga telah berubah menjadi lahan tandus yang kering dan hampa.

Rasanya sangat mencekik. Dada Deandra terasa sakit dan matanya memanas setiap kali mengingat apa yang telah hilang. 

Ia merasa kehilangan rumah keduanya. 

Tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba sebuah notifikasi muncul dari layar ponsel Deandra. 

(08:12) Skye : Jalan yuk pulang kuliah

(08:12) Skye: Gue mau nunjukin lu sesuatu

Sebuah senyuman akhirnya terbentuk dari bibir Deandra. 

(08:13) Skye: Akhirnya lu tersenyum 

Deandra dengan cepat memutar kepalanya untuk mencari sosok Skye di kelasnya. Ternyata Skye duduk dua kursi di samping kanan Deandra. Saat mata mereka bertemu, Skye memunculkan sebuah senyuman yang manis. Lesung pipinya terlihat, membuat Deandra merasa sangat gemas.

Skye menunjuk ponsel miliknya, seakan berkata untuk membalas pesannya melalui chat. Senyuman Deandra semakin mengembang. 

(08:15) Deandra: Thanks ☺️

(08:15) Skye: So?

(08:15) Deandra: ?

(08:15) Skye: Jalan hari ini? 👍 atau 👎?

Deandra terkekeh pelan. Ia menutup mulutnya sendiri untuk menyembunyikan senyuman yang begitu besar. 

Dalam perasaannya yang kacau dan tak karuan, ia bersyukur ia masih memiliki Skye. Semua kegundahannya seakan menguap begitu melihat senyuman Skye.

(08:17) Deandra: 👍

Deandra melirik Skye kembali. Begitu Skye membaca chat Deandra, pemuda itu mengepalkan tangannya. Hal itu membuat Deandra semakin tersenyum. Lupa sudah dia dengan segala permasalahannya. Ia tidak sabar menunggu kuliah selesai. Tidak sabar untuk melihat apa yang akan ditunjukkan Skye padanya.

Sepulang kuliah Skye menunggu Deandra di depan kelas. Para sahabatnya kian menatap Deandra yang berjalan menghampiri Skye, tetapi gadis itu tidak merasa dirinya salah. Meski tidak menyukai keadaan mereka sekarang, Deandra tidak mau menyerahkan kesempatan bersama dengan Skye begitu saja. Ia hanya dapat membalas tatapan mereka dengan keheningan. Berpura-pura kulitnya tebal dan memasang raut wajah yang datar.

Skye dan Deandra berjalan berdampingan keluar kampus di atas trotoar yang lebar. Sore hari itu matahari sudah bersembunyi di balik awan sehingga cuaca tidak terlalu terik. Sekali-kali angin juga meniup ke arah mereka, memberikan rasa sejuk. 

Meski memiliki kaki yang lebih panjang, Skye berjalan tepat di samping Deandra. Sudah jelas pemuda itu memelankan langkahnya agar dapat bergerak selaras dengan Deandra.

"Lu lagi ada masalah ya?" Tanya Skye tiba-tiba, "Dengan sahabat-sahabat lu?"

Deandra terhenti mendengar pertanyaan itu. Ia mematung dan tak lama Skye juga ikut berhenti. Tubuh pemuda itu memutar sedikit untuk dapat melihat wajah Deandra. 

"Se-obvious itu ya?" Deandra menggigit bibir bawahnya.

Skye mengangguk. "Yaa... tiba-tiba kalian yang biasanya selalu bersama jadi hampir ga pernah berinteraksi..."

"Lu mau cerita?"

Pupil Deandra sedikit bergetar mendengar kelembutan di nada Skye. Matanya memanas kembali. 

Bagaimana bisa ia memberitahu Skye bahwa sumber permasalahan adalah pemuda itu? Bahwa alasan mereka bertengkar adalah karena Skye? 

Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba jempol Skye menyentuh bibir Deandra. Jemari itu disematkan antara kedua bibir Deandra, membuat mulut Deandra sedikit terperangah. 

Deandra bahkan tidak sempat berkedip melihat tingkah Skye. Pemuda itu menatap Deandra serius, kedua alisnya bertaut. "Gue tahu lu stress tapi jangan melukai diri dong."

Huh?

"Lu gigit bibir lu sampai berdarah," kata Skye lirih. Barulah Deandra berkedip. Sialnya, jantungnya kini berdegup kencang. Deandra dapat merasakan tubuhnya memanas. Terutama telinganya sudah seperti berasap.

Dengan cepat Deandra mengambil langkah mundur. Selain untuk menghindari sentuhan Skye ia juga secara insting ingin menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Karena pikirannya yang tidak koheren dan seperti benang kusut, Deandra lupa bahwa dua langkah di belakangnya adalah selokan. Gadis itu melangkah mundur melebihi batas yang seharusnya dan kakinya tergelincir di tepi trotoar. 

Deandra yang pikirannya masih kusut tidak dapat merespon ketika tubuhnya mulai terjatuh ke belakang. Ia hanya dapat menutup matanya dan berharap kejatuhannya tidak memberikan rasa sakit yang sangat. Namun bukannya jatuh ke belakang, tubuhnya justru terhuyung ke depan. 

Dalam keadaannya yang menutup mata, seseorang telah menarik lengannya ke depan. Sekujur tubuhnya ikut terayun ke depan dan tak lama pipinya bertemu dengan sebuah dinding yang keras. 

Tunggu ... kok?

Samar-samar Deandra dapat mendengar dinding itu bergetar, mengeluarkan suara seperti tamburin yang dipukul. Dan rasa dinding itu ... hangat.

Eh ... kok ada dinding di sini?

Ketika Deandra membuka matanya, ia mendapati dirinya berada dalam dekapan Skye. Rasa panas semakin cepat menjalar di tubuh Deandra. Ia sangat yakin wajahnya sudah sangat merah sekarang. 

Tetapi ketika Deandra mencoba mendorong Skye karena malu, lengan pemuda itu kukuh di punggung Deandra. Hal itu membuat Deandra tidak dapat beranjak ke mana-mana. 

Ini terlalu dekat ... Ya Lord ....

Melihat Deandra yang kian menggeliat dalam dekapan Skye, pemuda itu menyentil dahi Deandra. 

"Ah," Deandra mengaduh memegangi jidatnya yang telah diserang. 

Tanpa penjelasan apa-apa, Skye memutar tubuhnya sehingga Deandra berdiri di sisi trotoar yang lain. Deandra langsung mengerti bahwa Skye sedang mengamankan Deandra dari selokan di samping trotoar. 

Deandra kira mereka akan mengalami momen-momen slow motion yang seringkali ada di drama-drama Korea. Saling bertatapan dan begitu dekat dengan satu sama lain. Dan... akhirnya mereka mungkin akan ... akan ... (author: akan apa hayo?)

Tetapi nyatanya begitu Deandra sudah aman, Skye langsung melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur. Pemuda itu kembali menjaga jarak dari Deandra. 

Mana momen Korea gue? Masa sesingkat ituu?? WOILAH!

Bahkan interaksi mereka tadi tidak bisa dibilang semenit ... hanya beberapa detik saja. 

ARRGGHHH!!! Deandra berteriak dalam hati. Degup jantungnya seperti berlari dengan kecepatan Usain Bolt. 

Sempat ada keinginan untuk bertindak tidak tahu malu dan kembali merangkul Skye. Tetapi hasrat itu Deandra tahan. Meski pikirannya kacau, ia tidak boleh kehilangan logika. Ia justru lebih takut bila Skye merasa ilfeel bila Deandra berperilaku yang terlalu terus terang.

Elegan ... elegan ... Berpikir yang elegan, De ... Elegan ....

Deandra yang masih muluk dengan pemikirannya sendiri tidak sadar ketika Skye menyodorkan sapu tangan. Tanpa sadar, karena beban pikirannya, Deandra justru hendak menggigit bibirnya lagi. Skye yang melihat hal itu langsung menyumpal mulut Deandra dengan sapu tangan miliknya.

"Hmphh!!"

Sebelum Deandra sempat merespon, Skye sukses menyempilkan sapu tangan krem miliknya di antara bibir Deandra. Kain polos itu kini ternoda dengan bercak darah dari bibir Deandra yang ranum. 

Meski tidak sedekat tadi ketika Deandra berada dalam rangkulannya, jarak mereka masih cukup dekat bagi Deandra untuk memerhatikan lentik bulu mata Skye. Netra hitam pemuda itu mengarah ke bawah, ke arah sapu tangan di antara bibir Deandra. Tapi tak lama, mata itu kembali menatap mata Deandra. 

"Hentikan kebiasaan itu."

"..."

"Kebiasaan menggigit bibir itu kebiasaan yang jelek, tahu," nada Skye seperti seorang anak yang cemberut karena tidak dibelikan mainan. Melihat itu Deandra tersenyum tipis. 

Masih dengan pipi yang merona, Deandra mengangguk pelan. Kemudian ia sedikit menekan sapu tangan di bibirnya untuk menghentikan pendarahan. 

Meski bukan seperti di drama Korea... seperti ini juga menyenangkan... ihik...

Mereka melanjutkan perjalanan hingga akhirnya memasuki salah satu apartemen terdekat dari fakultas mereka. Persis di sebelahnya gedung apartemen milik Flo. Skye menuntun Deandra memasuki lift apartemen.

OMOOO!! Jangan bilang dia mau bawa gue ke kamarnya?? Gue gatau Skye se-frontal ini ... Gue belum siap ... gue belum siap ....

Pikiran Deandra selama di lift sudah melayang ke mana-mana. Ia sudah bersiap-siap untuk menolak turun dari lift dan merencanakan kalimat penolakan. Sebagaimanapun ia suka dengan Skye bukan berarti Deandra mau melakukan hal itu dengan Skye. Tentunya tidak sekarang. Ia masih terlalu muda. 

Wajahnya masih saja memerah dan degup jantungnya masih berlari dengan kecepatan Usain Bolt. Karena begitu banyaknya pikiran yang berkecamuk, lagi-lagi Deandra tidak menyadari ketika Skye memencet lantai paling atas. 

Pintu lift terbuka dan menghadirkan sebuah lorong sempit dengan tangga pada ujung lorong itu. Mau tidak mau Deandra menghapuskan segala pikiran rumitnya dan harus menekan urat malunya jauh di dalam hatinya. 

Skye menuntun Deandra menaiki tangga itu. Di penghujung tangga, terdapat sebuah pintu besi yang tidak tertutup rapat. Sebuah lipatan majalah yang tebal mencegah pintu itu untuk tertutup sempurna. 

Seperti sudah melakukan hal ini ratusan kali, Skye dengan mudahnya menarik pintu itu dan mengajak Deandra melangkah keluar dari pintu. Tidak lupa ia kembali menjegal pintu agar mereka tidak terkunci. 

Skye telah membawanya ke atap apartemen yang datar. Sepoi angin berhembus kencang di tempat yang tinggi itu. Di pinggir atap terdapat penyanggah yang berdiri hingga dada Deandra. Tetapi hal yang membuat Deandra terpukau adalah pemandangan yang disajikan. Kota Depok  yang sehari-hari terlihat padat, kotor, dan penuh asap... ternyata dari ketinggian terlihat begitu ... nyaman dan indah.  Langit biru di atas atap itu terlihat jernih. Corak-corak oranye mulai terlihat di sudut-sudut cakrawala. 

Deandra tak sadar menahan napasnya. 

"Gimana?" Tanya Skye. Senyumannya sangat manis, menunjukkan lesung pipi yang sangat Dendra sukai. 

Dengan mata berlinang Deandra berkata setulus hatinya, "Ini sangat indah, Skye."

Sebuah senyuman bahagia mengembang di wajah Deandra. 

Ia tidak mau menukar momen ini dengan apapun. Momen kebahagian ini adalah miliknya dengan Skye. Jadi untuk apa ia memikirkan kebahagiaan orang lain?

Ia tidak peduli bila dirinya menjadi egois. Ia ingin meraup semua kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Perasaan bahagia itu sangat menggiurkan dan membuat adiksi. Sekali kau merasakannya, kau tidak ingin melepasnya. 

Salahkah ia bila mementingkan kebahagiaannya sendiri?

Dalam literasi Dante Inferno, terdapat sembilan bentuk manifestasi dosa. Nafsu, kerakusan, keserakahan, amarah, bidaah, kekerasan, dan kepalsuan. Dan sesuai teori psikoanalitik Freud, ego adalah komponen kepribadian yang menghubungkan antara alam bawah sadar dengan keadaan realita. Ego bergerak menuju kebahagiaan dan berusaha menghindari rasa sakit.

Ego adalah manusiawi. Tidak ada orang yang benar-benar altruis di dunia ini. Bahkan tindakan altruis dapat diselebungi oleh maksud tertentu, oleh ego tertentu. 

Ego adalah manusia.

Kalau begitu, apakah mementingkan ego diri sendiri adalah sebuah dosa? 



Deandra sok ew ew nihh

Ini versi sebelumnya mau masukin kalimat di bawah LOLLLL featuring Milo WKKWK:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top