Bab 2: Sebuah Tanda
TEPAT ketika jam dinding berdenting pukul 18.00, Deandra, Flo, Meili, dan Anchilla berkacak pinggang memerhatikan anggota terakhir grup mereka yang akhirnya memasuki kamar apartemen Flo.
Lizzie masuk tanpa menghiraukan pandangan tajam dari keempat sahabatnya. Deandra sendiri kagum bagaimana gadis satu ini bisa sangat clueless.
Tak hanya itu, bawaan Lizzie perlu ditanggapi dengan decakan oleh keempat sahabatnya. Pasalnya, hanya untuk menginap sehari saja, Lizzie membawa koper ukuran kabinet.
Berapa banyak baju yang dia bawa? tanya Deandra kepada dirinya sendiri.
"Lu kabur dari rumah?" Tanya Flo sebagai tuan rumah.
Lizzie hanya terkekeh, "Kagak, gue gamau bawa banyak barang di ransel aja jadi mending taruh koper. Plus gue bawa beberapa essentials."
Dengan susah payah ia menarik kopernya masuk ke apartemen Flo kemudian meletakkanya di pojok kamar. Persis di sebelah tempat tidur, Lizzie membuka kopernya kemudian mengeluarkan lima paket masker wajah. Gadis berambut panjang itu menunjukkan paket masker kepada sahabat-sahabatnya sambil tersenyum lebar.
Tak lama, kelima sahabat itu sudah memakai masker wajah masing-masing. Rasa dingin dan segar mengenai wajah mereka. Deandra sendiri memilih masker aloe vera karena ia ingin efek yang menyejukkan untuk kulit wajahnya.
Di depan kaca kamar mandi, Deandra meratakan masker itu di seluruh wajahnya sehingga tidak ditemukan lagi lipatan atau lekukan. Sekarang wajahnya berwarna putih dan terlihat sangat bulat karena efek masker. Rambutnya harus ia bando ke belakang sehingga tidak ada rambut yang terkena masker.
Ia terlihat jelek. Tapi... namanya juga masker-an, pasti akan terlihat jelek. Kini maskernya sudah tertempel rapi dan Ia akan fokus untuk menjaga seperti itu. Demi efek masker yang paling baik. Namun resolusi Deandra itu harus hancur ketika mendengar Lizzie tertawa terbahak-bahak.
Mata Deandra melirik ke bayangan Lizzie di kaca. Lizzie baru saja tertawa karena melihat wajahnya sendiri yang tertutup masker. Tawa Lizzie membuat masker wajah Lizzie tergeser dari tempatnya semula hingga membuat wajahnya terlihat konyol. Bibir Lizzie yang besar juga tersenyum lebar, hanya terlihat melalui lubang mulut masker wajah yang kecil.
Deandra langsung tertawa lepas melihat wajah Lizzie. "Jir, jelek banget sih lu HAHAH!"
Flo, Meili, dan Anchilla langsung melirik kepada Lizzie pula. Mereka pun tertawa terbahak-bahak. Meili dengan cekatan mengambil ponselnya kemudian langsung memotret wajah Lizzie. Sedangkan Lizzie, komedian malam ini, kembali tertawa kencang setelah melihat wajahnya kembali di kaca.
"Sekalian foto bareng yuk!" Seru Meili ketika para perempuan itu sibuk membenahi masker wajah mereka masing-masing sembari menahan ketawa.
"Yuk!" Masih dengan masker wajah, kelima sahabat itu berpose di depan kaca. "Lizzie di tengah LOL biar dia terlihat seperti leader cult."
"HAHAHHA bego! cult masker-an?" Tanya Lizzie.
Gadis itu menurut dengan berpindah ke tengah. Meili yang bertugas memotret bayangan mereka di kaca. Mengenakan piyama yang nyaman, dengan masker wajah yang membuat wajah mereka jelek dan bulat. Tetapi ekspresi yang tertangkap adalah bahagia, puas, dan rasa kebersamaan yang tinggi.
Setelah membetulkan masker wajah untuk kesekian kalinya dan berusaha menahan ketawa untuk ribuan kalinya malam itu, mereka akhirnya berjajar terbaring di kasur. Flo memiliki kasur ukuran queen, meski berdempetan mereka berlima dapat muat dalam satu kasur itu. Tentu Flo sudah menyiapkan dua kasur gulung untuk dua orang tidur di lantai. Namun untuk sementara ini, mereka memilih berbaring berdekatan.
Mereka selalu melakukan ini setiap kali mereka melakukan 'girls night.' Karena kesibukan mereka sebagai mahasiswa kedokteran, juga organisasi kemahasiswaan yang diikuti masing-masing, kesempatan untuk menginap bersama sudah sangat jarang ditemui. Oleh karena itu setiap kali jadwal mereka bertemu, mereka akan selalu mengantisipasi hari itu. Hari di mana mereka dapat melupakan segala hal lainnya.
Di ruangan di mana hanya ada mereka berlima, mereka dapat membicarakan apapun, mengeluarkan kegundahan sekecil apapun. Hal terbaik adalah keempat orang lainnya tidak akan menghakimi. Ketika mereka berlima, mereka menerima satu sama lain apa-adanya. Kelebihan dan kekurangan, mereka telah melihat satu sama lain lebih dari itu.
Inilah ikatan yang dapat dibentuk oleh lima gadis yang berjuang bersama di salah satu jurusan tersusah di perkuliahan.
"De," panggil Lizzie.
"Hm?"
"Kapan lu bakal make a move buat Skye?"
"Ga akan," jawab Deandra kecil, "Gue ga mau merusak pertemanan kita. Plus he doesn't like me, right?"
"But what if he does?" Tanya Flo, "Kan lu ga akan tahu sampai lu tanya langsung."
"Udahh," jawab Deandra, "Plis stop membuat harapan gue naik. Gue lebih baik menyukai dari jauh daripada kalau gue mengejar agresif dia bakal ilfeel ama gue."
"Hmm susah ya," timbrung Anchila, "Coba kalau dia kasih tanda gitu. Apapun. Entah itu suka sama lu atau ga, De."
Deandra memutar otaknya. Ia mengingat-ingat apakah Skye pernah memberi tanda atau tidak. Pernahkan ia memberi tanda bila Ia tidak menyukai Deandra? Ataukah kapan ia pernah memberi tanda bahwa ia menyukai Deandra?
Ah, bingung... bingung!
Deandra tidak mau memikirkan hal itu. Ia sudah menetapkan untuk dirinya sendiri bahwa ia hanya akan menyukai dari jauh. Titik.
"Iya juga ya," kali ini Flo yang berkata, "Skye tuh kasihnya mixed signal. Ia sikapnya biasa-biasa aja tapi inget ga sih gais, waktu itu Skye sempat liatin Deandra kayak ikan mangap!"
"IYAA!!" seru Lizzie, begitu juga Anchila yang berseru "Bener, bener!"
Kejadian itu terjadi beberapa minggu yang lalu. Saat itu, himpunan kemahasiswaan kelas internasional sedang mengadakan sebuah acara perkenalan divisi kepada mahasiswa baru. Skye dan Deandra berada di divisi yang berbeda. Namun karena divisi Skye sudah selesai mendekorasi booth divisinya, ia kemudian membantu divisi Deandra yang belum selesai dekorasi. Posisi Deandra sebagai ketua divisi membuat gadis itu bertanggung jawab atas kelancaran boothnya.
Ketika Deandra meraih ke sisi atas pintu untuk memasang balon, baju Deandra sedikit terangkat, menunjukkan sedikit kulit punggung Deandra. Skye tidak sengaja melihat hal itu.
Wira, teman satu divisi Deandra, melihat Skye memerhatikan Deandra dan langsung mengejek pemuda itu, "Liatin aja, Skye. Mulut lu kebuka tuh."
Kemudian Skye salah tingkah setelah ketahuan memerhatikan Deandra. Wajahnya memerah dan usahanya untuk terlihat keren dengan menyandarkan satu lengan di pundak Wira gagal. Meili dan Lizzie yang juga turut membantu Deandra hari itu tertawa melihat Skye.
Balik ke masa sekarang, Deandra melontarkan pertanyaan "Masa sih?!"
"Bacot," kutuk Lizzie, "Ga usah pura-pura ga tahu. Padahal lu senang kan!"
Deandra memang tidak bisa luput dari para sahabatnya. Mukanya di bawah masker wajah memerah. Ia pun bersyukur karena masker wajah itu menutupi wajahnya yang merona. Meskipun lampu kamar Flo sudah dimatikan, meninggalkan hanya satu lampu samping tempat tidur. Sehingga meski tanpa masker wajah, mereka tidak akan menyadari wajah merona Deandra.
"Tapi itu cuma sekali," lanjut Flo, "Sisanya dia ga kasih tanda apa-apa. Benar-benar ga ada. Kayak dia bahkan ga tertarik pacaran aja."
Deandra menyadari bahwa satu sahabatnya terlampau diam malam itu. Padahal sehari-hari, Meili biasanya adalah yang terberisik kedua setelah Deandra. Bahkan terkadang posisi mereka terbalik.
"Mei, lu sakit?" Tanya Deandra khawatir.
Meili tidak langsung menjawab.
Khawatir, Deandra menopang tubuhnya pada satu sikunya. Meili terbaring persis di sebelah kiri Deandra sehingga sangat mudah baginya untuk melihat wajah Meili.
"Atau lu udah tidur?"
Meili menjawab pertanyaan Deandra dengan melepas masker wajahnya. Menunjukkan wajah tirus dan hidung mungil khas keturunan oriental. Kendati demikian, mata Meili termasuk besar dan bibirnya pun tebal. Rambutnya yang juga sebahu membingkai wajahnya yang lengket karena cairan dari masker wajah. Tatapannya serius dan menatap lurus pada Deandra.
"Kalau gue tahu cara bikin Skye kasih tanda ke lu gimana?" Tanyanya dengan nada datar.
Butuh beberapa detik bagi Deandra untuk menganalisis pertanyaan itu. Nyatanya, sahabat-sahabatnya yang lain lebih cepat dari Deandra. Flo, Lizzie, dan Anchilla sudah tertawa.
"Apa-apaan sih–"
Tiba-tiba Meili mendudukkan dirinya. Kelakuannya yang mendadak itu membuat keempat gadis lain terkejut.
Meili berada di sisi paling kiri dari kasur Flo, sehingga Ia hanya butuh untuk memutar tubuhnya ke kanan untuk dapat menghadap keempat sahabat lainnya. Deandra tetap pada posisinya yang bertumpu pada satu siku. Sementara ketiga sahabat lainnya terduduk guna dapat menatap Meili.
"Dengerin gue," kata Meili masih dalam suara serius, "Kalian satu-satunya yang tahu kalau mak gue dukun."
"Iya," kata Anchilla, "Dan kita tidak pernah membocorkan itu pada siapapun."
"Nah, gue pikir itu cuma fase aja untuk mak gue. Karena gue pikir masa keluarga gue bisa-bisanya terlibat dengan dukun. Tapi makin lama, dia makin serius. Dan pernah sekali gue lihat dia berhasil nyembuhin orang pakai mantra."
Lizzie dan Anchila, dua gadis yang paling skeptis di antara mereka berlima langsung membantah. "Kan lu tahu dukun tuh kalau nyembuhin orang bergantung sama obat jenis kortikosteroid. Itu dianggap obat dewa. Tapi penggunaan yang tidak sesuai justru membahayakan," sergah Lizzie.
Anchila mengangguk-angguk setuju kemudian menimpali, "Apalagi ada namanya placebo effect*. Kebanyakan orang yang sembuh dari dukun itu sebenarnya efek plasebo aja bukan beneran sembuh."
Tatapan Meili masih serius dan malah makin kentara. "Meski efek plasebo, tapi berhasil, kan? Kan mereka sembuh."
"Tidak benar-benar sembuh," bantah Anchilla lagi.
"Intinya!" Seru Meili sebelum Anchilla melontarkan data-data yang otaknya miliki, "Mak gue pernah berhasil menyembuhkan orang DAN ia juga mempelajari santet. Ketika lu menyantet orang, lu bisa membuat orang itu melakukan apapun yang lu mau."
Mata Meili memincing, memastikan keempat sahabatnya memberikan sorotan utama pada dirinya. "Salah satu santet yang biasa diminta orang adalah untuk membuat seseorang suka sama lu."
Sekarang keempat sahabatnya mengerti arah pembicaraan Meili. Kecuali Lizzie. "Serem amat sih mak lu memaksakan cinta pada orang lain?"
"Ia baru mempelajari, Liz! Gue juga ga akan biarin dia sampai segitunya," jawab Meili, "Tapi kalian ngerti kan maksud pembicaraan gue? Gue tahu cara biar bikin Skye suka sama Deand–"
Tiba-tiba Deandra mencubit ketiak Meili hingga Meili yang tidak kuat menahan rasa geli terlontar dari kasur. "Ow!"
Deandra melepas masker wajahnya. "Gue ga mau maksa Skye suka sama gue, bitch," nada Deandra jenaka, namun ia memaksudkan semua perkataannya.
Meski sebagian hati Deandra tadinya sedikit melonjak riang dengan kemungkinan Skye dapat menyukainya, sebagian hati lainnya dengan cepat menghancurkan rasa senang itu. Ia tidak mau menjadi gadis yang membabi buta melakukan apapun demi seorang cowok. Sebagai seorang anak dari dua dokter, ia diajari dari kecil bahwa hidup tidaklah sebatas dicintai oleh seorang pria. Ia ditanamkan prinsip bahwa ia harus dapat menjaga dirinya sendiri dan tidak perlu bergantung dengan manusia behormon testosteron. Meski ia sangat menyukai Skye, selama tiga tahun, ia tidak akan menjadi gadis yang melakukan hal rendah seperti memaksakan perasaannya pada Skye.
Meili yang mengerti hal itu hanya terkekeh.
"Eh tunggu, De, katanya santet bisa bikin orang itu melakukan apapun yang kita inginkan, kan?" lanjut Flo, "gimana daripada bikin Skye suka sama lu, kita bikin Skye kasih tanda ke lu?"
Lizzie bersiul mendengar usulan Anchila. Kemudian Flo bertanya, "Is that possible?"
Kini keempat sahabat yang berada di kasur sudah melepas masker wajah mereka. Empat pasang manik hitam menatap Meili kembali.
"Technically, yes..." jawab Meili.
"Heh, masa kita mahasiswa kedokteran nyobain santet?" Tanya Anchilla.
"Kan cuma buat Skye kasih tanda aja," kata Flo, "Kalau berhasil, good for Deandra. Kalo ga berhasil, yaudah, no loss for us. For fun aja hahah.."
"Lah, kalau ada efek samping dari santet, gimana?" Tanya Anchila.
"Hmm, gue ga percaya soal santet sih. Honestly, I think it won't work," kata Lizzie, "Tapi gue sans kalau mau coba-coba aja. Lagian kita udah jarang bisa nginep bareng. Sekalian kita lakuin hal yang gila aja, biar keinget terus."
Anchilla dan Lizzie tidak percaya dengan hal-hal supernatural. Jadi bagi mereka, melakukan santet hanya akan berupa permainan roleplay semata. Sedangkan Flo merupakan orang yang suka tantangan. Bahkan sekarang kilatan mata Flo semakin bersinar, tergiur oleh tantangan melakukan santet.
Hanya Meili dan Deandra yang masih waswas soal hal supernatural. Meili, karena mama-nya yang mulai menggeluti profesi dukun. Dan Deandra yang terlalu banyak nonton film horor untuk tahu bahwa keisengan seperti melakukan santet, hanya akan membawa iblis datang menghantui mereka.
"Gue bisa kasih tahu bahan-bahan yang harus dikumpulkan, kalau kalian semua setuju," kata Meili. Deandra melotot pada Meili yang masih terduduk di lantai. Sahabatnya yang seharusnya menemani ketakutannya pada hal supernatural malah merupakan sumber dari kegilaan ini.
"I'm in." Kata Flo.
"Sure," jawab Lizzie.
"Yuk!" Seru Anchilla.
Kini sorotan utama menjadi milik Deandra. Empat orang menatap matanya. Namun tidak seperti Meili tadi yang memang ingin diperhatikan, Deandra justru sama sekali tidak ingin dipelototi seperti itu. Gadis itu tahu ia kalah suara. Meski takut, sebagian kecil hatinya yang tadi sempat berbunga-bunga dengan prospek Skye menyukainya kembali melonjak. Ia mulai berpikir, mungkin satu tanda dari Skye adalah yang ia butuhkan.
Satu tanda. Entah itu akan membuat hati Deandra berbunga atau menghancurkannya. Setidaknya Deandra akan tahu. Akhirnya ia akan dapat tahu antara Ia memiliki kesempatan untuk mengejar Skye atau ia harus melupakan sosok pemuda itu.
Satu tanda. Dan Ia akan terbebas dari tiga tahun memendam rasa sesak ini.
"Oke," jawab Deandra, "Apa yang harus kita lakukan, Mei?"
Tenangg ini bukan cerita horor. Ini cerita buat bikin ngakak kokkk
Hope I was able to make you laugh :DDDD
Kalau tertawa, mohon vote, comment, kritik dan sarannya juga boleeh banget!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top